6
WIRAPATI
SEMENJAK bari itu Sangaji hidup dalam
tangsi dengan Willem Erbefeld. a diambil adik
angkat. la mendapat hak-hak pendidikan dari
Gubernur Jenderal sendiri sebagai keluarga
seorang perwira.
Rukmini tidak keberatan. Pikirnya, tak dapat
aku memberi pendidikan penuh kepadanya.
Barangkali dengan jalan ini ia dapat pula men-
dapat pendidikan dan pengajaran militer. Di
kemudian hari pasti ada gunanya jika sudah
tiba waktunya mencari jejak pembunuh ayah-
nya.
‘Memang—Sangaji kini diperkenankan bela-
jar menembak, Willem Erbefeld seorang pe-
nembak mahir. Rahasia-rahasia menembak
jitu diajarkan ke Sangaji sebagai balas jasa dan
balas budi. Tak mengherankan, dalam jangka
waktu setengah tahun saja ia telah mahir me-
nembak melebihi perwira-perwira muda.
264
|
|
j
ene
Sangaji diajar pula belajar membaca dan
menulis berbahasa Belanda. Meskipun belum
dapat digolongkan anak-anak berotak cemer-
lang, ia mulai bisa menghafalkan huruf latiri
dan membaca kata-kata bahasa Belanda. la
girang mendapat kepandaian ini. Ibunyapun
bersyukur dalam hati.
“Ibu—doakan selalu agar aku pandai dalam
segala hal. Setelah aku pandai kubawa Ibu
pulang ke Jawa, Akan kucari musuh Ayah
sampai ketemu.”
Willem Exbefeld benar-benar seorang yang
berhati tulus. Ternyata ia tidak hanya meren-
canakan menurunkan seluruh kemahirannya
menembak jitu. Tetapi dengan diam-diam ia
hendak mengajar pula ilmu menunggang
kuda, ilmu melempar belati, berenang dan
menembak pistol.
Pada suatu hari ia membeli seekor kuda
‘Sumbawa. Kuda itu berwama hitam kecoke-
lat-cokelatan. Gagah-perkasa dan larinya
cepat luar biasa.
”Sangaji! Kauberi nama apa dia?” tanyanya.
‘Sangaji sangat bergirang hati, sampai-sam-
Pai tak kuasa menjawab pertanyaan itu,
"Kau harus mencari sebuah nama yang
bagus menurut kata hatimu,” Willem Exbefeld
mendesak.
265Sangaji kemudian berpikir. Hari itu. belum
juga ia menemukan suatu nama yang tepat
bagi kuda pemberian Willem. Akhimya ia
pulang ke rumah untuk minta pertimbangan
ibunya. Ibunya berotak sederhana. Tak dapat
dia membantu mencarikan nama yang bagus.
Diusulkan dua tiga nama, namun Sangaji tak
menyetujui.
“Ibu! Nama kudaku itu harus selalu meng-
ingatkan aku kepada kakakku Willem Erbe-
feld,” kata Sangaji. Tiba-tiba suatu pikiran me-
nusuk benaknya. Lantas berkata setengah
girang, "Eh ... apa salahnya kunamakan
Willem pula.”
"Hus! Itu nama kakakmu. Masa kamu seolah
‘menunggangi kakakmu?" tegur ibunya.
‘Sangaji terkejut. Terpaksa ia menggugurkan
nama itu dari ingatannya. Akhimya ia kembali
ke tangsi dengan kepala kosong. Waktu
Willem Erbefeld menanyakan usahanya men-
cari sebuah nama, dengan sedih ia mengge-
lengkan kepalanya.
Willem Erbefeld tertawa panjang.
"Mari kubantu,” Katanya ringan. "Nama
kudamu itu harus sebagus-bagusnya. Setiap
kali kaupanggil namanya, ingatanmu lantas
saja terkenang pada sesuatu. Nama itu harus
kau kasihipula. Umpamanya kauberi nama:
Susi, Anny, Dudi, Bibo ...”
266
i
“Tidak! Tak suka aku nama-nama itu,” po-
tong Sangaji. "Dalam hidupku ini hanya
kakakiah yang kusayang dan kucintai selain
bu.”
Willem Erbefeld tercengang. la merenungi
Sangaji seakan-akan mencoba menyelidiki,
kata hatinya. Kemudian tertawa terbahak-
bahak.
"Benarkah kamu suka pada namaku?
Willem Erbefeld? Ah! Kamu tahu arti Erbefeld?
Dia seorang pemberontak yang dihukum pan-
cung VOC. Kepalanya dipasang di atas gapu-
ra. Nah, sukakah kamu kepada keluarga pem-
berontak?”
*Paman Willem berontak juga. Akupun
kelak juga berontak,” sahut Sangaji cepat.
