Professional Documents
Culture Documents
ENDOMETRIOSIS
Disusun Oleh:
Nama: Nazla Ananda
NIM: 2010-071-0074
Pembimbing:
dr. Semuel, Sp. OG
PENDAHULUAN
I. Definisi
II. Epidemiologi
Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan antara semua operasi pelvik.
Endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda,
dan yang tidak mempunyai banyak anak. Selain itu endometriosis sering didapatkan
pada wanita dari golongan sosio-ekonomi yang kuat. Fungsi ovarium secara siklis
yang terus-menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam
terjadinya endometriosis.
III. Patofisiologi
2. Metaplasia Coelomik
Teori ini beranggapan bahwa peritoneum parietalis merupakan jaringan
pluripoten sehingga dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi
jaringan yang secara histologi tidak dapat dibedakan dengan endometrium
normal. Ovarium dan duktus mullerian, progenitor endometrium, berasal dari
epitelium coelomik, sehingga hal ini bisa menjelaskan terjadinya
endometriosis ovarium. Teori ini banyak pro maupun kontra, terutama ketika
terjadinya endometriosis pada kondisi premenarche, pada laki-laki, dan pada
kelainan congenital dimana tidak memiliki uterus. Selain itu, secara umum,
metaplasia terjadi pada umur yang lebih tua, sedangkan endometriosis terjadi
pada usia yang lebih muda. Teori ini semakin banyak penentangnya.
3. Teori Induksi
Teori ini mengatakan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis dapat
menstimulasi perubahan sel-sel yang belum terdiferensiasi menjadi jaringan
endometrium. Penelitian membuktikan potensi pada epitelium ovarium untuk
bertransformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respons terhadap estrogen.
4. Predisposisi genetik
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat keluarga
menderita endometriosis memiliki predisposisi yang lebih tinggi untuk terkena
endometriosis daripada wanita tanpa riwayat keluarga endometriosis. Semakin
diturunkan, maka penyakit ini cenderung menjadi lebih buruk pada generasi
berikutnya. Studi di seluruh dunia yang sedang berlangsung yaitu studi
Endogene International mengadakan penelitian berdasarkan sampel darah dari
wanita dengan endometriosis dengan harapan mengisolasi sebuah gen
endometriosis.
5. Pengaruh lingkungan
Beberapa studi telah menunjuk bahwa faktor lingkungan dapat menjadi
kontributor terhadap perkembangan endometriosis, khususnya senyawa-
senyawa yang bersifat racun memiliki efek pada hormon-hormon reproduksi
dan respon sistem kekebalan tubuh, walaupun teori ini tidak terbukti dan
masih kontroversial.
Selain itu juga terdapat lesi berwarna biru/coklat yang disebut dengan area
powder burnt. Area Powder burnt ini merupakan lesi tidak aktif dan lama yang
tampak menyebar pada peritoneum di pelvik. Permukaan peritoneal bisa terdapat luka
parut atau mengerut, atau dapat menimbulkan nodul atau kista. Endometriosis jarang
muncul sebagai massa polyploid, yang dapat meniru penampilan tumor ganas. Jika
terdapat perlengketan fibrosa padat, hal ini menandakan penyakit berat.
Secara mikroskopik, jaringan endometriosis tampak sama dengan
endometrium pada kavum uteri. Dua komponen utama adalah kelenjar endometrial
dan stroma. Namun, berbeda dengan endometrium pada kavum uteri, implantasi
endometrium ini terdiri dari jaringan fibrous, darah, dan kista. Pemecahan dari sel
darah merah akibat inflamasi mengakibatkan pembentukan histiosit berpigmen.
Semakin tuanya lesi, maka semakin tinggi predisposisinya untuk berpigmentasi.
Lokasi yang sering terdapat endometriosis adalah ovarium dan biasanya
didapatkan pada kedua ovarium. Endometriosis pada ovarium bisa tampak sebagai
implantasi yang superficial bisa sebagai massa pada pelvis yang merupakan
endometrioma yang terdiri dari darah, cairan dan sisa menstruasi. Pada endometrioma
dinding fibrous tebal dan terdapat adhesi pada permukaannya. Hal ini lah yang
membedakan endometrioma dengan kista ovarium yang fisiologis. Endometrioma
biasanya berisi bahan yang tampak seperti sirup coklat tebal yang sangat menempel
sangat kuat.
