You are on page 1of 38

REFERAT

NASOPHARYNGEAL CARCINOMA

Disusun Oleh:
Safira Fauziah
Victoria Hawarima 1618012057

Perceptor:
Dr. Sri Indah Aruminingsih, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hikmatNya yang menyertai penulis

sehingga dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun selain

untuk memenuhi tugas dalam menjalankan kepaniteraan dalam bidang Radiologi di

RSUD Abdul Moeloek, tetapi juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mengenai

aspek radiologis pada wacana medis, dimana dewasa ini pencitraan dignostik semakin

berkembang. Bahwasanya hasil usaha penyusunan ini tidak lepas dari bimbingan yang

telah diberikan oleh dr. Sri Indah Aruminingsih, Sp.Rad dan staff serta semua pihak

yang telah mendukung penulis. Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya

bila terdapat kesalahan baik dalam segi redaksional maupun interpretasi.

Hormat saya,

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................... ............................................................................................1

Daftar Isi ............................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah

nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. KNF

merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di

Indonesia (Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009). KNF adalah tumor

yang berasal dari sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Kanker

nasofaring merupakan tumor ganas yang sering dijumpai dibagian telinga, hidung,

tenggorokan, kepala dan leher (THTKL) (Nasir, 2009).

Data Laboratorium Patologi Anatomi FKUI melaporkan bahwa kanker nasofaring

hampir tiap tahunnya menduduki lima besar dari tumor ganas tubuh manusia

(Soepardi et al., 2012). Secara global kira-kira 65.000 kasus baru dan 38.000

kematian per tahun. Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi

penderita kanker nasofaring yang termasuk tinggi selain Cina. Angka kejadian

kanker nasofaring di Indonesia yaitu 4,7 kasus baru per 100.000 penduduk per

tahun. Kanker nasofaring adalah kanker kepala leher tersering (28.4%), dengan

rasio pria-wanita adalah 2:4, dan endemis pada populasi Jawa (Adham et al.,

2012).

3
KNF di Indonesia, menempati urutan ke-5 dari 10 besar diantara tumor

keganasan yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di

bidang Telinga, Tenggorok dan Hidung (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala

dan leher merupakan KNF. Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980

menunjukkan prevalensi 4.7 per 100,000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per

tahun (Nasir, 2009).

Biasanya penderita mengeluh adanya benjolan di leher, atau gangguan pada

telinga atau hidung. Karsinoma nasofaring memiliki 3 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, dan

tipe 3. Kasus terbanyak pada anak dan remaja adalah tipe 3, tapi juga ditemukan

beberapa kasus tipe 2 (Brennan, 2006). Sampai saat ini belum diketahui pasti

penyebab karsinoma nasofaring. Di Indonesia sendiri kebiasaan memakan ikan

asin, merokok, dan mengunyah tembakau dianggap sebagai faktor resiko

terjadinya karsinoma nasofaring (Ariwibowo, 2013).

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel karena di dalam organ tubuh

timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat, dan tidak

terkendali dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta

merusak bentuk dan fungsi organ asalnya (Dalimartha, 2004).

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah

nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,

2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009). KNF adalah tumor yang berasal dari

sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Kanker nasofaring merupakan

tumor ganas yang sering dijumpai dibagian telinga, hidung, tenggorokan, kepala

dan leher (THTKL) (Nasir, 2009).

2.2. Anatomi Nasofaring

Anatomi letak nasofaring dapat dilihat pada Gambar 1.

5
Gambar 1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang dilapisi mukosa dan disebelah lateral

dibatasi oleh lamina medialis processus pterygoidei, di superior oleh os

sphenoideum, di anterior oleh choanae dan vomer tengah, di posterior oleh

clivus dan di inferior oleh palatum molle. Tuba eustachii bermuara ke arah

posterolateral dan dikelilingi oleh suatu struktur kartilago. Dibelakang tuba

eustachii adalah lekuk-lekuk mukosa yang disebut sebagai fossae rosenmulleri.

Adenoid (tonsilla pharyngealis) menggantung dari fassae tersebut dan dinding

posterosuperior kubah nasofaring (Khoa dan Gady, 2012).