Willem Erbefeld terperanjat_ mendengar
ucapan Sangaji. Dengan mata terbeliak ia ber-
kata, "Ah, anak yang baik. Kau belum tahu
kata-kata berontak. Him. Kau akan berontak
pada siapa?” :
"Pada pembunuh ayahku.”
Apa kaubilang?” Willem Erbefeld ter-
cengang-cengang karena sama sekali tak
mengira mendapat jawaban demikian.
‘Sangaji mengulangi ucapannya. Kemudian
mengisahkan riwayat keluarganya hasil pem-
beritahuan ibunya. Dia sendiri hanya teringat
267lapat-lapat. Tatkala sampai pada kisah pende-
ritaannya di Jakarta, matanya merah.
Willem Erbefeld termenung sejenak. Tiba-
tiba memeluknya erat sambil berkata penuh
perasaan. “Adikku yang baik hati ... Mulai
sekarang berjanjilah kepadaku ... hendaklah
kamu berbakti kepada ibumu ... dan
meneruskan perkataannya. Terbayanglah
saat-saat Sangaji membela dirinya setengah
tahun yang lalu. Seumpama dia sampai tewas,
bukankah dirinya menambeh kepedihan hati
ibunya? Memikirkan ini, ia menggigil. la heran
kenapa si anak sendiri tak memikirkan kepen-
tingan diri sendiri, Sekaligus bertambahlah ke-
kagumannya pada keluhuran jiwa Sange
Pastilah keluarganya mengutamakan keluhu-
ran budi, pikimya menebak-nebak. Kemudian
ia mengalihkan pembicaraan,
"Eh ... tentang nama kudamu, mengapa tak
kauberi nama Untung atau Surapati? Seabad
yang lalu di Jakarta ini hidup seorang anak
laki-laki yang bernasib tak beda denganmu,
namanya Untung. Dia diketemukan di Pulau
Bali oleh Kapten Beber. Barangkali diapun
anak Bali. Mungkin pula seorang anak suku
Jawa yang dihuncang nasibnya ke Bali. Kelak
dia menjadi seorang perajurit tiada tara. Lantas
268
Le
namanya berubah menjadi Untung Surapati
setelah berhasil_membunuh anak-angkat
Sultan Cirebon yang bengis bernama Surapati.
Diapun mengenal tata cara keprajuritan di
dalam tangsi kompeni. Karena dia diambil
anak-angkat seorang Mayor bemama Moor.”
“Lantas?” Sangaji tertarik.
"Di kemudian hari dia menjadi raja Jawa Ti-
mur bergelar Wiranegara. Dialah yang meng-
ithami leluhurku pada tahun 1721. Dialah yang
dipuja leluhurku sampai mati, Akupun me-
ngagumi keperwiraannya.”
"Dia keturunan orang Bali?” Sangaji mene-
gas.
"Begitulah menurut cerita orang. Tapi ada
yang bilang, dia berasal dari Jawa. Pada suatu
hari dia bermain-main di tepi laut dan dibawa
lari orang ke Pulau Bali, Dia dijual kepada se-
orang pedagang sutra dari Pulau Bawean.
Kemudian dibeli Kapten Beber di Makassar.
Setelal jalnya pula kepada Mayor Moor.”
‘Sangaji dian merenung. Pikimnya, kenapa
perjalanan hidupnya hampir sama dengan
ditiku.
Willem Erbefeld tahu membaca_hatinya.
Diapun sebenamya lagi membendingkan
riwayat perjalanan hidup Untung Surapati de-
ngan adik angkatnya.
269“Ayahmu seorang Bali pula. Kamupun kini
hidup pula di dalam tangsi. Siapa tahu di kemu-
dian hari kamu menjadi Untung Surapati.”
Justru oleh kata-kata Willem Erbefeld ini
Fenungan Sangaji bubar berderai. la merasa
diri malu. Cepat-cepat ia mengalihkan pem-
bicaraan.
"Kudaku memang bagus kalau kunamakan
si Untung. Atau si Untung Surapati. Tetapi aku
belum kenal dia. Sebaliknya yang kukenal dan
Kukagumi adalah kakak. Kakakpun memuja
pahlawan Untung Surapati. Apa bedanya, ya?”
“Hm, Jadi kudamu akan kauberi_ nama
Willem?
Wajah Sangaji berubah merah. Gap-gap ia
mau membuka mulut, tetapi Willem Exbefeld
mendahului tertawa terbahak-bahak. "Baiklah!
Namakan saja Willem, kalau kau memang
suka nama itu.”
Sangaji girang dalam hati. Tetapi ia segan
menerima pembenaran itu. la menundukkan
kepala.
Adikku yang baik. Jangenlah kamu merasa
telah menghinaku. Sama sekali tidak. Aku tak
merasa kauhina. Bahkan aku bangga dan ber-
terima kasih, karena aku merasa kauhargai.”
