You are on page 1of 19
SANGAIJI TUJUH tahun lewatlah sudah—tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari, di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji ~—anak Rukmini dan Made Tantre. Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak men- cari pekerjaan. Jakarta bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga baha- sanya. Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya, ia tak akan ragu lagi untuk maju. Dua minggu lamanya dia hidup tak berke- tentuan. Tidurnya di teritisan rumah dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah 227 kalung emas yang masih dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis. Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya, kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlin- tas dalam pikirannya sewaktu masih hidup ten- teram damai di desanya. Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia, segera Sangaji dipeluknya makin erat. Tampak seorang laki-laki keluar pintu de- ngan berjalan tertatih-tatih. Melihat Rukmini dan Sangaji orang itu menegur, ”Siapa kalian?” Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam bahasa Jawa. "Kula tiyang kesrakat3).” Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu33). la mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta kete- 32) orang yang tertimpa malapetaka 33) Residensi Cirebon. Perbatasan propinsi Jawa Barat — Jawa Tengah 228 rangan dan Rukmini terpaksa mengisahkan riwayat perjalanannya. ”Masyaallah ... di dunia ini kenapa ada keja- dian begitu,” haji itu mengeluh dalam. ”Meng- apa di Jawa-pun ada peristiwa semacam pem- bakaran kampung Cina34)!” Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia se- orang yang berhati baik. Mendengar riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan se- menjak malam itu Rukmini ikut padanya. Dua tahun kemudian Rukmini telah mem- punyai simpanan uang agak lumayan jumlah- nya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris. la kini sudah dapat menye- suaikan diri dengan kampung halamannya yang baru. Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri. la menyewa sebuah rumah sederhana. Kemudian membuka wa- Tung makanan dan panganan masakan Jawa. Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini. Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan hidupnya timbul tenggelam tak 34) pembakaran kampung Cina tahun 1740 dengan sepengetahuan Gubernur Jendral Valckenier. Rumah yang terbakar + 600 buah. Banyak orang-orang Tionghoa mati terbunuh dan kesrakat. 229 menentu. la tetap gigih sampai lima tahun lagi lewat tanpa suara. Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik. Gerak-gerik- nya cekatan, karena dibentuk alam penghi- . dupan kota besar yang serba cepat. Kesi- bukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan3>). Pada hari itu ia lagi iseng. la dolan keluar kota dengan membawa katapel56) dan pan- cing. Kalau aku bisa membawa pulang beber- apa ekor burung dan ikan, alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji. Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke kali. Tat- kala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya tero- wongan itu. la berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan?—pikimya. Atau sarang kura-kura? Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengar- lah di kejauhan suara derap kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking terompet. Lantas suara gen- 35) sekarang Glodog 36) Jepretan dari karet (plintengan, Jawa) 230 EE EEE S:” Teriak- nya nyaring. Berbareng dengan kata-kata pujian terde- ngar lagi ia menembak. Dua orang pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh ter- jengkang tak bernapas. Mayor de Groote menggigil cemas. Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?” Mayor de Groote berteriak. ”Sebentar lagi,” sahut Gubernur Jenderal P Vuyst. Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya kena tem- bakan dan peluru senapan orang itu menem- bus perut kuda. Serentak ia rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara. Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas. 238 Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kem- bali. Kemudian memberi perintah, "Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng.” Dengan perintah itu tembakan tanda ser- buan dilepaskan ke udara. Dari balik gun- dukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu se- rempak dengan teriakan-teriakan dan tem- bakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang memimpin pengawal Gubernur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang. Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak, Kini mendadak didesak dan dirangsak dari sam- ping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya. Panglima yang mahir menembak yang ber- ada di belakang pasukan penyerbu Dua Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak mengha- dang, ”Jangan kacau! Bertahan dan serang!” Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Sena- pannya tak dapat digunakan lagi. Dia bagai- kan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau 239 tak mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelang- gang. *Tangkap dia!” perintah Gubernur Jenderal P Vuyst. Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan berbareng mende- sak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan lari mengarah ke gun- dukan Sangaji. Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi ter- halang. Mereka terpaksa menyibakkan ku- danya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan demikian panglima itu dapat meloloskan diri. Sangaji kagum melihat sepak terjang pangli- ma itu. Pandang matanya tak pernah lepas daripadanya. Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena tem- bakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah. 240 Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji. Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah. la ter- luka parah. Tetapi ia masih berusaha merang- kak-rangkak sambil tangannya mencabut pe- dang. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang. ”Tolong ambilkan air!” Katanya ketika meli- hat Sangaji. Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Men- dadak teringatlah dia air sungai. Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di tepi sungai matanya celi- ngukan mencari daun. la mendapat daun itik. Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu. "Ini air sungai,” katanya. Panglima itu tak mempedulikan. Air itu di- sambamya dan terus diminum. Baru saja mulutnya menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya benar- benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. la rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah. Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. la hanya berjongkok men- 241 dekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia menanggalkan bajunya dan dibuat- nya membebat luka panglima itu. Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld. Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya39) Beberapa saat kemudian, Willem menye- nakkan mata. "Adik kecil ... katanya perlahan. ”Punya.” ”Bagus. Ambilkan aku air lagi.” Sangaji lari kembali ke kali. la memetik setangkai daun itik lagi dan menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air. ”Terima kasih, adik yang baik,” bisik Willem. ”Kau mengorbankan bajumu untuk lukaku.” Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang. Di- ulurkan mata uang itu kepada Sangaji. "Adik yang baik, terimalah uang ini untukmu.” kaupunya senjata_ bidik>?” 39) Pieter Erbefeld dihukum siksa pada tanggal 28 Desember 1721. Kepalanya dipancung dan dipasang di tembok. Rumahnya diku- tuk, tak diijinkan dimasuki orang. Keluarganya dibinasakan. Pada Jaman Jepang, kepala Pieter Erbefeld diambil. 242 Sangaji menggelengkan kepala. ”Aku tak dilarang menerima apa pun juga sebagai balas jasa.” ”Siapa yang melarangmu?” “bu.” Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak- bahak. Tetapi justru dia tertawa darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu dide- ngarnya derap kuda makin mendekat. "Adik!” ia terkejut. "Mana senjata bidikmu>?” Sangaji merogoh sakunya dan mengeluar- kan katapelnya. Diangsurkan katapel itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar. "Adik yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung.” Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja tertawa berkakakan. *Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel.” ”Senapan? Aku tak punya,” ujar Sangaji. Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pi- kimnya, mana bisa seorang kanak-kanak mem- punyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat pertimbangan itu, dia tertawa lagi, 243 "Ah ... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan mereka dengan pedang ini.” ”"Kauluka parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak sembunyi saja?” Willem heran oleh usul itu. "Di mana aku bisa bersembunyi?” Sekarang Sangaji yang terkejut. la menyapu- kan pandangannya. Tidak dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan tero- wongan air di dalam sungai. Gap-gap ia berka- ta, "Di dalam tebing sungai kulihat ada sebuah terowongan. Mungkin goa ... mungkin pula ...” Willem lantas saja bangkit. la harus meng- ambil keputusan cepat. Bertempur dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah ber- sembunyi. "Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!” Dengan tertatih-tatih Willem menghampiri sungai. Sangaji membimbingnya dan segera menunjukkan terowongan tanah. Tanpa me- nimbang-nimbang lebih jauh, Willem lantas saja menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang memasuki terowongan. Ternyata terowongan itu sebuah goa air. Di sana orang 244 bisa bersembunyi semaunya dan selama mungkin tanpa gangguan, asalkan membawa makanan. ”Aku takkan menunjukkan pada siapa pun,” teriak Sangaji. . Tatkala itu pasukan pengejar sudah hampir tiba di kaki gundukan. Sangaji cepat-cepat kembali ke atas gundukan dan bertiarap di atas tanah. la pandai berlaku tenang. Seperti seseorang yang lagi mengintip suatu pertem- puran tadi. Tak lama kemudian pasukan pengejar tiba di atas gundukan. Mayor de Groote yang memimpin pengejaran melihat Sangaji. la menarik kendali sambil bertanya kasar, ”Hai bocah! Kaulihat orang lari dengan kuda?” Serdadu-serdadu lainnya lantas datang mengepung. Sangaji nampak bergemetaran karena takut. ”Ya, aku lihat.” "Di mana?” mereka berbareng menegas. ”Ke sana!” dia menuding ke utara. "Dia kena tembakan.” ”Hm,” serdadu-serdadu itu sangsi. Mayor de Groote lantas memerintah serdadu-serdadu- nya. "Bawa kemari bocah itu!” Sangaji digiring menghampiri Mayor de Groote. Ia telah mengambil suatu keputusan. 