You are on page 1of 19

SKENARIO 4

Program Pemberantasan Penyakit Schistosomia didesa Dodolo dan


Mekarsari dataran tinggi Ngapu kabupaten Poso Sulawesi Barat
Dari hasil survey di desa Dodolo dan Desa Mekarsari Kabupaten Poso terhadap tinja penduduk
masih cukup tinggi mengndung schistosomia japonicum seperti terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Tinja di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008

Desa Jumlah Positif Prevalensi (%)


Penduduk

Diperiksa S. japonicum

Dodolo 261 18 6,9

Mekarsari 917 56 6,1

Survey keong (oncho melania lindoensis) yang mengandung s. japonicum sbb:

Tabel 2. Hasil Survei Keong O.h. lindoensis di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi
Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008

Desa Jumlah Jumlah Kepadatan Keong Infection


Sampel Keong (m2) Positif Rate

Dodolo 270 252 65,3 7 2,8

Mekarsari 270 308 79,9 8 2,6

Total 540 560 72,6 15 2,7

Selain survey diatas pihak Dinas Kesehatan melakukan survey tinja tikus dengan hasil sbb:
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Tikus di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008

Desa Jumlah Tikus Positif Prevalensi


(%)
Diperiksa S. japonicum

Dodolo 12 1 8,3

Mekarsari 10 1 10,0

Dikedua desa tersebut prevalensi penduduk selalu naik selama 5 tahun berturut-turut sbb: 0,6%.
0,52%, 0,64%, 1,21%, 1,14%.

Berdasarkan laporan dari Laboratorium Schistomiasis yang ada di Dataran Tinggi Napu, terdapat
fous keong O. hupensis lindoensis sebanyak 380 fokus, sebanyak 291 fokus (76,58%) adalah
positif cercaria dan sisanya (23,42%) negative. 7 hasil survey tikus di Dataran Tinggi Napu pada
tahun 2005-2006 menunjukan prevalensi S. japonicum pada tikus yaitu 3,8% dan 4%.

(fokus: tempat yang ada genangan air dimana keong O,h,lindoensis dapat berkembang biak)

II. Tujuan pembelajaran

1. Mahasiswa mengetahui siklus hidup dan penularan Schistosomia japonicum terhadap


penduduk
2. Mahasiswa mengetahui pencegahan dan pengobatan penyakit S. japonicum
3. Mahasiswa membuat program untuk penanggulangan terhadap penyakit tersebut
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing dari famili
shistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah disekitar usus atau kandung kemih.
Penyebaran schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan
penyakit ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang pada 79 negara dan sebanyak 600 juta orang
mempunyai resiko terinfeksi (Medical Service Corporation International, 2000). Di Indonesia
schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan didaerah dataran tinggi Lembah Napu dan
Lindu, Sulawesi Tengah yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum.

Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat.


Infeksi shistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala
keracunan, disentri , penurunan berat badan , penurunan nafsu makan, kekurusan dan lambatnya
pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat menimbulkan
pembengkakan hati yang umumnya berakhir dengan kematian. Pengendalian schistosomiasis di
Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai
inang antara dengan molusida dan melalui agroengineering.

Program pengendalian dilanjutkan dengan program pengendalian yang lebih intensif dengan
melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat
infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 % pada tahun 1994 masing-masing untuk daerah Lembah Napu dan
lembah Lindu. Menurut Hadidjaya (1982) tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah
15,8 % dan 35,8 % untuk lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua tahun
kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah 1,1 %
(Sudomo, 2000). Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka
infeksi, akan tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih
terus berlangsung dan infeksi schistosoma masih mengancam penduduk pada dua wilayah
tersebut. Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang
berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva
infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus menerus.

Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat
bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia. S. japonicum
selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia. Schistosomiasis dapat
ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui
perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan
potensi hewan reservoar dalam penularan schistosomiasis pada manusia yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam usaha pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana menurunkan tingginya prevalensi penyakit Schistosomiasis?

