You are on page 1of 13

BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA INTERNASIONAL DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KURIKULUM PEMBELAJARAN


BAHASA INGGRIS DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Kebutuhan masyarakat dunia akan penguasaan bahasa Inggris semakin
menunjukkan peningkatan yang pesat. Bahkan di beberapa negara, bahasa
Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua setelah bahasa nasional. Di bahagian
negara lain, bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional mengingat
heterogenitas suku dan bangsa penduduknya dan Bahasa Inggris dianggap
sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa. Kachru dan Nelson (2011)
membagi negara pengguna bahasa Inggris ke dalam tiga kategori. Pertama,
negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu seperti Inggris,
Canada, Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat (Inner Circle
Countries). Selanjutnya adalah negara yang memiliki sejarah institusional
Inggris sehingga bahasa ini memegang peranan penting terutama dalam bidang
pendidikan, pemerintahan, kesusastraan, dan kebudayaan popular. Negara ini
termasuk Nigeria, Singapura, dan India (Outer Circle Countries). Negara
berikutnya adalah negara yang menggunakan bahasa Inggris untuk berbagai
kepentingan namun tidak menjadikannya sebagai bahasa dominan dalam
komunikasi sehari-hari (Expanding Circle Countries). Indonesia, Rusia, dan
China adalah negara yang termasuk dalam kategori ini.
Dalam tulisannya, McKay (2003) menyatakan bahwa popularitas
Bahasa Inggris sesungguhnya bukan semata-mata usaha negara kategori
pertama (inner circle countries) untuk menyebarkan bahasa mereka namun
lebih kepada kesadaran masayarakat dunia akan pentingnya penguasaan
bahasa Inggris. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara global, berbagai
informasi dunia tertuang dalam bahasa Inggris sehingga untuk mengaksesnya,
masyarakat harus memiliki penguasaan tersendiri akan bahasa tersebut.
Penyebaran bahasa Inggris juga turut dipengaruhi oleh perpindahan penduduk
dari kategori outer circle countries dan expanding circle countries ke inner
circle countries. Perpindahan ini sebagian besar disebabkan oleh kepentingan
pekerjaan, pendidikan maupun pencarian suaka politik. Penduduk baru tersebut
kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mampu berkomunikasi dalam
bahasa setempat sehingga mereka dapat bertahan hidup di tempat mereka yang
baru. Bahasa tersebut dapat dikuasai dengan bebagai cara antara lain melalui
kursus dan interaksi intensif dengan penduduk setempat sehingga
penguasaannya berangsur-angsur meningkat.
Idealnya perkembangan suatu bahasa diikuti oleh peningkatan jumlah
penutur aslinya. Namun tidak demikian dengan bahasa Inggris. Seiring
perkembangannya, bahasa ini telah digunakan secara global dan sebagian
besar penuturnya berasal dari kategori outer dan expanding circle countries.
Bahkan, Graddol (2011) memprediksikan bahwa 50 tahun ke depan, akan ada
sekitar 462 juta orang yang meggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua
yang berarti bahwa jumlah penutur asli akan telampaui oleh jumlah penutur
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing.
Era kesejagatan yang lebih populer dikenal dengan istilah globalisasi
bercirikan keterbukaan, persaingan, dan kesalingtergantungan antarbangsa
serta derasnya arus informasi yang menembus batas-batas geografi, suku, ras,
agama dan budaya. Ciri keterbukaan yang dimiliki oleh globalisasi
mengindikasikan terjadinya proses interaksi antarbahasa dan budaya. Dalam
era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan prasarat bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagai negara yang
sedang berkembang, Indonesia masih harus meningkatkan sumber daya
manusia secara kuantitatif dan kualitatif supaya ketergantungan akan sumber
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar semakin berkurang. Untuk
menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan
bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) menjadi suatu kebutuhan utama.
Dengan kata lainagar bisa bertahan dan bersaing di era globalsasi, kita harus
mampu sekurang-kurangnya menguasai satu bahasa asing (seperti
Inggris/Perancis), atau satu bahasa asing yang ada diAsia (apakah bahasa
Mandarin atau Jepang) di samping penguasaan bahasa nasional (bahasa
Indonesia) dan bahasa daerah.
Berdasarkan kajian pusataka dan pengamatan empiris prilaku
berbahasa masyarakat Indonesia, makalah ini mencoba memaparkan
rasionalisasi public :
1. Mengapa kemampuan berbahasa asing (baca Inggris) menjadi penting dan
2. Implikasi kehadiran bahasa asing terhadap situasi kebahasaan tanah air
sehingga di satu sisi bisa menempatkandiri dalaminteraksi yang semakin
mengglobal dan di sisi lain tidak kehilangan jati diri dan budaya lokal.