245 Biar aku dihajar, aku takkan menunjukkan tempatnya bersembunyi. Sangaji menatap ke Mayor de Groote de- ngan berani. Teringatlah dia, kalau perwira itu- lah yang memimpin pasukan pengawal Gubernur Jenderal di kaki gundukan. Dia pulalah yang berhasil merebut panji-panji VOC tetapi tiangnya lantas kena tembak panglima yang lagi bersembunyi. "Apa bilangnya bocah ini?” ia bertanya kepada serdadu-serdadunya dengan kasar. Dilihatnya sekitarnya. Di sebelah utara ia meli- hat seekor kuda tanpa penunggang lagi meng- gerumuti rumput. Lantas dia menuding sambil berkata keras, "Bukankah itu kudanya? Cari dia! Pasti ada di sekitar ternpat ini!” Begitu ia memberi perintah sepuluh orang serdadu lalu menghampiri kuda. Mereka me- nyebar dan menubras-nubras semak-sernak. Dijenguknya sungai. Mereka melihat percikan darah di bawa arus air. Kuda itu kemudian dituntun oleh dua orang serdadu dan dibawa menghadap Mayor de Groote. ”Hm,” dengus Mayor de Groote. "Bukankah ini kudanya Kapten Willem Erbefeld?” ”Benar,” mereka menjawab gemuruh. Mayor de Groote lantas merampas cambuk 246 —o oe oe | | . | | salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke kepala Sangaji. "Dia bersembunyi di mana? Bilang!” ia menggertak bengis. "Jangan kau berdusta. Nyawamu ada di tanganku, kautahu setan cilik2” Willem Erbefeld yang bersembunyi di dalam goa air, mengikuti peristiwa di atas tebing dan mendengarkan setiap pembicaraan. la meng- genggam hulu pedang sambil menggertak gigi, tatkala mendengar cambuk meletus menampar kepala Sangaji. la kenal tabiat Mayor de Groote yang gila pada pujian. Bocah itu pasti akan dianiaya semaunya sampai mengaku. Biarlah aku keluar saja mengadu nyawa, pikirnya. Sangaji kesakitan kena cambuk. Tetapi ia tak mau merintih. la tahan rasa_sakitnya. Lantas berteriak, "Mana aku tahu dia bersem- bunyi di mana.” "Setan cilik! Kau dapat sogokan berapa?” bentak Mayor de Groote. Pada saat itu masalah sogokan sudah menjadi umum. Orang meng- gunakan istilah itu untuk memuaskan rasa sangsinya. "Aku tak tahu! Aku tak tahu!” Tatkala itu rombongan serdadu yang melihat percikan darah segera memeriksa sungai. 247 Mayor de Groote merampas cambuk salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke kepala Sangaji. 248 Diketemukan pula dua jejak kaki yang berlainan. Satunya bertelanjang kaki, lain- nya bersepatu. Terang itulah jejak kaki Sangaji. Serdadu-serdadu itu lalu mela- porkan. "Hm. Apa kaubilang sekarang?” bentak Mayor de Groote. "Mau ngaku tidak?” Sangaji tahu tak dapat dia mengelakkan tuduhan itu. Tetapi ia nekad. Jeritnya lagi. ”Apa yang harus kukatakan? Aku tak tahu! Aku tak tahu!” Mayor de Groote mengayunkan cambuknya lagi. Mendadak didengarnya derap barisan dari arah belakang. Itulah barisan Gubernur Jen- deral P-Vuyst. Mayor de Groote mengurungkan niatnya. Cambuk dilemparkan ke tanah. Dan bergegas ia memutar kudanya menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. la melompat dari kudanya dan melihat Gubernur Jenderal Vuyst menderi- ta karena lukanya. Darahnya terus merembes keluar meskipun kakinya telah dibebat kencang-kencang. la nampak gusar dan memerintahkan Mayor de Groote mencari Willem Erbefeld sampai kete- mu. Ingin ia menawan kapten itu dan mau menghukum dengan tangannya sendiri untuk memuaskan hatinya. 