You are on page 1of 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

OLEH :

RINA OKTARIA, S.Kep

1614901040

PEMBIMBING
KLINIK AKADEMIK

( ) ( )

STIKes FORT DE KOCK BUKITTINGGI


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2016/2017
TINJAUAN TEORITIS

A. DEFENISI
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak,
tidak terima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain
(Deden dan Rusdi,2013,Hal.34 ).
Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami oleh individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain dan sebagai pernyataan negative atau mengancam (Nanda-
1,2012).
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan prilaku maladaktif dan mengganggu fungsi
seseorang dalam hubungan sosial ( Depkes RI, 2000 ).
Menarik diri adalah suatu keadaan pasien yang mengalami ketidakmampuan untuk
mengadakan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan di sekitarnya secara wajar dan
hidup dalam khayalan sendiri yang tidak realistis (Erlinafsiah,2010,Hal.101).

B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus
dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam
perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial
yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi social atau mengasingkan diri dari dari lingkungan social merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini di sebabkan
oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota yang tidak
produktif seperti usia lanjut, penyakit kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari
lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan social adalah
otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan social
memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran
dan bentuk sel-sel.
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas atau
kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya (Ade Herman Surya Direja,2011,Hal.123).
3. Perilaku
Perilaku pada klien gangguan social menarik diri yaitu: kurang sopan, apatis, sedih, afek
tumpul, kurang perawatan diri, komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka terhadap
lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan sikap tidur seperti janin saat tidur.
Sedangkan perilaku pada gangguan sosial curiga meliputi tidak mempercayai orang lain,
sikap bermusuhan, mengisolasi diri dan paranoia. Kemudian perilaku pada klien dengan
gangguan social manipulasi adalah kurang asertif, mengisolasi diri dari lingkungan, harga
diri rendah, dan sangat tergantung pada orang lain (Sujono Riyadi dan Teguh
Purwanto,2009,Hal.157).
4. Rentang Respon
Rentang respon berhubungan dapat berfluktuasi dari respons berhubungan adaktif samapai
maladaktif
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Menyendiri/solitude Merasa sendiri Manipulasi
Otonomi Menarik diri Impulsif
Bekerja sama Tergantung Narcissm
Saling tergantung
(interdependen)

1. Respon Adaptif
Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat di terima oleh norma-
norma sosial dan budaya yang umum berlaku ( masih dalam batas normal ), meliputi:
a. Menyendiri/solitude
Respon seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosial
dan juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah berikutnya.
b. Otonomi
Kemampuan individu menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam
hubungan sosial.
c. Bekerja Sama
Kondisi hubungan interpersonal dimana individu mampu untuk saling member dan
menerima.
d. Saling Tergantung (interdependen)
Suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
2. Respon Maladaptif
Respon individu dalam penyelesaianmasalah menyimpang dari norma-norma sosial dan
budaya lingkungannya, meliputi:
a. Manipulasi
Orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian
orang lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan
pada orang lain.
b. Implusif
Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, dan tidak
dapaat diandalkan.
c. Narkisme
Harga diri yang rapuh, secara terus-menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan
pujian, sikap egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung (Deden
Dermawan Rusdi,2013,Hal.35).

C. PATOFISIOLOGI
Menurut Stuart and Sundeen (1998), Salah satu gangguan berhubungan sosial
diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak
berharga, yang bias dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangan hubungan
dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam
aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri.
Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku
primitive antara lain pembicaraan yang autistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Ernawati Dalami dkk,,2009,Hal.10).
Pattern of Parenting Inefectieve Lack of Develop Stressor internal
(Pola Asuh Keluarga) coping ment Task and external (stress
(Koping (Gangguan internal dan
individu tidak Tugas eksternal)
efektif) Perkembangan)
Misal : Misal : Misal : Misal :
Pada anak yang Saat individu Kegagalan Stress terjadi akibat
kelahirannya tidak menghadapi menjalin ansietas yang
dikehendaki (unwanted kegagalan hubungan intim berkepanjangan dan
child) akibat kegagalan mengalahkan dengan sesame terjadi bersamaan
KB, hamil diluar nikah, orang lain, jenis atau lawan dengan
jenis kelamin yang tidak ketidakberday jenis, tidak keterbatasan
diinginkan, bentuk fisik aan mampu mandiri kemampuan
kurang menawan mengangkat individu untuk
menyebabkan keluarga tidak mampu mengatasi. Ansietas
mengeluarkan komentar- menghadapi terjadi akibat
komentar negative, kenyataan dan berpisah dengan
merendahkan, menarik diri orang terdekat,
menyalahkan anak dari hilang pekerjaan
lingkungan. atau orang yang
dicintai.
(Iyus Yosep,2007,Hal.230).

