You are on page 1of 23

1.

KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi

1. Menurut Depkes RI (2007), berdasarkan kebiasaan nyamuk betina mencari mangsa di


siang hari. Aktifitas menggigit dimulai pada pagi sampai petang hari, dengan dua
puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 tidak seperti nyamuk lain.
Aedes Aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites)
dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan
demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah,
nyamuk akan hinggap (beristirahat) di dalam atau di luar rumah berdekatan dengan
tempat perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab, untuk
menunggu proses pematangan telurnya. Setelah beristirahat dan proses pematangan
telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding sedikit di atas
permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu + 2
hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan
telur sebanyak 100 butir. Telur di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan
berbulan-bulan pada suhu -2 oC sampai 42 oC dan apabila tempat tersebut tergenang
air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat. (Depkes, 2007).

Manusia yang terinfeksi virus dengue adalah pembawa dan pengganda virus
yang utama. Virus beredar dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai
tujuh hari, kira-kira sama lamanya dengan jangka waktu demam yang penderita DBD
alami. Nyamuk aedes yang tidak atau belum terinfeksi, kemudian menggigit manusia
yang terinfeksi, di sinilah kemudian Si Nyamuk ikut terinfeksi dan dapat menularkan
virus ke manusia lain.

Di Asia Tenggara dan Afrika, siklus penularan juga melibatkan primata


hutan yang bertindak sebagai reservoir virus. Nyamuk Aedes lebih suka berkembang
biak di genangan atau wadah berisi air, biasanya dekat dengan tempat tinggal
manusia. Meskipun paling aktif pada siang hari, nyamuk Aedes aegypti akan makan
sepanjang hari saat berada di dalam ruangan dan saat cuaca sedang mendung.

2. Pembuluh Darah
Pembuluh darah ada 3 yaitu: Arteri, Kapiler dan Vena (Syaifuddin, 2006)
a. Arteri (Pembuluh nadi)
Arteri meninggalkan jantung pada ventikel kiri dan kanan. Beberapa
pembuluh darah arteri yang penting:
1) Arteri koronaria adalah arteri yang mendarahi dinding jantung.
2) Arteri subklavikula adalah arteri bawah selangka yang bercabang
kanan kiri leher dan melewati aksila
3) Arteri Brachialis adalah arteri yang berada pada lengan atas
4) Arteri radialis adalah arteri yang teraba pada pangkal ibu jari.
5) Arteri karotis adalah arteri yang mendarahi kepala dan otak.
6) Arteri temporalis adalah arteri yang teraba denyutnya di depan
telinga.
7) Arteri facialis teraba denyutan disudut kanan bawah.
8) Arteri femoralis merupakan arteri yang berjalan kebawah
menyusuri paha menuju ke belakang lutut.
9) Arteri Tibia adalah arteri pada kaki.
10) Arteri Pulmonalis merupakan arteri yang menuju ke paru-paru
b. Kapiler
Kapiler adalah pembuluh darah yang sangat kecil yang teraba dari
cabang terhalus dari arteri sehingga tidak tampak kecuali dari bawah
mikroskop. Kapiler membentuk anyaman di seluruh jaringan tubuh,
kapiler selanjutnya bertemu satu dengan yang lain menjadi darah yang
lebih besar yang disebut vena.
c. vena (pembuluh darah balik)
Vena membawa darah kotor kembali ke jantung. Beberapa vena yang penting:
1) Vena Cava Superior adalah vena balik yang memasuki atrium kanan,
membawa darah kotor dari daerah kepala, thorak dan ekstremitas atas.
2) Vena Cava Inferior merupakan vena yang mengembalikan darah kotor ke
jantung dari semua organ tubuh bagian bawah.
3) Vena jugularis adalah vena yang mengembalikan darah kotor dari ke jantung.
4) Vena pulmonalis adalah vena yang mengembalikan darah kotor ke jantung dari
paru-paru