‘Sangaji merawat kudanya dengan kesung-
guhan hati. Tetapi belum berani ia mencoba
270
menungganginya. Si Willem masih liar dan
galak. Melihat si anak matanya mengancam.
Willem Erbefeld pada hari-hari itu nampak
sibuk. Keadaan pemerintahan Belanda sedang
guncang, menghadapi pemulihan tata-tertib
akibat pengambilan alih VOC. Meskipun VOC
sudah dibubarkan dan dimasukkan ke dalam
Bataafsche Republiek dengan pengawasan
penuh, namun sepak terjang bekas anggota-
anggotanya yang cureng dan sudah biasa
bermain sogok tidakiah mudeh diatasi. Masih
saja terjadi bentrokan-bentrokan dengan perke-
lahian senjata dan adu kuasa. Terpaksalah
ernerintah Belanda menggunaken tenaga
milter. tulah sebabnya Willem Erbefeld jarang
i rumah. Dengan senditinya belum dapat
mengajar Sangaji ilmu menunggang Kuda.
Namun ia masih mengusahakan diri untuk
mengisi kekosongan itu. Sambil lalu ia menu-
runkan melempar belati dan menembak pistol.
Demikianlah selama dua bulan penuh si Wi
em tetap berada dalam kandangnya. Sangaj
hanya berlatih melempar belati dan menembak
di tengah lapangan dekat pantai®).
Pada suatu hari tatkala dia lagi sibuk berlatih
tiba-tiba datanglah seorang perwira Belanda
40)
andengan empat anak laki-laki tanggung, ber-
umur 17 tahunan. Perwira itu berlengan
kutung. Dialah Mayor de Groote.
‘Mayor de Groote menaruh dendam kepada
Willem Erbefeld dan Sangaji. Maklumlah, ia
tergeser kedudukannya. Dan malapetakanya
disebabkan gara-gara Sangaji pula. Dalam
masa perawatan ia sudah mereka-reka hendak
membalas dendam. Terhadap Willem Erbefeld
la benar-benar segan dan merasa tak mampu
melawan, Kecuali dengan fitnah-fitnah tertentu.
Untuk ini dia belum memperoleh kesempatan.
Tetapi terhadap Sangaji, ia dapat berpikir
penuh. Dia mengharap akan dapat berjumpa
i tengah jalan atau di tengah lapangan. Di
sanalah dia mau melampiaskan dendam.
Tetapi sebagai seorang perwira tinggi rasanya
kurang pantas pula melampiaskan dengan
secara langsung. Sebab kalau hal itu diketahui
Willem Erbefeld bisa berabe. Maka ia berpikir
lain, la mengumpulkan empat orang anak ter-
diri dari dua orang anaknya sendiri dan dua
kemenakennya. la ingin menggunakan tenaga
mereka secara tak langsung.
Begitulah ia menghampiri Sangaji. Tanpa
bilang sesuatu patah katapun ia merampas
pistolnya.
"Pistol dari mana is
i?” tegurnya garang.
272
‘Sangaji mempunyai kesan tertentu terhadap
‘Mayor de Groote. la benci dan muak. Meskipun
demikian agak segan Juga tethadap pangkat-
nya. Namun ia menjawab dengan berani.
Pistol kakakku, Mengapa?”
"Kakakmu seorang militer. Tapi kau bukan!
‘Mana boleh bermain-main dengan pistol?”
‘Sangaji tak dapat menjawab. Memang ia tak
mengetahui peraturan militer. Masih ia menco-
ba menjawabnya.
"Tapi kakakku sendiri yang memberi
"Bohong! Kau setan ‘ar bohong! Kau
mencuri dari saku. kakakmu, bukan? Hayo,
mengalu tidak!”
"Tidak! Tidak!”
"Kau pintar bohong! Tangkap dial Hajar
sampai pingsan, biar tahu rasa.” Karena perin-
tah itu lantas saja ke empat pemuda tanggung
menerjang. Memang sebelumnya mereka
telah dibisiki dan dipompa dengan hasutan-
hasutan dendam kesumat. Keruan saja mere-
ka menerjang tanpa segan-segan lagi.
‘Sangaji kena dibekuk mereka berempat dan
dibanting ke tanah. Mukanya lantas saja penuh
debu. Hatinya panas bukan main. Matanya
menyala dan tubuhnya menggigil menahan
marah,
Ke empat pemuda tanggung itu tertawa
- 273berkakakkan sambil meludahi muka Sangaji
dengan berbareng. Nampak benar, kalau
mereka telah diatur dan dilatih.
Sangaji_ melemparkan pandang kepada
‘Mayor de Groote. la ingin mendapat ketegasan
lagi mengapa dia lantas dihajar tanpa diberi
kesempatan untuk berbicara lebih jauh.
