You are on page 1of 89

LAPORAN KEGIATAN

PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT PRIMER

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

OLEH :

dr. RAFIKA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
2017

1
F1. Upaya Promosi kesehatan dan pengembangan Pemberdayaan
Masyarakat

GASTRITIS

OLEH :

dr. Rafika

Pendamping :

dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Lubuk Buaya
Padang
2017

2
BAB I

PENDAHULUAN

Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,


kronik difus, atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak
pada epigastrium, mual dan muntah. Proses ini diawali oleh karena kesembronoan
diit, misalnya: makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan makanan yang terlalu
banyak bumbu, atau makanan yang terinfeksi. Inflamasi pada dinding gaster
terutama pada lapisan mukosa gaster. Proses peradangan mukosa akut, biasanya
bersifat transien. Peradangan pada mukosa lambung yang menyebabkan erosi dan
perdarahan mukosa lambung dan setelah terpapar pada zat iritan. Erosi tidak
mengenai lapisan otot lambung.
Gastritis merupakan salah satu masalah kesehatan saluran pencernaan
yang paling sering terjadi. Sekitar 10% orang yang datang ke unit gawat darurat
pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan di daerah epigastrium. Hal
ini mengarahkan para dokter kepada suatu diagnosa gastritis, dimana untuk
memastikannya dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang lainnya seperti
endoscopi. Penyakit gastritis yang terjadi di negara maju sebagian besar mengenai
usia tua. Hal ini berbeda dengan di negara berkembang yang banyak mengenai
usia dini.
Secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu adanya
kondisi yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat
eksternal yang menyebabkan iritasi dan infeksi.
Menurut data WHO (2005), kanker lambung merupakan jenis kanker
penyebab kematian terbanyak kedua setelah kanker paru yaitu mencapai lebih dari
1 juta kematian pertahun. Selain itu, gastritis juga memberikan merupakan
penyakit yang sangat mengganggu aktivitas dan bila tidak ditangani dengan baik
dapat juga berakibat fatal.

3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. DEFINISI
1. Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,
kronik difus, atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak
enak pada epigastrium, mual dan muntah.
2. Gastritis merupakan sutau keadaan peradangan atau perdarahan mukosa
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
3. Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan
mukosa gaster.
4. Gastritis adalah peradangan lokal atau penyebaran pada mukosa lambung
dan berkembang dipenuhi bakteri.

B. KLASIFIKASI
1. Gastritis Akut
Definisi
Proses peradangan mukosa akut, biasanya bersifat transien.
Peradangan superficial akibat terpapar oleh zat iritant seperti alcohol,
aspirin, steroid, asam empedu atau terinfeksi oleh Helicobacter Pylori.
Peradangan pada mukosa lambung yang menyebabkan erosi dan
perdarahan mukosa lambung dan setelah terpapar pada zat iritan. Erosi
tidak mengenai lapisan otot lambung.
Klasifikasi
a. Gastritis stress akut
yaitu disebabkan akibat pembedahan besar, luka, trauma, luka bakar atau
infeksi berat yang menyebabkan gastritis serta perdarahan pada lambung.
b. Gastritis erosife hemoragik difus

4
Biasanya terjadi pada peminum berat dan pengguna aspirin, dan dapat
menyebabkan perlunya reseksi lambung. Penyakit yang serius ini akan
dianggap sebagai ulkus akibat stress, karena keduanya memiliki banyak
persamaan.

Etiologi
- Kesembronoan diit, misalnya: makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan
makanan yang terlalu banyak bumbu, atau makanan yang terinfeksi
- Alkohol
- Aspirin
- Refluks empedu
- Terapi radiasi
- Gastritis akut yang lebih parah disebabkan oleh asam kuat atau alkali,
yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi
Manifestasi Klinis
1. Dapat terjadi ulserasi superficial dan mengarah pada hemoragi
2. Rasa tidak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan, mual,
dan anoreksia. Mungkin terjadi muntah dan cegukan
3. Beberapa pasien menunjukkan asimptomatik
4. Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi tidak
dimuntahkan, tetapi malah mencapai usus
5. Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun napsu makan
mungkin akan hilang selama 2 sampai 3 hari

2. Gastritis Kronis
Definisi
Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung
yang menahun. Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan
mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung
jinak maupun ganas atau oleh bakteri Helicobacter pylori.
Etiologi

5
Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi
iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi penyembuhan yang tidak
sempurna akibatnya akan terjadi atrhopi kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental
dan sel chief. Karena sel pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL.
Pepsin dan fungsi intrinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga
menjadi tipis serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi
perdarahan serta formasi ulser.
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini
menyerang sel permukaan gaster, memperberat timbulnya desquamasi sel dan
muncullah respon radang kronis pada gaster yaitu : destruksi kelenjar dan
metaplasia. Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap
iritasi, yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya dengan sel
desquamosa yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat maka
elastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan
gerakan peristaltic tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul
kekakuan yang pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga
menyebabkan hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung, sehingga akan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan pembuluh
darah ini akan menimbulkan perdarahan.
a. Gastritis tipe A:
- Dihubungkan dengan penyakit autoimun, misalnya anemia pernisiosa.
b. Gastritis tipe B:
- Dihubungkan dengan bakteri Helicobacter pylori.
- Faktor diet, seperti minum panas dan pedas.
- Penggunaan obat
- Alkohol
- Merokok
- Refluks isi usus ke lambung
Manifestasi klinis
- Bervariasi dan tidak jelas
- Perasaan penuh, anoreksia
- Distress epigastrik yang tidak nyata

6
- Cepat kenyang
- Mual dan muntah
- Nyeri epigastrium setelah makan
- Rasa pahit pada mulut

Klasifikasi
Klasifikasi gastritis kronis berdasarkan :
1. Gambaran histopatology
- Gastritis kronik superficial
- Gastritis kronik atropik
- Atrofi lambung
- Metaplasia intestinal
- Perubahan histology kalenjar mukosa lambung menjadi kalenjar-kalenjar
- mukosa usus halus yang mengandung sel goblet.
2. Distribusi anatomi
- Gastritis kronis korpus ( gastritis tipe A).
Sering dihubungkan dengan proses autoimun dan berlanjut menjadi
anemia pernisiosa karena terjadi gangguan absorpsi vitamin B12 dimana
gangguan absorpsi tersebut disebabkan oleh kerusakan sel parietal yang
menyebabkan sekresi asam lambung menurun.
- Gastritis kronik antrum (gastritis tipe B)
Paling sering dijumpai dan berhubungan dengan kuman Helicobacter
pylori.
- Gastritis tipe AB
Anatominya menyebar ke seluruh gaster dan penyebarannya meningkat
seiring bertambahnya usia.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya
antibodi H. pylori dalam darah. Hasil tes yang positif menunjukkan

7
bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada suatu waktu dalam
hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena
infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang
terjadi akibat pendarahan lambung akibat gastritis.
b. Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien
terinfeksi oleh bakteri H. pylori atau tidak.
c. Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori
dalam feses atau tidak. Hasil yang positif dapat mengindikasikan
terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap adanya darah
dalam feces. Hal ini menunjukkan adanya pendarahan pada lambung.
d. Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat
adanya ketidak normalan pada saluran cerna bagian atas yang mungkin
tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan
sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan
masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil.
Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum
endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman
menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat
mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30
menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini
selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang,
kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini.
Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada
tenggorokan akibat menelan endoskop.
e. Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya
tanda-tanda gastritis atau penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan
diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum dilakukan
ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih
jelas ketika di ronsen.

8
D. KOMPLIKASI
1. Gastritis akut
Komplikasi yang dapat timbul pada gastritis akut adalah hematemesis atau
melema.
2. Gastritis kronis
Pendarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia karena
gangguan absorpsi vitamin B12 (anemia pernisiosa).

E. PENDIDIKAN KESEHATAN
Makan dengan porsi sedikit tapi sering.
Jika pasien merasa lapar, jangan langsung minum minuman yang
mengandung kafein seperti teh, tapi digantikan dengan air putih hangat.
Bila maag kambuh karena terlambat makan, jangan langsung makan
makanan berat misalnya nasi, tapi digantikan dengan makanan ringan
seperti crackers.
Makan secara benar, hindari makan makanan yang dapat mengiritasi
terutama makanan yang pedas dan asam
Makan dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan
santai.
Mengunyah makanan sampai benar benar lumat.
Minum air putih yang banyak atau dapat digantikan dengan minuman ber-
ion.
Meminum obat sesuai dengan anjuran dokter.
Menjaga kebersihan lingkungan seperti alat alat makan, tempat tidur,dll.
Hindari untuk meminum alkohol,karena alkohol dapat mengiritasi dan
mengikis lapisan mukosa dalam lambung serta dapat mengakibatkan
peradangan dan perdarahan.
Hindari untuk merokok, karena dapat mengganggu kerja lapisan pelindung
lambung.
Lakukan olahraga secara teratur, misalnya senam aerobik. Senam aerobik
dapat meningkatkan kecepatan jantung dan pernafasan juga dapat

9
menstimulasi aktivitas otot usus sehingga membantu mengeluarkan
limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
Menghindari pemakaian aspirin saat merasa tidak enak badan, digantikan
dengan istirahat yang cukup.
Hindari pemakaian obat gabungan, untuk mengurangi efek negatif obat.
Hindari stress yang berlebihan.
Selalu memperhatikan pola makan pasien.
Membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya untuk mengurangi
rasa stress.
Memperhatikan pemakaian obat dan efek sampingnya.

G. PENATALAKSANAAN
Gastritis Kronik
1. Eradikasi Helicobacter pyroli
Dapat mengembalikan gambaran histopatologi menjadi normal.
2. Eradikasi dikombinasikan dengan penghambat pompa proton dan
antibiotik. Antibiotik dapat berupa tetrasiklin, metronidasol,
klaritromisin, dan amoksisilin. Untuk hasil pengobatan yang lebih baik
dapat digunakan lebih dari satu macam antibiotik.
3. Antagonis H2 (seperti ranitidine) dikombinasikan dengan penghambat
pompa proton
Dapat menurunkan sekresi asam lambung.
4. Pemberian vitamin B12 melalui parenteral
Untuk memperbaiki keadaan anemianya.
Gastritis Akut
1. Pemberian antasida
Mengatasi perasaan bengah (penuh) dan tidak enak di abdomen
dan menetralisir asam lambung dengan meningkatkan pH lambung
sekitar 4-6.
2. Gastrektomi
Pembedahan gaster dengan indikasi yang absolut.