B. Mengapa Memilih Bahasa Inggris?


Pertanyaan ini sering muncul seiring meningkatnya kebutuhan akan
penguasaan bahasa Inggris. Mengapa Bahasa Inggris dijadikan sebagai salah
satu mata pelajaran wajib di hampir setiap jenjang pendiddikan di Indonesia?
Mengapa pemerintah memilih bahasa ini? Mengapa bukan bahasa Belanda
tidak sepopuler bahasa Inggris pada bangsa Indonesia pernah menjadi bagian
dari daerah jajahan Belanda? Dardjowidjojo (2000) menjelaskan bahwa
Bahasa Belanda tidak dicantumkan dalam kurikulum mengingat sejarah kelam
yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Bahasa ini juga tidak memiliki
status yang cukup kuat untuk dijadikan sebagai bahasa internasional. Dilihat
dari aspek komunikasi internasional pun, bahasa Belanda belum cukup kuat
menancapkan pengaruhnya sehingga semua kalangan merasa
membutuhkannya dalam berinteraksi.
Keputusan pemerintah menetapkan bahasa Inggris sebagai salah satu
mata pelajaran di berbagai jenjang pendidikan sangat beralasan demi
mempersiapkan generasi Indonesia untuk bersaing secara global. Alwasilah
(2001) menyatakan bahwa bahasa Inggris seharusnya menjadi bagian dari
kurikulum karena bahasa ini merupakan penunjang perkembangan generasi
Indonesia. Bagaimana mereka mampu berinteraksi secara luas jika tidak
ditunjang dengan kemampuan berbahasa internasional yang baik? Tsui dan
Tollefson (2007) menambahkan bahwa jika ingin mengakses ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka mau tidak mau seseorang harus memiliki pemahaman
tentang penggunaan bahasa Inggris. Begitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris
sehingga seorang pakar bahasa bernama Phillipson (1997) menyebutnya
dengan linguistic imperialism atau imperialism linguistik. Phillipson
menggambarkan bahwa dimasa setelah pendudukannya di berbagai negara,
Inggris masih tetap giat menancapkan pengaruhnya dari aspek kebahasaan.
Bahkan bahasa ini menjadi semacam industri yang membuat masyarakat luas
merasa membutuhkannya. Sumber-sumber informasi dalam berbagai media
tertuang dalam bahasa Inggris, demikian juga hubungan internasional yang
dihantarkan dalam bahasa ini. Kachru (1986) mengibaratkannya sebagai lampu
Aladdin yang berarti bahwa ketika seseorang telah menguasainya maka saat itu
pula dia dapat memasuki gerbang bisnis, teknologi, dan pengetahuan.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia mempelajari bahasa
Inggris karena bahasa ini merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi
pelajar sehingga mau tidak mau mereka harus mengikuti pembelajaran
tersebut. Seiring pergeseran waktu dan kebutuhan akan informasi, baik pelajar
maupun masyarakat luas menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu kebutuhan
yang tidak dapat diabaikan. Misalnya, sebahagian instansi pemerintah/
perusahaan swasta menjadikan penguasaan bahasa Inggris sebagai salah satu
prasyarat dalam perekrutan karyawan/karyawati. Untuk memenuhi persyaratan
tersebut, calon karyawan/karyawati mau tidak mau harus mempersiapkan diri
sedini mungkin sehingga dapat menduduki posisi yang dipersyaratkan. Contoh
lain adalah penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi di luar negeri yang
tidak memberikan ruang sama sekali kepada calon yang tidak memiliki
penguasaan bahasa Inggris yang memadai. Hal ini ditandai dengan prasyarat
hasil tes tertentu (TOEFL, ILETS, dan lain-lain) sebagai dasar pertimbangan
bagi universitas untuk menerima calon. Selanjutnya disusul dengan
persyaratan lain yang tidak terlepas dari penguasaan bahasa Inggris disamping
kompetensi lainnya.
Trend ini semakin dipersubur dengan menjamurnya lembaga kursus
bahasa asing yang kini telah menjangkau daerah pelosok di Indonesia.
Keberadaan lembaga ini sangat membantu masyarakat yang ingin memperkuat
penguasaan bahasa asing mereka. Sekolah bukan lagi satu-satunya wadah bagi
pelajar untuk mengakses bahasa Inggris. Sekolah dianggap belum maksimal
dalam mengaktifkan kemampuan berbahasa asing pelajar sehingga untuk
mensupport mereka diperlukan wadah lain di luar sekolah yakni lembaga
kursus dan sejenisnya. Dengan memperkenalkan bahasa Inggris sedini
mungkin, diharapkan generasi masa datang dapat turut memiliki andil dalam
persaingan global. Hasil penelitian Dardjowidjojo (2000) menunjukkan bahwa bahasa
Inggris dipelajari oleh lebih dari 13 juta pelajar di Indonesia. Jumlah ini akan
terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahasa ini,
bahkan hasil penelitian Crystal (1997) menunjukkan lebih dari 100 negara
yang menggunakan bahasa Inggris dalam kurikulum pembelajarannya.