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda dan Gejala
Observasi yang dilakukan pada klien dengan isolasi social akan ditemukan data objektif
meliputi apatis, ekspresi wajah sedih, afek tumpul, menghindar dari orang lain, klien
tampak memisahkan diri dari orang lain, komunikasi kurang, klien tampak tidak bercakap-
cakap dengan klien lain atau perawat, tidak ada kontak mata atau kontak mata kurang,
klien lebih sering menunduk, berdiam diri dikamar. Menolak berhubungan dengan orang
lain, tidak melakukan kegiatan sehari-hari, meniru posisi janin pada saat lahir, sedangkan
untuk data Subjektif sukar didapat, jika klien menolak komunikasi, beberapa data subjektif
adalah menjawab dengan singkat dengan kata-kata “tidak, “ya” dan tidak tahu”.
2. Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon social maladaktif menggunakan berbagai mekanisme
dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis
masalah hubungan yang spesifik (Gail,W Stuart 2006).
Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisocial antara lain proyeksi,
splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan
kepribadian ambang splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain,
merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.
3. Sumber koping
Menurut Gail W. Stuart 2006, sumber koping berhubungan dengan respon social mal-
adaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan
dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan stress
interpersonal misalnya kesenian, music atau tulisan (Ernawati Dalami dkk,2009,Hal.10).

E. KOMPLIKASI
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa
lalu primitive antara lain pembicaraan yang autistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi,
mencederai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga dapat
menyebabkan defisit perawatan diri (Deden Dermawan dan Rusdi,2013,Hal.40).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Minnesolla Multiphasic Personality Inventory (MMPI)
Adalah suatu bentuk pengujian yang dilakukan oleh psikiater dan psikolog dalam
menentukan kepribadian seseorang yang terdiri dari 556 pernyataan benar atau salah.
2. Elektroensefalografik (EEG)
Suatu pemeriksaan dalam psikiatri untuk membantu membedakan antara etiologi
fungsional dan organik dalam kelainan mental.
3. Test laboratorium kromosom darah untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan
oleh genetik.
4. Rontgen kepala untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan kelainan struktur
anatomi tubuh.