3. Darah
Darah adalah jaringan cair dan terdiri atas dua bagian: bagian cair yang disebut
plasma dan bagian padat yang disebut sel darah (Evelyn, 2002). Darah adalah
suatu jaringan tubuh yang terdapat didalam pembuluh darah yang berwarna
merah (Syaifuddin, 2006). Proses pembentukan sel darah (hemopoesis) terdapat tiga
tempat, yaitu: sumsum tulang, hepar dan limpa. Volume darah
pada tubuh yang sehat / organ dewasa terdapat darah kira-kira 1/13 dari berat
badan atau kira-kira 4-5 liter. Keadaan jumlah tersebut pada tiap organ tidak
sama tergantung pada umur, pekerjaan, keadaan jantung atau pembuluh
darah.Tekanan viskositas atau kekentalan dari pada darah lebih kental dari
pada air yaitu mempunyai berat jenis 1.041 – 1.067 dengan temperatur 380C
dan PH 7.37 – 1.45.
Menurut Syaifuddin (2006) fungsi darah secara umum terdiri dari:
1) Sebagai alat pengangkut yaitu :
a) Mengambil Oksigen atau zat pembakaran dari paru untuk diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh.
b) Mengangkut Karbondioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru.
c) Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan ke seluruh jaringan / alat tubuh.
d) Mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.
2) Sebagai pertahanan tubuh Terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang akan
membinasakan tubuh dengan perantara leukosit, antibodi atau zat-zat anti racun.
3) Menyebarkan panas keseluruh tubuh. Fungsi khususnya lebih lanjut di terangkan
lebih banyak di struktur atau bagian dari masing-masing sel darah dan plasma
darah.
Darah terdiri dari 2 bagian yaitu: Sel darah dan Plasma darah.
a. Sel-sel darah
Sel-sel darah ada 3 macam yaitu Eritosit, Leukosit, Trombosit
(Syaifuddin, 2006).
1) Eritrosit (sel darah merah)
Eritrosit merupakan cakram bikonkaf yang tidak berhenti,
ukurannya kira-kira 8 m, tidak dapat bergerak, banyaknya kirakira 5 juta
dalam mm3. Eritrosit berwarna kuning kemerahan karena didalamnya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin. Warna ini akan bertambah
merah jika di dalamnya banyak mengandung Oksigen. Fungsi dari eritrosit
adalah mengikat Karbondioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan
melalui paru-paru.
Eristrosit dibuat dalam sumsum tulang, limpa dan hati,
yang kemudian akan beredar keseluruh tubuh selama 14-15 hari, setelah itu
akan mati. Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai
menjadi dua zat yaitu hematin yang menjadi Fe yang berguna untuk
pembuatan eritrosit baru dan hemoglobin yaitu suatu zat yang terdapat
dalam eritrosit yang berguna untuk mengikat Oksigen dan Karbondioksida.
Jumlah Hb dalam orang dewasa kira-kira 11, 5-15 mg %. Normal Hb
wanita 11, 5- 15, 5 mg % dan Hb laki-laki 13, 0- 17, 0 mg %. Apabila
eritrosit dan hemoglobin berkurang maka keadaan ini disebut anemia.
Biasanya hal ini disebabkan karena pendarahan yang hebat dan gangguan
dalam pembuatan eritrosit (Syaifuddin, 2006).
2) Leukosit (sel darah putih)
Sel darah yang bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak
dengan perantara kaki palsu (pseudopodia) mempunyai bermacam-macam
inti sel sehingga dapat dibedakan berdasarkan inti sel. Leukosit berwarna
kuning (tidak berwarna), banyaknya kira-kira 4000- 11.000/mm3. Leukosit
berfungsi sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit
penyakit / bakteri yang masuk dalam tubuh jaringan RES (Retikulo Endotel
System). Fungsi yang lain yaitu sebagai pengangkut dimana leukosit
mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa dan
ke pembuluh darah.
Sel leukosit selain dari dalam pembuluh darah juga terdapat di
seluruh jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan
karena kemasukan kuman/ infeksi maka jumlah leukosit yang ada dalam
darah akan meningkat. Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya
tinggal di dalam kelenjar limfe sekarang beredar dalam darah untuk
mempertahankan tubuh terhadap serangan bibit penyakit tersebut.
Macam-macam leukosit menurut Sarjadi (2000) adalah sebagai
berikut:
a. Agranulosit
Sel yang tidak mempunyai granula didalamnya, terdiri dari:
1) Limfosit
Leukosit yang dihasilkan dari jaringan RES dan kelenjar limfe di
dalam sitoplasmannya tidak terdapat granula dan inti besar banyaknya
20-25 %. Fungsinya membunuh kuman dan memakan bakteri yang
masuk ke dalam jaringan tubuh.
2) Monosit
Fungsinya sebagai fagosit dan banyaknya 30%.
b. Granulosit
1) Neutrofil
Mempunyai inti, protoplasma, banyaknya bintik-bintik, banyaknya
60-70%.
2) Eosinofil
Granula lebih besar, banyaknya kira-kira 24%.
3) Basofil
Inti teratur dalam protoplasma terdapat granula besar
banyaknya ½%.
c. Trombosit (sel pembeku)
Merupakan benda-benda kecil yang bentuk dan
ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang
lonjong. Warnanya putih dengan jumlah normal 150.000-
450.000/ mm3. Trombosit memegang peranan penting
dalam pembekuan darah jika kurang dari normal. Apabila
timbul luka, darah tidak lekas membeku sehingga timbul
pendarahan terus menerus. Proses pembekuan darah dibantu oleh zat
yaitu Ca2+ dan fribinogen. Fibrinogen mulai bekerja apabila tubuh
mendapat luka. Jika tubuh terluka, darah akan keluar, trombosit pecah
dan akan mengeluarkan zat yang disebut trombokinase. Trombokinase
akan bertemu dengan protombin dengan bantuan Ca2+ akan menjadi
thrombin. Thrombin akan bertemu dengan fibrin yang merupakan
benang-benang halus, bentuk jaringan yang tidak teratur letaknya, yang
akan menahan sel darah. Dengan demikian terjadi pembekuan.
(Syaifuddin, 2006).
b. Plasma darah
Bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah warna bening
kekuningan hampir 90% plasma darah terdiri dari:
1) Fibrinogen yang berguna dalam proses pembekuan darah.
2) Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-lain yang
berguna dalam metabolisme ).
3) Protein darah (albumin dan globulin) meningkatkan viskositas darah dan
juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara keseimbangan cairan
dalam tubuh.
4) Zat makanan (zat amino, glukosa lemak, mineral, dan vitamin)
5) Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh.
6) Antibodi atau anti toksin. Hematokrit adalah presentase darah yang berupa
sel. Harga normal hematokrit adalah 40,0-54,0 %. Efek hematokrit terdapat
viskositas darah makin besar presentase darah merah yaitu makin besar
hematokrit.
Proses pembentukan sel darah (hemotopoesis) terdapat di tiga
tempat, yaitu: sumsum tulang, hepar dan limpa.
a) Sumsum Tulang
Sumsum tulang yang aktif dalam proses hemopoesis adalah Tulang
Vertebrae, Sternum (tulang dada), Costa (tulang iga).
b) Limpa
Limpa juga berfungsi menghancurkan sel darah merah yang rusak.
Volume darah pada tubuh yang sehat / organ dewasa terdapat darah
kirakira 1/13 dari berat badan atau kira-kira 4-5 liter. Keadaan jumlah
tersebut pada tiap organ tidak sama tergantung pada umur, pekerjaan,
keadaan jantung atau pembuluh darah.