C. Kurikulum Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia


Pada tahun 1967, Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa asing yang
diajarkan pada tingkat sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah
atas dengan tujuan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengakses
ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperkuat hubungan internasional
bangsa. Namun dalam implementasinya, pembelajaran lebih dititikberatkan
pada kemampuan membaca dibanding kemampuan lainnya yakni menyimak,
berbicara, dan menulis. (Nur, dalam Kam dan Wong, 2004).
Selanjutnya pada tahun 1984, pendekatan komunikatif (communicative
approach) diperkenalkan dengan mengadopsi pendekatan pada
Communicative Language Teaching (CLT). Materi membaca masih tetap
menjadi fokus pembelajaran ditunjang dengan kemampuan tata bahasa Inggris.
Beberapa pakar memandangnya kurang efektif karena kedua unsur tersebut
tidak cukup kuat dalam memaksimalkan kemampuan komunikasi verbal
peserta didik. Masalah lain muncul karena masih ada diantara para guru yang
tidak memiliki pengetahuan memadai tentang CLT sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam menerapkannya. Kurikulum ini kemudian
diperbaharui dengan mengenalkan kurikulum berbasis makna (meaning-based
curriculum) pada tahun 1994. Jazadi (1994) mempermasalahkan
ketidaksesuaian antara materi pembelajaran, harapan peserta didik, dan
pemahaman guru akan kurikulum yang diterapkan. Hal lain yang tidak kalah
pentingnya adalah minimnya materi terkait pengalaman dan pengetahuan awal
peserta didik sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengekspresikan
ide-ide mereka. Pemerintah kemudian memutuskan untuk kembali merevisi
kurikulum ini sebagaimana kurikulum sebelumnya.
Sebagai bagian dari proses pembaharuan pendidikan, pemerintah
mengenalkan kurikulum berbasis kompetensi (Competence-Based
Curriculum) atau biasa disebut kurikulum 2004. Kurikulum ini memuat
berbagai materi pembelajaran autentik yang diadopsi dari kebudayaan bahasa
target (bahasa Inggris) dengan tujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan
yang cukup tentang negara dan kebudayaan penutur bahasa Inggris asli. Hal ini
cukup menyulitkan guru dan peserta didik dalam memahami materi karena
kurangnya pemahaman akan negara target dan kebudayaannya.
Dalam rangka memperbaharui kurikulum 2004, kurikulum berbasis
sekolah (school-based curriculum) selanjutnya diperkenalkan pada tahun 2006
dengan kebijakan bahwa masing-masing satuan pendidikan untuk mendesain
materi pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi nyata satuan
pendidikan. Namun tidak semua satuan pendidikan memiliki kesiapan yang
sama sehingga kurikulum ini tidak terlaksana secara serentak. Sebagai pilihan,
satuan pendidikan yang belum siap dapat memanfaatkan materi pembelajaran
sebelumnya sambil menyiapkan materi pembelajaran yang termutakhir.
Kurikulum ini menganut pembelajaran berbasis kontekstual (Contextual
Teaching-Learning) yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membangun pengetahuan sendiri sesuai dengan apa yang mereka alami dalam
kehidupan sehari-hari. Materi yang disajikan pun sesuai dengan konteks nyata
kehidupan peserta didik yang turut memudahkan guru dalam
membawakannya. Namun masih terdapat beberapa permasalahan antara lain
kepadatan konten kurikulum yang memuat berbagai materi dengan tingkat
kesukaran yang melampaui tingkat perkembangan usia peserta didik,
pembelajaran masih berpusat pada guru, dan kurikulum belum sepenuhnya
menekankan pada kompetensi yang mencakup domain sikap keterampilan, dan
pengetahuan. (Pedoman Diklat Kurikulum 2013.
Untuk menyempurnakan kurikulum tersebut di atas, pemerintah
kembali melakukan perubahan dengan mengimplementasikan Kurikulum
2013. Kurikulum ini lebih menekankan pada pendekatan ilmiah (Scientific
Learning) dengan model pembelajaran berbasis masalah (problem-based
learning), pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning), dan
pembelajaran berbasis proyek (project-based learning). Secara garis besar,
materi pembelajaran bahasa Inggris ditekankan pada kompetensi berbahasa
sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan dan pengetahuan, siswa
dibiasakan membaca dan memahami makna teks serta meringkas dan
menyajikan ulang dengan bahasa sendiri, siswa dibiasakan menyusun teks
yang sistematis, logis, dan efektif melalui latihan-latihan penyusunan teks,
siswa dikenalkan dengan aturan-aturan teks yang sesuai sehingga tidak rancu
dalam proses penyusunan teks (sesuai dengan situasi dan kondisi: siapa, apa,
dimana), dan siswa dibiasakan untuk dapat mengekspresikan dirinya dan
pengetahuannya dengan bahasa yang meyakinkan secara spontan. (Pedoman
Diklat Kurikulum 2013, 2013).