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku yang berada pada atas,

belakang dan lateral. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui

koana sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.

Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Estachius dan

akan mengganggu pendengaran serta menimbulkan cairan di telinga tengah.

6
Metastasis jauh dapat terjadi di daerah kepala serta dapat menimbulkan ganggu

pada saraf otak (Ballenger, 2010).

2.3. Epidemiologi

KNF terjadi lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio

pr ia-wanita 2-3:1. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prognosis

lebih baik pada wanita dibandingkan pada pria, tetapi penelitian lain belum

menunjukkan perbedaan ini. Usia rata-rata pada presentasi adalah 45-55 tahun.

Pasien yang lebih muda tampaknya memiliki tingkat ketahanan hidup yang

lebih baik daripada pasien yang lebih tua (Nasional Cancer Institute, 2009).

2.4. Etiologi

Etiologi karsinoma nasofaring sudah hampir dapat dipastikan bahwa faktor

pencetus terbesarnya ialah suatu jenis virus yang disebut virus Epstein-Barr

(Soepardi et al, 1993). Karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-

virus Epstein-Barr (EB) yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang

sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya dan tumor organ tubuh

lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun (Soepardi et al,

2010). Selain dari itu terdapat juga faktor predisposisi yang mempengaruhi

pertumbuhan tumor ganas ini, seperti:

1. Faktor ras

Banyak ditemukan pada ras Mongoloid, terutama di daerah Cina bagian

selatan berdasarkan hasil pengamatan cara memasak tradisional sering

7
dilakukan dalam ruang tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar

(Soepardi et al, 2010).

2. Faktor genetik

Tumor ini atau tumor pada organ lainnya ditemukan pada beberapa generasi

dari suatu keluarga (Soepardi et al, 2010).

3. Faktor sosial ekonomi

Faktor yang mempengaruhi ialah keadaan gizi, polusi dan lain-lain (Soepardi

et al, 2010).

4. Faktor kebudayaan

5. Letak geografis

6. Jenis kelamin

7. Radang kronis daerah nasofaring

2.5. Patogenesis dan patofisiologi

Agar sebuah kanker bisa terjadi, maka sel-sel yang terkena zat karsinogen harus

mengalami dua tahapan, yaitu yang disebut sebagai tahap inisiasi dan tahap

promosi. Tahap inisiasi dari kanker biasanya terjadi secara cepat dan

menimbulkan kerusakan secara langsung dalam bentuk terjadinya mutasi pada

DNA. Mekanisme perbaikan DNA akan mencoba melakukan perbaikan tetapi bila

mekanisme tersebut gagal, maka kerusakan tersebut akan terbawa pada sel anak

yang dihasilkan dari proses pembelahan.

8
Dalam tahap promosi, akan terjadi perkembangbiakan pada sel yang rusak,

dimana hal tersebut biasanya terjadi ketika sel-sel yang mengalami mutasi

tersebut terkena bahan yang bisa mendorong mereka untuk melakukan

pembelahan secara cepat. Seringkali terdapat jeda waktu yang cukup panjang

diantara kedua tahapan tersebut. Tahap promosi tersebut sebenarnya adalah

sebuah tahap yang membutuhkan pengulangan agar sel yang rusak tersebut

mampu berkembang biak lebih lanjut menjadi kanker.

Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang

kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling

sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller.

Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan,

seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa:

1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut

penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus

kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-

saraf kranialis anterior (n.I – n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat

rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom

Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia

trigeminal.

2. Penyebaran ke belakang

9
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia

pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya

foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana di dalamnya terdapat nervus

kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah

grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus

servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX – n XII disebut

sindroma retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus

VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang

tonggi dalam sistem anatomi tubuh. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-

sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.

Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar

saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara

berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau

CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein

CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang

berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya

menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini

mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat

dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga

berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan

PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus

epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi

10
mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi,

atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian

virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel

yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya

perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga

terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah

gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1

berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein

transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang

dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen

yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein

LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada

ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam

amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi

perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi

sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambatrespon imun lokal.