249 "Kudanya telah tertangkap. Jejaknyapun telah kami ketahui,” lapor Mayor de Groote. ”Aku mau orangnya yang tertangkap, bukan kudanya. Mana dia?” Didamprat begitu Mayor de Groote menga- lihkan rasa mendongkolnya kepada Sangaji. Serentak ia berpaling ke arah Sangaji. Kemu- dian dengan menghunus pedang ia mengham- piri. *Kaubilang tidak?” bentaknya. Sangaji tetap membandel. Karena itu Mayor de Groote menghajar kepalanya dengan gagang pedang. Darah lantas saja mengucur. Tetapi justru melihat darahnya sendiri kebera- nian Sangaji muncul. *Tak mau aku bilang. Tak mau aku bilang,” teriaknya. Gubernur Jenderal memperhatikan bocah itu. la tersenyum tatkala mendengar ucapan- nya. Kapten Doorslag dibisiki, "Bujuk dia de- ngan cara lain agar mau mengaku. Dia berka- ta tak mau bilang, bukan berkata tak tahu.” Kapten Doorslag tersenyum pula. Yakinlah dia, kalau Sangaji mestinya tahu dan berusaha membebaskan diri dari tuduhan. Hanya dia salah ucap. *Bocah!” kata Kapten Doorslag lembut. *Berbicaralah yang benar! Kuberi hadiah ini.” 250 ele A et ttt ER St eet ee ee Kapten Doorslag mengangsurkan sebilah belati. Tetapi Sangaji tetap mengulangi te- riakannya, "Aku tak mau bicara!” Mayor de Groote kehilangan kesabarannya. la meram- pas cambuk serdadu yang berada di dekatnya. Kemudian menghajar Sangaji bolak-balik se- hingga jatuh bergelimpangan. Keruan Sangaji menderita kesakitan. Darahnya mengucur dan seluruh badannya bergarit-garit babak-belur. "Ceburi sungai! Aduk airnya! Gerayangi tebing-tebingnya. Pasti dia ada di situ,” perin- tahnya lagi. Sangaji dengan Willem Erbefeld baru kali itu bertemu. Meskipun demikian ia bersedia membela dan melindungi. Ada dua sebab. Per- tama, karena ia kagum kepada kegagahan Willem Erbefeld. Kedua, jelas karena peng- ucapan naluriah. la memiliki jiwa luhur. Sesu- atu hal yang tak dapat diajarkan oleh manusia. Demikianlah, tatkala mendengar Mayor de Groote memberi perintah mengaduk sungai, ia jadi nekat. Kenekadan ini timbul dengan men- dadak. Hal ini disebabkan letupan rasa amarah karena dianiaya sampai kesakitan. "Jangan aduk! Jangan aduk!” teriaknya berulang kali. Mayor de Groote lantas saja dapat menebak teka-teki itu. Ia tertawa berkakakkan sambil 251 menghajar lebih keras sebagai hukuman orang berdusta. Mendadak di luar dugaannya Sangaji terus menubruk kakinya dan menggigit keras- keras. Keruan dia berkaok-kaok kesakitan. Cambuknya diayunkan dan disambarkan seja- di-jadinya sambil berusaha merenggutkan diri. Tetapi Sangaji sudah nekat. la memeluk kaki Mayor de Groote erat-erat dan menggigit lebih keras lagi sampai giginya bergetaran. Mayor de Groote kelabakan. Ia berputar- putar. Mulutnya berkaok-kaok. Menyaksikan kejadian itu Kapten Doorslag tertawa terping- kal-pingkal. Juga Gubernur Jenderal Vuyst. Melihat Gubernur Jenderal tertawa, serdadu- serdadu yang bersikap segan kepada Mayor de Groote lantas saja tertawa meledak. Mereka tak segan-segan lagi. Karena rasa sakit tak terperikan lagi Mayor de Groote melemparkan cambuk. Kini meng- alihkan pedangnya yang digenggam di tangan kiri ke tangan kanannya. Kemudian menum- buki kepala Sangaji dengan gagang pedang. Dua kali ia menumbuk kepala Sangaji. Dengan mendadak didengarnya suara beriuh. Ternyata Willem Erbefeld muncul dari tebing sungai. Dengan menekan dada ia menghampiri Mayor de Groote dan menendang perutnya. Mayor de Groote terpental. Sangaji ikut pula terbanting. Gigitannya lantas saja terlepas. 252 oodanteeauiitaune — ee ee) Oe fee a a ae ee Sambil membangunkan Sangaji, Willem Erbefeld mendamprat. "Kausiksa seorang kanak-kanak, apa tidak malu>” Mayor de Groote tertatih-tatih bangun. la menderita kesakitan luar biasa. Daging pupu- nya semplak. Darahnya merembesi celana- nya. Perutnya seakan-akan terasa hampir meledak pecah. Ia tak dapat berbicara. Wajahnya pucat. Napasnya tersengal-sengal. Serdadu-serdadu lantas saja mengepung Willem -Erbefeld rapat-rapat. Tetapi Willem Erbefeld tak mengenal takut. Dengan tenang ia menyapukan pandangan. Kemudian berkata kepada Gubernur Jenderal Vuyst dengan meludah. “Sayang! Sayang! Mengapa VOC akhirnya ‘jatuh ke tangan manusia-manusia rendah