C. Tujuan

a. Tujuan Umum

Mengetahui menurunkan tingginya prevalensi penyakit Schistosomiasis.

b. Tujuan Khusus

1. Menjelaskan tentang siklus hidup Schistosomia Japonicum


2. Menjelaskan cara penularan Schistosomia Japonicum
3. Pencegahan dan pengobatan penyakit Schistosomiasis Japonicum
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis

1. Definisi

Schistosomiasis atau Bilharziasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang disebabkan oleh
cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosomes juga penyakit patogen penting
bagi beberapa spesies hewan domestik dan menyebabkan kerugian ekonomi di daerah endemik.
Penyakit ini terkait dengan produksi harian telur oleh cacing dewasa. Telur cacing yang berada
dalam tubuh disimpan ke dalam hati, usus, dan saluran genitourinari, di mana mereka
merangsang reaksi inflamasi yang kuat dan pembentukan granuloma yang akhirnya
menyebabkan kematian (Wang, X et al, 2008).

2. Epidemiologi

Diperkirakan jumlah penderita schistosomiasis di seluruh dunia mencapai 200 juta,


sementara 600 juta lainya termasuk katagori beresiko oleh penyakit ini (Sudomo, 2008).
Sebagaimana kita ketahui schistosomiasis merupakan infeksi yang disebabkan cacing cacing
pita, yang seringkali menyebabkan ruam, demam, panas-dingin, dan nyeri otot dan kadangkala
menyebabkan nyeri perut dan diare atau nyeri berkemih dan pendarahan. Menurut Chin (2000),
schistosomiasis atau demam keong adalah infeksi sejenis cacing trematoda baik oleh cacing
jantan maupun cacing betina yang hidup dalam pembuluh darah vena mesenterika atau pembuluh
darah vena kandung kemih dari hospes selama siklus hidup bertahun-tahun. Sedangkan di
Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari tiga cacing Schistosoma yang
menginfeksi manusia yaitu Schistosoma japonicum.

Menurut Sibadu (2004), di Indonesia schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma


japonicum yang ditemukan endemik di dataran tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu Sulawesi
Tengah. Berdasarkan penelitia, penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Muller dan Tesch pada
tahun 1937 dimana ditemukan kasus pada laki-laki yang berumur 35 tahun yang berasal dari
Desa Tomado yang kemudian meninggal di Rumah Sakit di Palu, Sulawesi Tengah. Pada tahun
yang sama, Desa Tomado dinyatakan sebagai daerah endemis schistosomiasis oleh Brug dan
Tesch, akan tetapi hospes perantara cacing penyebab penyakit tersebut baru ditemukan pada
tahun 1971 yaitu siput Oncomelania di persawahan Paku, Desa Anca, Daerah Lindu. Davis dan
Carney menamakannya Oncomelania hupensis lindoensis pada tahun 1973

Masalah schistosomiasis cukup kompleks karena untuk melakukan pemberantasan harus


melibatkan banyak faktor, dengan demikian pengobatan masal tanpa diikuti oleh pemberantasan
hospes perantara tidak akan mungkin menghilangkan penyakit tersebut untuk waktu yang lama,
lebih lagi schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular
tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi (Sudomo,
2008). Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang
disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies
Schistosoma yang ditemukan pada manusia, yaitu: Schistosoma japonicum, Schistosoma.
haematobium dan Schistosoma mansoni (Miyazaki, 1991). Penyakit ini dapat didiagnosis dengan
menemukan cacing pada waktu pemeriksaan jaringan dengan cara biopsi hati dan biopsi rektal
hospes definitif maupun pembedahan hospes reservoir atau dengan menemukan telur dalam
feses.