Endometrioma sebagian besar permukaan dalamnya dilapisi oleh epitel
endometrium, stroma, dan kelenjar. Hal ini yang membedakan endometrioma dari
kista ovarium hemoragik. Kelainan epitel, seperti hiperplasia kompleks atau atypia,
bisa ada di lapisan kista.
Kadang-kadang epitel endometrium dan stroma yang merupakan lapisan
endometrioma hilang dari waktu ke waktu dan digantikan oleh jaringan granulasi dan
jaringan fibrosa padat, yang membuat diagnosis histologis sulit. Isi dari kista (semi
cair berwarna cokelat dibandingkan cairan berair), adanya adhesi dan makrofag berisi
hemosiderin (indikasi perdarahan kronis), dan histologis terbukti endometriosis di
tempat lain di panggul membantu mendukung diagnosis.
Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar (kadang-
kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau
endometrioma). Kista pada ovarium ini sangat rentan untuk terjadi perforasi walaupun
dengan ukuran yang kecil.
Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan
dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan
dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke
dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan tanda akut
abdomen. Pada salah satu atau kedua ligamen sakrouterinum pada kavum Douglasi
dan pada permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa
bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan
sigmoid atau rectum seringkali ditemukan benjolan berwarna kebiru-biruan ini.
Penampakan kasar endometriosis dapat berupa suatu penebalan atau kista
yang berisi darah baru, merah atau biru hitam. Semakin lama lesi-lesi tersebut
berubah menjadi rata dan berwarna coklat tua. Struktur kista besar bisa tetap berisi
darah tua dan disebut kista cokelat. Lesi-lesi yang sudah lama bisa tampak pucat,
tersebar, dan mengerutkan jaringan setempat. Ukuran lesi bervariasi dari kecil kurang
dari 1 mm sampai dengan kista besar berukuran lebih dari 10 cm.
Lesi merah pada organ
VI. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kemudian dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada anamnesis ditanyakan
mengenai gejala-gejala seperti nyeri perut bawah, dispareunia, dismenorea, disuria,
dischezia. Pada pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian untuk menentukan
posisi, ukuran, dan mobilitas uterus: tetap, retroversi uterus mungkin mengindikasikan
penyakit adhesif yang parah.
Pemeriksaan rektovaginal mungkin perlu dan tepat untuk meraba ligamentum
uterosakrum dan septum rektovaginal, yang dapat merasakan nodul dengan nyeri
tekan yang mengindikasikan sugestif endometriosis dengan infiltrasi dalam. Massa
adneksa ditemukan pada pemeriksaan fisik mungkin menyarankan endometrioma
ovarium. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae
posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberikan
kepastian mengenai diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberikan tanda yang
khas. Namun apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat
menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung
kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan
pada waktu haid. Pembuatan foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon
dapat memberikan gambaran filling defect pada rektosigmoid dengan batas-batas
yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi berguna untuk membedakan
endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis.
Ultrasonografi adalah alat lini pertama untuk membantu diagnosis dari
endometriosis. Dengan USG dapat di deteksi kista ovarium dan gangguan kelainan
panggul lainnya seperti fibroid uterina. Meskipun tingkat serum kanker antigen 125
(CA-125) dapat meningkat pada endometriosis sedang sampai berat, tetapi hal ini
tidak dapat menentukan diagnosis endometriosis karena sensitivitas yang rendah yaitu
sekitar 28% dengan spesifisitas 90%.
Ketika dicurigai adanya endometriosis yang sangat invasif misalnya ke usus
atau kandung kemih invasi, diperlukan tes tambahan seperti kolonoskopi, cystoscopy,
USG dubur, dan MRI.
Gold standar untuk mendiagnosis endometriosis adanaya laparoskopi dan
histologis. Keparahan penyakit paling tepat digambarkan oleh penampilan dan lokasi
lesi endometriosis dan keterlibatan organ. The American Society for Reproductive
Medicine telah mengembangkan klasifikasi untuk menentukan staging dari
endometriosis pada laparoskopi.
Laparoskopi diagnostik tidak diperlukan sebelum pengobatan pada semua
pasien dengan nyeri panggul. Meskipun laparoskopi dianggap prosedur invasif
minimal, namun laparoskopi memiliki risiko operasi, termasuk perforasi usus dan
kandung kemih dan cedera vaskular. Risiko keseluruhan komplikasi dengan
laparoskopi adalah sekitar 8.9% .