semacam ini.” Semenjak VOC dibentuk Oldenbarneveld pada tanggal 20 Maret 1602 kekuasaan di Indonesia dipegang oleh Gubernur Jenderal dengan dibantu oleh Raad van Indie. Sekarang tiba-tiba orang mendamprat begitu rupa kepa- da seorang Gubernur Jenderal. Keruan saja Gubernur Jenderal Vuyst menjadi gusar. ”Apa kaubilang?” ”Aku bilang, manusia-manusia ini tak mem- punyai moral,” sahut Willem Erbefeld. "Dia 253 sudah dapat menyiksa seorang anak di bawah umur. Dan seorang macam itu kau gunakan se- bagai perwira pengawal pribadi. Bukankah Pengawal itu mencerminkan hati yang dikawal?” Gubernur Jenderal P Vuyst lantas meng- hunus pedang. Willem Erbefeld tidak gentar. Ia tentang pedang itu dengan pandang tajam. "Kau bunuhlah aku! Aku takkan melawan.” katanya dengan keras. Gubernur Jenderal menggigil menahan marah. Tetapi ia mengurungkan niatnya menyabet pedang. Ia pandang Willem Erbefeld tanpa berkedip. ”*Siapa kau sebenarnya!” "Willem! Willem Erbefeld. Aku keluarga pemberontak. Leluhurku dihukum pancung. Nah, hukumlah aku!” sahut Willem Erbefeld dengan berani. ”Tetapi aku mau mati secara kesatria. Sayang, di sini tidak seorangpun yang berhati jantan.” Gubernur Jenderal Vuyst berpaling kepada Mayor de Groote. "De Groote! Kau kena tendangnya. Kau kuberi kehormatan untuk berduel. Hukum dia!” perintahnya. Perintah itu mana menyenangkan_ hati Mayor de Groote. la lagi kesakitan. Tapi mengingat Willem Erbefeld luka parah pula, 254 SA A eg i ek ee af r timbullah keberaniannya. Lantas saja ia men- cari pedangnya yang terpental dari tangan. Lalu maju menghampiri dengan menahan perutnya yang terasa sakit luar biasa. Willem Erbefeld telah menghunus pedang. Maka kedua orang itu lantas saja bertarung. Para serdadu membuat pagar arena. Mereka menahan napas. Dalam hatinya, mereka me- nyokong Mayor de Groote. Sebaliknya Sa- ngaji berdoa untuk kemenangan Willem Erbefeld. Willem Erbefeld tak berani bergerak dan menggunakan tenaga yang tak perlu. Ia hanya menangkis dan berkisar seperempat atau sete- ngah langkah. Tetapi sabetan pedangnya cepat dan bertenaga. Mayor de Groote mana mau mengalah ber- tempur di depan Gubernur Jenderal Vuyst. Meskipun perut dan kakinya kesakitan, ia berkelahi dengan penuh semangat. Ia cerdik lagi. Tahu kalau musuhnya luka parah di dadanya, ia merangsak hebat. Ia mau meng- aduk tenaga lawannya. Dengan cara demi- kian ia mengharap lawannya letih sendiri karena kehilangan banyak darah. Willem Erbefeld sadar akan kelemahannya sendiri. Tetapi ia seorang kapten yang gagah berani. Ia melayani rangsakan Mayor de 255 Groote dengan tenang. Mendadak pundaknya kena tersabet pedang. la jatuh miring. Sangaji terperanjat. Sebaliknya serdadu-serdadu ber- sorak penuh kemenangan. Mayor de Groote berbesar hati melihat ti- kamannya mengenai. Tetapi ia terlalu tergesa- gesa membusungkan dadanya. Ia kehilangan kewaspadaan. Tatkala menyabetkan pedang hendak mengakhiri pertarungan hatinya sudah beralih kepada Gubernur Jenderal mengharap mendapat pujian. la lengah. Kelengahan itu dipergunakan se- baik-baiknya oleh Willem Erbefeld. Memang ia mengetahui tabiat lawannya itu yang me- rupakan titik kelemahan. Sengaja ia membiar- kan pundaknya terkena tikaman pedang. Tetapi mendadak ia ménusuk tubuhnya de- ngan menggulungkan diri. Pedang Mayor de Groote menusuk tanah. Karena hebatnya tena- ga yang dikeluarkan pedangnya sampai ter- tancap kuat. Willem Erbefeld lantas saja mem- babatkan pedangnya ke lengannya. Mayor de Groote memekik terkejut. Sedetik itu ia sadar akan kesalahannya. Tetapi pedang tak mem- punyai mata dan pendengaran. Dalam sedetik itu lengannya terputung menjadi dua. la memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas tanah. 