10
Untuk klien dengan keluhan mual dan muntah dianjurkan untuk bedrest
dengan status NPO (nothing per oral), pemberian antimietik, dan
pemasangan infus untuk mempertahankan cairan tubuh.
o Bila muntah berlanjut, maka dipertimbangkan pemasangan NGT
(Nasogastric Tube)
o Klien yang mengalami anemia pernisiosa, maka diberikan injeksi
intravena cobalamin.
o Klien yang merupakan pengguna aspirin atau antiinflamasi
nonsteroid dapat dicegah dengan misoprostol, suatu derivat
prostaglandin mukosa.

11
Daftar Pustaka

Perry Potter. 2005. Fundamental of Nursing.


Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jilid I. Jakarta:
FKUI.
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: TIM
Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Vol 1 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Diane C. Baughman & Joann C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
LM, Wilson, Dkk.1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses
Penyakit. Jakarta : EGC
Setiadi. 2007. Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Price, and Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Hirlan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi Ketiga. Jakarta:
EGC.

12
LAMPIRAN

NAMA PESERTA : dr. RAFIKA Tanda tangan :


Nama Pendamping : dr. Sandra Andria Fitri Tanda tangan :
Nama wahana Puskesmas lubuk buaya
Tema penyuluhan Gastritis
Tujuan penyuluhan Upaya pencegahan dan penanganan
Gastritis

Hari/tanggal selasa, 2 agustus 2017


Waktu 08.00 sampai selesai
Tempat Puskesmas lubuk buaya
Jumlah peserta 20 orang

13
14
F2 Upaya Kesehatan Lingkungan

HOME VISITE

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

OLEH :

Dr. RAFIKA

PENDAMPING :

Dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Lubuk Buaya
Padang
2017

15
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit


tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja.
Data badan kesehatan dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan
menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan
jumlah pasien PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta
pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5-6,7% seperti di Cina
dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens 5,6%.
Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalens PPOK. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari
10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Seiring dengan majunya tingkat perekonomian dan industri otomotif,
jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Tujuh
puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang
kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%.
Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko
terhadap PPOK, maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat.

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktrif Kronik (PPOK)


2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non
reversibel atau reversibel parsial dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.

2.1.2 Epidemiologi
Data badan kesehatan dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia dan akan
menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan
jumlah pasien PPOK sedang hingga berat di Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta
pasien dengan prevalens 6,3%. Angka prevalens berkisar 3,5-6,7% seperti di Cina
dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens 5,6%.
Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang prevalens PPOK. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari
10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Seiring dengan majunya tingkat perekonomian dan industri otomotif,
jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Tujuh
puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang
kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%.
Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko
terhadap PPOK, maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat.

2.1.3 Faktor Resiko


Beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK antara lain:
1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok
17
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah
batang rokok perhari dan lamanya merokok (Indeks Brinkman).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600

2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar
dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan
beratnya PPOK. Polusi udara terbagi menjadi:
a. Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun
3. Stres oksidatif
Paru setelah terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti
derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme selular
signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang
18
berkembang secara sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk misalnya
ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres
oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi
paru.

4. Infeksi saluran napas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasai bakteri menyebabkan inflamasi jalan
napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko
PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema.
Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas
pada usia lebih dari 40 tahun.

5. Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat,
nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial
ekonomi kemungkinan sebagai faktor risiko PPOK. Malnutrisi dan
penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot
respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot.

6. Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan,
dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru
seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan bahwa
berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.

7. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan
-1 antitrypsin sebagai inhibitor dan protease serin. Sifat resesif ini jarang,
paling sering dijumpai pada individu yang berasal dari Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan enfisema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan -1 antitrypsin yang berat.

2.1.4 Klasifikasi

19
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK
diklasifikasikan ke dalam (Gold 2010):1
Derajat Klinis Faal paru
Gejala klinis (batuk, produksi normal
sputum)
Derajat I: PPOK Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%
ringan aputum ada tetapi tidak sering. VEP1 80% prediksi
Pada derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa faal paru
mulai menurun
Derajat II: Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%
PPOK sedang aktivitas dan kadang ditemukan 50% < VEP1 < 80%
gejala batuk dan produksi sputum. prediksi
Pada derajat ini biasanya pasien
mulai memeriksakan
kesehatannya
Derajat III: Gejala sesak lebih berat, VEP1/KVP < 70%
PPOK berat penurunan aktivitas, rasa lelah 30% < VEP1 < 50%
dan serangan eksaserbasi semakin prediksi
sering dan berdampak pada
kualitas hidup pasien
Derajat IV: Gejala diatas ditambah tanda- VEP1/KVP < 70%
PPOK sangat tanda gagal napas atau gagal VEP1 < 30% prediksi
berat jantung kanan dan ketergantungan atau VEP1 < 50%
oksigen. Pada derajat ini kualitas prediksi disertai
hidup pasien memburuk dan jika gagal napas kronik
eksaserbasi dapat mengancam
jiwa

2.1.5 Patogenesis
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respons
inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Inflamasi paru diperberat
oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan
pola peradangan yang melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini
melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam
saluran udara dan parenkim paru-paru.

20
2.1.6 Patofisilogi
Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala
yang khas, misalnya penurunan VEP1 yang disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun terjadi
akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema.
1) Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan ciaran eksudat di lumen saluran
napas kecil berkolerasi dengan penuruna VEP1 dan rasio VEP1/KVP.
Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan
napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan emngakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti
peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan, yang
terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan.
Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme
utama timbulnya sesak napas pada aktivitas.

2) Mekanisme pertukaran gas


Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan
hipoksemia dan hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme.
Secara umumpertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung.
Tingkat keparahan emfisema berkolerasi dengan PO2 arteri dan tanda lain
dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
3) Hipersekresi
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus
melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.
4) Gambaran sistemik

21
Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF- IL-6,
dan radikal bebas, dapat mengakibatkan peningkatan proses osteoporosis,
depresi dan anemia kronik. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler,
berkolerasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).

5) Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau polusi lingkungan. Pada eksaserbasi ringan dan sedang
terdapat peningkatan neutrofil, beberapa studi juga menemukan eosinofil
dalam sputum dan dinding saluran napas. Pada eksaserbasi berat, salah
satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran
napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat
peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengann pengurangan
aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas.
Gejala eksaserbasi: sesak bertambah, produksi sputum meningkat,
perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen). Eksaserbasi akut
dibagi menjadi 3: tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala, tipe II
(eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala, tipe III (eksaserbasi ringan),
memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas atau lebih dari 5 hari,
demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi >
20% nilai dasar.

22
2.1.7 Diagnosis
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang

23
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

3. Pemeriksaan Rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred.) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%.
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

24
Darah rutin
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Trombosit
- Leukosit
- Analisa gas darah
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

4. Pemeriksaan penunjang lanjutan


Faal paru lengkap
Uji latih kardiopulmoner
Uji provokasi bronkus
Analisa gas darah
Radiologi
EKG
Ekokardiografi
Bakteriologi
Kadar -1 antitripsin

25
2.1.8 Diagnosis banding
1. Asma
- Onset awal sering pada anak
- Gejala bervariasi dari hari ke hari
- Gejala pada malam/menjelang pagi
- Disertai atopi, rinitis atau eksim
- Riwayat keluarga dengan asma
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara
- Reversibel

2. Gagal jantung kongestif


- Auskultasi terdengar rhonki halus di bagian basal
- Foto thoraks tampak jantung membesar, edema paru
- Uji faal paru menunjukkan restriksi

3. Bronkiektasis
- Sputum produktif dan purulen
- Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
- Auskultasi terdengar rhonki kasar
- Foto thoraks/CT-Scan menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus

4. Tuberkulosis
- Onset segala usia
- Foto thoraks menunjukkan infiltrat
- Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
- Prevalens tuberkulosis tinggi didaerah endemik

5. Bronkiolitis obliterans
- Onset pada usia muda, bukan perokok
- Mungkin memiliki riwayat rheumatois arthritis atau pajanan asap
- CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens

6. Panbronkiolitis difus

26
- Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
- Hampir semua menderita sinusistis kronik
- Foto thoraks dan HRCT torkas menunjukkan nodul opak menyebar
kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi.

2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK secara umum, meliputi: edukasi, berhenti
merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, nutrisi.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
Melaksanakan pengobatan yang maksimal
Mencapai aktiviti optimal
Meningkatkan kualitas hidup

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:


Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut:
Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
27
Tanda eksaserbasi:
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

2. Obat obatan4
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
b. Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis -2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
ml.

28
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi
tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.

3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Manfaat oksigen: mengurangi sesak, memperbaiki
aktivitas, mengurangi hipertensi pulmoner, mengurangi vasokontriksi,
mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan
kualitas hidup.

29
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Tn.S
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl.Adinegoro no 25
No.MR : 026690
Masuk RS : 12 Agustus 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan utama :
Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu, sesak menciut, sesak
dirasakan terus-menerus, sesak semakin meningkat saat beraktivitas, berkurang
dengan posisi duduk, sesak tidak dipengaruhi oleh emosi, cuaca maupun makanan.
Riwayat sesak sejak 2 tahun yang lalu, sesak dirasakan hilang timbul, sesak
berkurang setelah minum obat salbutamol dan teosal, namun 1 hari yang lalu
keluhan sesak tidak berkurang setelah minum obat.
Batuk sejak 2 minggu yang lalu, batuk berdahak warna putih kehijauan. Riwayat
batuk sejak 2 tahun, batuk berdahak warna putih.
Batuk darah tidak ada, riwayat batuk ada tidak ada.
Nyeri dada tidak ada, riwayat nyeri dada tidak ada.
Demam sejak 2 minggu yang lalu, demam dirasakan naik turun, tidak mengigil
ataupun berkeringat malam hari.
Nyeri ulu hati sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk
sampai ke punggung, nyeri bertambah saat perut kosong dan berkurang setelah
makan. Riwayat mual dan muntah tidak ada.