Daur Hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia.
Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia
masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah
bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam
jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan
menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus
dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar
pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk
kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut
mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h. lindoensis dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria (Hadidjaja, 2000).
Menurut Hadidjaja (2000), patogenesis Schistosoma japonicum, akan menyebabkan
perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing Schistosoma japonicum yaitu cercaria,
cacing dewasa dan telur. Pada saat cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa
eritema dan papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria yang masuk
ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan terjadi dermatitis. Gejala paru timbul
ketika schistosomula mencapai paru yaitu dengan timbulnya batuk dan terkadang disertai dahak.
Pada beberapa kasus, terkadang batuk bercampur dengan sedikit darah. Gejala paru tersebut
dapat menjadi berat sehingga timbul serangan asma. Manifestasi toksik mulai timbul antara
minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah terjadi infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti
lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan diare. Beratnya
gej ala tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria yang masuk. Pada infeksi yang cukup
berat dapat timbul demam tinggi. Sedangkan stadium akut dimulai sejak cacing betina bertelur.
Gej ala berat yang timbul adalah hepatomegali dan splenomegali yang timbul 6 8 bulan setelah
cercaria masuk.

Stadium menahun terjadi pada stadium lanjut. Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan
dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar karena
peradangan, kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada
schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal yang mengakibatkan terjadinya
hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gej ala yang timbul yaitu
splenomegali, edema pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditentukan asites
dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena
pecahnya varises pada esofagus.

Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dengan


prevalensi pada laki-laki umumnya lebih tinggi daripada wanita. Sebagai sumber infeksi, selain
manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai reservoir. Salah satu hewan yang penting
adalah berbagai spesies tikus sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing
dilaporkan juga mengandung cacing ini (Hadidjaja, 2000).
Menurut Davis (1996), schistosoma japonicum pertama kali ditemukan pada vena porta seekor
kucing oleh Katsurada pada tahun 1904. Pada tahun 1909 sampai 1915 biologi cacing ini seperti
siklus hidup dan patologinya telah digambarkan dan dijelaskan oleh peneliti Jepang dan peneliti-
peneliti dari negara lainnya. Gambaran klinis penyakit ini diketahui pada permulaan tahun abad
20 di China dan Philipina sedangkan di Indonesia baru diketahui pada tahun 1930.

Cacing Schistosoma membutuhkan dua hospes yaitu hospes definitif dan hospes
perantara untuk tahap perkembangbiakannya secara sexual dan asexual dengan sempurna.
Hospes definitif yaitu manusia dan berbagai binatang mamalia yang berperan sebagai reservoir
sedangkan hospes perantaranya yaitu sejenis siput amfibi. Di Indonesia, siput Oncomelania
ditemukan pada tahun 1971 oleh Carney. Siput tersebut dinamakan oleh Davis dan Carney tahun
1973 sebagai Oncomelania hupensis lindoensis.

Di Dataran Lindu, O.h. lindoensis ditemukan di sekitar sistem pengairan Sungai


Gumbasa sedangkan di Dataran Tinggi Napu, Oncomelania ditemukan di sekitar sistem
pengairan Sungai Lariang (Sudomo & Carney, 1974). Habitat siput ini hidup di daerah seperti
bekas sawah, saluran air dan daerah yang alami seperti tempat becek yang terlindung, di tepi
danau, di tepi hutan dan di dalam hutan di bawah pohon. Sebagian besar populasi Oncomelania
ditemukan di daerah persawahan yang tidak diolah dengan karakteristik tanah yang berlumpur.
Adanya rumput liar yang tinggi digunakan Oncomelania untuk perlindungan. Pada daerah yang
alami, Oncomelania ditemukan di hutan. Pada umumnya Oncomelania ditemukan berkelompok
di tanah lumpur atau menempel pada substrat (Sudomo & Carney, 1974).