256 ee ee ee ee Ot ee ee re ee ee ee ——- a Para serdadu gusar bukan main. Mereka merangsak maju. Tetapi Gubernur Jenderal melarang mereka bertindak. "Aku mau ia mati puas. Jangan sampai kita disebut perempuan,” katanya nyaring. Willem Elbefeld nampak kehabisan tenaga. Darahnya menyemburi dadanya. Wajahnya pucat. Tubuhnya bergoyang-goyang. Napas- nya naik ke leher. Meskipun demikian ia memaksa diri untuk berbicara. "Aku bisa membunuhnya. Tapi aku meng- hendaki suatu pertukaran.” "Apa maksudmu?” "Satu nyawa ditukar dengan satu nyawa.” Serdadu-serdadu menggerendeng mende- ngar perkataanya. Tetapi Gubernur Jenderal Vuyst tersenyum. "Kamu ingin kubebaskan? Baiklah. Akupun seorang laki-laki. Kamu kubebaskan.” Tetapi Willem Erbefeld menggelengkan kepala. Sahutnya, "Bukan untukku. Tapi aku menghendaki agar anak itu dibebaskan dari segala hukuman.” Gubernur Jenderal Vuyst tercengang-ce- ngang mendengar kata-kata Willem Erbefeld. Sampai-sampai ia tak percaya kepada pen-- dengarannya sendiri. Diam-diam ia mengagu- mi. Sekarang kesannya berbalik. Kalau tadi ia 257 menaruh dendam, kini mendadak merasa sayang. "Hm. Kau tak sayang nyawamu sendiri. Jangan menyesal! Pertimbangkan lagi. Apa gunanya membela bocah Bumiputra?” Willem Erbefeld tersenyum pahit. "Bocah ini belum pernah berkenalan de- nganku. Namun ia berani mengorbankan ke- selamatannya sendiri. Kalau bocah sekecil ini sudah berani mengorbankan nyawa, aku yang sudah berumur hampir setengah abad menga- pa sayang pada nyawa sendiri. Aku dididik keluargaku untuk menghormati jiwa besar dan watak jantan. Aku merasa takluk padanya. Dan bukan kepada ancaman serdadu-serdadu rendahan tak berarti ini.” Tajam perkataannya, tetapi Gubernur Jen- deral Vuyst malahan kian tertarik. *Baiklah, bocah itu kami bebaskan dari segala hukuman. Sekarang tentang dirimu sendiri. Siapa yang kautantang lagi? Pilihlah di antara perwira-perwiraku.” Tanpa berkedip Willem Erbefeld menjawab, "Semuanya maju berbareng, itulah per- mintaanku.” *Kauberani melawan?” Gubernur Jenderal Vuyst menebak-nebak. "Aku tidak melawan. Tidak ada gunanya 258 Pe ee ee ee es ee we - oe TT aku melawan, karena aku sedang luka parah.” Kesunyian terjadi. Gubernur Jenderal Vuyst mengalihkan pandang ke Kapten Doorslag, "Kau maju! Habisi dia!” Kapten Doorslag menghunus pedang. Ke- mudian berkata dengan takzim. ”Perintah Gubernur Jenderal akan kami lakukan. Tetapi izinkan kami berbicara.” "Bicaralah!” "Dia terluka parah. Dengan sekali tebas kami sanggup menghabisinya. Tetapi bagi ka- mi itu bukan tugas yang terhormat. Bagaima- na tidak? Karena aku pasti tak mendapat per- lawanan yang layak. Namaku akan dikutuk- nya sampai ke alam baka sebagai laki-laki rendahan. Sebaliknya dia mati sebagai se- orang laki-laki. Mati karena dikerubut banyak orang. Itulah sebabnya apabila Gubernur Jenderal menyetujui, ampunilah dia.” Gubernur Jenderal menjatuhkan pedangnya ke tanah. la mendengar rintih Mayor de Groote. Timbulah pikirannya, perwira pengawalku tidak dapat memenuhi tugasnya lagi dengan sempurna. Dia telah cacat. Mengapa aku tak mengharapkan bantuan orang itu? Mendapat pikiran begitu lantas dia berkata nyaring kepada Willem Erbefeld. "Apakah kamu masih akan melawan kami?” 259 Dengan memaksa diri Willem Erbefeld maju tertatih-tatih. "Aku menghendaki mati terhormat. Se- umpama seseorang dijatuhi hukuman mati, perkenankan aku memohon satu kali per- mintaan.” la berhenti mengesankan. "Tak sudi dan tak rela aku, kalau yang membunuh diriku adalah seorang yang sederajat denganku. Aku minta agar Gubernur Jenderal sendiri yang