30
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat sesak 2 tahun
- Riwayat alergi hidung (+)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)

Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi obat atau makanan (-)
- Riwayat TB paru (-)

Riwayat sosial dan ekonomi :


Pasien seorang pekerja trayek di jalan. Pasien merokok sejak umur 18 tahun dan berhenti
merokok saat umur 50 tahun, pasien merokok 3 bungkus/hari.
Indeks Brinkman: 32 tahun x 60 batang/hari = 1920 (berat)

3.3 Pemeriksaan fisik


a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmnetis cooperatif
Tanda vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernafasan : 26x/menit
Suhu : 37,7oC

Keadaan gizi : baik


TB : 156 cm
BB : 46 kg
BMI : 18,9

31
b. Status generalisata
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH2O
Thorax :
Paru, anterior : inspeksi : statis simetris kanan-kiri
Dinamis simetris kanan-kiri
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki -/-

Posterior : inspeksi : statis simetris kanan-kiri


Dinamis simetris kanan-kiri
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing +/+, rhonki -/-
Jantung : inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 1 jari medial linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : batas jantung:
Atas : SIC II
Kanan : linea parasternalis dextra
Kiri : 1 jari medial linea midclavicularis sinistra
Bawah : SIC V
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, bising jantung (-)

Abdomen : inspeksi : perut tampak datar, tidak ada scar


Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

3.4 Pemeriksaan penunjang


a. Darah rutin
- Hb : 13,9 g/%
- Ht : 41 %
- Leukosit : 13.000/mm3
- Trombosit : 249.000/mm3
- Kesan: leukositosis

32
3.5 Resume
Tn.S 57 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu, sesak
meningkat saat beraktivitas. Batuk berdahak sejak 2 tahun. Demam, nyeri ulu hati. Pasien pekerja
trayek dan memiliki kebiasaan merokok 32 tahun sebanyak 1 bungkus/hari. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ekspirasi memanjang, wheezing (+/+). Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis.

3.6 Diagnosis
a. Diagnosa utama: PPOK eksaserbasi akut
b. Diagnosa tambahan: Dispepsia
3.7 Diagnosis banding
a. Asma
b. TB Paru

3.8 Rencana pemeriksaan


a. Sputum BTA

3.9 Penatalaksanaan
O2 nasal kanul 2 liter/menit
Nebulizer: Farbivent 2,5 ml 6 x 1
Oral: - propepsa syr 3 x 1 sdm
- Azitromisin 1 x 500 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg

33
F3. upaya Kesehatan Ibu dan Anak KIA Serta keluarga berencana (KB)

KELUARGA BERENCANA

(KB SUNTIK 3 BULAN )

OLEH :

Dr. RAFIKA

PENDAMPING :

Dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Lubuk Buaya
Padang
2017

34
KB SUNTIK 3 BULANAN

I. Definisi
Keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan
suami istri untuk mendapatkan objectif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak
diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran
dalam hubungan dengan umur suami istri,menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Kontrasepsi adalah usaha atau upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan

Alat kontrasepsi adalah berupa cairan yang berisi hanya hormon progesterone
disuntikkan ke dalam tubuh wanita secara periodic

II. Tujuan Suntikan (Jnjectables)


Salah satu tujuan utama dari penelitian kontrasepsi adalah untuk mengembangkan
metode kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan
pemakaian setiap hari atau setiap akan bersenggama, tetapi tetap revesibel.

III. Jenis Kontrasepsi KB Suntikan


1. Depo Medroksi Progesterone Acetate (DMPA), mengandung 150 mg DMPA, yang
diberikan setiap 3 bulanan dengan cara disuntik intramuscular (di daerah bokong)
2. Depo Nuretisteron Enantat (NETEN) (Depo Noristerat), yang mengandung 200 mg
noretindron enantat, diberikan setiap 2 bulan dengan cara disuntik intra muscular
3. Golongan progestin dengan campuran estrogen propibnat, misalnya cyclofem (tiap
1bulan).
IV. Mekanisme kerja suntikan KB
1. Menghalangi pengeluaran FSH dan LH sehingga tidak terjadi pelepasan ovum.
2. Mengentalkan lendir mulut rahim/lendir serviks, sehingga spermatozoa (sel mani)
tidak dapat masuk ke dalam rahim.
3. Menipiskan endometrium, sehingga tidak siap untuk kehamilan.
4. Menghambat transportasi gamet oleh tuba.

35
V. Efek Samping
1. Gangguan siklus haid
2. Depresi
3. Keputihan (leukorea)
4. Jerawat
5. Rambut rontok
6. Perubahan berat badan (BB)
7. Pusing/sakit kepala/migrant
8. Perubahan libido/dorongan seksual
VI. Efektivitas
kedua kontrasepsi suntik tersebut memiliki efektivitas (angka keberhasilannya)
yang tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan-tahun, asal penyuntikannya
dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan.

VII. Keuntungan
1. Sangat efektif
2. Pencegahan kehamilan jangka panjang
3. Tidak terpengaruh terhadap hubungan suami isttri
4. Tidak mengandung estrogen sehingga tidak berdampak serius terhadap penyakit
jantung dan gangguan pembekuan darah
5. Tidak memiliki pengaruh terhadap ASI
6. Sedikit efek samping
7. Klien tidak perlu menyimpan obat suntik
8. Dapat digunakan oleh perempuan usia > 35 tahun sampai peremena pause
9. Membantu mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik.
10. Menurunkan kejadian penyakit jinak dan payudara
11. Mencegah beberapa penyebab penyakit radang panggul
12. Menurunkan krisis anemi bulan sabit (sickle cell)
VIII. Kerugian
1. Perdarahan yang tidak membantu.
2. Terjadinya amenorea (tidak datang bulan) berkepanjangan.
36
3. Masih kemungkinan hamil.
4. Permasalajhan berat badan merupakan efek samping tersering.
5. Terlambatnya kembali kesuburan setelah menghentikan pemakaian.
6. Terjadinya perubahan jangka panjang dapat sedikit menurunkan kepadatan tulang.
7. Pada penggunaan jangka panjang menimbulkan kekeringan pada vagina, menurunkan
libido, gangguan emosi (jarang) sakit kepala mervositas, jerawat.
8. Pada penggunaan jangka panjang dapat sedikit menurunkan kepadatan tulang.
IX. Yang Dapat Menggunakan Kontrasepsi Suntik KB
1. Usia reproduksi
2. Nulipara yang telah memiliki anak
3. Menghendaki kontrasepsi jangka panjang dan yang memiliki efektivitas tinggi
4. Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai
5. Setelah melahirkan dan tidak menyusui
6. Setelah abortus atau keguguran
7. Telah banyak anak, tetapi belum menghendaki tubektomi
8. Perokok
9. Tekanan darah < 180/110 mmHg, dengan maslah gangguan pembukaan darah atau
anemia bulan sabit.
10. Menggunakan obat untuk epilepsy (fenitoin dan barbiturate) atau obat tuberkolosis
(nfampisih).
11. Tidak dapat menggunakan kontrasepsi yang mengandung estrogen.
12. Sering lupa menggunakan pil kontrasepsi.
13. Anemia defisiensi besi.
14. Mendekati usia menopause yang tidak mau atau tidak boleh menggunakan pil
kontrasepsi kombinasi.
X. Yang Tidak Boleh Menggunakan Kontrasepsi Suntikan
1. Hamil atau dicurigai hamil (risiko caat pada janin 7 per 100.000 kehamilan)
2. Perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya
3. Tidak dapat menerima terjadinya gangguan haid, terutama amenorrhea.
4. Menderita kanker payudara atau riwayat kanker payudara

37
5. Diabetes mellitus disertai komplikasi
XI. Waktu Pemberian Suntikan KB
1. Pasca persalinan
- Segera ketika masih di rumah sakit
- Jadwal suntikan berikutnya
2. Pasca abortus
- Segera setelah perawatan
- Jadwal waktu suntikan diperhitungkan
3. Interval
- Hari kelima menstruasi
- Jadwal waktu suntikan diperhitungkan
Jadwal suntikan diperhitungkan dengan pedoman :

1. Depoprovera : interval 12 minggu


2. Nurigest : interval 8 minggu
3. Cycloflem : interval 4 minggu
Dengan pedoman tersebut peserta KB dapat diperhitungkan kedatangan dengan tegang
waktu yang cukup jelas.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Penaggulangan Efek Samping/Komplikasi Kontrasepsi Proyek Peningkatan Upaya


Kesehatan SM-PFA propinsi Jawa Timur tahun 2002.
2. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi / Hanafi Hartono Cet. 5 Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan 2004
3. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta. EGC. 1998
4. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta. YBSP. 2003
5. Sarwono, Prawirohawrdjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta. YBSP. 2003

39
TINJAUAN KASUS

DENGAN KB SUNTIK DEPOPROGESTIN

I. DATA
Tanggal : 04-06-2017 Jam : 09.30 WIB

A. Data Subyektif
1. Biodata
Nama pasien : Ny. E Nama suami : Tn. T

Umur : 21 tahun Umur : 21 tahun

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : swasta

Suku/bangsa : Minang /Indonesia Suku/bangsa : Minang /Indonesia

2. Status perkawinan
Perkawinan ke :I

Lama kawin : 3 tahun

Umur kawin : 19 tahun

3. Keluhan utama
Pasien datang untuk KB sutik 3 bulan kunjungan ulang tanpa keluhan

4. Riwayat kebidanan
Haid
Menarche : 14 tahun

Siklus : Tiap bulan teratur 28 hari dan tiap haid

Lama haid : 7-8 hari

40
Banyaknya :- Hari ke 1-3 sebanyak 3 softek/hari merah kehitaman

- Hari ke 3-4 sebanyak 2 softek/hari warna merah segar


- Hari ke 5-7 sebanyak 2 softek/hari warnanya kecoklatan
Baunya : Khas / anyir

Fluor albus : Tidak ada

Disminor : Kadang-kandang ibu merasakan sakit saat haid (nyeri haid)

5. Riwayat KB yang lalu


Ibu mengatakan mulai pertama melakukan KB suntik. Ibu mengatakan mempunyai 1
orang anak yang usianya 11 bulan.

6. Riwayat kesehatan sekarang


Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit kronis, seperti kanker atau
keganasan, penyakit menurun, seperti jantung berdebar-debar cepat dan sakit, DM,
hipertensi dan penyakit menular, seperti TBC dan hepatitis.

7. Riwayat kesehatan yang lalu


Ibu mengatakan tidak pernah menderita penyakit kronis seperti kanker atau
keganasan, penyakit menurun, seperti jantung berdebar-debar cepat dan sakit, DM,
hipertensi dan penyakit menular, seperti TBC dan hepatitis.

8. Penyakit kesehatan keluarga


Ibu mengatakan dalam keluarganya tidak pernah menderita penyakit kronis seperti
kanker atau keganasan, penyakit menurun, seperti jantung berdebar-debar cepat dan sakit,
DM, hipertensi dan penyakit menular, seperti TBC dan hepatitis.