Ternyata Mayor de Groote tersenyum panjang
sambil_membolak-balik pistolnya. Melihat
sikapnya Sangaji tak dapat menguasai dir.
Timbullah kenekatannya. la hendak melawan
sejadi-jadinya, karena merasa diperlakukan
tidak adil. Pandangannya kini beralih kepada
keempat pemuda tanggung. Kemudian me-
nyerbu dengan mengadu gundul.
Dalam hal perkelahian dengan tangan
Kosong Sangaji mati kutu. Selain belum per-
nah berkelahi juga kalah besar. Keruan saja
begitu ia menyerbukan gundulnya, pemuda-
emda tanggung itu lantas saja menyibak
dengan cepat. Mereka kemudian berputar dan
bersama-sama menghujani tinju ke punggung
dan lehernya.
Alangkah sakit! Tapi Sangaji tak mau meng-
aduh. Dia pemah dihajar Mayor de Groote jauh
lebih hebat. Untuk pukulan kali ini tak sudi ia
merasakan.
la merenggutkan iti, Cepat-cepat menang-
274
kis dan meninju kalang-kabut. Keempat pe-
muda tanggung itu lantas melawan dengan
memecahkan diri. Pemuda yang berada di
sebelah timur mengirimkan tinjunya sambil
berkata garang, “Inilah tinju Jan de Groote!”
Buk! Tinjunya mengenai tulang belikat.
"Dan inilah bogem mentah Karel Speel-
man,” kata pernuda tanggung yang berada di
sebelah barat. Tinjunya tepat mengenai dagu.
Sangaji_ sempoyongan. Tubuhnya_tergetar
mundur dua langkeh. Mulutnya menyembur-
kan darah. Cepat-cepat ia menancapkan kaki.
Belum lagi kokoh kuat, Peter de Yong dan Tako
Wediema yang menerjang dari depan meng-
hantam perut dan dadanya.
‘Sangaji terpental mundur lagi dan jatuh ter-
jengkang. Keempat pemuda tanggung itu lan-
tas menerjang berbareng dan menunggangi
berbareng pula. Mereka menggebukinya de-
gan serempeak. Sejurus kemudian mereka
menoleh kepada Mayor de Groote. Mayor de
Groote mengedipkan mata member! isyarat.
‘Mendapat isyarat itu mereka berdiri serentak
dan menyeret kedua kaki Sangaji. Mereka
membawa lari berputar-putar ke lapangan.
‘Akhimya dicampakkan ke dalam parit berlum-
pur. Setelah itu mereka berdiri puas
parit mengawasi korbannya.
275‘Mayor de Groote menghampiri dan mem-
bentak seolah-olah menyesali mereka.
*Mengapa keterlaluan? Aku hanya menyu-
tuh menghajar selintasan saja.”
Pistol Sangaji diletakkan di atas tanah.
Kemudian pergilah dia dengan puas.
*Mestinya kalian harus melemparkan dulu
ke udara sebelum kalian ceburkan ke dalam
parit,” katanya.
"Baiklah. Besok kami lemparkan dia ke
udara. Kalau perlu kami patahkan kaki dan
lengannya,” sahut mereka serentak.
Dendam Mayor de Groote itu demikian besar
sehingga kehilangan kesadarannya sebagai
Perwira tinggi dan seorang yang sudah berusia
lebih empat puluh tahun.
"Tetapi kalian harus bekerja sendiri mulai
besok, Dalam hal ini tak lagi ak
katanya.
Mereka terdiam.
"Tek usahlah kalian takut. Seumpama ada
tuntutan akulah yang akan membela kalian,”
‘Mayor de Groote membesarkan hatinya. Ka-
rena anjuran itu mereka bersemangat kembali.
Pada saat itu Sangaji menggeletak pingsan
di dalam parit berlumpur. Seluruh tubuhnya
babak-belur. Untunglah, parit itu dangkal
sehingga tidak membahayakan nyawanya.
cut campur,”
276
Mendadak sepasang lengan mengangkat
tubuhnya dan ia diletakkan di atas tanah.
Orang yang mengulurkan tangan itu seorang
laki-laki berperawaken tegap. Dia berumur
kurang lebih tiga puluhan tahun. Dan bintang
penolong itu sesungguhnya Wirapati.
Delapan tahun lamanya bersama Jaga
Saradenta menjelajah kota Jakarta. Tiap kem-
pung dijenguknya untuk mencari Rukmi
Tetapi usehanya sia-sia belaka. Hatinya sedih
dan cemas. Bukankeh masa pertandingan
tinggal empat tahun lagi, sedangkan si anak
belum juga dapat diketemukan. Akhimya dia
berunding dengan Jaga Saradenta agar mem
sahkan diri. Jaga Saradenta berkeliling mengt-
tari luar kota Jakarta. Sedangkan dia sendi
tetap berada di dalam kota.
