You are on page 1of 6

POSITION PAPER

Country : Indonesia
Commite : Vocational Education Graduate Programe Student
Semarang State University
Name : Shohihatur Rohman / 0501517017 / prof.shoheh@gmail.com
University : Univeritas Negeri Semarang
Focus Issue : Full Day School Antara Harapan dan Realita
Background :
1. Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang
mengatur sekolah 8 jam sehari selama 5 hari alias full day school pada 12 Juni 2017.
2. Dengan sistem full day school ini secara perlahan, diharapkan anak didik akan
terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka
masih belum pulang dari kerja. Apakah hal ini sepenuhnya benar? atau yang
terjadi justru sebaliknya?
3. Berdasarkan Pasal 50 juncto Pasal 48 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, penyelenggaraan pendidikan dasar untuk anak, diarahkan kepada; a)
pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental
dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; b) pengembangan
penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; c) pengembangan rasa
hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-
nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan
peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; d) persiapan anak
untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e) pengembangan rasa hormat dan
cinta terhadap lingkungan. Belajar harus tidak terkekang, tetapi kembali
memanusiakan manusia dalam pembelajaran, menjadikan siswa sebagai
subyek pembelajaran, bukan objek pembelajaran.
4. Full Day School, delapan jam guru berkaitan dengan kinerja guru, fungsi delapan
jam tidak berarti mengajar, tapi dapat juga mengawasi siswa. Delapan jam tidak
berarti di dalam kelas, tapi dapat juga di luar sekolah. Siswa bisa menjadikan
lingkungan seperti tempat ibadah, lapangan sepak bola, museum, taman budaya,
sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya, sebagai sumber belajar. Apakah yang
kenyataan kegiatan pembelajaran yang terjadi demikian?

1
5. Perbedaan persepsi, pandangan dan pemahaman Full Day School antara masyarakat
di daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Sekolah seharusnya diberikan
keleluasaan untuk dapat mengatur pola pembelajaran dan jam belajar siswa di
luar jam prinsip pembelajaran di dalam sekolah, apakah hal ini sudah
dilaksanakan oleh sekolah yang menerapkan Full Day School?

FULL DAY SCHOOL ANTARA HARAPAN DAN REALITA

A. Overview Full Day School


Tulisan Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland berjudul "Why
Asians Are Less Creative Than Westerners (2001) berpendapat bahwa, pendidikan di
Indonesia cenderung berorientasi nilai, belum berorientasi pemahaman. Akibatnya kita
belajar hanya sekedar mengejar nilai bukan mendapatkan ilmu, berimbas pada proses
seleksi masuk kerja. Pengembangan pola pemikiran tentang sekolah memnag perlu
perbaikan dan pengembangan paradigma yang hanya berfokus pada hasil, bukan proses.
Kebijakan Full Day School yang dicanangkan Mendikbud Muhajir Effendi
menimbulkan pro dan kontra karena, meskipun mengurangi hari efektif belajar dan
menambah materi pembelajaran dalam satu hari untuk meningkatkan mutu akademik
siswa, hal ini dianggap memeras tenaga siswa karena harus pulang lebih lama dari
biasanya dan terkait dengan kemampuan mengajar guru juga.
Wacana dari Mendikbud ini kabarnya didasari karena pertimbangan besar atas
makin maraknya perilaku menyimpang, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, dan sikap
anomali lainnya. Selain itu Full Day School juga diharapkan mampu mendidik supaya
anak didik dapat terbangun karakternya dan tidak liar di luar sekolah ketika orangtuanya
belum pulang kerja. Bila menyimak pada tinjauan diatas maka dapat dipahami bahwa
program Full Day School memang cendrung memberi ruang yang lebih regresif
daripada menjadi progresif. Namun Full Day School ini sebenarnya dapat menjadi
program yang baik bila konteks ini disinggungkan pada soal pemerataan akses
pendidikan yang berpihak pada masyarakat miskin yang besar kemungkinan mereka tak
dapat memberikan tambahan pendidikan diluar jam sekolah seperti yang selama ini
dilangsungkan. Karena mereka yang kaya biasanya akan memberi tambahan les ataupun