Saat ini, strategi pengendalian Schistosomiasis terutama didasarkan pada pengobatan


penderita yang terinfeksi. Namun, terapi obat tidak mencegah individu dari reinfeksi. Selain itu,
telah dilaporkan terjadinya perkembangan resistensi parasit terhadap obat yang digunakan dalam
kemoterapi massal (Wang, X.et al. 2008). Konsep pencegahan efektif yang ditawarkan untuk
menghindari schistosomiasis adalah dengan menghindari kontak pada tempat yang beresiko
terdapat schistosomes, seperti di air alam di daerah yang diketahui mengandung schistosomes.
Sedangkan pemberantasan schistosomiasis antara lain dilakukan dengan pengobatan penderita
menggunakan Niridazole dan pemberantasan siput penular (O. hupensis lindoensis) dengan
molusisida dan agroengineering. Masalah schistosomiasis cukup kompleks. Selain dengan
melakukan pengobatan massal juga harus diikuti dengan pemberantasan hospes. Selain itu
schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya
pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi.

3. Etiologi
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, yaitu sejenis
parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung empedu orang
yang dijangkiti. Schistosomiasis diperoleh dari berenang, menyeberangi, atau mandi di air
bersih yang terkontaminasi dengan parasit yang bebas berenang. Schistosomes berkembang
biak di dalam keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk
berenang bebas di dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk ke dalam
dan bergerak melalui aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi
cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat
terakhir di dalam pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal
untuk beberapa tahun. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar
pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat
rusak dan meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan, dan pembentukan jaringan luka
parut. Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada
orang yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki
keong untuk mulai siklusnya kembali.
Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya menetap di dalam pembuluh
darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari sana melalui aliran darah menuju ke hati.
Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan luka parut dan meningkatkan tekanan di dalam
pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan hati (pembuluh darah portal).
Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi portal) bisa menyebabkan
pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di dalam kerongkongan.
Telur-telur pada schistosoma hematobium biasanya menetap di dalam kantung kemih,
kadangkala menyebabkan borok, ada darah dalam urin, dan luka parut. Infeksi schistosoma
hematobium kronis meningkatkan resiko kanker kantung kemih.
Semua jenis schistosomiasis bisa mempengaruhi organ-organ lain (seperti paru-paru, tulang
belakang, dan otak). Telur-telur yang mencapai paru-paru bisa mengakibatkan peradangan dan
peningkatan tekanan darah di dalam arteri pada paru-paru (hipertensi pulmonari).

4. Tanda dan Gejala


Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam (nokturna), malaise,
mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif yang dapat terjadi sebelum
ditemukannya telur di dalam feses dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8 setelah
infeksi. Telur dapat ditemukan di feses, urin, potongan rektum, atau biopsi jaringan lainnya.
Sampel tinja diperiksa untuk mengetahui keberadaan telur parasit dengan menggunakan hapusan
tebal Kato-Katz atau teknik rapid Kato. Saat ini, teknik Kato-Katz masih merupakan gold
standard yang digunakan untuk diagnosis schistosomiasis.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada rontgen
foto toraks. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan sering terjadi pada
orang yang terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi berat serkaria. Bertahun-tahun
kemudian gejala dan tanda yang terjadi disebabkan oleh reaksi fibrotik terhadap telur; contohnya
di hati (fibrosis hati dan hipertensi portal), paru (fibrosis paru), dan kandung kemih (dalam kasus
S. haematobium ). Lesi yang mendesak ruang (space-occupying lesion) di otak dan korda
spinalis dapat menyebabkan kejang.