B. Definisi
Ada beberapa pengertian DHF (Dengue Haemoragic Fever) menurut
beberapa ahli adalah :
1. DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh karena
virus dengue yang termasuk golongan abrovirus melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegygti betina. Penyakit ini biasa disebut Demam Berdarah Dengue (Hidayat,
2006).
2. DHF adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama
demam, nyeri otot dan sendi yang disertai leucopenia, dengan atau tanpa ruam (rash)
dan limfadenopati, trombositopenia ringan dan bintikbintik perdarahahan (ptekie)
spontan (Noer, 2000).
3. Demam berdarah dengue adalah penyakit akut dengan ciri-ciri demam
manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang
dapat menyebabkan kematian (Mansjoer, 2000).
Jadi demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam disertai gejala perdarahan dan
bila timbul renjatan dapat menyebabkan kematian.
Berdasarkan patokan dari WHO (1999) dikutip dari Ngastiyah (2000). DHF
dibagi menjadi 4 derajat:
1. Derajat I jika demam disertai gejala klinis lain tanpa perdarahan spontan,
uji tourniquet (+) thrombocytopenia hemokonsentrasi.
2. Derajat II jika derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau
perdarahan lain.
3. Derajat III jika ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah
tekanan darah rendah, gelisah, sianosis mulut, hidung dan ujung jari.
4. Derajat IV jika Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak
terdeteksi.
Selain klasifikasi tersebut pada pasien DBD juga dikenal adanya
istilah Dengue Syok Syndrome (DSS). Dengue Syok Sindrome terjadi jika
seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan
manifetasi nadi yang cepat dan halus, tekanan nadi turun (20≤ mmHg), hipotensi
dibandingkan standart sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Penderita seringkali mengeluhkan nyeri didaerah perut sesaat sebelum renjatan
timbul. Nyeri tersebut seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal
(Masjoer, 2000).

C. Etiologi
Virus dengue ini disebarkan dari manusia ke manusia melalui nyamuk genus
Aedes, seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti tersebar di daerah
tropis dan subtropis merupakan vektor utama. Nyamuk ini berukuran kecil jika
dibandingkan dengan nyamuk lain, biasanya berukuran 3-4 mm. Warna tubuh hitam
dengan bintik-bintik putih pada seluruh tubuh dan kepala, dan lingkaran putih pada
kaki.
Dadanya biasanya mempunyai corakan putih dan sayapnya bersisik serta
translusen. Nyamuk betina Aedes aegypti mengigit pada waktu siang hari dengan
aktivitas puncak pada pagi hari dan petang. Perkembangan hidup nyamuk Aedes
Aegypti dari tidur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk
betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih dari manusia untuk
memotongkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan tidak biasa darah namun hanya
menghisap sari tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk Aedes Aegypti betina ±2 minggu.
Umur nyamuk Aedes Aegypti kemempuan terbang 40-100 m (Hadinegoro, 2000).

D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF,
dengan masa inkubasi antara 13-15 hari. Adapun tanda dan gejala menurut WHO
(1975) dikutip dari (Mansjoer, 2000).
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti
perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis. Epistaksis, Hematemesis, Hematuri, dan
melena)
3. Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang dan diastolik 20 mmHg atau
kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung,
jari dan kaki, penderita gelisah timbul sianosis disekitar mulut.
Adapun gambaran klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada
penderita DHF menurut (Mansjoer, 2000) adalah:
a. Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
b. Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi.
c. Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang
dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh dll..
d. Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah thrombocytopenia (kurang
atau sama dengan 100.000 mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit
lebih atau sama dengan 20 %).