D. Implikasi Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Internasional Terhadap Kurikulum


Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia
Sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris tidak lagi dimiliki
sepenuhya oleh penutur asli (inner circle countries), tapi telah dimiliki oleh
komunitas yang lebih luar mencakup penutur bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua atau sebagai bahasa asing. Smith (dalam McKay,2003) memaparkan
tiga konsep mendasar bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dalam
pembelajaran, yakni pebelajar tidak berkewajiban untuk mengadopsi
kebudayaan penutur asli bahas Inggris, bahasa Inggris telah dimiliki oleh
semua kalangan dan tidak terbatas pada penutur asli bahasa Inggris, dan tujuan
pembelajaran bahasa Inggris adalah memampukan pebelajar
mengomunikasikan ide-ide dan kebudayaan mereka kepada orang lain.
Konsep tersebut diatas kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi
para pemangku kepentingan dalam memformulasikan pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan pebelajar termasuk di Indonesia. Jazadi (2000). Kurikulum
2006 merupakan langkah awal dalam mengimplementasikan bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional. Hal ini dapat dilihat pada penyajian materi
pembelajaran kontekstual sesuai dengan pengalaman nyata peserta didik dan
tidak lagi sepenuhnya mengadopsi materi dan budaya dari negara bahasa
target. Kirkpatrick (20020 menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak
membutuhkan kurikulum yang menuntut mereka memahami kebudayaan
penutur asli tapi lebih kepada pemahaman akan kebudayaan mereka sendiri
sehingga nantinya mereka dapat mempromosikan budayanya secara global.
Melihat materi pembelajaran bahasa Inggris pada kurikulum 2013,
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sudah tercantum didalamnya
dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengekspresikan
gagasan mereka secara spontan sesuai dengan pengalaman nyata mereka
sehari-hari, tingkat kesulitan materi sudah disesuaikan dengan perkembangan
peserta didik, pembelajaran berpusat pada peserta didik dan guru bertindak
sebagai fasilitator, serta materi pembelajaran memuat budaya lokal Indonesia
yang beraneka ragam.
Perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah
berkontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran bahasa Inggris
dengan tidak mengorientasikan pembelajaran pada budaya bahasa target
semata akan tetapi turut memberikan keleluasaan bagi pebelajar untuk memahami
budayanya sendiri serta menggunakan bahasa Inggris tidak hanya untuk
berinteraksi dengan penutur asli bahasa Inggris (inner circle coutries) akan
tetapi dapat pula berinteraksi dengan nonpenutur bahasa Inggris asli (outer
circle countries dan expanding circle countries).