Laparoskopi
Laparaskopi pada organ reproduksi wanita
Temuan yang didapatkan dari laparoskopi bervariasi. Organ-organ pelvic dan
peritoneum pelvic merupakan lokasi tipikal untuk endometriosis. Terdapat berbagai
macam variasi warna lesi yaitu, merah (merah, merah-pink atau jernih),putih (putih
atau kuning coklat) dan hitam (hitam atau hitam kebiruan).
Lesi yang gelap merupakan akibat deposisi hemosiderin dari debris menstruasi
yang tertinggal. Lesi putih dan merah merupakan lesi yang paling umum ditemukan.
Selain warna yang bervariasi, bentuk dari lesi endometrium juga bervariasi seperti
bleb halus pada permukaan peritoneum, lesi stellate datar terbentuk dari jaringan skar
pada daerah sekitarnya.
Peritoneum Permukaan 1 2 4
Dalam 2 4 6
Ovarium Kanan Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Kiri Permukaan 1 2 4
Dalam 4 16 20
Perlekatan kavum douglas Sebagian Komplit
4 40
Ovarium Perlekatan <1/3 1/3-2/3 >2/3
Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Tuba Kanan Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Kiri Tipis 1 2 4
Tebal 4 8 16
Nilai:
1-4 adalah minimal (stadium I)
5-15 adalah ringan (stadium II)
16-40 adalah sedang (stadium III)
lebih dari 40 adalah berat (stadium IV)
IX. Penanganan
Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi
medik dan terapi pembedahan.
a. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya atau yang gejala ringan. Jenis-jenis terapi medik:
Jenis Kandungan Fungsi Mekanisme Dosis Efek
samping
Progestin Progesteron Menciptakan Menurunkan Medroxyprogest Depresi,
kehamilan kadar FSH, LH, eron acetate: 10 peningkatan
palsu dan estrogen 30 mg/hari; berat badan
Depo-Provera
150 mg setiap 3
bulan
Danazol Androgen Menciptakan Mencegah 800 mg/hari Jerawat,
lemah menopause keluarnya FSH, selama 6 bulan berat badan
palsu LH, dan meningkat,
pertumbuhan perubahan
endometrium suara
GnRH Analog Menciptakan Menekan sekresi Leuprolide 3.75 Penurunan
agonis GnRH menopause hormon GnRH mg / bulan; densitas
palsu dan Nafareline 200 tulang, rasa
endometrium mg 2 kali sehari; kering
Goserelin 3.75 mulut,
mg / bulan gangguan
emosi
Farmakoterapi
NSAIDS
Obat ini menghambat secara non selektif terhadap enzim COX-1 dan COX-2. Kedua
enzim ini berperan dalam sintesis prostaglandin yang berhubungan dengan nyeri dan
inflamasi pada endometriosis. Pada jaringan endometriotik, terdapat ekspresi COX-2
yang lebih banyak daripada jaringan endometrium yang normal. Sehingga, penurunan
prostaglandin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri pada endometriosis.
NSAIDS merupakan obat lini pertama pada wanita dengan endometriosis dengan
nyeri yang minimal.
Pada penggunaan jangka panjang obat penghambat selektif COX-2, terdapat resiko
kardiovaskular, sehingga penggunaannya harus dalam dosis yang terendah dengan
jangka waktu terpendek.
Progestins
Cara kerja progestins adalah antagonist dari efek estrogen pada endometrium, yang
menyebabkan inisial desidualisasi dan atrofi endometrium. Sama halnya dengan
kombinasi kontrasepsi oral, progestins juga menurunkan densitas saraf dan ekspresi
pertumbuhan saraf pada lesi endometriotik. Misalnya: depot medroxyprogesterone
acetate (DMPA) (Depo-Provera), levonorgestrel yang melepaskan IUD, dan
modulator reseptor progesterone (SPRMs).
Efek samping dari MPA dosis tinggi yaitu, jerawat, edema, peningkatan berat
badan, dan menstruasi yang tidak teratur. Dosis MPA yaitu 20-100 mg/ hari
secara oral, 150mg setiap 3 bulan secara intramuskular.