E. Epidemiologi
Penyakit DHF ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara-
negara tropik dan subtropik baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil
studi epidemiologi menunjukkan bahwa DHF terutama menyerang kelompok umur
balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun serta tidak ditemukan perbedaan signifikan
dalam hal kerentanan terhadap serangan dengue antar gender. Outbreak (KLB,
Kejadian Luar Biasa) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan
datangnya musim penghujan. Hal tersebut sejalan dengan aktivitas vektor dengue yang
justru terjadi pada musim penghujan. Penularan penyakit DHF antar manusia terutama
berlangsung melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Sehubungan dengan morbiditas dan
mortilitasnya, DHF disebut sebagai the mosquito transmitted disease.
Di wilayah pengawasan WHO Asia Tenggara, Thailand merupakan Negara
peringkat pertama yang melaporkan banyak kasus DHF yang dirawat di rumah sakit.
Sedangkan di Indonesia termaksud peringkat kedua berdasarkan jumlah kasus DHF
yang dilaporkan. Penyakit DHF pertama kali dikenali di Filipina pada tahun 1953.
Diisolasi dari pasien d Filipina pada tahun 1956, 2 tahun kemudian virus dengue dari
berbagai tipe diisolasi dari pasien selama endemik di Bangkok, Thailand. Selama tiga
dekade berikutnya, DBD/DSS ditemukan di Kamboja, Cina, India, Indonesia,
Masyarakat Republik Demokratis Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura,
Srilanka, Vietnam dan beberapa kelompok kepulauan Pasifik. Indonesia yang
merupakan negara kepulauan yang terbentang diantara 6° Lintang utara dan 11° Linang
selatan dengan iklimnya yang tropik, terjadinya epidemi suatu penyakit di Batavia
(Jakarta) yang kemungkinan besar adalah dengue dilaporkan pertama kali oleh David
Beylon pada tahun 1779. Penyakit tersebut, yang ketika itu terutama menyerang etnis
Thionghoa, ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri retro-orbital, nyeri punggung,
nyeri persendian dan nyeri otot. KLB pertama penyakit ini terjadi di Jakarta dan
Surabaya pada tahun 1968 dengan ditemukannya 54 kasus dan 24 (44%) kasus
diantaranya meninggal dunia. Setelah itu, jumlah kasus akibat terinfeksi virus dengue
yang dilaporkan meningkatsecara tajam. KLB penyakit ini dilaporkan terutama
menyerang daerah urban. Pada tahun 1994, penyakit akibat infeksi virus dengue ini
telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia dan bahkan sejak tahun 2001 telah
menjadi suatu penyakit endemik di beberapa kota besar dan kecil, bahkan di daerah
pedesaan.
Data Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis
Kementerian Kesehatan menyebutkan hingga akhir Januari tahun ini, kejadian luar
biasa (KLB) penyakit DBD dilaporkan ada di 12 Kabupaten dan 3 Kota dari 11
Provinsi di Indonesia, antara lain: 1) Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Tangerang; 2)
Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Kota Lubuklinggau; 3) Provinsi Bengkulu, yakni Kota
Bengkulu; 4) Provinsi Bali, yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar; 5) Provinsi
Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Bulukumba, Pangkep, Luwu Utara, dan Wajo; 6)
Provinsi Gorontalo, yaitu Kabupaten Gorontalo; serta 7) Provinsi Papua Barat, yakni
Kabupaten Kaimana; 8) Provinsi Papua, yakni Kabupaten Mappi 9) Provinsi NTT,
yakni Kabupaten Sikka; 10) Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Banyumas; 11)
Provinsi Sulawesi Barat, yakni Kabupaten Majene. Sepanjang bulan Januari dan
Februari 2016, kasus DBD yang terjadi di wilayah tersebut tercatat sebanyak 492 orang
dengan jumlah kematian 25 orang pada bulan Januari 2016 sedangkan pada bulan
Februari tercatat sebanyak 116 orang dengan jumlah kematian 9 orang. Hasil data
tersebut menunjukan adanya penurunan KLB di Indonesia sepanjang bulan Januari-
Februari 2016.
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita DBD di Indonesia pada
bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 8.487 orang penderita DBD dengan jumlah
kematian 108 orang. Golongan terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia pada usia
5-14 tahun mencapai 43,44% dan usia 15-44 tahun mencapai 33,25%.

F. Fatosiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab yang
jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di
seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah
pada kulit. Kelainan juga dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti
pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Pelepasan
zat anafilaktoksin, histamin dan serotonin serta aktivitas dari sistem kalikrein
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler/vaskuler sehingga
cairan dari intravaskuler keluar ke ekstravaskuler atau terjadinya perembesaran plasma
akibat pembesaran plasama terjadi pengurangan volume plasma yang menyebabkan
hipovolemia, penurunan tekanan darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan
renjatan. Selain itu sistem reikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi
antigen anti bodi yang akhirnya bisa menyebabkan anaphylaxia (Price dan Wilson,
2000).
Plasma merembes sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya
saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai 30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadi
akibat kehilangan plasma yang tidak dengan segera diatasi maka akan terjadi
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Terjadinya renjatan ini
biasanya pada hari ke-3 dan ke-7 (Sudoyo, 2000). Akibat lain dari virus dengue dalam
peredaran darah akan menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi
trombositopenia, yang berlanjut akan menyebabkan perdarahan karena gangguan
trombosit dan kelainan koagulasi dan akhirnya sampai pada perdarahan. Reaksi
perdarahan pada pasien DHF diakibatkan adanya gangguan pada hemostasis yang
mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3),
menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V,
IX, X dan fibrinogen). Perdarahan yang terjadi seperti peteke, 18 ekimosis, purpura,
epistaksis, perdarahan gusi, sampai perdarahan hebat pada traktus gastrointestinal
Pembekuan yang meluas pada intravaskuler (DIC) juga bisa menyebabkan terjadi saat
renjatan (Price dan Wilson, 2000).