2.6. Klasifikasi Jenis

Dapat ditemukan berbagai jenis tumor ganas di nasofaring, antara lain :

1. Jenis karsinoma epidermoid

11
Tumor yang berasal dari sel yang melapisi organ-organ internal biasanya

timbul dari jaringan epitel kulit atau epidermis kulit dan kebanyakan berasal

dari kelenjar sebasea atau kelenjar yang mengeluarkan minyak dari dalam kulit.

2. Jenis adenokarsinoma

Tumor yang berasal dari bagian dalam kulit seperti endodermis, eksodermis

dan mesodermis.

3. Jenis karsinoma adenoid kistik

Benjolan kecil yang berkembang dibawah kulit pada batang leher wajah

tumbuh lambat dan sering menyakitkan yang mudah digerakan, serta berbagai

jenis sarkoma dan limfoma maligna (Soepardi et al, 2010).

2.7. Stadium

Menentukan stadium dipakai sistem TMN (sistem tumor-kelenjar-metastasis)

menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) / UICC (Union

Internationale Contre Cancer) (2010), Edisi 7, untuk Kanker Nasofaring dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi stadium TNM (sistem tumor-kelnjarmetastasis) American

Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, Edisi 7 untuk Kanker Nasofaring dalam

Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) 2010

12
Berdasarkan TNM (sitem tumor-kelenjar-metastasis) tersebut, stadium penyakit

dapat dikelompokkan berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC)

2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel stadium Karsinoma Nasofaring

Stadium Keadaan Kelenjar Metastasis


Tumor Getah Tumor
Bening
Stadium 0 Primer
Tis Regional
N0 M0
Stadium I T1 N0 M0

13
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IVB Semua T N3 M0
Stadium IVC Semua T Semua N M1
Sumber : Perhimpunan Onkologi Indonesia. Edisi 1, 2010.

Keterangan :

1. Sadium 0 = Tumor terbatas di nasofaring, tidak ada pembesaran,

tidak ada metastasis jauh.

1) Stadium II = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening

unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa

supraklavikula, tidak ada metastasis jauh. Terjadi perluasan tumor ke

rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, metastasis kelenjar getah

bening unilateral. Disertai perluasan ke parafaring, tidak ada pembesaran dan

metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang

atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula, tidak ada metastasis jauh.

2. Stadium III = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening

bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas

fossa supraklavikula, dan tidak ada metastasis jauh.

3. Stadium IVA = Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat

keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang

mastikator. Tidak ada pembesaran dan metastasis kelenjar getah bening

14
unilateral serta metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran

terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula. Tidak ada

metastasis jauh.

4. Stadium IVB = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di

nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke

orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, disertai

perluasan ke parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus

paranasal, tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan

saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm,

atau terletak di dalam fossa supraklavikula. Tidak ada pembesaran.

5. Stadium IVC = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di

nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke rongga

hidung tanpa perluasan ke parafaring. Bisa jadi disertai perluasan ke

parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal, tumor

dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Selain itu dapat juga

pembesaran kelenjar getah bening regional, pembesaran kelenjar getah

bening tidak dapat dinilai, tidak ada pembesaran, metastasi kelenjar getah

bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm,

diatas fossa supraklavikula, metastasis kelenjar getah bening bilateral,

dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa

supraklavikula, Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih

15
besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula, ukuran lebih dari

6 cm, di dalam supraklavikula, dan terdapat metastasis jauh (Soepardi et al,

2010).

2.8. Gejala klinis

Terdapat empat kelompok gejala KNF, yaitu gejala massa leher, gejala hidung,

gejala telinga, dan kelumpuhan saraf kranial. Kelompok gejala ini berkaitan dengan

lokasi tumor primer, struktur yang diinfiltrasi, atau metastasis nodus limfatik

servikal.

Massa di nasofaring dapat membuat gejala obstruksi nasal dan hidung beringus.