Pada hari itu dia berada di pinggir lapangan
menghempaskan diri di rerumputan. la terkejut
waktu. mendengar letupan-letupan pistol.
Tatkala menegakkan kepala dilhatnya se-
‘orang pemiuda tanggung anak Bumiputera lagi
belajar_menembak pistol. Segera ia dapat
menduga, kalau pemuda tanggung itu pasti
anak serdadu. Jika tidak, bagaimana mungkin
menggenggam pistol.
la merebahkan kepalanya di atas rerum-
putan. Hatinya sama sekali tak tertarik. la
277terlanjur benci kompeni dan semuanya yang
berbau kompeni. Bahkan hatinya rada mengu-
tuk. Hm,—apa enaknya menjadi serdadu
Belanda. Paling-paling anaknya jadi anak
kolong’) calon begundal bangsa asing. Cuh!
Mendadak saja ia mendengar kesibukan
lain. Kembali dilongongkan kepalanya, Dilihat-
nya si anak Bumiputera dikerubut empat
orang yang usianya tak jauh dari mereka. Hati-
nya tertarik, Pikirnya, apakah anak kolong itu
mencuri pistol opsir?
Hati-hati ia mendekat agar dapat mende-
ngar pembicaraan mereka. la mendengar si
anak Bumiputera menyangkal tuduhan opsir
itu. Kemudian si opsir memberi_perintah
menghajar sampai pingsan. Sebagai seorang
yang cukup berpengalaman dan dewasa,
lantas saja dapat merasakan sesuatu kesan
tak adil. la seorang usilan. Segera perhatian-
nya bekerja, Tatkala melihat si anak kolong
digebuki begitu hebat, rasa sedarah dan
sebangsa lantas saja bangkit. Meskipun
agar tak
bertindak ceroboh. Pengalamannya yang
pahit dulu mengajar dirinya agar lebih hati-
hati.
Setelah mereka pergi, cepat ia mengham-
piri parit. Diletakkan si anak kolong di atas
tanah dan direnungi. Sebentar ia menunggu
sampai napas si anak itu berjalan lancar.
Kemudian melangkahlah ia pergi dengan
kepala dingin.
Mendadak anak itu mengigau, "Willem!
Willem! Aku anak Bali! ... Addu ... uh
Wirapati terperanjat. la _berhent
menoleh. Pethatiannya tergugah.
Anak Bali,” bisiknya pada diti sendiri
Ja mengampiri dan anak itu dijenguknya.
Tatkala itu Sangaji sedang menggeram, tanda
dari kekerasan hatinya emoh menyerah.
Wirapati menduge dia telah sadar kembali.
"Hai, kau anak siapa?”
Si anak menjenakkan mata, mendadak de-
gan menggeram ia bangun dan menyerang.
Wirapati membiarkan dirinya diserang. Sangaji
temyata menubruknya sejadi-jadinya dan
menumbukkan tinjunya kalang kabut
"Hai tahan! Tahan! Kau anak siapa?”
"Aku anak Willem!” sahut Sangaji berontak
dan terus ia memperhebat tinjunya.
Wirapati terpaksa menangkap kedua tinju-
nya. Dihadapkan Sangaji kepadanya. Ternyata
kedua pipinya bengkak hampir menutupi
kelopak matanya.
dan
279“Lihat! Aku bukan ..
Sangaji telah memperoleh_kesaderannya,
Semar-samar ia melihat bukan musuhnya. [a
menyerah. Tenaganya mengendor.
"Duduklah!” ajak Wirapati. "Kau pingsan
tadi. Kuangkat kamu dari parit. Mengapa
menumbuki aku?”
‘Sangaji hampir kehabisan tenaganya. la lan-
tas duduk berjongkok. Wirapati melepaskan
terkamannya. Tiba-tiba ia bangkit dan ingin
lari mengejar musuh-musuhnya.
"Kau mau lari ke mana? Mau lari ke
mana?”
Wirapati_ menyambar kedua pupunya.
Karuan saja Sangaji tertahan. la berontak
untuk mencoba merenggangkan diri. Mana
bisa ia melawan tenaga Wirapati. Terpaksa ia
menyerah, tetapi mulutnya terus mengomel.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!”
Napas Sangaji_ tersengal-sengal. Wirapati
berpikir, keras kemauan anak ini. Sayangnya,
cuma bergerak tanpa pikiran.
"Hal ... musuhmu telah lama pergi. Kaumau
cari mereka ke mana?”
"Dia kawannya Mayor de Groote. Akan
kucari mereka.”
"Mereka berempat. Kau takkan menang.
Kau akan disiksanya lagi.”
280
"Biarl Aku tak takut.”
"Hm ... mengapa mengadu nyawa begitu
bodoh?” bentak Wirapati.