9. Pola kebiasaan sehari-hari


a. Pola nutrisi
Sebelum KB : Makan 3 x sehari dengan porsi sedang (nasi, lauk pauk, sayur)

Selama KB : makan 3 x sehari porsi cukup, gizi seimbang, (nasi, lauk pauk, sayur)
dan kadang-kadang buah. minum 5-6 gelas/hari dengan air putih, the
manis, es

b. Pola eliminasi
41
Sebelum KB : BAK 3-4 x sehari, jernih, bau khas, tidak nyeri

BAB 1 x sehari, warna kuning, konsistensi lunak, tidak nyeri

Selama KB : BAK 3-4 x sehari, warna kuning jernih, bau khas

BAB 1 x sehari, warna kuning, konsistensi lunak, tidak nyeri

c. Pola aktivitas
Sebelum KB : Ibu selalu bangun pagi melakukan pekerjaan rumah tangga dan
menyiapkan keperluan suami untuk bekerja

Selama KB : Ibu tetap bangun pagi melakukan pekerjaan rumah tangga dan
menyiapkan keperluan suami untuk bekerja

d. Pola istirahat
Sebelum KB : Siang ibu tidur siang tapi tidak tentu waktunya. malam ibu mulai
tidur pukul 21.00-04.00 WIB tidur dengan nyenyak

Selama KB : Siang ibu tidur siang tapi tidak tentu waktunya. malam ibu mulai
tidur pukul 21.00-04.00 WIB tidur tidak nyenyak karena anaknya
masih kecil

e. Pola kebersihan/ personal hygiene


Sebelum KB : Mandi 2 x sehari, gosok gigi 2 x sehari, ganti pakaian luar dalam 2 x
sehari,keramas 3 x seminggu

Selama KB : Mandi 2 x sehari, gosok gigi 2 x sehari, ganti baju luar dalam 2 x

sehari,keramas 3 x seminggu

f. Pola seksualitas
Sebelum KB : Klien mengatakan hubungan suami istri 2 kali dalam seminggu

Selama KB : Klien mengatakan hubungan suami istri 2 kali dalam seminggu

g. Pola kebiasaan

42
Sebelum KB : Ibu tidak merokok, tidak minum-minuman keras, dan lain-lain

Selama KB : Ibu tidak merokok, tidak minum-minuman keras, dan lain-lain

10. Riwayat psikososial


Ibu mengatakan bahwa seuami sangat mendukungnya dalam mengikuti program KB
yang sekarang ia gunakan.

B. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmetis

Postur tubuh : Tegak

BB : 50 kg

TTV : TD : 110/70 mmHg N : 80 x/menit

S : 36oC RR : 20 x/menit

b. Pemeriksaan Fisik Khusus


Inspeksi
Kepala : Kulit kepala bersih, tidak ada ketombe, rambut hitam pendek, tidak
rontok

Muka : Tidak pucat, tidak ada jerawat, tidak ada flek hitam

Mata : Simetris, konjungtiva tidak anemis, tidak tampak icterus

Hidung : Simetris, bersih, tidak ada secret polip

Telinga : Simetris tidak ada serumen

Mulut : Simetris tidak tampak kering, gigi bersih, putih, tidak caries, tidak ada
stomatitis

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, dan tidak ada pembesaran kelenajr
vena jugularis

43
Dada : Simetris, tidak ada penarikan vena jugularis, tidak tampak adanya
benjolan abnormal, putting susu menonjol dan keluar ASI

Ketiak : Bersih, tidak ada benjolan kelenjar limfe

Perut : Tidak ada bekas operasi

Genetalia : Bersih, tidak tampak varises, tidak tampak flour albus

Ekstremitas

Atas : Simetris, fungsi pergerakan sendi bebeas, tidak odem

Bawah : Simetris, pergerakan sendi bebas, tidak ada varices

Palpasi
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, kelenjar limfe dan bendunganvena
jugularis

Dada : Tidak ada benjolan abnormal, tidak ada nyeri tekan, keluar ASI

Abdomen : tidak teraba adanya masa kandung kemih dan uterus tidak membesar

Auskultasi
Dada : Ronchi (-), Wheezing (-)

Perut : Bising Uterus (+)

Perkusi
Tidak terkaji

Pemeriksaan penunjang
Tidak terkaji

Kesimpulan
P10001 dengan akseptor KB suntik 3 bulan kunjungan ulang

II. INTERPRETASI DATA DASAR


Dx : Ny E dengan akseptor KB suntik depo progestin

44
Ds : - Pasien mengatakan umur 21 tahun

- Pasien mengatakan anaknya umur 11 bulan


- Pasien mengatakan sudah waktunya kembali suntik
DO : Keadaan umum baik

TTV TD : 110/70 mmHg

N : 80 x/menit

S : 36oC

RR : 20 x/menit

BB : 50 kg

Masalah : Tidak ada

Kebutuhan : - Konseling

- Personal hygiene
- Gizi seimbang (nutrisi)
- Olah raga
- Pengaturan diet
- Istirahat

III. ANTISIPASI MASALAH POTENSIAL


Tidak ada

IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA


Tidak ada

V. RENCANA/INTERVENSI
Tanggal 04-06-2017 Jam 09.00 WIB

Dx : Ny E dengan akseptor KB suntik depo progestin

45
Tujuan :pasien mengerti tentang program KB tersebut dengan gangguannya

Kriteria hasil : - Pasien dapat menjelaskan kembali penjelasan dari petugas

- BB : 50 kg
- TD : 110/70 mmHg
- N : 80 x/menit
- S : 36oC
- RR : 20 x/menit
Rencana :

1. Lakukan pendekatan pada pasien


Riwayat Menjalin hubungan yang baik kepada ibu sehingga ibu lebih kooperatif

2. Lakukan penjelasan tentang kebutuhan pasien


Riwayat Untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pasien

3. Lakukan pemeriksaan TTV


Riwayat Untuk mengetahui kondisi pasien

4. Lakukan injeksi KB suntik Depoprogestin


Riwayat Untuk melaksanakan asuhan kebidanan KB sesuai pilihan KB

5. Anjurkan pada pasien untuk kembali 3 bulan lagi


Riwayat Memberi injeksi KB depo progestin ulangan

VI. IMPLEMENTASI
Tanggal 04-06-2017 Jam 09.00 WIB

Dx : Ny E dengan akseptor KB suntik depo progestin

1. Melakukan pendekatan pada pasien untuk mengajari kerjasama dan hubungan yang saling
percaya antar tim medis dengan klien dengan cara menyapa dan memberi salam.
2. Menjelasakan pada pasien tentang kebutuhan
3. Melakukan pemeriksaan TTV
BB : 50 kg

46
TD : 110/70 mmHg

N : 80 x/menit

RR : 20 x/menit

S : 36oC

4. Melakukan injeksi KB Depoprogestin 3 bulan secara IM


5. menganjurkan pada pasien untuk olahraga kecil sewajktu santai agar memperlancar peredaran
darah, otot-otot, supaya tetap sehat
6. Menganjurkan pada pasien untuk kembali 3 bulan lagidengan tujuab pemberian injeksi KB
depo progestin ulangan lagi tanggal 28 agustus 2017

47
F4 Upaya perbaikan Gizi Masyarakat

Malnutrisi Energi Protein

OLEH :

Dr. RAFIKA

PENDAMPING :

Dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Lubuk Buaya
Padang
2017

48
PENDAHULUAN

Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di
Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur lima tahun (balita) serta
pada ibu hamil dan menyusui. Berdasarkan Riskesdas 2007, 13% balita menderita gizi kurang
dan 5,4% balita menderita gizi buruk. Pada Risdesdas 2010, 13% balita menderita gizi kurang
sedangkan angka gizi buruk turun menjadi 4,9% 1,2.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi protein, MEP diklasifikasikan menjadi
MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum
menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak
kurus. Pada gizi buruk, di samping gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan
bentuk klinis. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor, marasmus, dan
marasmik kwashiorkor, walaupun demikian penatalaksanaannya sama 2.
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi protein berat dan
asupan kalori yang tidak adekuat. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake
protein yang berlangsung kronis. Anak penderita kwashiorkor secara umum mempunyai ciri-ciri
pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites 3,4.
Pentingnya memperhatikan asupan makanan bagi anak harus disadari oleh semua orang
tua agar tidak terjadi defisit kronis yang menyebabkan kwashiorkor. Di sisi lain orang tua tidak
semua paham akan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan anak. Orang tua juga perlu
mengetahui ciri-ciri bila anak menderita kwashorkor dan memerlukan tindakan kuratif 3,4.
Klasifikasi MEP berdasarkan WHO-NCHS
Menurut pengukuran berat badan:
a. MEP Ringan (BB/U) 70-80% atau (BB/TB) 80-90%
b. MEP Sedang (BB/U) 60-70% atau (BB/TB) 70-80%
c. MEP Berat (BB/U) <60% atau (BB/TB) <70%
Menurut bentuk klinis:
a. Marasmus
b. Kwashiorkor
c. Marasmus-Kwashiorkor

49
Tanpa melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah
MEP berat/ gizi buruk tipe Kwashiorkor.

Klasifikasi menurut McLarren


Gejala klinis/laboratoris Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau prot total serum Keterangan:

<1.00 <3.25 7 0-3 = marasmus


1-1.49 3.25-3.99 6 4-8 = marasmik kwashiorkor
1.50-1.99 4.00-4.75 5
9-15 = kwashiorkor
2.00-2.49 4.75-5.49 4
2.50-2.99 5.50-6.24 3
3.00-3.49 6.25-6.99 2
3.50-3.99 7.00-7.74 1
>4.00 >7.75 0

DEFINISI
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi protein berat dan
asupan kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang
berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi
vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut.
Kwashiorkor berarti anak tersingkirkan, yaitu anak yang tidak lagi menghisap, dapat menjadi
jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sudah menyapih dari ASI.
Walaupun pertambahan tinggi dan berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah
sama dengan tinggi dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik 3,4.

50
ETIOLOGI
Etiologi dari kwashiorkor adalah
1. Kekurangan intake protein
2. Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3. Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan infeksi kronik
4. Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung


kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain 8:
1. Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan
berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan
mengandung protein / asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya
mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI
protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya
pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi
kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan
politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah
berlangsung turun temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.

3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat
mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat

51
ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Seperti gejala malnutrisi protein
disebabkan oleh gangguan penyerapan protein, misalnya yang dijumpai pada keadaan diare
kronis, kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi saluran
pencernaan, serta kegagalan mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.

Gambar 1. Mekanisme edema pada kwashiorkor

MANIFESTASI KLINIS
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi protein
kwashiorkor, antara lain 5,6:
1. Wujud Umum
Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas,
adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada tanda moon face dari akibat
terjadinya edema. Penampilan anak kwashiorkor seperti anak gemuk (sugar baby).
2. Retardasi Pertumbuhan

52
Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga
kurang dibandingkan dengan anak sehat.
3. Perubahan Mental
Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium lanjut bisa
menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi pasif. Perubahan mental bisa
menjadi tanda anak mengalami dehidrasi. Gizi buruk dapat mempengaruhi perkembangan mental
anak. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan hal tersebut: karakteristik perilaku anak yang
gizinya kurang menyebabkan penurunan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini
selanjutnya akan menimbulkan outcome perkembangan yang buruk, hipotesis lain mengatakan
bahwa keadaan gizi buruk mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak.
4. Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat. Edemanya
bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan
hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.