Saat ukuran tumor kecil, ditemukan obstruksi unilateral namun seiring dengan

pertumbuhan tumor akan menjadi bilateral. Jika tumor berulkus, maka akan timbul

epistaksis. Jumlah perdarahan biasanya tidak banyak dan sering terjadi post-nasal

drip. Sebagian besar tumor di nasofaring dengan atau tanpa ekstensi posterolateral

ruang paranasofaring sering dikaitkan dengan disfungsi tuba Eustachius, sehingga

terjadi tuli konduktif unilateral. Gejala otologi lain yaitu otalgia dan tinnitus.

Tumor primer dapat tumbuh ke superior menginfiltrasi basis kranii menimbulkan

nyeri kepala. Jika tumor mengenai sinus cavernous dan dinding lateralnya, saraf

kranial III, IV, dan VI dapat terlibat dan timbul diplopia. Ekstensi tumor ke

foramen ovale dapat mengenai saraf kranial V yang menyebabkan nyeri wajah

serta baal. Gejala yang paling sering ditemukan adalah massa tidak nyeri di leher

16
atas. Nasofaring adalah struktur yang berada di garis tengah, sehingga sering

dijumpai pembesaran nodus limfatikus bilateral. Metastasis jauh relatif jarang,

yang tersering adalah ke vertebra, hepar, dan paru (Kemenkes R1, 2012).

2.9. Diagnosis

1. Anamnesis

Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung

tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan

benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal

(saraf III, IV, V, VI).

2. Pemeriksaan Fisik

a. Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.

b. Pemeriksaan nasofaring: Rinoskopi posterior, Nasofaringoskop (fiber /

rigid), Laringoskopi

c. Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)

digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker

nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada kasus-kasus

dengan dugaan residu dan residif (Kemenkes R1, 2012).

d. Pemeriksaan endoskopi

Endoskopi memainkan peran kunci dalam deteksi awal lesi KNF, dan biopsi

endoskopik memungkinkan diagnosis definitif KNF. Endoskopi menilai

ekstensi tumor di permukaan mukosa nasofaring. Lesi awal biasanya terjadi

di dinding lateral atau atap nasofaring. Tetapi prosedur ini tidak dapat
menentukan pertumbuhan spasial tumor seperti ekstensi mendalam dan

penyebaran intrakranial.1,12 Endoskopi bertujuan menilai nasofaring untuk

memprediksi kemungkinan KNF, namun terkadang sulit, terutama pada lesi

kecil di fossa Rossenmuller, tonjolan kecil atau asimetri di atap. Jika KNF

diduga kuat, pemeriksaan pencitraan yang tepat dan/ atau biopsi mukosa

nasofaring dianjurkan bahkan jika permukaan mukosa berpenampilan

normal (Wijaya, 2017)

3. Pemeriksaan Radiologik

a. CT Scan

Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus

frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital,

tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-

2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat tumor primer dan

penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening

regional.

b. MRI

Saat ekstensi intrakranial dicurigai, MRI kepala dan dasar tengkorak lebih

baik untuk mengetahui tingkat tumornya.


c. PET

Positron emission tomography (PET) telah digunakan untuk menilai nodus

leher yang bermasalah dan mengevaluasi lokasi lain penyakit jauh.


d. USG abdomen

Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat

keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan

Abdomen dengan kontras.

e. Foto Thoraks

Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan

maka dilanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan kontras.

f. Bone Scan

Untuk melihat metastasis tulang. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diatas

untuk menentukan TNM.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomik

Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring BUKAN

dari Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional

kelenjar getah bening leher. Dilakukan dengan tang biopsi lewat hidung atau

mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi

rigid/fiber.

Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO, yaitu:

a. Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin (WHO 1)

b. Karsinoma Tidak Berkeratin: Berdiferensiasi (WHO 2) dan Tidak

Berdiferensiasi (WHO 3)

c. Karsinoma Basaloid Skuamosa


Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum jika:

1. Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif

sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma

nasofaring.