5. Patogenesis & Patofisiologi


Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi Schistosma japonicum sangat berhubungan
dengan respon imun hospes terhadap antigen dari cacing dan telurnya. Respon imun hospes ini
sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi, sensitisasi in utero terhadap antigen
schistosoma dan status coinfeksi. Respon imun pada penderita schistosomiasis mempengaruhi
perjalanan penyakit, antara lain menimbulkan perubahan patologi berupa pembentukan
granuloma dan gangguan terhadap organ, mempunyai efek proteksi terhadap kejadian infeksi
berat atau bahkan cacing schistosoma dapat bertahan selama bertahun – tahun meskipun hospes
mempunyai respon imun yang kuat. Organ yang sering diserang adalah saluran pencernaan
makanan dan hati.
6. Siklus Hidup
Schistosoma japonicum Cacing dewasa S. Japonicum tinggal didalam pembuluh darah vena
mesenterika disekitar usus halus dan vena porta. Cacing betina dalam pembuluh darah penderita
3 memproduksi telur dalam jumlah ratusan sampai ribuan setiap hari. Sebagian besar telur tetap
berada dalam tubuh dan lainnya memasuki pembuluh empedu atau usus dan kemudian keluar
bersama tinja penderita.

Siklus Hidup Schistosoma Japonicum (Campbell, 1996)

Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan segera
menetas dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat
singkat, oleh karena itu harus segera menemukan siput yang bertindak sebagai inang antaranya
yaitu siput Oncomelania. Jika larva ini tidak 4 menemukan siput Oncomelania , dalam waktu 12
jam, larva ini akan mati. Mirasidium berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies
siput yang cocok sebagai inang antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan
penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang
disebut sporokista.
Di dalam tubuh sporokista memperbanyak diri secara aseksual menghasilkan ratusan
serkaria. Ketika serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan
yang rentan. Dilingkungan berair serkaria berenang menggunakan ekornya sampai mendapatkan
inang definitive. Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi
dengan serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit
manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing muda (sistosomula).
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh darah masuk kedalam
jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena porta disekitar hati. Cacing
dewasa dalam vena porta akan berpasangan dimana cacing betina akan masuk kedalam
celah/saluran ( canalis ginecophoric) yang terdapat disepanjang tubuh cacing jantan. Pada
akhirnya pasangan-pasangan cacing S. japonicum bersama-sama pindah ketempat tujuan terakhir
yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan sekaligus
tempat bertelur.

7. Penularan schistosomiasis

Penularan Scictosomia pada manusia Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva


serkaria yang berada dalam air menemukan inang definitive, dengan kata lain transmisi penyakit
schistosomiasis pada manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan yang
sudah mengandung larva serkaria dari S. japonicum. Schistosomiasis adalah masalah kesehatan
masyarakat yang berkaitan erat dengan masalah sosial budaya dan kemiskinan. Pada umumnya
orang yang terinfeksi adalah orang-orang yang mempunyai kehidupan dekat dengan perairan
atau tidak terpisahkan dengan lingkungan air.
Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci,
mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi,
mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka terinfeksi
cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan larva serkaria yaitu
pada saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan tersebut, infeksi S japonicum juga
berkaitan dengan pekerjaan. Bertani, memancing dan 5 berburu dihutan merupakan pekerjaan
yang memiliki resiko sangat besar terhadap infeksi S. japonicum. Tingkat infeksi schistosomiasis
pada manusia antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Perbedaan pola keterpaparan
menunjukkan adanya perbedaan kehidupan sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari
satu daerah dengan daerah lainnya.
Menurut Carney et al. (1974) penderita schistosomiasis di lembah Napu terdiri dari semua
golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada golongan umur 10-19 tahun dan 30-39
tahun, yaitu mereka yang termasuk golongan umur produktif. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara infeksi dengan pekerjaan. Orang yang bekerja disawah mempunyai
resiko terinfeksi lebih besar dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi S. japonicum
dan pekerjaan juga ditemukan di China.
Ross et al. (1998) melaporkan bahwa didaerah danau Dongting China, infeksi schistosoma
terjadi terutama pada laki-laki usia 18 -49 tahun pada waktu menjelang sore hari saat
memancing. Hasil penelitian yang berbeda ditemukan di Lembah Besoa Sulteng, angka
prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9 tahun 10- 19 tahun (Renimanora et al.,1988). Hal
ini terjadi karena usia tersebut disamping membantu orang tua mencari nafkah baik disawah
maupun mencari kayu dihutan, mereka juga sukar dilarang untuk tidak mandi atau bermain
disuatu tempat yang kemungkinan sudah tercemar serkaria.