Depot progestin
DMPA, disuntikkan intramuskuler, secara luas digunakan di seluruh dunia
untuk pengendalian kelahiran dan untuk menghilangkan nyeri endometriosis.
Formulasi subkutan DMPA (104 mg) setara dengan leuprolide asetat dalam
menghilangkan rasa sakit pada endometriosis.
Efek samping dari penggunaan DMPA adalah lambatnya ovulasi sehingga
DMPA tidak dianjurkan untuk pasien yang ingin hamil dalam waktu dekat.
Selain itu juga terdapat efek samping dalam perdarahan. Dapat menurunkan
densitas tulang apabila digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan
bersifat reversible.
Indikasi: untuk endometriosis sisa setelah histerektomi dengan atau tanpa
bilateral salpingo-ooforektomi tanpa keinginan untuk hamil dan tidak adanya
perdarahan iregular pada uterus.
Penggunaan Depo-provera hingga 2 tahun harus dibatasi kecuali tidak ada
metode kontrasepsi lainnya yang berhasil. Selain itu, belum diketahui
penggunaan DMPA saat remaja dapat menurunkan densitas massa tulang dan
dapat meningkatkan resiko fraktur osteoporosis di masa depan.
Norethindrone asetat (NETA) merupakan progestin sintetik 19-
nortestosterone. Obat ini efektif dengan kombinasi terapi GnRH agonis dalam
terapi endometriosis. Dosis NETA 5mg/hari secara oral dengan pemanjangan
terapi GnRH agonis.
Norethindrone asetat dengan dosis 5-20 mg per hari, telah efektif pada
kebanyakan pasien untuk menghilangkan dismenore dan nyeri panggul kronis
Hasil pengobatan ini dalam terobosan pendarahan di sekitar setengah pasien
tetapi tampaknya memiliki efek yang positif pada metabolisme kalsium,
sehingga pemeliharaan yang relatif baik BMD. Mungkin ada efek negatif
terhadap kadar serum high-density lipoprotein kolesterol.
Dienogest merupakan sintetik progestin dengan dosis 2 mg/hari secara oral
dapat menurunkan nyeri akibat endometriosis. Dienogest adalah progestin
selektif 19-nortestosteron dan aktivitas progesterone. Dosis harian 2 mg telah
secara signifikan lebih baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri
panggul dan dismenore berkaitan dengan endometriosis dan sama efektifnya
dengan terapi agonis GnRH harian dalam mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan endometriosis.
Progestin intrauterine releasing system
Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS), 19-nortestosteron
turunan progestin, telah terbukti memiliki efek anti-estrogenik kuat pada
endometrium.
Dosis: 20 g/hari
IUD membawa levonorgestrel langsung ke endometrium dan efektif selama 5
tahun. Percobaan dilakukan dengan membandingkan terapi LNG-IUS dengan
GnRH agonis menunjukkan perbaikan rasa nyeri yang sama tetapi terdapatnya
efek hipoestrogenisme pada GnRH agonis.
LNG-IUS dapat menjadi terapi yang efektif untuk endometriosis rektovaginal,
mengurangi dismenore dan non-menstruasi nyeri panggul serta secara
signifikan mengurangi dispareunia dan dyschezia.
GnRH Agonis
GnRH agonist merupakan lini kedua bagi wanita yang tidak berhasil dengan
penggunaan CHCs atau progestin atau kambuhnya gejala setelah perbaikan awal,
Pelepasan GnRH menyebabkan pulsasi aktivitas sekresi dari gonadotrops pada
pituitari anterior dengan ovarian steroidogenesis dan ovulasi.
Jika pemberian nonpulsatil GnRH dilakukan secara terus-menerus, maka akan terjadi
penurunan sensitivitas pituitari dan penurunan ovarian steroidogenesis. Dengan
penurunan produksi estradiol pada ovarium yang membuat hipoestrogenik
menghilangkan stimulasi jaringan implantasi endometrium dan membuat kondisi
pseudomenopausal selama terapi.
Selain itu, GnRH agonis juga menurunkan COX-2 pada pasien endometriosis. GnRH
agonis menjadi tidak aktif apabila diberikan dalam pemberian oral, oleh karena itu
diberikan secara intramuskular, subkutan, intranasal.
Contoh:
- Leuprolide acetate (Lupron Depot)
Dosis: 3.75mg/bulan atau 11.25mg/3 bulan, secara intramuskular.