Dibentak demikian Sangaji terdiam. la
mulai menimbang-nimbang. Ditolehlah orang
itu. la melihat seorang laki-laki, berperawakan
tegap seperti Willem Erbefeld. Wajahnya te-
nang. Matanya menyala. Cakap orang itu, tapi
kumis dan jenggotnya tak terawat dengan
baik-baik.
"Pistolmu masih menggeletak di tanah. Itu!”
kata Wirapati.
Karena ucapan Wirapati timbullah satu pikir-
an dalam benak Sengaji. la menunduk.
Dilihatnya pistol yang dirampas Mayor de
Groote menggeletak di tepi parit. Segera ia
merenggutkan diri dari pelukan Wirapati,
Kemudian mengambil pistoinya. la merogoh
kantong dan mengeluarkan sebungkus bubuk
mesiui yang sudah basah oleh air parit
"Benar! Tak dapat aku mengadu tinju. Biar
Kutembak saja,” kata Sangaji mengancam.
"Kau semuda ini sudah belajar membunuh
orang?”
"Aku harus belajar membunuh orang,
jawab Sangaji tegas. Wirapati tercengang.
"Apakeh agar kamu kelak menjadi sedadu
Belanda yang gagah?” katanya menyeli
281"Tidak. Tak ada angan-anganku menjadi
serdadu. Tapi aku harus belajar membunuh
‘orang. Kelak aku membalas dendam.”
Rukmini selalu menanamkan ke dalam
lubuk hati Sangaji tentang nasib ayahnya yang
dibunuh oleh seorang yang tak dikenal.
Dibayangkan juga perawakan orang itu.
Pikirnya, kalau dia mati muda, anaknya akan
bisa mencari si pembunuh itu dengan pedo-
man keterangannya.
Wirapati mengira ayahnya mati di medan pe-
rang sebagai seorang serdadu. Mau ia menduga,
kalau Sangaji anak seorang serdadu berasal dari
Bali. Karena ia benci semua yang berbau
Belanda, diam-diam ia menyukurkan.
"Serdadu mati di medan perang adalah lum-
rah.” Kata Wirapati dingin.
"Ayahku bukan serdadu.”
"Lantas?” Wirapati heran.
"Ayahku orang Bali.”
Wirapati tersenyum memaklumi.
"Orang Bali yang menjadi serdadu Belanda.”
"Buken! Ayahku seorang petani.”
"Hm. Siapa namanya?”
"Made Tantre. Mengapa? Dia dibunuh orang.
Ibu yang bilang.”
Mendengar nama Made Tantre seketika itu
Juga hati Wirapati tergetar. Jantungnya ber-
282
degup sampai mulutnya jadi gap-gap.
"Made Tantre? Siapa nama ibumu?”
Sangaji heran melihat orang menaruh per-
hatian kepadanya.
“Ibuku ya Ibu.” Jawab Sangaji sambil me=
“nebak-nebak.
Wirapati_ menduga Sangaji masih_men-
dongkol. Segera mendesaknya lagi.
“Anak yang baik. Ingin aku mengetahui nama
ibumu. Apakah dia orang Bali atau Belanda.”
"Apa kau bilang?” bentak Sangaji sakit hati,
la mengira Wirapati akan kurang ajar. Lantas
berkata keras, "Ibuku bukan orang Bali! Bukan
pula Belanda. Ibuku ya ibuku.”
‘Mendengar jawaban Sangaji tahulah Wira-
pati kalau si anak mungkin tak kenal nama
ibunya. la girang bukan main serasa mau
jungkir balik. Tetapi ia meyakinkan diri lagi.
"Dan kau sendiri, siapa namamu?”
"Aku Sangaj
"Sangaji? Betul kau bernama Sangaji?”
Wirapati bertambah yakin.
Sebaliknya Sangaji tersinggung oleh kata-
kata Wirapati. Kantong bubuk mesiunya di-
kantongi kembali.
*"Memangnya cuma kamu sendiri yang
bernama Sangaji.” Kata Sangaji dingin.
283Habis berkata demikian ia bersiap hendak
lati mengejar lawan-lawannya tadi
"Hal, nanti dulu!” sanggah Wirapati. "Menga-
pa kau tadi bilang anak Willem?”
‘Sangaji mengurungkan niatnya.
“Willem adalah kakak-angkatku. Tapi dalam
hatiku ia bagaikan ayah-angkatku. Dia se-
orang kapten musuh Mayor de Groote si jaha-
nam itu.”
Teranglah sudah bagi Wirapati, itulah anak
yang dicarinya semenjak delapan tahun yang
lalu. Air matanya nyaris meleleh. Inginlah dia
memeluknya, tapi cepat-cepat ia menahan
hati. Pikimya, kalau Jaga Saradenta tahu anak
ada di sini apa yang akan dilakukan.
Baiklah aku bersabar hati dahulu.
"Sangaji,” Katanya.’ "Aku sekarang kenal
namamu, Boleh aku memanggil namamu,
bukan?”