8. Masalah dan Tantangan Untuk Pengendalian


Penularan Schistosomiasis disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan. keberadaan inang definitive yang rentan yaitu manusia dan hewan mamalia
merupakan salah satu factor yang penting. Pada inang definitive tersebut cacing dewasa S.
japonicum hidup dan bertelur untuk melanjutkan siklus hidupnya. Luasnya inang definitive yang
dapat diinfeksi menjadi kendala dalam pengendalian schistosomiasis. S. japonicum selain
menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia, sehingga schistosomiasis
termasuk kedalam penyakit Zoonosis.
Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan
mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania. Hewan mamalia mempunyai
peranan yang sangat penting dalam transmisi schistosomiasis sebagai inang reservoar. Selama ini
hewan yang memiliki potensi dalam proses transmisi schistosomiasis pada manusia di daerah
endemis belum tersentuh program 6 pengendalian, sehingga terlihat walaupun tingkat infeksi
sudah rendah pada manusia tetapi pada hewan menunjukan angka yang masih cukup tinggi.
Angka infeksi S. japonicum pada tikus sebagai indikator penularan bervariasi antara 0 – 10,5 %
(Sudomo, 2003).
Data ini menunjukan infeksi masih berlangsung terus menerus di daerah endemis. Sumber
infeksi akan selalu tersedia dari kontaminasi lingkungan oleh telur schistosoma yang berasal dari
hewan seperti anjing, kucing, ruminansia, babi dan hewan mamalia lainnya. Untuk
mengendalikan Schistosomiasis pada manusia tentu harus juga dilakukan pengendalian pada
hewan. Tanpa adanya pengendalian pada hewan, infeksi pada manusia akan berlangsung terus
menerus karena masih terdapat sumber penular yaitu hewan reservoar.
Hewan yang terinfeksi schistosoma akan menjadi sumber penular karena dari hewan
tersebut akan keluar telur schisosoma yang akan berkembang dilingkungan yang pada akhirnya
akan menjadi bentuk yang infektif untuk manusia setelah melakukan reproduksi aseksual
didalam siput. Untuk melakukan pengendalian schistosomiasis pada hewan diperlukan
pengetahuan tentang epidemiologi penyakit tersebut. Namun sayangnya sampai saat ini
pengetahuan tentang jenis hewan dan peranan hewan dalam penularan S. japonicum , serta
informasi epidemiologi lainnya belum banyak diketahui.