Gambar 1. Edema pada kwashiokor

5. Kelainan Rambut
Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture), maupun
warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah tercabut

53
tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering,
jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu mata menjadi panjang. Rambut yang
mudah dicabut di daerah temporal (Signo de la bandera) terjadi karena kurangnya protein
menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang rusak. Rambut terdiri dari
keratin (senyawa protein) sehingga kurangnya protein akan menyebabkan kelainan pada rambut.
Warna rambut yang merah (seperti jagung) dapat diakibatkan karena kekurangan vitamin A, C,
E.
Gambar 2. Kelainan rambut pada kwashiorkor

6. Kelainan Kulit
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit karena habisnya
cadangan energi maupun protein. Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang
khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-
bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan. Terutama bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh
keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan
sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil merah yang dalam
waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan
memperlihatkan bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih

54
hitam oleh hiperpigmentasi. Kurangnya nicotinamide dan tryptophan menyebabkan gampang
terjadi radang pada kulit.

Gambar 3. Crazy pavement dermatosis

7. Kelainan Gigi dan Tulang


Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan
pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita.
8. Kelainan Hati
Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang hampir
semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis,
dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor lipotropik.
9. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain,
terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat.
Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah
seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari
hipoplasia atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun.
Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya
terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen.

55
10. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus
terjadi perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus sehingga menurunkan produksi enzim
pankreas terutama lipase.
11. Kelainan Jantung
Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan hipokalemi
dan hipomagnesemia.
12. Kelainan Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadang-kadang
demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat
diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar penderita. Hal ini terjadi
karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan
malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi
akibat defisiensi garam empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi
mukosa usus halus. Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi defisiensi enzim disakaridase.
13. Atrofi Otot
Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga dibakar untuk dijadikan
kalori demi penyelamatan hidup.
14. Kelainan Ginjal
Malnutrisi energi protein dapat mengakibatkan terjadi atrofi glomerulus sehingga GFR
menurun.

56
Gambar 3. Manifestasi klinis kwashiorkor pada anak

DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak kurus, atau berat
badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak mau makan, sering menderita sakit
yang berulang atau timbulnya bengkak pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh 6,7.
Pemeriksaan Fisik
1. Perubahan mental sampai apatis
2. Anemia
3. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok
57
4. Gangguan sistem gastrointestinal
5. Pembesaran hati
6. Perubahan kulit (dermatosis)
7. Atrofi otot
8. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh

Marasmus:
Marasmik-kwashiorkor: terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara
bersamaan. Gejala klinis marasmus antara lain: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat
sangat kurus. Perubahan mental, cengeng. Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput. Lemak
subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang. Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat
jelas. Kadang-kadang terdapat bradikardi. Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat
yang sebaya.

Hasil pemeriksaan pada anak dengan MEP:


1. Kondisi I
Jika ditemukan:
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah dan atau diare atau dehidrasi
2. Kondisi II
Jika ditemukan:
a. Letargis
b. Muntah dan atau diare atau dehidrasi
3. Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi
4. Kondisi IV
Jika ditemukan letargis
5. Kondisi V
Jika tidak ditemukan:

58
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah/diare/dehidrasi

Penyakit penyerta yang sering ditemui pada MEP:


1. Gangguan mata
2. Gangguan kulit
3. Diare persisten
4. Anemia berat
5. Parasit/cacing
6. Tuberkulosis
7. Malaria
8. HIV

DIAGNOSIS BANDING
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor perlu dibedakan dengan 4:
1. Trauma
2. Sindroma nefrotik
3. Payah jantung kongestif
4. Pellagra infantil

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
1. Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses lengkap, elektrolit
serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik
normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum
tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati
dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun 4.

59
2. Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk menemukan
adanya kelainan pada paru.
3. Tes mantoux
4. EKG

KOMPLIKASI
Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya
sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat
dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa
kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ
secara permanen. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari kwashiorkor adalah 4,6:
1. Defisiensi zat besi
2. Hiperpigmentasi kulit
3. Edema anasarka
4. Imunitas menurun sehingga mudah infeksi
5. Diare karena terjadi atrofi epitel usus
6. Hipoglikemia, hipomagnesemia

Refeeding syndrome adalah salah satu komplikasi metabolik dari dukungan nutrisi pada
pasien malnutrisi berat yang ditandai oleh hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia.
Hal ini terjadi sebagai akibat perubahan sumber energi utama metabolisme tubuh, dari lemak
pada saat kelaparan menjadi karbonhidrat yang diberikan sebagai bagian dari dukungan nutrisi,
sehingga terjadi peningkatan kadar insulin serta perpindahan elektrolit yang diperlukan untuk
metabolism intraseluler. Secara klinis pasien dapat mengalami disritmia, gagal jantung, gagal
napas akut, koma paralisis, nefropati, dan disfungsi hati. Oleh sebab itu dalam pemberian
dukungan nutrisi pada pasien malnutrisi berat perlu diberikan secara bertahap 6.

60
TATA LAKSANA
MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10
langkah tindakan seperti tabel di bawah ini 10,11:

Tabel 1. Sepuluh langkah tata laksana MEP berat


No Fase Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1. Hipoglikemia
2. Hipotermia
3. Dehidrasi
4. Elektrolit
5. Infeksi
6. Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7. Pemberian
Makanan untuk
Tumbuh Kejar (F-
100)
8. Mikronutrien Tanpa Fe Dengan Fe
9. Stimulasi
10. Tindak Lanjut

Medikamentosa
1. Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Rehidrasi secara oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada dehidrasi berat atau
syok
2. Atasi/cegah hipoglikemi
GDA < 50 mg/dl 50 ml D10% bolus IV evaluasi tiap 2 jam beri makanan tiap 2 jam
3. Atasi gangguan elektrolit
Beri cairan rendah Na (resomal)
61
Makanan rendah garam
4. Atasi/cegah dehidrasi
Penilaian dehidrasi denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air mata.
Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb
5. Atasi/cegah hipotermi
Suhu < 36 hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam
6. Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi:
a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari
b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral sampai 7
hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
7. Mulai pemberian makanan
Fase awal faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati
Pemberian porsi kecil, sering, rendah laktosa oral nasogastrik
Kalori 80-100 kal?Kgbb/ hari, cairan 130 ml/hari
8. Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
a. Bila ada ulkus di mata diberikan:
i. Tetes mata chloramphenicol atau salep mata tetracycline, setiap 2-3 jam
selama 7-10 hari
ii. Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
iii. Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
b. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana:
i. Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO (kalium-
permanganat) 1% selama 10 menit
ii. Beri salep atau krim (Zn dengan minyak katsor)
iii. Usahakan agar daerah perineum tetap kering
iv. Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral

62
c. Parasit/cacing
Beri Mebendazole 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antelmintik.
d. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum.
Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan
Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin,
lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidazole 7,5 mg/kgBB setiap
8 jam selama 7 hari.
e. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/mantoux (seringkali alergi)
dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman
pengobatan TB.
9. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, >1
tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15 atau sebelum pulang
10. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg per hari.
11. Tindakan kegawatan
a. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan
intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan membaik dengan
cepat.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010. www.diskes.jabarprov.
go.id/download.php?title=RISKESDAS%202010

2. Behrman, L. Richard dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Tata Laksana Anak
Gizi Buruk: Buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan.

4. Hidajat, Irawan dan Hidajati. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Bag/SMF Ilmu Kesehatan
Anak. Surabaya: RSU dr. Soetomo.

5. Golden M.H.N., 2001. Severe Malnutrition. Dalam: (Golden MHN ed). Childhood
Malnutrition: Its consequences and mangement. What is the etiology of kwashiorkor?
Surakarta: Joint symposium between Departement of Nutrition & Departement of
Paediatrics Faculty of Medicine, Sebelas Maret University and the Centre for Human
Nutrition, University of Sheffielob UK, 1278-1296.

64
F5 Pencegahann dan pemberantasan Penyakit Menular

VARICELLA

OLEH :

dr. RAFIKA

PENDAMPING :

dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia


Puskesmas Lubuk Buaya
Padang
2017

65
BAB I
PENDAHULUAN

Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella Zoster yang
menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Sinonimnya adalah cacar air, chicken pox.1 Varicella merupakan penyakit infeksi virus akut dan
cepat menular. Penyakit ini merupakan hasil infeksi primer pada penderita yang rentan.2
Varicella merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella Zoster. Virus
Varicella Zoster merupakan virus DNA yang mirip dengan virus Herpes Simpleks. Pada
hakekatnya varicella memberikan gambaran penyakit yang berat dan peradangan yang lebih jelas
disbanding dengan penyakit herpes simpleks. Virus tersebut dapat pula menyebabkan herpes
zoster. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi klinis yang berbeda.3,4 Varicella pada
umumnya menyerang anak, sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivasi
infeksi endogen pada periode laten VZV umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang
menderita defisiensi imun.5
Virus Varicella Zoster dapat menyebabkan 2 jenis, yaitu infeksi primer dan sekunder.
Varicella (chicken pox) merupakan suatu bentuk infeksi primer virus Varicella Zoster yang
pertama kali pada individu yang berkontak langsung dengan virus tersebut sedangkan infeksi
sekunder/rekuren (karena persistensi virus) disebut Herpes Zoster/shingles.3
Virus Varicella Zoster masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya infeksi primer,
setelah ada kontak dengan virus tersebut akan terjadi varicella. Kemudian setelah penderita
varicella (infeksi primer) sembuh, mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada
manifestasi klinis) pada dasar akar ganglia dan nervus spinalis. Virus tersebut dapat menjadi
aktif kembali dalam tubuh individu dan menyebabkan terjadinya Herpes Zoster.4

66
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Varicella


Varisela berasal dari bahasa latin, Varicella. Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan
istilah cacar air, sedangkan di luar negeri terkenal dengan nama Chicken pox. Varisela adalah
Penyakit Infeksi Menular yang disebabkan oleh virus Varicella Zoster, ditandai oleh erupsi yang
khas pada kulit.
( http:/www.klinikku.com/pustaka/medis/integ/varicella/klinis.html )
Varisela atau cacar air merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh
virus Varicella Zoster dengan gejala-gejala demam dan timbul bintik-bintik merah yang
kemudian mengandung cairan.
Varicella adalah suatu penyakit infeksi virus akut dan menular, yang disebabkan oleh
Varicella Zoster Virus (VZV) dan menyerang kulit serta mukosa, ditandai oleh adanya vesikel-
vesikel. (Rampengan, 2008)
Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-
anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak
mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan
adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun
banyak juga lesi kulit yang tidak berkembang sampai vesikel.