Sangaji memanggut keci
"Bagus! Kau bukan budak mereka tadi, ta
au dipukuli sampai bengab. Kau berani mem-
balas?”
"Mengapa tidak?”
"Bagaimana caramu membalas?”
"Kucari mereka. Mereka akan kutembak
‘sampai mampus.”
Wirapati adalah murid Kyai Kasan Kesambi
284
yang tak pemah menggunaken alat senjata
mencapai jarak jauh. Bahkan, dia diajar juga
membenci senjata-senjata rahasia semacam
itu seperti bandringan, panah, jepretan dan
sumpit. Dengan sendirinya tak dapat meng-
hargai orang-orang yang mahir dalam alat
senjata itu. Dalam hatinya ia menilai sebagai
suatu perbuatan tak jantan. Itulah sebabnya,
setelah dia tahu si anak itu Sangaji, mulailah
dia menaruh perhatian, Katanya setengah
menyanggah, "Mengapa menggunakan sena-
pan atau pistol? Bukankah mereka tadi hanya
bertangan kosong? Seorang laki-laki, seorang
kesatria takkan berbuat demikian. Dia dihan-
tam dengan tangan kosong. Untuk merebut
kemenangan sebagai balas dendam, dia boleh
belajar ilmu apa pun sepuluh atau dua puluh
tahun lagi. Tapi tak bakal dia mengalahkan
musuhnya itu dengan menggunakan alat sen-
jata apa pun juga. Itulah seorang kesatria
sejati.”
Hebat pengaruh kata-kata Wirapati dalam
lubuk hati Sangaji. Anak itu lantas saja menja-
di gelisah. la merasa diri tak mampu melawan
mereka dengan bertangan kosong. Satu-satu-
nya kemahiran yang dirasakan melebihi mere-
ka ialah kemahiran menembak. Sekarang
orang itu menilai perbuatan demikian bukan
285kesatria, Dan ia emoh dicap bukan kesatria,
Wirapati dapat menebak gejolak hatinya.
"Dengan tak usah menggunakan senjata
kau bisa mengalahkan mereka.”
Sangaji menegakkan kepala. Matanya bersi-
nar-sinar. Tapi mulutnya tak bersuara.
"Kau tak percaya?” kata Wirapati
Lihat!”
Setelah berkata demikian ia melesat ke kiri-
ke kanan. Kemudian menjejakkan kaki. Se-
kaligus meloncatlah dia ke udara. Kakinya
dibenturkan lagi dan ia melambung tinggi.
Setelah itu dia turun berjumpalitan di udara
dan mendarat di atas tanah tanpa ada sekelu-
mit debupun yang tergeser dari tempatnya.
‘Sangaji temganga-nganga sampai mulutnya
terbuka. la sampai tak mempercayai peng-
lihatannya senditi seolah-olah melihat setan.
Wirapati tahu Sangaji mulai kagum kepada-
nya. Timbul dalam hatinya hendak membuat
si anak takluk benar padanya, agar di ke-
mudian hari tak menimbulkan kesukaran. la
melesat lagi berputaran. Mendadak seolah
Jenyap dati penglihatan. Tahu-tahu tangan
Sangaji seperti kena disentil. Pistol yang
digenggamnya telah pindah tangan.
"Nah lihat! Meskipun kamu membawa sen-
Jata, aku dapat merampasnya dengan gam-
pang,” kata Wirapati.
286
‘Sangaji sudah semenjak tadi kagum hingga
tak bisa berbicara. Kini menyaksikan kegesit-
annya yang lain, keruan bertambahlah ter-
nganganya. Mendadak Wirapati melesat lagi.
Dan tanpa disadari pistol telah kembali lagi ke
genggamannya. Susahlah bagi Sangaji untuk
melukiskan kegesitan Wirapati. la merasa
seperti melihat sulapan belaka.
"Sangaji,” kata Wirapati. "Kulihat kau tadi
berlatih_ menembak pistol. Sudah_mahirkah
kamu menembak? Coba kulihat.”
Sangaji telah berada dalam pengaruh
Wirapati. Apa yang dimiliki dalam dirinya
seperti telah hilang setengahnya. Meskipun
demikian, tatkala mendapat pertanyaan ten-
tang kepandaiannya menembak, inginlah
juga ia memamerkan barang sebentar.
Dengan berdiam diri ia mengisi bubuk mesiu.
la mencari sasaran. Dilihatnya setumpuk batu
berserakan di depannya. la menjumput se-
buah batu dan dilemparkan ke udara.
Kemudian ditembaknya tepat hingga hancur
berhamburan.
"Bagus!” Wirapati memuji. Diam-diam ia
bergembira menyaksikan calon muridnya
mempunyai bakat. "Sekarang ayo kita ber-
tempur. Kau boleh menggunakan senjata dan
287tembaklah aku. Dan aku akan menggunakan
tangan kosong.”