9. Potensi Hewan Reservoir dalam Penularan Schistosomiasis


Cacing S. japonicum merupakan cacing yang mampu menginfeksi berbagai hewan
vertebrata termasuk manusia. Hewan yang mampu bertindak sebagai inng definitive untuk
cacing ini sangat luas karena bersifat non spesifik hospest. Keterbatasan hewan vertebrata dapat
bertindak sebagai inang definitive karena perbedaan peluang inang berkontak dengan air. Tidak
semua hewan menyenangi lingkungan berair sehingga peluang kontak dengan agen infektif
sangat kecil. Hasil penelitian menunjukan baik hewan peliharaan maupun hewan liar disekitar
hutan lindung terinfeksi S. japonicum.
Menurut Ilyas (1988) Schistosoma japonicum ditemukan pada 13 spesies hewan antara
lain tikus hutan, rusa hutan, babi hutan, kucing hutan dan hewan peliharaan (sapi, kerbau sawah,
kuda dan anjing). Tingkat Prevalensi Schistosomiasis diantara berbagai hewan bervariasi.
Sudomo (1980) melaporkan infeksi S. japonicum pada anjing (29 %), babi (27 %), sapi (7 %),
kerbau (10 %), kuda (2%) dan kucing hutan (75 %). Sedangkan Renimanora (1988) melaporkan
tingkat prevalensi pada tikus adalah 6,25 % di desa Torire dan 10 % di desa Betue. 7 Hewan liar
mempunyai peranan dalam memelihara siklus hidup S. japonicum di dalam hutan dan di
pemukiman.
Hewan liar yang terinfeksi akan menjadi sumber penular untuk hewan liar yang lainnya.
Hewan liar tersebut akan mengeluarkan telur dalam tinjanya dan akan menetas menjadi
mirasidium yang infektif untuk siput. Adanya fokus siput sebagai inang antara dihutan dan
hewan liar yang rentan terhadap infeksi akan memudahkan terjadinya proses penularan S.
japonicum . Habitat primer siput Oncomelania hupensis lindoensis sebagai inang antara adalah
areal diantara hutan dan dataran rendah serta areal ditengah hutan yang berawa yang selalu
digenangi air ( Hadidjaja dan Sudomo, 1976).
Selain dapat menginfeksi hewan liar, serkaria yang keluar dari siput akan menjadi sumber
infeksi untuk manusia dan anjing yang berburu dihutan atau orang-orang yang mengambil kayu
yang melalui fokus siput dimana serkaria terkumpul didaerah tersebut. Jadi hewan liar memiliki
peran dalam memelihara siklus S. japonicum didalam hutan dan secara tidak langsung sebagai
sumber penularan S. japonicum pada manusia. Hewan peliharaan memiliki peranan sangat
penting dalam proses penularan schistosomiasis pada manusia di pemukiman. Dari beberapa
hewan peliharaan yang dapat terinfeksi S. japonicum, sapi dan kerbau merupakan inang
reservoar potensial yang paling penting untuk schistosomiasis pada manusia, sedangkan hewan
ruminansia lainnya yaitu kambing dan domba relative tidak penting. Walaupun kambing dan
domba sangat rentan, akan tetapi kurang menyukai lingkungan berair maka peluang terinfeksi
sangat kecil sehingga tidak memberikan kontribusi dalam transmisi secara keseluruhan
Sedangkan sapi dan kerbau mudah terinfeksi karena menyukai lingkungan berair dan juga
digunakan untuk membajak sawah.
Selain itu hewan ini dibiarkan berkeliaran bebas mencari makan didaerah endemis,
termasuk disawah, dipegunungan, lembah dan disekitar danau. Hasil penelitian di China
menunjukkan didaerah rawa dimana S. japonicum endemis 5-40 % sapi/kerbau terinfeksi S.
japonicum (Ross et al.,2004). Banyaknya kerbau yang terinfeksi akan memberikan kontribusi
yang besar terhadap proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan. Dibeberapa
daerah dimana S. japonicum endemis, proporsi terbesar (>70 %) kontaminasi lingkungan berasal
dari defekasi kerbau (Zeng, et al. 1997). Sapi dan kerbau merupakan hewan yang besar (500 kg),
mampu mengeluarkan tinja 100 kali lebih banyak dibanding manusia (25 kg/hari : 250
gram/hari). Tinja sapi atau kerbau yang dideposit dekat atau dipermukaan air akan memberikan
kontribusi dalam penyebaran telur S. japonicum yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi
yang besar dalam proses penularan. Selain 8 memiliki tubuh yang besar, sapi dan kerbau mampu
hidup selama 10-12 tahun dapat membawa sejumlah schistosme dan selama itu dapat
menyebarkan telur cacing. Anjing dan babi juga merupakan inang yang potensial penting dalam
penularan schistosomiasis.
Tingkat prevalensi schistosomiasis pada kedua hewan tersebut didaerah endemis cukup
tinggi yaitu pada anjing 29 %, babi 27 % (Sudomo ,1980). Anjing dan babi umumnya dipelihara
secara bebas berkeliaran sehingga memiliki akses yang cukup besar terhadap lingkungan
perairan. Anjing selain dapat terinfeksi dalam wilayah pemukiman, juga dapat terinfeksi dihutan
karena sering digunakan untuk berburu. Tingginya angka infeksi pada kedua hewan ini akan
memberi kontribusi terhadap proses penularan melalui kontaminasi telur pada lingkungan,
walaupun tidak sebesar dibanding dengan sapi atau kerbau. Tikus merupakan hewan yang
digunakan untuk indikator penularan disuatu daerah. Hewan ini mampu hidup diberbagai habitat,
karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan kosmopolitan.
Daerah pesawahan, daerah berawa, maupun semak belukar dipinggiran hutan merupakan
habitat yang dapat ditempati tikus. Hidup pada habitat yang dekat dengan lingkungan berair akan
memudahkan tikus terinfeksi S. japonicum. Akan tetapi, walaupun tikus dapat membawa infeksi
tetapi relative tidak terlalu penting perananya dalam penularan schistosomiosis pada manusia.
Ukuran tikus yang relative kecil akan memberi kontribusi pencemaran telur pada lingkungan
yang sedikit karena tinja yang dikeluarkan juga sedikit. Berdasarkan potensi hewan yang cukup
besar dalam proses penularan schistosomiasis, pengendalian schistosomiasis harus segera
dilakukan selain pada manusia juga pada hewan.
Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui epidemiologi schistosomiasis
pada hewan sebagai dasar untuk menentukan metoda pengendalian yang tepat. Pengendalian
schistosomiasis pada manusia yang disinergikan dengan pengendalian pada hewan akan
memberikan hasil yang lebih baik dalam upaya menekan angka infeksi dan dengan usaha yang
lebih keras akan dapat mengeliminasi penyakit di kedua daerah endemik.