G. Patofisiologi skema

I. Diagnosa medik
DHF (Dengue Haemoragic Fever)

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DHF terbagi menjadi dua medis dan keperawatan menurut
FKUI (2000). Penatalaksanaan medis terbagi menjadi pengobatan pasien
DHF bersifat simtomatis dan suportif.
A. DHF tanpa renjatan
Rasa haus dan dehidrasi timbul akibat demam demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Penderita perlu diberi minum banyak 1,5 sampai 2 liter dalam
24 jam, berupa air teh dengan gula, sirup atau susu. Pada beberapa penderita
diberikan gastroenteritis oral solution (oralit). Minuman diberikan peroral, bila perlu
satu sendok makan setiap 3-5 menit. Para orang tua penderita diikut sertakan dalam
kegiatan ini. Pemberian minum secara gastronasal tidak dilakukan.
Hiperpireksia (Suhu 40 oC atau lebih) diatasi dengan antipiretik dan bila perlu
surface cooling dengan memberikan kompres es dan alkohol 70 %. Kejang yang
mungkin timbul diberantas dengan antikonvulsan. Anak berumur lebih dari 1 tahun
diberikan luminal 75 mg dan dibawah 1 tahun 50 mg secara intramuskulus. Bila
dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti pemberian luminal diulangi dengan
dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas 1 tahun diberikan 50 mg dan dibawah 1 tahun 30 mg
dengan memperhatikan adanya depresi fungsi vital (pernafasan, jantung).
Pemberian intravenous fluid drip (IVFD) pada penderita DHF
tanpa renjatan dilaksanakan apabila :
1) Penderita terus menerus muntah sehingga tidak mun gkin diberikan makanan
peroral, sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya dehidrasi dan
asidosis.
2) Didapatkan nilai hematokrit yang cenderung terus meningkat.
Penatalaksanaan renjatan :
1) Penggantian volume
Sebagai terapi awal cairan yang dipergunakan ialah Ringer
Laktat. Dalam keadaan renjatan berat, cairan harus diberikan secara diguyur,
artinya secepat-cepatnya dengan penjepit infus dibuka. Kadang kala vena
berada dalam keadaan kolaps sehingga kecepatan tetesan yang diharapkan
tidak dapat dicapai. Dalam keadaan ini cairan perlu diberikan dengan semprit,
dengan paksaan dimasukkan 100-200 ml, kemudian dilanjutkan dengan
tetesan. Dalam keadaan tidak berat, cairan diberikan dengan kecepatan 20
ml/kgBB/jam. Mengingat bahwa kebocoran plasma dapat berlangsung 24- 48
jam, maka pemberian cairan intravena dipertahankan walaupun tanda-tanda
vital telah menunjukan perbaikan nyata. Karena hematokrit merupakan indeks
yang dapat dipercaya dalam menentukan kebocoran plasma, maka
pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan secara periodik. Kecepatan pemberian
cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinis vital dan nilai hematokrit.
Dalam masa penyembuhan, cairan dari ruang
ekstravaskuler akan direabsorbsi kembali kedalam ruang vaskuler, dalam
keadaan ini hendaknya pemberian cairan dilakukan secara berhati-hati. Penting
sekali untuk diketahui bahwa menurunya nilai hemaglobin dan hematokrit
pada masa ini tidak diartikan sebagai tanda terjadinya perdarahan
gastrointestinal. Evaluasi klinis, nadi (amplitudo dan frekuensi),
tekanan darah, pernafasan, suhu, dan pengeluaran urin dilakukan
lebih sering. Indikasi pemberian transfusi darah ialah pada penderita
dengan perdarahan gastrointestinal hebat : kadang-kadang perdarahn
gastrointestinal berat dapat diduga apabila nilai hemoglobin dan hematokrit
menurun, sedangkan perdarahannya sendiri tidak kelihatan. Dengan
memperhatikan evaluasi klinis yang telah disebut, dalam keadaan ini pun
dianjurkan pemberian darah.
2) Evaluasi pengobatan renjatan
Untuk memudahkan mengikuti perjalanan klinis penderita
dengan renjatan, dibuat data klinis yang mencantumkan tanggal dan jam
pemeriksaan dan memuat hasil pemeriksaan nilai hemoglobin, nilai
hematokrit, nilai trombosit, tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, pengeluran
urin, jenis dan kecepatan cairan yang diberikan dan apabila ada jenis dan
jumlah perdarahan gastrointestinal. Penderita dengan renjatan berulang,
renjatan yang tidak memberikan respon terhadap pemberian cairan dan yang
memperlihatkan perdarahan gastrointestinal hebat bersamaan dengan renjatan
atau setelah renjatan diatasi diusahakan untuk di rawat di Unit Perawatan
Khusus.
B. DHF disertai renjatan (DSS)
Pada penderita DHF disertai renjatan, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Hal ini biasanya terjadi
pada saat atu setelah demam menurun yaitu diantara hari ke 3 dan ke 7 sakit. Pada
sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba
lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut dan nadi menjadi cepat dan lembut.
Penderita kelihatan lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam fase krisis renjatan.
Penderita sering kali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum renjatan timbul.
Nyeri perut hebat sering kali mendahului perdarahan gastrointestinal,
sedangkan Lim dkk (1966) berpendapat bahwa nyeri di daerah retrosternal, tanpa
sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terdapatnya perdarahan
gastrointestinal yang hebat. Renjatan yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk. Disamping kegagalan sirkulasi, renjatan ditandai oleh
nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat diraba (Sarjadi, 2000).
Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg artau kurang dan tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Penatalaksanaan untuk mengatasi
renjatan diperlukan secara layak karena bila tidak penderita dapat masuk dalam
renjatan berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
dapat diraba. Penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat akan menimbulkan
komplikasi asedosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan
prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan tepat, begitu pula pada kasus
renjatan berat, masa penyembuhan tampak cepat sekali. Penderita menyembuh
dalam waktu 2 sampai 3 hari. Selera makan yang bertambah merupakan
petunjuk prognosis baik.
Pada pemeriksaan laboratorium sering kali ditemukan
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit di bawah 100.000 / mm3
ditemukan diantara hari ke 3 sampai ke 7 sakit. Meningkatnya hematokrit
merupakan bukti adanya kebocoran plasma yang biasanya ditemukan, juga pada
kasus derajat ringan, walaupun tentunya tidak sehebat seperti dalam keadaan
renjatan. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,
hiponatrenia, peninggian sedikit kadar transaminaseserum dan urea nitrogen darah.
Pada beberapa penderita ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi
antara leukopenia dan leukositosis. Kadangkadang ditemukan albuminuria yang
bersifat sementara.
I. Komplikasi
Komplikasi DHF menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah
perdarahan, kegagalan sirkulasi, Hepatomegali, dan Efusi pleura.
1) Perdarahan
Perdarahan pada DHF disebabkan adanya perubahan vaskuler, penurunan jumlah
trombosit (trombositopenia) <100.000 /mm³ dan koagulopati, trombositopenia,
dihubungkan dengan meningkatnya megakoriosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit. Tendensi perdarahan terlihat pada uji tourniquet
positif, peteke, purpura, ekimosis, dan perdarahan saluran cerna, hematemesis
dan melena.
2) Kegagalan sirkulasi
DSS (Dengue Syok Sindrom) biasanya terjadi sesudah hari ke
2–7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran
plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinemia,
hemokonsentrasi dan hipovolemi yang mengakibatkan berkurangnya aliran balik
vena (venous return), prelod, miokardium volume sekuncup dan curah jantung,
sehingga terjadi disfungsi atau kegagalan sirkulasi dan penurunan sirkulasi jaringan.
DSS juga disertai dengan kegagalan hemostasis mengakibatkan perfusi miokard dan
curah jantung menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi iskemia jaringan dan
kerusakan fungsi sel secara progresif dan irreversibel, terjadi kerusakan sel dan
organ sehingga pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.
3) Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemahan yang berhubungan
dengan nekrosis karena perdarahan, yang terjadi pada lobulus hati dan sel sel kapiler.
Terkadang tampak sel netrofil dan limposit yang lebih besar dan lebih banyak
dikarenakan adanya reaksi atau kompleks virus antibody.
4) Efusi pleura
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yang mengakibatkan ekstravasasi
aliran intravaskuler sel hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya cairan dalam
rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi dispnea, sesak napas.

K. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnostik DHF perlu dilakukan berbagai
pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi (Hadinegoro, 2000).
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :
a. IgG dengue positif (dengue blood)
b. Trombositipenia
c. Hemoglobin meningkat >20%
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
e. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinema,
hiponatremia, hipokalemik
f. SGOT dan SGPT mungkin meningkat
g. Ureum dan pH darah mungkin meningkat
h. Waktu perdarahan memanjang
i. Pada analisa gas darah arteri menunjukkan asidois metabolik
PCO2 <35-40 mmHg, HCO3 rendah.
2) Pemeriksaan laboratorium urine : pada pemeriksaan urine dijumpai
albumin ringan.
3) Pemeriksaan serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang biasa dilakukan pada klien yang diduga
terkena DHF adalah : uji hemaglutinasi inhibisi (HI test), uji komplemen fiksasi (CF
test), uji neutralisasi (N test), IgM Elisa (Mac. Elisa), IgG Elisa Melakukan
pengukuran antibodi pasien dengan cara HI test (Hemoglobin Inhibiton test) atau
dengan uji pengikatan komplemen (komplemen fixation test) pada pemeriksaan
serologi dibutuhkan dua bahan pemeriksaan yaitu pada masa akut dan pada masa
penyembuhan. Untuk pemeriksaan serologi diambil darah vena 2-5 ml.
4) Pemeriksaan radiology
a) Foto thorax : pada foto thorax mungkin dijumpai efusi pleura.
b) Pemeriksaan USG : pada USG didapatkan hematomegali dan
splenomegal.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama dan hal yang penting dilakukan
dalam melakukan asuhan keperawatan, baik saat penderita baru pertama kali
datang maupun selama klien dalam masa perawatan (Hadinegoro, 2000). Data yang
diperoleh dari pengkajian klien dengan DHF dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. Identitas pasien
a. Umur (DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang dari 15
tahun).
b. Jenis kelamin secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan pada penderita DHF.
Tetapi kematian lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada anak laki-laki.
c. Tempat tinggal: penyakit ini semula hanya ditemukan di beberapa kota besar saja,
kemudian menyebar kehampir seluruh kota besar di Indonesia, bahkan sampai di
pedesaan dengan jumlah penduduk yang padat dan dalam waktu relatif singkat.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF datang ke
rumah sakit adalah panas tinggi dan pasien lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak dengan disertai menggigil dan saat
demam kesadaran kompos mentis. Turunya panas 28 terjadi antara hari ke-3 dan
ke-7, kondisi semakin lemah. Kadangkadang disertai keluhan batuk pilek, nyeri
telan, mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya
manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematemasis.
c. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF biasanya mengalami serangan
ulangan DHF dengan type virus yang lain.
d. Kondisi lingkungan
Sering terjadi pada daerah yang padat penduduknya dan lingkumgan yang kurang
bersih (seperti yang mengenang dan gantungan baju yang ada kamar).
3. Pola persepsi fungsional kesehatan
a. Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Penurunan nafsu makan, mual muntah, haus, sakit saat menelan.
Tanda : Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor, nyeri tekan pada ulu
hati.
b. Pola eliminasi
Tanda : Konstipasi, penurunan berkemih, melena, hematuri, (tahap lanjut).
c. Pola aktifitas dan latihan
Gejala : Keluhan lemah
Tanda : Dispnea, pola nafas tidak efektif, karena efusi pleura.
d. Pola istirahat dan tidur
Gejala : Kelelahan, kesulitan tidur, karena demam/ panas/ menggigil.
Tanda : Nadi cepat dan lemah, dispnea, sesak karena efusi pleura, nyeri
epigastrik, nyeri otot/ sendi.
e. Pola persepsi sensori dan kognitif
Gejala : Nyeri ulu hati, nyeri otot/ sendi, pegal-pegal seluruh tubuh.
Tanda : Cemas dan gelisah.
f. Persepsi diri dan konsep diri
Tanda : Ansietas, ketakutan, gelisah.
g. Sirkulasi
Gejala : Sakit kepala/ pusing, gelisah
Tanda : Nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, dispnea, perdarahan
nyata (kulit epistaksis, melena hematuri), peningkatan hematokrit 20% atau lebih,
trombosit kurang dari 100.000/mm.
h. Keamanan
Gejala : Adanya penurunan imunitas tubuh, karena hipoproteinemia.
i. Kebersihan
Kebersihan : upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
cenderung kurang terutama untuk membersihkan tempat sarang nyamuk aedes
aegypti.