‘Sangaji ragu-ragu. Benar, ia kagum pada
kegesitannya, tetapi apa dapat berlawanan
dengan kecepatan peluru? Sebaliknya
Wirapati tak senang melihat dia beragu.
"Kau laki-laki! Belajarlah mengambil kepu-
tusan cepat. Kamu kutantang, mengapa tak
berkutik, seperti kelinci?”
Sangaji adalah seorang anak yang mudah
tersinggung. la berani melawan Mayor de
Groote dan kaki-tangannya, semata-mata
Karena merasa diri tersinggung. Untuk itu ia
berani mengambil risiko. Begitulah kali ini.
Ketika mendengar ucapan Wirapati yang
menusuk perasaannya lantas saja darahnya
meluap. Segera pistolnya diisi. Kemudian de-
ngan kecepatan yang dimiliki, ja menembak
dengan sekonyong-konyong,
Wirepati hanya nampak bergerak sedikit
dan mesiu pistol lewat berdesing menembus
udara_kosong. Cepat-cepat Sangaji: mengisi
bubuk mesiu lagi. la berkelahi dengan sung-
guh-sungguh dan nampak semangat tem-
pumya yang tinggi. Tetapi bagaimana dia
dapat melawan kecepatan Wirapati. Selama
delapan tahun merantau ke pelosok pantai
utara Jawa Barat Wirapati tak pernah mela-
288
laikan latihan. Latihan kecepatan dilakukan
dengan sungguh-sungguh untuk mengejar
kerugian dalam hal llmu Mayangga Seta yang
tak pernah dipelajarinya.
Demikianlah—belum lagi Sangaji bergerak
ia memungut sebutir kerikil dan disentiInya.
Lengan Sangaji lantas saja menjadi kaku. Dan «
pistolnya runtuh dari genggaman tanpa di-
sadarinya.
*Kenapa bisa jatuh?” seru Wirapati berpura-
pura dungu.
‘Sangaji tertegun. Tak dapat ia menerangkan
mengapa pistol itu terlepas. la hanya merasa
lengannya kaku dengan mendadak.
Wirapati tertawa. Dengan memungut sebutir
kerikil lain, "Lihat, nih! Kamu kutembak de-
gan sentilan kerikil ini lagi.”
Berbareng dengan ucapannya sebutir kerikil
melesat dan tepat mengenai urat siku. Lengan
‘Sangaji lantas dapat bergerak lagi.
‘Sangaji tenganga-nganga. Sekaligus dapat-
lah ia menyaksikan tiga macam kepandaian
Wirapati. Bergeser tempat, merampas senjata
dan menembak dengan keriki
"Kau lihat dan rasakan sendiri sekarang.
Senjata pistol tak dapat kau buat pegangan.
Sekiranya musuh-musuhmu seperti aku,
kamu sudah dibalas sebelum sadar,” kata
289Wirapati mengesankan. "Sekarang kamu ingin
membalas dendam. Kamu tak mempunyai
kecakapan lain kecuali menembak, lantas apa
yang mau kauandalkan?”
Sangaji tergugu. la tegak seperti tugu.
Sejurus kemudian ia berkata sambil menelan
= ludah.
"Apa itu ilmu siluman?”
Mendengar ujamya, Wirapati tertawa ber-
kakakkan,
"Bukan! Sama sekali bukan! Kaupun dapat
pula mempelajarinya. Asalkan tekun dan
sungguh-sunggubh ... dan berbakat!”
‘Mata Sangaji menyala. Ingin dia menyata-
kan serentak hendak belajar imu itu, Tetapi
rasa_segan mendadak menusuk. Dia batal
senditi. matanya redup kembali.
Wirapati tahu membaca gejolak hatinya. la
girang, Karena ia sengaja berlaku untuk mem-
bangkitkan serangat Sangaji. Tatkala melinat
mata Sangaji meredup kembali, segera ia
berkata, "Sangaji! Benar-benarkah kamu ingin
membalas dendam musuh-musuhmu?”
‘Sangaji mengangguk.
"Setidak-tidaknya kau harus memiliki ke-
mampuan tadi. Kau ingin belajar?”
Mata Sangaji menyala lagi. Terang ia ber-
hasrat besar.
290
"Datanglah nanti malam ke lapangan i
seorang dir. Dan jangan memberi tahu kepa-
da siapa pun juga. Kau kularang pula mem-
bayangkan perawakan tubuhku. Kamu me-
ngerti?” kata Wirapati tegas. la bermaksud
ingin mengyji kepatuhan Sangaji. Setelah itu ia
melesat pergi. Tubuhnya berkelebat dari tem-
pat ke tempat. Sebentar saja hilang dari pengli-
hatan.
Bersambung
291