2. Unknown Primary Cancer

Prosedur ini dapat langsung dikerjakan pada:

a.Penderita anak

b.Penderita dengan keadaan umum kurang baik

c.Keadaan trismus sehingga nasofaring tidak dapat diperiksa.

d.Penderita yang tidak kooperatif

e.Penderita yang laringnya terlampau sensitif

3. Dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT ditemukan kecurigaan residu /

rekuren, dengan Nasoendoskopi Nasofaring menonjol.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher

Pembesaran kelenjar leher yang diduga keras sebagai metastasis tumor ganas

nasofaring yaitu, internal jugular chain superior, posterior cervical triangle

node, dan supraclavicular node jangan di biopsi terlebih dulu sebelum

ditemukan tumor induknya. Yang mungkin dilakukan adalah Biopsi Aspirasi

Jarum Halus (BAJH) (Kemenkes R1, 2012).

5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.

b. Alkali fosfatase, LDH

c. SGPT – SGOT

d. Serologi

Serologi Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu

pemeriksaan serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid antigen

(Ig anti-VCA), Ig G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan

polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan

sebagai skrining untuk deteksi dini, sering mendahului munculnya KNF dan

berfungsi sebagai petanda tumor remisi dan kekambuhan. Ji, et al.,

melaporkan window period selama 3 tahun sesudah peningkatan antibodi

dan menetap tinggi sampai muncul gejala klinis.

Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan VEB, meskipun peran VEB yang

tepat dalam patogenesis KNF masih belum jelas. Deteksi antibodi IgG

(dijumpai pada masa awal infeksi virus) dan antibodi IgA VCA mendukung

diagnosis karsinoma nasofaring. Titer antibodi IgA untuk VEB viral capsid

antigen (EBV-IgAVCA) dan VEB antigen awal (EBV-EA) pada

pemeriksaan immunofluorescent dapat digunakan untuk skrining KNF.

Peningkatan titer IgA antibodi pada VEB viral capsid antigen (VCA) biasa

ditemukan pada pasien KNF. Antibodi terhadap VEB baik IgG maupun IgA

penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita

tumor lain atau orang sehat. Peningkatan titer IgA ini dapat diketahui
sebelum perkembangan KNF dan berkorelasi dengan besar tumor, remisi,

dan rekurensi. Dalam beberapa tahun terakhir, tes enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) yang menggunakan antigen VEB

rekombinan dimurnikan makin dianjurkan untuk menggantikan

immunofluorescent tradisional. Virus juga dapat dideteksi pada tumor

dengan pemeriksaan hibridisasi in situ dan teknik imunohistokimia. Selain

itu, dapat juga dideteksi dengan teknik PCR pada material aspirasi biopsi

jarum metastasis kelenjar getah bening leher. Penapisan dengan Serologi

IgA VCA/IgA EA sebagai tumor marker (penanda tumor) diambil dari

darah tepi dan/atau Brushing Nasofaring (DNA Load Viral). Pemeriksaan

ini tidak berperan dalam penegakkan diagnosis tetapi dilakukan sebagai

skrining dan data dasar untuk evaluasi pengobatan.

Gambar 2. Algoritma diagnosis Kanker Nasofaring


2.10.Diagnosis banding

Diagnosis banding antara lain:

1. Limfoma Malignum

2. Proses non keganasan (TB kelenjar)

3. Metastasis (tumor sekunder)

Kanker nasofaring dapat menginvasi beragam struktur di sekitarnya, termasuk

basis kranii dan leher, sehingga gejala klinisnya bervariasi. Pada tahap awal berupa

gejala hidung dapat menyerupai kondisi jinak, seperti rinitis, sinusitis, atau polip

nasal. Gejala telinga yaitu gangguan dengar unilateral pada usia dewasa, yang

harus dicurigai KNF, khususnya di area endemik. Kanker nasofaring berkaitan

dengan paresis saraf kranial, sehingga dapat menyerupai penyakit neurologi.

Defisit saraf kranial yang tidak jelas penyebabnya sebaiknya diperiksa dengan

endoskopi nasal, terutama pada orang dengan risiko tinggi. Kanker nasofaring juga

dapat didiagnosis banding dengan hipertrofi adenoid, namun biasanya adenoid

memiliki permukaan licin, alur longitudinal, dan letaknya di tengah nasofaring.