E. Mengapa Kemampuan Berbahasa Asing (Inggris) Penting?


Pentingnya kemampuan berbahasa Inggris dalam kehidupan sosial di
era globalisasi bisa dilihat dari bebagai perspektif. Dari perspektif komunikasi
global, kemampuan berbahasa Inggris memiliki peran yang sangat strategis.
Peran strategis yang dimiliki oleh kemampuan berbahasa Inggris ditunjukkan
oleh kenyataan bahwa (1) kemampuan berbahasa Inggris merupakan akses
terhadap inovasi Iptek dan (2) media bagi pengenalan dan apresiasi lintas
udaya.
1. Kemampuan Berbahasa Asing (Inggris) sebagai Akses terhadap
Inovasi Iptek dan Seni.
Adanya tuntutan akan pengalihan informasi dan alih ilmu
pengetahuan dan teknologi dari bahasa sumber (bahasa asing) menjadikan
kemampuan berbahasa Inggris dan kegiatan penerjemahan sesuatu yang
penting dan perlu. Dalam lingkup yang lebih kecil, fenomena ini bisa
diilustrasikan dengan mengambil Bali sebagai contoh. Sebagai daerah
pariwisata, Bali sangat terbuka dengan interaksi lintas budaya dan
mensyaratkan ketrampilan berbahasa asing untuk bisa berpartisipasi dan
mengambil manfaat (ekonomi) dari aktivitas pariwisata tersebut. Dalam
situasi seperti Bali, profesi penerjemah dan interpreter akan sangat
diperlukan.
Bahasa Inggris telah berkembang menjadi medium komunikasi
internasional yang penting.Hal ini terasa khususnya di kalangan
masyarakat akademik. Berdasarkan survai terhadap 1776 mahasiswa dari
21 program S1 di Indonesia, 86% dari mahasiswa menyatakan bahasa
Inggris sangat penting dalam pendidikan mereka (Kweldju, 2001:36
dalam jurnal ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Linguistik
Indonesia, Februari 2001, Tahun 19, Nomor 1). Pentingnya peranan
bahasa Inggris tidak saja terletak pada jumlah pemakaiannya sebagai
bahasa ibu serta luas penyebaran pemakaiannya secara geografis, tetapi
juga akibat pengaruh politik dan ekonomi dari negara yang memakai
bahasa Inggris itu sebagai bahasa ibu. Lebih menarik daripada ketiga fakta
tersebut, Quirk et.al (1972:2) melihat pentingnya bahasa Inggris dewasa
ini terletak pada “beban wahana” (vehicular load) yang dimilikinya, yakni
sampai di mana bahasa Inggris itu berfungsi sebagai media bagi ilmu
pengetahuan, kesusastraan atau manifestasi kebudayaan yang di pandang
agung lainnya. Diungkapkan bahwa bahasa Inggris merupakan lingua
franca dalam ilmu pengetahuan dan masyarakat ilmiah pada abad 20.
Pernyataannya didukung oleh data-data statistik yang menunjukkan
kecenderungan masyarakat terpelajar atau ilmiah di negara-negara besar
Eropa, (seperti misalnya di Perancis, Italia dan Jerman di mana bahasa
Inggris bukan merupakan bahasa ibu) untuk membaca buku teks
berbahasa Inggris dan menerbitkan hasil penelitian atau artikelnya ke
dalam bahasa Inggris sehingga bisa dinikmati oleh kolega mereka yang
berada di luar “lingkungannya” sendiri dan yang menganggap bahasa
Inggris bukan bahasa ibu.
Walaupun kenyataan empiris menunjukkan bahwa di satu sisi,
sebagian besar buku-buku acuan yang digunakan dalam lingkungan
perguruan tinggi di Indonesia masih ditulis atau diterbitkan dalam bahasa
asing (khususnya bahasa Inggris) namun, di sisi lain, keadaan
perpustakaan dan kemampuan membaca teks-teks berbahasa Inggris para
sarjana dan mahasiswa di Indonesia kurang memadai. Hal ini tentu saja
diakibatkan kurangnya kemampuan bahasa Inggris mereka..Keadaan ini
telah menjadikan kemampuan berbahasa Inggris menjadi kebutuhan
masyarakat akademik dan sehingga kegiatan penerjemahan dari bahasa
asing, khususnya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, menjadi
semakin penting di masa-masa mendatang bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni di Indonesia.
Dari perspektif ekonomi, kemampuan berbahasa Inggris menjadi