G. PENATALAKSANAAN
1. Obat anti psikotik
a. Clorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari -hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan defikasi, hidung
tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama ja
ntung),gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia,
sindromaparkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin, metabolik,
hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
b. Haloperidol (HLD)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta
dalam fungsi kehidupan sehari –hari.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan miksi dan
defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi,
gangguan irama jantung).
c. Trihexy phenidyl (THP)
Indikasi:Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan fenotiazine.
Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik (hypertensi, anti
kolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitanmiksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra oluker meninggi, gangguan irama jantung)
2. Therapy Farmakologi
3. Electro Convulsive Therapi
Electro Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan Elektroshock
adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock listrik dalam usaha
pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak
berespon kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh
2 orang neurologist italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan
hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara
2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek
terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah
suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang
mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan
kadar serum Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak
responsive terhadap terapi farmakologis.
4. Therapy Kelompok
Kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan sekelompok pasien bersama-
sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang
therapist atau petugas kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien
dengan ganggua interpersonal.
5. Therapy Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus
mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan
manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik
pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang (Deden Dermawan dan
Rusdi,2013,Hal..40).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor predisposisi terjadinya gangguan hubungan sosial, adalah :
a. Faktor Perkembangan
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan
sosial. Tugas perkembangan pada masing-masing tahap tumbuh kembang ini
memiliki karakteristik sendiri. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan
mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah respon sosial maladaktif.
System keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social
maladaktif. Beberapa orang percaya bahwa individu yang mempunyai masalah ini
adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya dan orang tua. Norma
keluarga yang tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain diluar
keluarga.
b. Faktor Biologis
Genetic merupakan salah satu factor pendukung gangguan jiwa. Berdasarkan
hasil penelitian, pada penderita skizofrenia 8% kelainan pada struktur otak,
seperti atrofi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan struktur lmbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini akibat dan
norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat,
dan penyakit kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan
system nilai yang berbeda dan kelompok budaya mayoritas. Harapan yang tidak
realistis terhadap hubungan merupakan factor lain yang berkaitan dengan
gangguan ini.
d. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan factor pendukung untuk
terjadinya gangguan dalam berhubungan sosial.
Dalam teori ini termasuk masalah komunikasi yang tidak jelas yaitu suatu
keadaan dimana seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga
yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
2. Stressor Presipitasi
Stressor presipitasi umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress sperti
kehilangan, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan menyebabkan ansietas. Stressor presipitasi dapat dikelompokkan dalam
kategori :
a. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa factor antara factor lain dan factor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang
berarti dalam kehidupannya, misalnya dirawat di rumah sakit.
b. Stressor Psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu mengatasi
masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(isolasi sosial).
3. Perilaku
Adapun perilaku yang bisa mucul pada isolasi sosial berupa : kurang spontan, apatis
(kurang acuh terhadap lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih), afek
tumpul. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri, komunikasi verbal
menurun atau tidak ada. Klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat,
mengisolasi diri (menyendiri). Klien tampak memisahkan diri dan orang lain, tidak atau
kurang sadar terhadap lingkungan sekitar. Pemasukan makanan dan minuman
terganggu, retensi urine dan feses, aktivitas menurun, kurang energi (tenaga), harga diri
rendah, posisi janin saat tidur, menolak hubungan dengan orang lain. Klien
memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
4. Sumber Koping
Sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial maladaktif termasuk :
keterlibatan dalam berhubungan yang luas di dalam keluarga maupun teman,
menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian,
music, atau tulisan.
5. Mekanisme Defensif
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada
isolasi sosial adalah regresi, represi, dan isolasi.
a. Regresi adalah mundur kemasa perkembangan yang telah lain
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima,
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
pertentangan antara sikap dan perilaku (Mukhripah Damaiyanti dan
Iskandar,2012,Hal.82).
Untuk mengkaji pasien isolasi sosial, kita dapat menggunakan wawancara dan
observasi kepada pasien dan keluarga.
6. Tanda dan Gejala
a. Gejala Subjektif :
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3) Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7) Klien merasa tidak berguna
8) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
9) Klien merasa ditolak.
b. Gejala Objektif :
1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2) Tidak mengikuti kegiatan.
3) Banyak berdiam diri dikamar.
4) Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5) Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6) Kontak mata kurang.
7) Kurang spontan.
8) Apatis (acuh terhadap lingkungan).
9) Ekspresi wajah kurang berseri.
10) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
11) Mengisolasi diri.
12) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
13) Masukan makan dan minuman terganggu.
14) Aktivitas menurun.
15) Kurang energy (tenaga).
16) Rendah diri.
17) Postur tubuh berubah, misalnya sikap fectus/janin (khususnya pada posisi
tidur)
(Iyus Yosep,2011,Hal.231).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang diangakat adalah :
1. Isolasi Sosial
2. Harga Diri Rendah Kronik
3. Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Isolisai Sosial
Tujuan : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi
Terapeutik
b. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
c. Perkenalkan diri dengan sopan
d. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
e. Jelaskan tujuan pertemuan
f. Jujur dan menepati janji
g. Tunjukkan sifat empati dari menerima klien apa adanya
h. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.86).
2. Harga Diri Rendah Kronis
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimilikinya
Intervensi :
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
b. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi nilai negatif
c. Utamakan memberi pujian yang realistik
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.46).
3. Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi
Tujuan : Klien dapat mengenali halusinasinya
Intervensi :
a. Bantu klien mengenal halusinasinya.
b. Jika menemukan yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara yang
didengar.
c. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan.
d. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau
menghakimi).
e. Katakan bahwa klien ada juga yang seperti klien.
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.63).

D. IMPLEMENTASI
1. Isolasi Sosial
a. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
b. Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan bila berhubungan dengan orang lain
c. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang
lain
d. Mengajarkan klien cara berkenalan
e. Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berkenalan ke dalam kegiatan
harian
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.91).
2. Harga Diri Rendah Kronik
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
b. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan.
c. Membantu pasien memilih/ menetap kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.50).
3. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
a. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien.
b. Mengidentifikasi isi halusinasi klien.
c. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien.
d. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien.
e. Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi klien.
f. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi.
g. Mengajarkan klien menghardik halusinasi.
h. Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan harian
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.69).

E. EVALUASI
1. Isolasi Sosial
Ekspresi wajah bersahabat menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau
berjabat tangan, mau menjawab salam, klien mau berdampingan dengan perawat, mau
mengutarakan masalah yang dihadapi
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.86).
2. Harga Diri Rendah Kronik
a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b. Kemampuan yang dimiliki klien.
c. Aspek positif keluarga.
d. Aspek positif lingkungan yang dimiliki klien.
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.46).
3. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi
a. Klien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi timbulnya halusinasi.
b. Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasi
(Mukhripah Damaiyanti dan Iskandar,2012,Hal.63).
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Darmawan, Deden dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta : Depkes RI.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Ernawati Dalami, dkk. (2009). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta :
EGC.
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta.
Riyadi, Sujono dan Purwanto, Teguh. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa (Edisi 1), Cetakan
pertama. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Alih Bahasa Hamid. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Stuart dan Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 alih bahasa Achir Yani. S.
Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung : PT Refika Aditama.

You might also like