Pada laki-laki remaja dapat pula dibandingkan dengan angiofibroma juvenil, hal

ini dapat dikonfirmasi dengan endoskopi dan pemeriksaan MRI. Tumor lain di

nasofaring di antaranya adalah limfoma, karsinoma sinonasal, chordoma,

rhabdomyosarcoma, melanoma, dan teratoma. Pada pasien dengan benjolan leher,

harus dilakukan biopsi nodus. Benjolan leher dapat terjadi pada kondisi infeksi

atau inflamasi, limfoma, atau tumor ganas regio kepala leher ataupun bagian tubuh

lain (Wijaya, 2017).


2.11.Penatalaksanaan

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung

dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala

Tabel 3. Pedoman Terapi pada KNF

1. Radioterapi

Pemberian radioterapi dalam bentuk IMRT lebih terpilih dibandingkan dengan

3D-CRT. Pedoman pemberian dosis dan perencanaan organ yang berisiko

dapat dilihat pada lampiran.

2. Obat-obatan Simptomatik

a. Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan

menelan - obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent,

(diberikan 3 – 4 sehari).

b. Tanda-tanda moniliasis - antimikotik.

c. Nyeri menelan - anestesi lokal


d. Nausea, anoreksia - terapi simptomatik.

3. Kemoterapi

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien

dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan

preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali

2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis

penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap

3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.

Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi

dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan

Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40

mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.

Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik:

 Terapi Kombinasi

 Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel

 Cisplatin/5-FU

 Carboplatin

 Cisplatin/gemcitabine

 Gemcitabine

 Taxans + Patinum +5FU

 Terapi Tunggal
 Cisplatin

 Carboplatin

 Paclitaxel

 Docetaxel

 5-FU

 Methotrexate

 Gemcitabine

 Capecitabine

4. Dukungan Nutrisi

Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%) dan

malnutrisi berat (6,7%). 12 Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher

(termasuk KNF) dapat mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat

mempengaruhi respons terapi kualitas hidup, dan kesintasan pasien. 13 Pasien

KNF juga sering mengalami efek samping terapi, berupa mukositis,

xerostomia, mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi

tersebut dapat meningkatkan meningkatkan stres metabolisme, sehingga pasien

perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Pada anak dengan

karsinoma nasofaring, efek samping yang sering ditimbulkan ialah kehilangan

nafsu makan, perubahan indra perasa, penurunan sistim kekebalan, muntah,

diare, gangguan saluran cerna lainnya seringkali berakibat terhadap jumlah

asupan makronutrien dan mikronutrien yang diperlukan pada anak. Para


penyintas perlu mendapatkan edukasi dan terapi gizi untuk meningkatkan

keluaran klinis dan kualitas hidup pasien.

5. Tatalaksana Nutrisi Umum

Penatalaksanaan nutrisi secara umum terdiri atas:

a. Pemberian nutrisi optimal

b. Pemberian farmakoterapi

6. Tatalaksana Nutrisi Khusus

Pasien kanker nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa

mukositis oral, diare, konstipasi, atau mual-muntah akibat tindakan

pembedahan serta kemo- dan /atau radio-terapi. Tatalaksana khusus pada

kondisi tersebut, diberikan sesuai dengan kondisi pasien


7. Rehabilitasi Medik Pasien Kanker Nasofaring

Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian

kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan

kualitas hidup pasien dengan cara aman & efektif, sesuai kemampuan yang

ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan sedini mungkin sejak

sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai

tingkat tahapan & pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan

penanganan rehabilitasi kanker: preventif, restorasi, suportif atau paliatif.

8. Edukasi

Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada pasien telah dibahas dalam subbab

sebelumnya. Berikut ini adalah rangkuman mengenai hal-hal yang penting

untuk diedukasikan kepada pasien.


9. Follow up

Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik:

Tahun 1 : setiap 1-3 bulan

Tahun 2 : setiap 2-6 bulan

Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan

> 5 tahun : setiap 12 bulan

Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi:

a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC

b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang

Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT

Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap

tumor.

