You are on page 1of 3

MODEL MENTAL KEPEMIMPINAN EFEKTIF DI MASA DEPAN

oleh Prof. Dr. H. Faisal Afiff, Spec.Lic.

Karena sesuatu yang konstan dalam abad moderen ini adalah perubahan, maka
organisasi bisnis saat ini perlu belajar lebih cepat dari pesaing mereka untuk
mempertahankan permainan ke depan. Suatu organisasi belajar telah menjadi
suatu keharusan karena memungkinkan para pekerja untuk terus berbagi dan
memperoleh pengetahuan baru, sambil menerapkan pengetahuan baru tersebut
kedalam pekerjaan dan pembuatan keputusan mereka. Menurut Peter Senge
(1990), suatu perpaduan disiplin harus menyatu untuk membentuk sebuah
organisasi belajar.

Model mental adalah asumsi yang dipegang oleh individu dan organisasi yang
dapat menentukan bagaimana suatu organisasi berpikir dan bertindak, sehingga
model mental juga dapat menjadi penghalang bagi organisasi belajar. Dari sisi
yang negatif model mental yang sudah usang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan dan orientasi penerapan strategi, sehingga pada gilirannya suatu model
mental dapat menjadi faktor perusak dalam pengembangan organisasi secara
keseluruhan. Dalam kaitan ini, menurut Senge, adalah penting untuk membedakan
antara teori yang dianut dan teori yang digunakan. Teori yang dianut berkaitan
dengan apa yang kita katakan, sementara teori yang digunakan adalah apa yang
secara aktual kita lakukan berdasarkan model mental kita sendiri. Sebagai contoh,
suatu individu atau organisasi mengatakan bahwa kerja sama tim dan kolaborasi
adalah nilai utama, bahkan kata-kata tersebut bisa dimasukkan dalam visi atau
misi formal pernyataan organisasi. Artinya, bahwa berdasarkan teori yang dianut
kolaborasi dan kerja sama tim sebagai suatu yang bermanfaat, meskipun pada
kenyataannya organisasi yang sama mungkin membuat sekat untuk upaya
kolaborasi dengan hanya berbagi sebagian dari data-informasi yang tersedia.
Salah satu cara terbaik agar bisa beralih dari model mental lama yang dipegang
adalah melalui percakapan reflektif. Para pemimpin perlu memfasilitasi praktik
percakapan ini, yaitu secara teratur membangun dialog dalam organisasi tentang
apa yang tengah bekerja dan apa yang tidak. Suatu organisasi yang
memberlakukan percakapan ini adalah organisasi belajar, yang memeluk gagasan
bahwa organisasi pembelajaran adalah organisasi yang baik, yang menempatkan
belajar sebagai model mental dalam dirinya sendiri.

Bagian penting lainnya dari percakapan reflektif dalam organisasi pembelajaran


adalah peran tim. Senge menemukan bahwa tim bukanlah penjumlahan individu,
namun tim adalah unit pembelajaran mendasar dalam organisasi moderen. Senge
menekankan bahwa dialog diantara para anggota tim dapat meningkatkan
kemampuan organisasi untuk tumbuh dan berkembang. Senge mengidentifikasi
tiga kondisi yang diperlukan untuk terjadinya dialog konstruktif, yakni para
peserta perlu menanggalkan asumsi mereka, dan menyetarakan hubungan
mereka sebagai rekan, dan diperlukan fasilitator untuk menjaga efektivitas
dialog, dan dalam hal ini fasilitator diperlukan setidaknya sampai tim mampu
mengembangkan keterampilan dialog tersebut. Bohm dalam Senge (1990)
menyatakan bahwa adanya suatu hierarki sering menghambat dialog, dan tidak
mudah untuk melepaskan diri dari hambatan psikologik hirarki organisasi. Penting
juga untuk digaris bawahi bahwa adanya pola hubungan hirarkis adalah berasal
dari model mental budaya masyarakat.

Dengan demikian, organisasi belajar dapat memanfaatkan sinergi kelompok untuk


belajar secara terus-menerus guna menciptakan kinerja yang optimal. Organisasi
belajar akan mendorong individu agar senantiasa siap dan bersedia untuk
mengungkapkan model mental masing-masing, membandingkannya dan
mendiskusikan perbedaan yang ada dalam rangka mencapai persepsi terpadu
dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kepemimpinan adalah proses
yang didasarkan pada hubungan yang lentur dan dinamik, non-direktif, dan non-
unilateral. Model yang diajukan ini merupakan perubahan paradigma mendasar,
ketimbang memandang pemimpin hanya sebatas keterampilan, kualitas dan
perilaku dari seorang individu yang memberikan pengaruh atas orang lain untuk
mengambil tindakan atau mencapai tujuan dengan menggunakan posisi dan
kewenangannya (Meehan dan Reinelt, 2010). Menurut Chris Argyris, organisasi
perlu memastikan suatu kondisi dimana setiap orang dapat terus belajar. Kondisi
demikian akan kondusif dan menjamin bahwa orang merasa aman dengan akses
data-informasi, yang dengan sendirinya organisasi harus diubah menjadi tempat
yang aman untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Ketika perubahan
demikian terjadi, maka para manajer dengan hati yang bulat dapat menjalankan
roda bisnis dengan sesungguhnya, dengan mengelola pengetahuan organisasi,
melalui pengetahuan orang-orangnya (Argyris, 1993). Dalam konteks
pembelajaran organisasi, maka manajemen menjadi seni mengelola pengetahuan.
Dalam konteks pemahaman ini, mengandung arti pula bahwa apa yang tengah
dikelola bukanlah orangnya semata, melainkan juga pengetahuan yang mereka
bawa. Oleh karena itu, kepemimpinan yang efektif berarti menciptakan kondisi
yang memungkinkan orang untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan
mampu melakukannya dengan cara yang mendorong tanggung jawab pribadi
(Argyris, 1993).

Dalam kaitan tersebut, Chris Argyris (1993) pernah mengajukan dua jenis
organisasi Model I dan Model II, dimana organisasi dengan model mentalnya
masing-masing dapat melakukan pengelolaan pengetahuan baik secara valid atau
invalid. Kedua model tersebut dapat tercermin dalam kemampuan organisasi
untuk menunjukkan kinerja dan kemampuan bersaingnya. Menurut Argyris,
dengan model mental I suatu organisasi dapat melembagakan sejenis sensor diri
(self-censorship) yang defensif yang dapat membatasi komunikasi riil. Misalnya,
orang percaya tentang berbagi berita buruk dan kesulitan yang tengah dihadapi
organisasi, sehingga menahan diri untuk melakukan upaya-upaya perbaikan secara
riil. Padahal berita buruk tersebut adalah pengetahuan tidak valid yang
mendistorsi status dan realitas secara keseluruhan. Jadi, ketika suatu organisasi
berada dalam kesulitan, hal tersebut sering menjauhkan organisasi dari realitas
mereka sendiri, sehingga pada gilirannya organisasi justru mengalami kegagalan.
Menurut Argyris, meskipun orang tidak selalu berperilaku kongruen dengan apa
yang mereka katakan atau teori yang dianutnya, namun mereka akan berperilaku
kongruen dengan model mental mereka sendiri atau teori yang digunakanya.

Published at : 20 April 2015

You might also like