- Goserelin (Zoladex)
Dosis: 3.6mg/bulan atau 11.8mg/3 bulan, secara subkutan implan.
- triptorelin (trelstar)
Dosis: 3.75mg/bulan, secara intramuskular
- Nafarelin (Synarel)
Dosis; 200mg , 2 kali /hari secara nasal spray.
Efek samping penggunaan agonis GnRH sendirian yaitu gejala defisiensi estrogen,
seperti kemerahan pada muka, insomnia, vagina kering, hilangnya libido, dan
hilangnya densitas tulang apabila terapi >6bulan, dan sembuh sempurna dalam 12-
24bulan setelah berhenti terapi.
Terapi Add-Back
Terapi add-back ini merupakan terapi pemberian estrogen pada terapi GnRH agonis
untuk mengatasi penurunan densitas tulang. Dengan pemberian estrogen, terapi
GnRH agonis dapat diberikan melebih 6 bulan. Jumlah rata-rata estradiol yang
dibutuhkan adalah 30-40 pg/mL.
Pemberian terapi add-back ini bisa secara langsung bersamaan dengan pemberian
GnRH agonis ataupun setelah 3-6 bulan terapi GnRH agonis.
Contoh:
- Norethindrone acetate 5mg/hari secara oral, dengan atau tanpa konjugasi equine
estrogen (Premarin) 0.625mg/hari secara oral selama 12 bulan
- Transdermal estradiol 25g dengan MPA 5mg oral/hari
Penghambat Aromatase
Jaringan endometriosis secara lokal memproduksi aromatase yang berperan dalam
sintesis estrogen.
- Anastrozole (Arimidex)
Efek samping penghambat aromatase: hipoestrogenik
Terapi Pembedahan
Indikasi terapi bedah pada endometriosis, yaitu:
1 Pasien dengan nyeri panggul
a.yang tidak memberikan respon pada penurunan, atau memiliki kontraindikasi untuk
terapi medis
b. yang memiliki adneksa akut (torsi adneksa atau ovarium kista pecah)
c. yang memiliki penyakit invasif yang parah yang melibatkan usus, kandung kemih,
ureter, atau saraf panggul
2 Pasien yang memiliki atau diduga memiliki endometrioma ovarium terutama
berukuran >= 2 cm (karena terapi hormonal saja tidak dapat menghilangkan secara
sempurna kista endometrioma yang dapat menyebabkan nyeri akut dari pecahnya
kista dan perdarahan internal.
Pembuangan lesi bisa secara eksisi maupun ablasi. Rekurensi sering terjadi setelah
eksisi dengan waktu median adalah 20 bulan setelah operasi. Adhesiolisis dianggap
efektif untuk menangani gejala nyeri pada wanita dengan endometriosis dengan
mempertahankan anatomi normal.
Reseksi Endometrioma
Presakral Neurektomi
Pada beberapa wanita, transeksi dari nervus presakral dalam triangulus interiliaka
dapat menyembuhkan nyeri pelvic kronik. Presakral neurektomi ini membutuhkan
teknik yang susah sehingga jarang digunakan sebagai tatalaksana nyeri pada
endometriosis.
Prosedur ini merupakan terapi yang paling efektif dan definitive untuk wanita dengan
endometriosis yang tidak membutuhkan fungsi reproduktifnya lagi. Wanita dengan
bilateral oophorectomy dengan histerektomi memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk
terjadi nyeri pelvic kronik dan 8 kali membutuhkan operasi tambahan dibandingkan
dengan wanita dengan oophorectomy bilateral. Oleh karena itu, histerektomi sendiri
tidak mempunyai peran dalam terapi nyeri pelvic kronik pada endometriosis sekunder.
BAB 3
KESIMPULAN
Referensi
1. Baggish Karram. Atlas of Pelvic Anatomy and Gynecologic Surgery , 3rd ed.
St.Louis: Elsevier; 2011
2. F. Gary Cunningham, MD, Kenneth J. Leveno, MD, Steven L. Bloom, MD, John
C. Hauth, MD, Dwight J. Rouse, MD, Catherine Y. Spong, MD. Williams Obstetrics,
23rd ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2010
4. Lauren Rubal, Robert Israel. Endometriosis, 5th ed. United State: Wiley-blackwell;
2010