kegiatan yang penting karena dunia semakin menyatu yang dibangun atas
berbagi informasi dan kecanggihan komunikasi. Kemampuan berbahasa
Inggris dan Penerjemah akan memainkan peran yang vital dalam interaksi
antar perusahanan internasional dan Negara dan pemerintah. Banyak
kasus kegagalan hubungan usaha akibat kesalahpengertian dan
kegagagalan komunikasi sehingga kemampuan berbahasa Inggris tidak
lagi semata sebagai pengalihan kata-kata tetapi juga menyangkut
transformasi makna dan keinginan. Bagi perusahan yang beroperasi di
berbagai Negara, kegiatan kemampuan berbahasa Inggris akan tak bisa
dihindarkan baik untuk menyebarkan informasi atau negosiasi.
Dari perspektif politik dan budaya kemampuan berbahasa asing
(Inggris) dan profesi penerjemah juga sangat diperlukan. Dewasa ini
diplomasi internasional menjadi bagian dari ususan eksternal suatu Negara
termasuk Indoinesia. Kesuksesan dialog internasional sangat tergantung
pada kemampuan berbahasa Inggris dan penerjemah yang sukses.
Kemampuan berbahasa Inggris berbagai karya seni seperti musik, film dan
sastra suatu daerah sangat diperlukan untuk kepentingan pemahaman
global terhadap daerah tersebut beserta kehidupan sosial budayanya.
Dengan demikian kemampuan berbahasa Inggris telah menjadi media
pertukaran budaya atau diplomasi kebudayaan.
Dari segi hukum pentingnya kemampuan berbahasa Inggris dan
perlunya penerjemah yang handal semakin menjadi tuntutan masyarakat.
Kemampuan berbahasa Inggris dan menerjemahkan dokumen legal yang
berimplikasi hukum sangat diperlukan. Tuntutan sebagian negara tujuan
yang mengharuskan diterjemahkannya dokumen resmi ke dalam bahasa
setempat juga memerlukan adanya penerjemah resmi yang tersumpah.
2. Kemampuan Berbahasa Asing (Inggris) sebagai Media Membangun
Citra Intelektual dan Budaya Bangsa.
Selama ini sumber belajar lebih banyak berasal dari tulisan
berbehasa Inggris dan ditulis oleh ahli orang asing. Bahkan pengetahuan
tentang budaya daerah kita sendiri kitaharus belajar dari buku-buku atau
tulisanorang asing. Para peneliti dan ahli asing datang ke wilayah kita
menliti tentang manusia dan kebudayaan daearah nusantara dan kembali
ke negaranya dituangkan kedalam bahasa Inggris yang selanjutnya
dinikmati oleh masyarakat internasional dan bahkan menjadi acuan bagi
kita untuk belajar tentang diri dan budaya kita sendiri. Ini tentu
sebuahironi dan menjadi tantangan kita bersama terutama masyarakat
akademisi. Seharusnya kita bias merubah keadaan dan paradigma kita
objek dari menjadi objek studi beralih menjadi sumber belajar. Seharusnya
orang asing belajar tentang diri dan budaya kita dari para ahli kita yang
sudah banyak mumpuni di berbagai daerah. Oleh karena itu peningkatan
kemampuan berbahasa asing (Inggris) bagi akademisi menjadi suatu
kebutuhanyang tidak bisa ditawar-tawar kalau ingin mensejajarkan diri
dikancah internasional.
Seiring dengan era globalisasi yang bercirikan keterbukaan akses
terhadap informasi, rasa ingin tahu dunia luar akan Indonesia dengan
segala aspek manusia dan kebudayaan bisa terpenuhi. Dengan
kemampuan dwibahasa yakni bahasa asing (Inggris) dan bahasa Indonesia
atau daerah dimungkinkan kegiatan penerjemahan. Berangkat dari rasa
ingin tahu dan keinginan memperkenalkan budaya lokal, berbagai karya
tulis terutama karya sastra berbahasa Indonesia dan bahasa daerah yang
menonjol telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing terutama bahasa
Inggris. Secara budaya karya-karya terjemahan ke dalam bahasa asing ini
tentu saja nantinya bisa menjadi sumbangan pada peradaban, dunia.
Dengan demikian dalam rangka pengenalan dan apresiasi lintas budaya,
penerjemahan karya ilmiah maupun sastra semakin diperlukan. Dan ini
hanya dimungkinkan dengan kemampuan berbahasa asing (Inggris).