2
kegiatan tambahan lainnya diluar jam sekolah. Beberapa sekolah seperti sekolah
terpadu, sekolah internasional, bahkan pondok pesantren sudah menerapkan sistem itu.
Istilah Full Day School berasal dari Bahasa Inggris, yaitu Sekolah Sepanjang
Waktu Namun Pengertian yang sebenarnya mengenai Full Day Schoo adalah sebuah
sekolah yang memberlakukan jam belajar sehari penuh antara jam 07.00-15.30/16.00.
Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak
dihabiskan di lingkungan sekolah dari pada di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah
lagi setelah menjelang sore. Full Day School juga memiliki kurikulum inti yang sama
dengan sekolah umumnya, namun mempunyai kurikulum lokal yang harus menjadi ciri
khas dari daerah masing masing asal sekolah. Dengan demikian kondisi anak didik
lebih matang dari segi materi akademik dan non akademik.
Peningkatan mutu tidak akan tercapai tanpa terciptanya suasana dan proses
pendidikan yang representative dan professional. Maka kehadiran Full day school
diharapkan dapat mengakomodir tuntutan-tuntutan diatas.

Gambar 1. Konsep Pelaksanaan Full Day School

Menurut Ifa H Misbach Pengamat Pendidikan sekaligus Kordinator Pusat Studi


Pendidikan Dan Kebijakan (PSPK), usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
terkait penambahan jam pelajaran anak di sekolah atau konsep full day school tidak

3
serta merta meningkatkan mutu pendidikan anak di sekolah. (kompasiana.com).
Banyak ahli pengembangan SDM menyatakan bahwa, seharusnya sekolah bukan
menjadi tempat mengerikan bagi anak sekolah, melainkan tempat aman, nyaman untuk
mengenyam pendidikan, bukan dipaksakan seperti ini. Selain itu, anak-anak juga diberi
kesempatan untuk bergaul di lingkungan sekitar agar tidak menjadi anak individualistis,
egois, arogan, pemberontak dan anti sosial. Jutru, anak-anak sekolah juga perlu
beradaptasi dengan lingkungan masyarakat dalam hal pengembangan karakternya.

B. Realita Full Day School


Kontemplasi ini merupakan hasil diskusi dan wawancara mendalam terhadap
beberapa siswa tingkat menegah pertama (15 siswa) dan atas (9 siswa), serta beberapa
guru yang sekolahnya telah menerapkan sistem FDS di Kota Semarang.
Konsisi Eksisting mengenai FDS di Kota Semarang
1. Ke Sekolah Hanya untuk Bergaul, Tanpa Semangat Belajar
Tanggapan ini dilontarkan oleh siswa menegah atas dan beberapa siswa tingkat
menengah pertama (7 orang siswa). Mengapa? karena mereka berniat ke sekolah
hanya untuk menemukan pergaulan semata, berkumpul dengan geng masing-
masing, dll. sementara akademik mereka dikesampingkan. Masalah ini muncul
karena siswa sering melihat sekolah hanya sebagai kewajiban semata dan bukan
untuk belajar dan menuntut ilmu. Contoh yang paling mudah adalah apabila geng-
geng sedang berisik di kelas dan tidak peduli akan peringatan guru. Siswa yang stres
akibat harus pulang lebih lama sama menderitanya dengan siswa yang stres akibat
kelasnya berisik.
2. Beban Psikologi Guru
Guru Beban Adminitrasi, Pembelajaran dan Pengawasan
Konsdisi siswa yang demikian, membuat guru mengalami stres dan frustasi apabila
tidak cukup sabar, belum ditambah dengan stres dan frustasi akibat faktor lainnya.
Beban psikologis ini, jika tidak segera ditangani dengan baik, akan berubah menjadi
keengganan guru untuk mendidik siswa. Ini adalah ujian bagi guru, apabila guru
cukup kuat untuk menangani hal ini maka ia akan selamat.