2.12.Prognosis

Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu

dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang dapat

memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan

faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler. klinik (pemeriksaan

fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji meta analisis yang

menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi yang telah ada.


Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5

tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan

KNF StadiumI hingga IV secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%. 21

2.13.Gambaran Radiologi

1. CT Scan

Contrast-enhanced CT scan shows nasopharyngeal carcinoma with right


parapharyngeal extension and retropharyngeal adenopathy.
Contrast-enhanced CT scan shows nasal involvement resulting from
nasopharyngeal carcinoma.

Nonenhanced CT scan (coronal view) shows thickening of the right


parapharyngeal wall.
2. MRI

49-year-old woman with nasopharyngeal carcinoma (NPC) localized to nasopharynx


(T1). Axial contrast-enhanced T1-weighted image shows small NPC (short arrows)
centered in left Rosenmüller fossa (long arrow), which is the most common site for this
cancer, and involving posterior wall. Tumor is confined to nasopharynx, and there is
small metastatic left retropharyngeal node (curved arrow).

50-year-old man with nasopharyngeal carcinoma (NPC) with parapharyngeal extension


(T2). Axial contrast T1-weighted image shows NPC (white arrows) with left
parapharyngeal extension and involvement of parapharyngeal fat space. Note normal
levator palatini muscle (red arrow), tensor palatini muscle (blue arrow),
pharyngobasilar fascia (black arrow), and fat space (yellow arrow) on normal right side

58-year-old man with nasopharyngeal carcinoma with prevertebral extension (T2).


Axial T1-weighted contrast-enhanced image shows nasopharyngeal carcinoma (straight
arrows) with extensive spread predominantly posteriorly into longus muscles
(arrowheads) and clivus (curved arrows).

Nonenhanced T1-weighted MRI shows nasopharyngeal cancer invading the


left side of the clivus. Signal intensity of the marrow fat is lost on the left side
of the clivus compared with the right side.
Gadolinium-enhanced axial T1-weighted MRI shows nasopharyngeal cancer
with left parapharyngeal involvement.

Coronal gadolinium-enhanced T1-weighted MRI shows nasopharyngeal cancer


with parapharyngeal extension (same patient as in the previous image).
Axial T2-weighted image shows a left-sided cervical nodal metastasis resulting
from nasopharyngeal cancer.

Coronal T2-weighted MRI shows a left-sided cervical nodal metastasis


resulting from nasopharyngeal cancer (same patient as in the previous image)
DAFTAR PUSTAKA

Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, Tan


IB, et al (2012). Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
Epidemiology,incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer,
31(4): 185-196
Ariwibowo, H. 2013. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Dokter Intership RS IA
Moeis dan Puskesmas Karang Asam. Samarinda. Jurnal Vol. 40 no. 5.
Ballenger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.Jilid I.
Dialihbahasakan oleh Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI.Binarupa Aksara
Tangerang.
Dalimartha, Setiawan. 2004. Deteksi Dini Kanker & Simplisia Antikanker. Jakarta:
Penebar Swadaya Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Panduan penatalaksanaan kanker nasofaring. Jakarta:
Komite Penanggulangan Kanker Nasional.
Khoa, D dan Gady ar-E. Kanker Kepala dan Leher dalam Lecente, F.E., Gadi, HE.,
Goldsmith, A.J., Turk, J.B (ed). 2012. IlmuTHT Esensial. Edisi Ke-5.
Dialihbahasakan oleh Hartanto, H et al. EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
Nasir,N.(2009). Karsinoma Nasofaring Kedokteran Islam. Diunduh dari:
http://www.nasiriyadinasyir.co.cc Pada Tanggal 23 Desember 2017.
National Cancer Institute,(2009). Nasopharyngeal Cancer Treatment. U.S.A: National
Cancerinstitute. Diunduh dari : http://www.cancer.gov. Pada Tanggal 23
Desember 2017.
Soepardi, Efiaty, A, dkk.(2010). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: FKUI
Wijaya, Fitra A. 2017. Deteksi dini dan diagnosis kanker nasofaring. Vol 4 No.7.
Bandung: Departemen ilmu THT Universitas Padjajaran.

You might also like