June M. Thomson mendefinisikan varisela sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus
varisela-zoster (V-Z virus) yang sangat menular bersifat akut yang umumnya menganai anak,
yang ditandai oleh demam yang mendadak, malese, dan erupsi kulit berupa makulopapular untuk
beberapa jam yang kemudian berubah menjadi vesikel selama 3-4 hari dan dapat meninggalkan
keropeng (Thomson, 1986, p. 1483).

67
Sedangkan menurut Adhi Djuanda varisela yang mempunyai sinonim cacar air atau
chickenpox adalah infeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan
mukosa yang secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi terutama dibagian
sentral tubuh (Djuanda, 1993).

2.2 Epidemiologi

Tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak tetapi dapat juga menyerang orang
dewasa. Tranmisi penyakit ini secara aerogen. Masa penularan lebih kurang 7 hati dihitung dari
timbulnya gejala kulit.

2.3 Etiologi

Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV), termasuk kelompok Herpes
Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus disebut Capsid, terdiri dari protein dan
DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu
garis dengan berat molekl 100 juta yang disusun dari 162 capsomir dan sangat infeksius.

Varicella Zoster Virus (VZV) dapat ditemukan dalan cairan vesikel dan dalam darah
penderita Varicella sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri dari Fibroblast paru
embrio manusia.

Varicella Zoster Virus (VZV) dapat menyebabkan Varicella dan Herpes Zoster. Kontak
pertama dengan penyakit ini akan menyebabkan Varicella, sedangkan bila terjadi serangan
kembali, yang akan muncul adalah Herpes Zoster, sehingga Varicella sering disebut sebagai
infeksi primer virus ini.

2.4 Patofisiologi

Menyebar Hematogen.Virus Varicella Zoster juga menginfeksi sel satelit di sekitar


Neuron pada ganglion akar dorsal Sumsum Tulang Belakang. Dari sini virus bisa kembali
menimbulkan gejala dalam bentuk Herpes Zoster. Sekitar 250 500 benjolan akan timbul
menyebar diseluruh bagian tubuh, tidak terkecuali pada muka, kulit kepala, mulut bagian dalam,

68
mata , termasuk bagian tubuh yang paling intim. Namun dalam waktu kurang dari seminggu ,
lesi teresebut akan mengering dan bersamaan dengan itu terasa gatal. Dalam waktu 1 3 minggu
bekas pada kulit yang mengering akan terlepas. Virus Varicella Zoster penyebab penyakit cacar
air ini berpindah dari satu orang ke orang lain melalui percikan ludah yang berasal dari batuk
atau bersin penderita dan diterbangkan melalui udara atau kontak langsung dengan kulit yang
terinfeksi.

Virus ini masuk ke tubuh manusia melalui paru-paru dan tersebar kebagian tubuh melalui
kelenjar getah bening. Setelah melewati periode 14 hari virus ini akan menyebar dengan
pesatnya ke jaringan kulit. Memang sebaiknya penyakit ini dialami pada masa kanak-kanak dan
pada kalau sudah dewasa. Sebab seringkali orang tua membiarkan anak-anaknya terkena cacar
air lebih dini.

Varicella pada umumnya menyerang anak-anak ; dinegara-negara bermusin empat, 90%


kasus varisela terjadi sebelum usia 15 tahun. Pada anak-anak , pada umumnya penyakit ini tidak
begitu berat.

Namun di negara-negara tropis, seperti di Indonesia, lebih banyak remaja dan orang
dewasa yang terserang Varisela. Lima puluh persen kasus varisela terjadi diatas usia 15 tahun.
Dengan demikian semakin bertambahnya usia pada remaja dan dewasa, gejala varisela semakin
bertambah berat.

2.5. Sign / Symtoms

Diawali dengan gejala melemahnya kondisi tubuh.

Pusing.
Demam dan kadang kadang diiringi batuk.
Dalam 24 jam timbul bintik-bintik yang berkembang menjadi lesi (mirip kulit yang
terangkat karena terbakar).
Terakhir menjadi benjolan benjolan kecil berisi cairan.
Sebelum munculnya erupsi pada kulit, penderita biasanya mengeluhkan adanya rasa tidak enak

69
badan, lesu, tidak nafsu makan dan sakit kepala. Satu atau dua hari kemudian, muncul erupsi
kulit yang khas.

Munculnya erupsi pada kulit diawali dengan bintik-bintik berwarna kemerahan (makula),
yang kemudian berubah menjadi papula (penonjolan kecil pada kulit), papula kemudian berubah
menjadi vesikel (gelembung kecil berisi cairan jernih) dan akhirnya cairan dalam gelembung
tersebut menjadi keruh (pustula). Bila tidak terjadi infeksi, biasanya pustel akan mengering tanpa
meninggalkan abses.

2.6. Tanda dan Gejala

Masa inkubasi Varicella bervariasi antara 10-21 hari, rata-rata 10-14 hari. Penyebaran
varicella terutama secara langsung melalui udara dengan perantaraan percikan liur. Pada
umumnya tertular dalam keluarga atau sekolah.

( Rampengan,2008 )

Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu:

Stadium Prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala panas yang
tidak terlalu tinggi, perasaan lemah (malaise), sakit kepala, anoreksia, rasa berat pada punggung
dan kadang-kadang disertai batuk keringdiikuti eritema pada kulit dapat berbentuk
scarlatinaform atau morbiliform. Panas biasanya menghilang dalam 4 hari, bilamana panas tubuh
menetap perlu dicurigai adanya komplikasi atau gangguan imunitas.

Stadium erupsi: dimulai saat eritema berkembang dengan cepat (dalam beberapa jam)
berubah menjadi macula kecil, kemudian papula yang kemerahan lalu menjadi vesikel. Vesikel
ini biasannya kecil, berisi cairan jernih, tidak umbilicated dengan dasar eritematous, mudah
pecah serta mongering membentuk krusta, bentuk ini sangat khas dan lebih dikenal sebagai
tetesan embun/air mata.

Lesi kulit mulai nampak di daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal ke
bagian perifer seperti muka dan ekstremitas. Dalam perjalanan penyakit ini akan didapatkan
tanda yang khas yaitu terlihat adanya bentuk papula, vesikel, krusta dalam waktu yang

70
bersamaan, dimana keadaan ini disebut polimorf. Jumlah lesi pada kulit dapat 250-500, namun
kadang-kadang dapat hanya 10 bahkan lebih sampai 1500. Lesi baru tetap timbul selama 3-5
hari, lesi sering menjadi bentuk krusta pada hari ke-6 (hari ke-2 sampai ke-12) dan sembuh
lengkap pada hari ke-16 (hari ke-7 sampai ke-34)

Erupsi kelamaan atau terlambatnya berubah menjadi krusta dan penyembuhan, biasanya
dijumpai pada penderita dengan gangguan imunitas seluler. Bila terjadi infeksi sekunder, sekitar
lesi akan tampak kemerahan dan bengkak serta cairan vesikel yang jernih berubah menjadi pus
disertai limfadenopati umum. Vesikel tidak hanya terdapat pada kulit, melainkan juga terdapat
pada mukosa mulut, mata, dan faring.

Pada penderita varicella yang disertai dengan difisiensi imunitas (imun defisiensi) sering
menimbulkan gambaran klinik yang khas berupa perdarahan, bersifat progresif dan menyebar
menjadi infeksi sistemik. Demikian pula pada penderita yang sedang mendapat imunosupresif.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya limfopenia.

Pada ibu hamil yang menderita varicella dapat menimbulkan beberapa masalah pada bayi
yang akan dilahirkan dan bergantung pada masa kehamilan ibu, antara lain:

Varisela neonatal
Varisela neonatal dapat merupakan penyakit serius, hal ini bergantung pada saat ibu kena
varisela dan persalinan.
Bila ibu hamil terinfeksi varisela 5 hari sebelum partus atau 2 hari setelah partus, berarti
bayi tersebut terinfeksi saat viremia kedua dari ibu, bayi terinfeksi transplasental, tetapi
tidak memperoleh kekebalan dari ibu karena belum cukupnya waktu ibu untuk
memproduksi antibody. Pada keadaan ini, bayi yang dilahirkan akan mengalami varisela
berat dan menyebar. Perlu diberikan profilaksis atau pengobatan dengan varicella-zoster
immune globulin (VZIG) dan asiklovir. Bila tidak diobati dengan adekuat, angka
kematian sebesar 30%. Penyebab kematian utama akibat pneumonia berat dan hepatitis
fulminan.
Bila ibu terinfeksi varisela lebih dari 5 hari antepartum, sehingga ibu mempunyai waktu
yang cukup untuk memproduksi antibody dan dapat diteruskan kepada bayi. Bayi cukup

71
bulan akan menderita varisela ringan karena pelemahan oleh antibody transplasental dari
ibu. Pengobatan dengan VZIG tidak perlu, tetapi asiklovir dapat dipertimbangkan
pemakaiannya, bergantung pada keadaan bayi.
Sindrom varisela congenital
Varisela congenital dijumpai pada bayi dengan ibu yang menderita varisela pada umur
kehamilan trimester I atau II dengan insidens 2%.
Manisfestasi klinik dapat berupa retardasi pertumbuhan intrauterine, mikrosefali, atrofi
kortikalis, hipoplasia ekstremitas, mikroftalmin, katarak, korioretinitis dan scarring pada
kulit. Beratnya gejala pada bayi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit pada ibu. Ibu
hamil dengan zoster tidak berhubungan dengan kelainan pada bayi.
Zoster infantile
Penyakit ini sering muncul dalam umur bayi satu tahun pertama, hal ini disebabkan karena
infeksi varisela maternal setelah nasa gestasi ke-20. Penyakit ini sering menyerangg pada
saraf dermatom thoracis.

2.7. Patogenesis

Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi
virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang
biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua)
maka timbullah demam dan malaise.

Permulaan bentuk lesi pada kulit mungkin infeksi dari kapiler endothelial pada lapisan
papil dermis menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebacea dan terjadi
pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi
papula, vesikel da akhirnya menjadi crusta. Jarang lesi yang menetap dalam bentuk makula dan
papula saja. Vesikel ini akan berada pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada
stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam.
Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan
dari sel tersebut mengandung inclusion body intranuclear type A. Penularan secara airborne

72
droplet. Virus dapat menetap dan laten pada sel syaraf. Lalu dapat terjadi reaktivitas maka dapat
terjadi herpes Zooster.