F. Simpulan
Untuk menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan
budaya, penguasaan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) menjadi suatu
kebutuhan utama. Oleh karena itu rancangan pendidikan bahasa Inggris di
berbagai level perlu didesain secara baik dan tepat guna. Globalisasi memang
tidak dapat dihindari dan tanpa disadari memang telah berimbas pada
penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia/daerah di masyarakat.
Kesadaran/ loyalitas berbahasa nasional dan daerah merupakan modal penting
dalam mewujudkan sikap berbahasa yang positif yang selanjutnya akan
memperkokoh fungsi bahasa nasional dan daerah sebagai lambing jati diri dan
pendukung nilai-nilai luhur budaya daerah khususnya nilai-nilai religius.
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C. (2001). Language, culture, and education: A portrait of contemporary


Indonesia. Bandung, Indonesia: CV. Andira.

Crystal, D. (1997). English as a global language. New York: Cambridge


University Press.

Dardjowidjojo, S. (2000). English teaching in Indonesia. EA Journal, 18 (1), 22-30.

Jazadi, I. (2000). Constraints and resources for applying communicative


approaches in Indonesia. EA Journal, 18 (1), 31-40.

Kirkpatrick, A. (2002). ASEAN and Asian cultures and models: Implications for
the ELT curriculum and for teacher selection.

In Kirkpatrick, A (Ed.), Englishes in Asia: Communication, identity, power and


education. Melbourne, Australia: Language Australia Ltd.

McKay, S. L. (2003). EIL curriculum development. RELC Journal, 34 (31), 31-47.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Pedoman Pelatihan Implementasi


Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK-PMP.

You might also like