10. Pengobatan penyakit Schistosomiasis


11. Pencegahan penyakit Schistosomia

B. Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA

Wang, X, et al. 2008. The protective efficacy aganist Schistosoma japonicum infection by immunization
with DNA vaccine and levamisole as adjuvant in mice. Vaccine, 2008-03-28, Volume 26, Issue 15,
Pages 1832-1845. Elsevier Ltd

Chin, J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

Davis, A. 1996. Schistosomiasis. Manson ’s Tropical Disease..

Hadidjaja, P. 2000. Trematoda Darah. Parasitologi Kedokteran. FKUI

Miyazaki, I. 1991. An Illustrated Book of Helminthic Zoonosis.

Sibadu, A. 2004. Pengaruh Pekerjaan, Status Gizi, Pemanfaatan Jamban Keluarga dan Pemanfaatan
Sarana Air Bersih Terhadap Reinfeksi Schistosomiasis Japonica Pasca Terapi di Dataran Tinggi
Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2002. Tesis Master Universitas Airlangga.
Indonesia.

Sudomo, M. 2008. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Balitbangkes.

Sudomo, M. & W.P Carney. 1974. Precontrol Investigation of Schistosomiasis in Central Sulawesi.
Buletin Penelitian Kesehatan.

Campbell, N.A. 1996. Biology, Fourth Edition, New York : Benjamin /Cummings, pp 600- 601.
http://science.northern.edu/biology/genbio/images/trematoda.html [4 November 2004]

Hadidjaja, P dan M. Sudomo. 1976. Some aspect on the ecology and Biology of O. lindoensis. Southeast
Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth., 7(2)

Ilyas, I. 1988. Analisis situasi pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Prosiding . Seminar


Parasitologi Nasional V. Ciawi, Bogor, 20-22 Agustus 1988.

Medical Service Corporation International (MSCI). 2000. Schistosomiasis. Environmental Health and
Diseases Control. http://mscionline.com/Tropical Diseases Fact Sheets/ schistosomiasis.htm. [5
Oktober 2004]

You might also like