2.8. Komplikasi

Komplikasi varisela pada anak biasanya jarang dan lebih sering pada orang dewasa.

1. Infeksi sekunder

Infeksi sekunder disebabkan oleh Stafilokok atau Streptokok dan menyebabkan


selulitis, furunkel. Infeksi sekunder pada kulit kebanyakan pada kelompok umur di
bawah 5 tahun. Dijumpai pada 5-10% anak. Adanya infeksi sekunder bila manifestasi
sistemik tidak menghilang dalam 3-4 hari atau bahkan memburuk

2. Otak

Komplikasi ini lebih sering karena adanya gangguan imunitas. Acute


postinfectious cerebellar ataxia merupakan komplikasi pada otak yang paling
ditemukan (1:4000 kasus varisela). Ataxia timbul tiba-tiba biasanya pada 2-3 minggu
setelah varisela dan menetap selama 2 bulan. Klinis mulai dari yang ringan sampai berat,
sedang sensorium tetap normal walaupun ataxia berat. Prognosis keadaan ini baik,
walaupun beberapa anak dapat mengalami inkoordinasi atau dysarthria.

Ensefalitis dijumpai 1 dari 1000 kasus varisela dan memberikan gejala ataksia
serebelar dan biasanya timbul antara hari ke-3 sampai hari ke-8 setelah timbulnya rash.
Biasanya bersifat fatal.

3. Pneumonitis

Komplikasi ini lebih sering dijumpai pada penderita keganasan, neonatus,


imunodefisiensi, dan orang dewasa. Pernah dilaporkan seorang bayi 13 hari dengan
komplikasi pneumonitis dan meninggal pada umur 30 hari.

73
Gambaran klinis pneumonitis adalah panas yang tetap tinggi, batuk, sesak napas,
takipnu dan kadang-kadang sianosis serta hemoptoe. Pada pemeriksaan radiologi
didapatkan gambaran nodular yang radio-opak pada kedua paru.

4. Sindrom Reye

Komplikasi ini lebih jarang dijumpai. Dengan gejala sebagai berikut, yaitu nausea
dan vomitus, hepatomegali dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
SPGT dan SGOT serta ammonia.

5. Hepatitis

Dapat terjadi tetapi jarang.

6. Komplikasi lain

Seperti arthritis, trombositopenia purpura, miokarditis, keratitis. Penderita perlu


dikonsulkan ke spesialis bila dijumpai adanya gejala-gejala berikut:

Varisela yang progesif atau berat


Komplikasi yang dapat mengancam jiwa seperti pneumonia, ensefalitis
Infeksi bakteri sekunder yang berat terutama dari golongan grup A Streptococcus
yang dapat memicu terjadinya nekrosis kulit dengan cepat serta terjadi Toxic Shock
Syndrome
Penderita dengan komplikasi berat perlu dirawat di Rumah Sakit atau bila perlu ICU
Indikasi rawat di ICU/NICU antara lain:

- Penurunan kesadaran
- Kejang
- Sulit jalan
- Gangguan pernapasan
- Sianosis
- Saturasi oksigen menurun
74
Semua neonatus lahir dari ibu yang menderita varisela kurang dari 5 hari sebelum
melahirkan atau 2 hari setelah melahirkan.

2.9.Pengobatan

Karena umumnya bersifat ringan, kebanyakan penderita tidak memerlukan terapi khusus
selain istirahat dan pemberian asupan cairan yang cukup. Yang justru sering menjadi masalah
adalah rasa gatal yang menyertai erupsi. Bila tidak ditahan-tahan , jari kita tentu ingin segera
menggaruknya. Masalahnya,bila sampai tergaruk hebat, dapat timbul jaringan parut pada bekas
gelembung yang pecah. Tentu tidak menarik untuk dilihat.

* Umum

1. Isolasi untuk mencegah penularan.


2. Diet bergizi tinggi (Tinggi Kalori dan Protein).
3. Bila demam tinggi, kompres dengan air hangat.
4. Upayakan agar tidak terjadi infeksi pada kulit, misalnya pemberian antiseptik pada air mandi.
5. Upayakan agar vesikel tidak pecah.

- Jangan menggaruk vesikel.


- Kuku jangan dibiarkan panjang.
- Bila hendak mengeringkan badan, cukup tepal-tepalkan handuk pda kulit, jangan
digosok.

*Farmakologi:

Obat topical
Pengobatan local dapat diberikan Kalamin lotion atau bedak salisil 1%.
Antipiretik/analgetik

75
Biasanya dipakai aspirin, asetaminofen, ibuprofen.
Antihistamin
Golongan antihistamin yang dapat digunakan, yaitu Diphenhydramine, tersedia
dalam bentuk cair (12,5mg/5mL), kapsul (25mg/50mg) dan injeksi (10 dan 50 mg/mL).
Dosis 5mg/kg/hari, dibagi dalam 3 kali pemberian.
Obat anti virus

Vidarabin (adenosine arabinoside)

Vidarabin adalah obat antivirus yang diperoleh dari fosforilase dalam sel dan
dalam bentuk trifosfat, menghambat polymerase DNA virus. Dosis: 10-20 mg/kg
BB/hari, diberikan sehari dalam infuse selama 12 jam, lama pemberian 5-7 hari. Pada
pemberian vidarabin, vesikel menghilang secara cepat dalam 5 hari.

Efek samping:

Gangguan neurologi berupa tremor, kejang


Gangguan hematologi berupa netropenia, trombositopia
Gangguan gastrointestinal berupa muntah serta peninggian SGPT dan SGOT.

Asiklovir = 9 (2 Hidroksi etoksi metal) Guanine

Asiklovir merupakan salah satu antivirus yang banyak digunakan akhir-akhir ini.
Asiklovir lebih baik dibandingkan dengan vidarabin. Obat ini bekerja dengan
menghambat polymerase DNA virus Herpes dan mengakhiri replikasi virus. Obat ini
dapat mengurangi bertambahnya lesi pada kulit dan lamanya panas, bila diberikan dalam
24 jam mulai timbulnya rash.

Pada anak kecil yang tanpa komplikasi, penggunaan obat ini kurang bermanfaat
dan tidak direkomendasikan secara rutin sehingga Asiklovir lebih banyak digunakan pada
penderita dengan komplikasi atau penderita dengan gangguan imunitas. Obat ini tidak
mengurangi rasa gatal pada kulit, komplikasi atau penularan sekunder.

76
Dosis: 5-10 mg/kg BB dibagi dalam 4-5 dosis/hari, dapat diberikan secara oral
atau iv/drip tiap 8 jam selama 5-7 hari. Dengan dosis jangan melebihi 3200 mg/hari.
Tersedia dalam bentuk kapsul (200 mg/400 mg/800 mg), cairan (400 mg/5 mL), injeksi
(500 mg/5 mL).

Efek samping:

Gangguan ginjal berupa renal insufisiensi, malaise dan gangguan pencernaan.

Diet yang adekuat

Berikan makanan penuh dan jangan dibatasi


Kadang-kadang penderita mengalami anoreksia, sebaiknya dimotivasi banyak minum
untuk mempertahankan status hidrasi. Cairan yang cukup sangat diperlukan bila
penderita diberikan Asiklovor, karena obat ini dapat berkristalisasi dalam tubulus
renalis bila penderita dalam keadaan dehidrasi.

2.10. Pencegahan

Pencegahan terhadap infeksi varisela zoster virus dilakukan dengan cara imunisasi pasif
atau aktif

Imunisasi aktif

Dilakukan dengan memberikan vaksin varisela yang dilemahkan (live attenuated) yang
berasal dari OKA Strain dengan efek imunogenisitas tinggi dan tingkat proteksi cukup tinggi
berkisar 71-100% serta mungkin lebih lama. Dapat diberikan pada anak sehat ataupun penderita
leukemia, imunodefisiensi. Untuk penderita pascakontak dapat diberikan vaksin ini dalam waktu
72 jam dengan maksud sebagai preventif atau mengurangi gejala penyakit.

Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mL subkutan. Pemberian vaksin ini ternyata cukup aman.
Dapat diberikan bersamaan dengan MMR dengan daya proteksi yang sama dan efek samping
hanya berupa rash yang ringan.

77
Efek samping:

Efek samping biasanya tidak ada, tetapi bila ada biasanya bersifat ringan.

Imunisasi pasif

Dilakukan dengan memberikan Zoster Imun Globulin (ZIG) dan Zoster Imun Plasma
(ZIP).

Zoster Imun Globulin (ZIG) adalah suatu globulin-gama dengan titer antibody yang
tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah sembuh dari infeksi herpes zoster. Dosis
Zoster Imuno Globulin (ZIG): 0,6 mL/kg BB intramuscular diberikan sebanyak 5mL dalam 72
jam setelah kontak. Indikasi pemberian Zoster Imunoglobulin ialah:

Neonatus yang lahir dari ibu menderita varisela 5 hari sebelum partus atau 2 hari setelah
melahirkan.
Penderita leukemia atau limfoma terinfeksi varisela yang sebelumnya belum divaksinasi.
Penderita HIV atau gangguan imunitas lainnya.
Penderita sedang mendapat pengobatan imunosupresan seperti kortikosteroid.

Tapi pada anak dengan defisiensi imunologis, leukimea atau penyakit keganasan lainnya,
pemberian Zoster Imun Globulin (ZIG) tidak menyebabkan pencegahan yang sempurna, lagi
pula diperlukan Zoster Imun Globulin (ZIG) dengan titer yang tinggi dan dalan jumlah yang
lebih besar.

Zoster Imun Plasma (ZIP) adalah plasma yang berasal dari penderita yang baru sembuh
dari herpes zoster dan diberikan secara intravena sebanyak 3-14,3 mL/kg BB. Pemberian Zoster
Imun Plasma (ZIP) dalam 1-7 hari setelah kontak dengan penderita varisela pada anak dengan
defisiensi imunologis, leukemia, atau penyakit keganasan lainnya mengakibatkan menurunnya
insiden varisela dan merubah perjalanan penyakit varisela menjadi ringan dan dapat mencegah
varisela untuk kedua kalinya.

78
2.11. Pembantu Diagnosis

Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang diwarnai dengan
Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan didapati sel datia berinti banyak
(multinukleated).

2.12.Diagnosis Banding

Harus dibedakan dengan variola, penyakit ini lebih berat, memberi gambaran monomorf, dan
penyebarannya dimulai dari bagian akral tubuh yakni telapak tangan dan telapak kaki.