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang dapat dirumuskan pada pasien DHF secara teori adalah :
1. Hipertermi berhubungan dengan viremia sekunder terhadap infeksi
dengue ditandai dengan: peningkatan suhu tubuh yang lebih besar dari
jangkauan normal, kulit kemerahan, hangat waktu disentuh, peningkatan
tingkat pernafasan, takikardi
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan berpindahnya cairan
intraseluler ke ekstraseluler (kebocoran plasma dari endotel), out put
berlebih karena muntah dan hipertermi.
3. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan penurunan trombosit
4. Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen
dalam jaringan menurun
5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia ditandai dengan: konjungtiva dan membran mukosa
pucat, menolak untuk makan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses patologis
ditandai dengan: nyeri, perilaku yang bersifat hati hati atau melindungi,
wajah menunjukkan nyeri, gelisah.
7. Cemas berhubungan dengan ketidak tahuan tentang penyakit, krisis
situasi proses penyakit dan hospitalisa.

C. Intervensi dan rasional


Fokus Intervensi yang dapat dirumuskan untuk keperawatan pasien DHF.
1) Hipertemi berhubungan dengan viremia sekunder terhadap infeksi
dengue
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan temperatur suhu dalam batas
normal (36°-37° C).
Kriteria Hasil :
a. Klien tidak menunjukkan kenaikan suhu tubuh.
b. Suhu tubuh dalam batas normal ( 36°-37° C)
Rencana tindakan:
1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui
keadaan umum pasien.
2) Kaji saat timbulnya demam
Rasional : Untuk mengidentifikasi pola demam pasien
3) Tingkatkan intake cairan.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan
tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi asupan
cairan
4) Catat asupan dan keluaran
Rasional : Untuk mengetahui ketidakseimbangancairan tubuh
5) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program
dokter
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan
suhu tinggi.
6) Kolaborasi pemberian obat antipiretik
Rasional : dapat mengurangi rasa nyeri

2) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan berpindahnya cairan


intraseluler ke ekstraseluler (kebocoran plasma dari endotel), output
berlebih karena muntah dan hipertermi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan defisit volume
cairan dapat terpenuhi
Kriteria Hasil :
1) Tanda-tanda vital stabil Tekanan darah 120/70 – 130/90 mmhg, Nadi
80 x/menit, Suhu 36 – 37 derajad celcius, CRT kurang dari 3 detik,
akral hangat, urine output 30-50cc/jam, membran mukosa lembab,
turgor kulit baik.
2) Volume cairan cukup input dan output seimbang.
Rencana tindakan:
1) Mengobservasi adanya tanda-tanda syok.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani
syok yang dialami pasien.
2) Observasi tanda dan gejala dehidrasi atau hipovolemik (riwayat
muntah diare, kehausan turgor jelek).
Rasional : defisit cairan akan ditandai dengan menurunnya haluaran
urine < 25 ml/jam
3) Monitor keadaan umum pasien (lemah pucat, tachicardi) serta tandatanda
vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, untuk mengetahui
dengan cepat penyimpangan dari keadaan normalnya
4) Menganjurkan pasien untuk banyak minum
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah
volume cairan tubuh.
5) Monitor perubahan haluaran urine dan monitor asupan haluaran
6) Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan dan tingkatan
dehidrasi.
7) Kolaborasi dalam pemberian cairan intravaskuler sesuai program
dokter.
Rasional : Pemberian cairan Intravena sangat penting bagi pasien
yang mengalami defisit volume cairan dengan keadaan
umum yang buruk karena cairan langsung masuk
kedalam pembuluh darah.
3) Resiko injuri perdarahan berhubungan dengan penurunan trombosit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan terhadap
pasien perdarahan tidak terjadi
Kriteria Hasil : Menunjukkan perbaikan keadaan umum dan tanda vital
yang baik
Rencana tindakan :
1) Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran
pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tandatanda
klinis seperti epistaksis, ptike.
2) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat ( bedrest )
Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan.
3) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan jika
ada tanda perdarahan seperti : hematemesis, melena, epistaksis.
Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk
penaganan dini bila terjadi perdarahan.
4) Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak,
pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai
ambil darah.
Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut.
5) Kolaborasi, monitor trombosit setiap hari
Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat
diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan
perdarahan yang dialami pasien.
6) Kolaborasi pemberian anti perdarahan sesuai advis Dokter
Rasional : mengurangi perdarahan
4) Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan menurunnya suplai
oksigen dalam jaringan menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suplai oksigen
ke jaringan adekuat.
Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan perfusi secara individual misalnya
tidak ada sianosis dan kulit hangat, kesadaran komposmentis, nyeri dada tidak
ada, keluhan pusing tidak ada, disorientasi tidak ada bisu, Nadi 60/80x/menit,
output urine 30-50cc/jam, CRT kurang dari 3 detik.
Rencana tindakan:
1) Observasi perubahan status mental
Rasional : Gelisah bingung disorientasi dapat menunjukkan gangguan aliran
darah serta hipoksia.
2) Observasi warna dan suhu kulit atau membrane mukosa.
Rasional : Kulit pucat atau sianosis, kuku membran bibir atau lidah dingin
menunjukkan vasokonstriksi perifer (syok) atau gangguan aliran darah perifer.
3) Auskultasi frekuensi dan irama jantung cacat adanya bunyi jantung
ekstra.
Rasional : Tachicardia sebagai akibat hipoksemia kompensasi upaya
peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan, gangguan irama berhubungan
dengan hipoksemia, ketidakseimbangan elektrolit. Adanya bunyi jantung
tambahan terlihat sebagai peningkatan kerja jantung.
4) Ukur haluaran urine dan catat berat jenis urine
Rasional : Syok lanjut atau penurunan curah jantung menimbulkan penurunan
perfusi ginjal dimanifestasi oleh penurunan haluaran urine dengan berat jenis
normal atau meningkat
5) Berikan cairan intra vena atau peroral sesuai indikasi.
Rasional : Peningkatan cairan diperlukan untuk menurunkan
hiperviskositas darah (Potensial pembentukan trombosit) atau mendukung
volume sirlukasi atau perfusi jaringan.
5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake tidak
adekuat sekunder terhadap mual, muntah, dan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria Hasil : Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan
porsi yang dibutuhkan atau diberikan, tidak muntah, Hb 10-14 g/dl, berat badan
tidak turun.
Rencana tindakan:
1) Kaji keluhan mual dan muntah yang dialami oleh pasien
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual dan muntah
3) Menjelaskan manfaat nutrisi bagi pasien terutama saat pasien sakit.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan pasien tentang nutrisi sehingga motivasi
pasien untuk makan meningkat.
4) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur dan dihidangkan
saat masih hangat.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan
makanan.
5) Catat jumlah dan porsi makanan yang dihabiskan
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan nutrisi pasien.
6) Ukur berat badan pasien setiap hari.
Rasional : untuk mengetahui status gizi pasien
7) Kolaborasi pemberian asupan makanan dengan tim gizi
Rasional : untuk pemberian nutrisi yang maksimal.
8) Kolaborasi dalam pemberian antiemetik sesuai advis Dokter
Rasional : mengurangi mual.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses patologis
(viremia)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
1) Rasa nyaman pasien terpenuhi
2) Ekspresi tidak meringis
3) Nadi normal (80-100 x/menit)
4) Skala nyeri menurun
5) Nyeri berkurang atau hilang
Rencana tindakan:
1) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan skala nyeri (0 - 10), tetapkan
tipe nyeri yang dialami pasien, respon pasien terhadap nyeri
Rasional : Untuk mengetahui berat nyeri yang dialami pasien
2) Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka perawat dapat
melakukan intervensi yang sesuai dengan masalah klien.
3) Berikan posisi yang nyata dan, usahakan situasi ruang yang terang
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri .
4) Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasien dari rasa
nyeri
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain, pasien dapat sedikit melupakan
perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
5) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi dengan
teman-teman atau orang terdekat.
Rasional : Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat atau teman
membuat pasien bahagia dan dapat mengalihkan, perhatiannya terhadap
nyeri.
6) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
Rasional : Obat analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.

7. Cemas berhubungan dengan ketidaktahuan tentang penyakit, krisis situasi


proses penyakit dan hospitalisa
Tujuan : cemas teratasi
Kriteria hasil : cemas berkurang, tidak gelisah, pasien kooperatif, tidur 6-
8 jam, Nadi : 60-80x/menit, RR : 16-20x/menit
Rencana tindakan :
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : memudahkan intervensi.
2. Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi
ansietas di masa lalu.
Rasional : mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan
kemampuan mengontrol ansietas
3. Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk
mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan.
4. Motivasi pasien untuk memfokuskan diri dan harapan-harapan yang
positif terhadap terapi yang dijalani.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang
dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.
5. Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas.
Rasional : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya mampu
mengatasi masalahnya dan memberi keyakinan pada diri
sendri yang dibuktikan dengan pengakuan orang lain atas kemampuannya.
6. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
7. Rasional : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.
8. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.
Rasional : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan
III. Daftar pustaka

You might also like