4
3. Terhambatnya materi belajar
Salah satu tujuan dari full day school adalah meningkatkan mutu akademik, namun
apabila poin 1 dan 2 telah terjadi, maka risikonya adalah terhambatnya materi
belajar. Risiko ini sangat krusial karena dapat menyebabkan turunnya mutu
akademik sekalipun dalam full day school. Sebagai contoh, karena murid tidak
kooperatif dan guru enggak untuk mengajar, maka pelajaran yang seharusnya sudah
selesai, karena kondisi yang demikian materi tidak tersampaikan dengan tuntas,
maka yang terjadi output akademik menjadi berkurang.
4. Apakah siswa benar-benar pulang ke rumah?
Bosan di Sekolah Jalan Jalan Dulu, Nongkrong, Dsb.
Salah satu Goal Setting dari full day school adalah tidak membiarkan siswa siswa
liar setelah pulang sekolah dan mengisi waktu siswa saat sore hari ketika tidak ada
orang tua di rumah. Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa setelah seharian siswa di
seoklah, maka otomatis dia akan kembali ke rumah dan tidak keluyuran. Mungkin
ada anak yang akan langsung pulang, namun ada juga yang tidak pulang hingga
malam untuk berbagai macam kegiatan bahkan keluyuran karena kebosanan di
sekolah. Kita tidak bisa menjamin apa yang mereka lakukan itu adalah hal-hal yang
positif, karena tidak jarang juga siswa pergi merokok, minum, atau berpacaran
hingga larut malam (sepertinya manfaat ini lebih cocok untuk siswa sekolah dasar)

C. Argumentasi Mengenai FDS


Saya sependapat apabila sistem FDS diterapkan pada sekolah sekolah yang
telah siap secara SDM serta infrastruktur yang memadai dan pada Tingkat Satuan
Pendidikan yang tepat. Saya tidak setuju apabila FDS ini diterapkan secara keseluruhan
tanpa melihat kesiapan dan kemampuan sekolah untuk melaksanakan sistem tersebut,
apalagi diterapkan pada seluruh tingkat satuan pendidikan. Pengembangan sikap,
karakter dan akademik siswa menjadi hal yang utama. Namun demikian jangan
memaksakan sebuah sistem yang belum tentu cocok dan sejalan dengan kebudayaan
bangsa Indonesia.
Pendidikan sejati akan melahirkan harapan baru dan generasi pemimpin. Di
mana ada pendidikan, di situlah akan bangkit peradaban yang agung. Karena itu,
berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan telah diupayakan dan diterapkan.

5
Sebagaimana kebijakan pendidikan berbasis karakter. Apabila kita melihat konsep
sekolah sehari penuh, berarti konsekuensinya adalah memberikan beban tanggung
jawab yang lebih besar kepada sekolah dan guru dalam mendampingi anak.
Untuk mendukung full day school, pendidikan karakter dan keaktifan siswa
juga harus terus dikuatkan. Meskipun kurikulum yang mengutamakan pendidikan
karakter dan keaktifan siswa sudah dilakukan sejak 2013, namun pada praktiknya masih
jauh dari perbaikan karakter dan peningkatan keaktifan siswa. Dukungan segala pihak
dibutuhkan di sistem ini, dari orang tua, guru, teman, dan yang terpenting adalah
kesadaran siswa itu sendiri. Dan sistem ini juga harus membuat siswa betah berada di
sekolah.

Pendidikan seharusnya mendidik manusia menjadi manusia seutuhnya, bukan objek


belajar tetapi subjek belajar, serta memanusiakan manusia serta guru sejati adalah
guru yang mampu menjadi guru tanpa harus menggurui [Shohihatur Rohman
0501517017]

You might also like