menjatuhkan hukuman.” Mendengar permintaan orang itu, Gubernur Jenderal Vuyst tertegun. Memang ia ingin menghukum orang itu dengan tangannya sendiri. Tapi justru karena orang itu meng-ucap demikian, hatinya seperti kena ditusuk kaget. "Mengapa aku?” tanyanya tergagap. "Aku sudah menembak dan melukai Gu- bernur Jenderal. Sudah sepantasnya Gubernur Jenderal sendiri yang menghukum aku,” sahut Willem Erbefeld. Dan ia lantas berlutut di ha- dapannya mengangsurkan lehernya. Jawaban Willem Erbefeld tanpa disadari mengenai tepat relung hati Gubernur Jenderal Vuyst lagi. Dia makin tertegun. Akhirnya sete- lah berdiam menimbang-nimbang, ia berkata agak lunak. "Aku melihat keperwiraanmu. Aku kagum padamu. Ingin aku mempunyai seorang per- 260 oe ee ee ee ee we om = wira seperti dirimu. Seumpama kamu kuberi ampun, bagaimana>?” Pemberian ampun ini sama sekalj tak ter- duga. Sekaligus terlihatlah dua kesan pengu- capan yang bernilai besar. Yang pertama, mem- buktikan kebijaksanaan Gubernur Jenderal Vuyst yang dapat melihat jauh. Kedua, mem- peroleh kesetiaan penuh dari seorang perwira yang sama sekali tak mengharapkan hidup lagi. Willem Erbefeld menggigil seluruh tubuh- nya. Lantas saja dia membungkuk hormat sambil menjawab pertanyaan Gubernur Jen- deral setengah bersumpah. ”Mulai hari ini aku bersedia mati untuk Gu- bernur Jenderal Vuyst. Aku berhutang nyawa.” Gubernur Jenderal Vuyst tertawa berkakak- kan. Serdadu-serdadu dan para perwira ter- cengang-cengang karena sama sekali tak mengira kalau peristiwa besar itu berakhir demikian rupa. Mereka sampai tertegun de- ngan kepala kosong. Gubermur Jenderal Vuyst lantas mengang- surkan pedangnya sambil merogoh saku. ”Pedangku ini kuberikan kepadamu. Mulai sekarang kau ikut aku. Dan ini terimalah gajimu yang pertama.” Ternyata Gubernur Jenderal Vuyst mengelu- arkan sekantung uang emas dan dilemparkan 261 kepada Willem Erbefeld. Dengan senang hati, Willem Erbefeld menerima pedang dan dici- umnya. Sedang terhadap kantung emas dia berkata, "Izinkanlah saya menghadiahkan uang emas ini kepada si bocah. Dialah jem- batan emas bagi kami.” Mendengar kata-kata Willem Erbefeld, Sa- ngaji terperanjat. Ia berteriak, ”Tak boleh aku menerima uang jasa! Tak boleh aku menerima uang jasa!” Semenjak tadi Gubernur Jenderal Vuyst ter- tarik kepada Sangaji. Mendengar ucapannya, ia bertanya, "Siapa yang melarang?” "Ibu. Ibu.” Gubernur Jenderal Vuyst tertawa lebar. la memberi isyarat kepada sekalian serdadunya meninggalkan gundukan itu. Kepada Willem Erbefeld dia berkata, ”Emas itu adalah gajimu. Kau boleh mempergunakan sesuka hatimu. Bawalah anak itu menghadap padaku.” Lalu berangkatlah dia mengarah ke kota. Barisan pengawal segera mendampingi dan mengiringi. Sedangkan serdadu-serdadu bawahan Mayor de Groote mengangkat tubuh Mayor de Groote hati-hati. Willem Erbefeld girang bukan main. la seperti kejatuhan rembulan dari langit. Sesudah nyawanya lolos dari kematian, ia 262 oo ae eer ae a te ee ee ee + Cee © ame mendapat majikan yang bijaksana. Karena girangnya ia membiarkan diri mendekam di atas tanah sambil beristirahat. Kemudian memanggil Sangaji. "Adikku yang baik ... mulai sekarang kau adalah bagian jiwaku. Di mana rumahmu? Yuk, kita pulang bersama ...” Sangaji habis mendapat ganjaran cambuk dan hulu pedang. Tadi tak dirasakan penderi- taannya, karena hatinya marah dan tegang. Kini—sesudah marabahaya berlalu. dan mendengar suara panggilan lembut—rasa sak- itnya mulai terasa merunyam dalam dirinya. Langkahnya sempoyongan. Tatkala hampir menyentuh tubuh Willem Erbefeld, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri. kkKK 263

You might also like