2.13. Prognosis

Dengan perawatan yang teliti dan senantiasa memperhatikan kebersihan (hygiene) diri dan
lingkungan memberikan prognosis yang baik dan kemungkinan terbentuknya jaringan parut
hanya sedikit, kecuali jika klien melakukan garukan/tindakan lain yang menyebabkan kerusakan
kulit lebih dalam.

79
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien.EGC : Jakarta.
Tarwoto dan Wartonah. (2000). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Salemba
Medika : Jakarta.

Varisela . http://www.aventispasteur.co.id/news.asp?id7

Varisela Klinikku. http://www.klinikku.com/pustaka/medis/integ/varisela-klinis.html

80
BAB III

LAPORAN KASUS

Data Pasien

Autoanamnesa, pada tanggal 8 September 2017 di Puskesmas Lubuk buaya pukul


09.00 WIB.

Nama : Nn.R

Umur : 25 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan :-

Agama : Islam

Alamat : perum lubuk sejahtera lestari no 30

Suku : minang

Tanggal Periksa : 8 september 2017

2.1.3 Anamnesis

1. Keluhan Utama
Muncul bintik-bintik di muka dan tubuh
2. Keluhan Tambahan
Badan Panas

81
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dating ke Puskesmas Lubuk Buaya pada tanggal 8 September 2017,
dengan keluhan muncul bintik-bintik di seluruh tubuh. Bintik-bintik dikeluhkan sejak
2 hari sebelum ke puskesmas.
Keluhan lain yang dirasakan pasien badan terasa panas. Keluhan ini baru diderita
pasien pertama kali, sebelumnya pasien belum pernah menderita penyakit yang sama.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit yang pernah diderita: diare (+), panas (+), batuk (+), pilek (+)
b. Riwayat mondok : belum pernah
c. Riwayat Operasi : belum pernah
d. Riwayat Kecelakaan : belum pernah
e. Riwayat Pengobatan : tidak ada
f. Riwayat Alergi makanan / obat : tidak ada
g. Riwayat Imunisasi Dasar:
Imunisasi BCG : lengkap
Imunisasi DPT : lengkap
Imunisasi Polio : lengkap
Imunisasi Campak : lengkap
Imunisasi Hepatitis B : lengkap
h. Riwayat Imunisasi Tambahan:
Tidak didapat
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama dengan orang tua : tidak ada
Keluhan yang sama dengan keluarga : diakui, sepupu pasien memiliki keluhan
sama dengan pasien
7. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari-hari biasanya antara 2-3 kali dengan nasi sepiring, sayur,
dan lauk pauk seperti telur, tahu-tempe, dan jarang dengan daging, makanan kadang
tidak habis, terkadang konsumsi buah-buahan. Pasien masih menyusu pada ibu nya.

8. Riwayat Persalinan

82
Pasien dilahirkan cukup bulan, ditolong paraji, BBL 2700 gram. Selama hamil,
ibu pasien jarang memeriksakan kehamilannya ke petugas kesehatan. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan selama hamil tidak diketahui.

9. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan pada awalnya normal, tetapi seiring waktu lebih
lambat dari anak seusianya.

10. Riwayat Ekonomi


Ayah penderita bekerja sebagai buruh, dan ibu sebagai ibu rumah tangga.
Penderita tinggal di rumah bersama bapak dan ibunya. Kebutuhan sehari-hari dicukupi
dengan penghasilan kurang lebih Rp. 900.000 per bulan. Hubungan penderita dengan
anggota keluarga yang lain saling mendukung. Orangtua penderita peduli dengan
kesehatan anggota keluarganya. Dalam kehidupan sosial penderita banyak bergaul
dengan saudara dan teman sebayanya.

11. Riwayat Psikologi


Pasien termasuk orang yang memiliki sifat terbuka. Penyakit yang diderita
pasien tampak mengganggu pasien.

12. Riwayat Demografi


Hubungan dalam keluarga cukup baik. Pasien adalah anak kedua di keluarga.
Tidak ada riwayat perceraian dalam keluarga.

13. Riwayat Sosial


Penyakit yang diderita pasien dirasakan mengganggu aktivitas maupun sosialisasi
sehari-hari. Akan tetapi, hubungan pasien dengan saudara maupun tetangga tampak
sangat baik. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya orang yang menjenguk pasien ke
rumah pasien.

14. Anamnesis Sistemik


a. Keluhan Utama : Muncul bintik-bintik di muka dan tubuh
b. Kulit : Warna kulit sawo matang, kulit gatal (+), gelembung
bulat berisi air (+), kemerahan (+) di muka dan seluruh
tubuh

83
c. Kepala : Simetris, ukuran normal, sakit kepala (-), pusing (-),
rambut kepala tidak rontok, berwarna hitam, luka pada
kepala (-), benjolan/borok di kepala (-)
d. Mata : Gatal (-), penglihatan kabur (-)
e. Hidung : Keluar cairan (-)
f. Telinga : Pendengaran jelas, keluar cairan (-)
g. Mulut : Sariawan (-), mulut kering (-), mukosa merah muda,
bintik-bintik pada mukosa (-)
h. Tenggorokan : Sakit menelan (-)
i. Pernafasan : Sesak nafas (-), mengi (-), batuk (-)
j. Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada (-)
k. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-) kembung (-), nyeri perut (-)
.
l. Sistem Muskuloskeletal : Lemas (-)
m. Sistem Genitourinaria : BAK (+) normal
n. Ekstremitas : Atas : bengkak (-), pegal (+)
Bawah : bengkak (-), pegal (+)
2.1.4 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum
Tampak baik, kesadaran compos mentis

2. Tanda Vital
a. Nadi : 108x /menit, regular
b. RR : 20x /menit
c. Suhu : 38,70 C
d. BB : 58,7 kg
e. TB : 160 cm
3. Status gizi
Kesimpulan status gizi : baik

4. Kulit : Sianosis (-), turgor kulit menurun (>1 detik),


ikterus (-), keriput (-), vesikel (+), eritema (+), pustula (+) di
muka dan seluruh tubuh, vesikel mukosa (-)

84
5. Kepala : Bentuk kepala normal
6. Mata : Edema palpebra (-/-), konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), mata cekung (-/-)
7. Telinga : Bentuk normal, sekret (-/-)
8. Hidung : Napas cuping hidung (-), discharge (-/-)
9. Mulut : Bibir sianosis (-), lidah kotor (-)
9. Tenggorokan : Radang (-)
10. Leher : Deviasi trakea (-), JVP meningkat (-), pembesaran kelenjar
limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
11. Thoraks : Bentuk simetris, datar, retraksi (-)
Jantung :

Inspeksi : Tidak terlihat ictus cordis

Palpasi : Teraba ictus cordis di SIC V LMCS

Perkusi : Batas kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS

Batas kiri atas SIC II LMCS

Batas kanan atas SIC II LPSD

Batas kanan bawah SIC IV LPSD

Perkusi : S1> S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Pulmo :

Inspeksi : Dinding dada datar, retraksi (-), gerakan


paru simetris, benjolan (-), tanda radang (-), jejas (-), lesi (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), retraksi (-), gerakan nafas simetris

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri

Auskultasi : Vesikular normal, wheezing (-), ronkhi -/-

12. Punggung : skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)


13. Abdomen :

85
Inspeksi : Datar, benjolan (-), lesi (-), jejas (-), tanda radang (-), caput medusae
(-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan perut (-), benjolan (-)

Perkusi : Timpani normal

14. Genitalia : Tidak dilakukan


15. Anorektal : Tidak dilakukan
16. Ekstremitas :
Superior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-)

Inferior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-)

2.1 Diagnosis Holistik


2.2.1 Aspek Personal
Idea: Pasien mengeluh muncul bintik-bintik di seluruh tubuh, pasien berharap penyakitnya
segera sembuh.

Concern: pasien menginginkan perhatian dari keluarganya untuk mendukung pengobatan dan
perawatannya sampai sembuh.

Expectacy: pasien mempunyai harapan penyakitnya segera sembuh, agar dapat beraktifitas
dan bermain bersama teman-temannya.

Anxiety: Pasien merasa gatal. Kedaan ini sangat mengganggu aktifitas sehari-hari.

2.2.2 Aspek Klinis


Diagnosa : Varisela

Gejala klinis yang muncul : Bintik-bintik berisi air pada wajah dan tubuh serta
demam

Diff diagnosis : Herpes simpleks, Impetigo

2.2.3 Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu


a. Status gizi pasien yang kurang juga dapat menyebabkan pasien rentan terserang penyakit.

86
b. Kepribadian pasien termasuk dalam kepribadian terbuka, mau menerima nasehat orang
lain.
2.2.4 Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Pasien tinggal di daerah pesawahan dengan lingkungan jarang penduduk dan jauh dari
jalan raya
b. Tempat tinggal pasien dekat dengan sawah
c. Dirumah pasien ada saudara yang memiliki gejala serupa dengan pasien.
d. Disekitar rumah pasien ada tetangga yang memiliki gejala serupa dengan pasien.
e. Rumah pasien berukuran kecil, terbuat dari tembok bata dengan lantai terbuat dari tanah
dan ventilasi serta pencahayaan rumah pasien kurang.
f. Ibu masih menggunakan tungku dan kayu bakar sebagai alat memasak.
g. Pasien belum sekolah
h. Orangtua pasien hanya bersekolah hingga SD dan SMP.
i. Pengetahuan keluarga mengenai penyakit pasien masih kurang.
j. Penghasilan orangtua cukup untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga.
k. Pelayanan kesehatan di sekitar rumah pasien cukup dapat dijangkau, rumah berada di
daerah pesawahan dan tidak dapat dilewati oleh kendaraan bermotor. Jarak tempuh
rumah pasien dengan puskesmas sekitar 10 menit.
2.2.5 Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Pasien mempunyai aspek skala penilaian 2, pasien mengeluh muncul bintik-bintik pada
seluruh tubuh dan demam, pasien tidak bisa melalukan aktifitas seperti biasanya.

3.1 Penatalaksanaan
1. Personal
Terapi farmakologis :
1. Asiklovir 5 x 800 mg
2. CTM 3 x 2 mg
3. Dexametasone 3 x 0,5 mg
4. Paracetamol 3 x 500 mg prn
Terapi non farmakologis :
1. Istirahat
2. Jaga daya tahan tubuh, dengan makan makanan yang bergizi tinggi protein, karbohidrat, dan
serat

87
3. Menjaga kebersihan diri pasien dengan membiasakan mencuci tangan sebelum makan, tidak
bermain di tanah, mengganti baju minimal 2 kali sehari dan kebersihan lingkungan rumah.
4. Tidak kontak dengan penderita yang memiliki gejala serupa

88
89

You might also like