Professional Documents
Culture Documents
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Tinja di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008
Diperiksa S. japonicum
Tabel 2. Hasil Survei Keong O.h. lindoensis di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi
Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008
Selain survey diatas pihak Dinas Kesehatan melakukan survey tinja tikus dengan hasil sbb:
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Tikus di Desa Dodolo dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2008
Dodolo 12 1 8,3
Mekarsari 10 1 10,0
Dikedua desa tersebut prevalensi penduduk selalu naik selama 5 tahun berturut-turut sbb: 0,6%.
0,52%, 0,64%, 1,21%, 1,14%.
Berdasarkan laporan dari Laboratorium Schistomiasis yang ada di Dataran Tinggi Napu, terdapat
fous keong O. hupensis lindoensis sebanyak 380 fokus, sebanyak 291 fokus (76,58%) adalah
positif cercaria dan sisanya (23,42%) negative. 7 hasil survey tikus di Dataran Tinggi Napu pada
tahun 2005-2006 menunjukan prevalensi S. japonicum pada tikus yaitu 3,8% dan 4%.
(fokus: tempat yang ada genangan air dimana keong O,h,lindoensis dapat berkembang biak)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing dari famili
shistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah disekitar usus atau kandung kemih.
Penyebaran schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan
penyakit ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang pada 79 negara dan sebanyak 600 juta orang
mempunyai resiko terinfeksi (Medical Service Corporation International, 2000). Di Indonesia
schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan didaerah dataran tinggi Lembah Napu dan
Lindu, Sulawesi Tengah yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum.
Program pengendalian dilanjutkan dengan program pengendalian yang lebih intensif dengan
melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat
infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 % pada tahun 1994 masing-masing untuk daerah Lembah Napu dan
lembah Lindu. Menurut Hadidjaya (1982) tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah
15,8 % dan 35,8 % untuk lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua tahun
kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah 1,1 %
(Sudomo, 2000). Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka
infeksi, akan tetapi dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih
terus berlangsung dan infeksi schistosoma masih mengancam penduduk pada dua wilayah
tersebut. Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang
berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva
infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus menerus.
Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat
bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia. S. japonicum
selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia. Schistosomiasis dapat
ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui
perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan
potensi hewan reservoar dalam penularan schistosomiasis pada manusia yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan dalam usaha pemberantasan schistosomiasis di Sulawesi Tengah.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana menurunkan tingginya prevalensi penyakit Schistosomiasis?
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
A. Analisis
1. Definisi
Schistosomiasis atau Bilharziasis adalah penyakit infeksi parasit kronis yang disebabkan oleh
cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosomes juga penyakit patogen penting
bagi beberapa spesies hewan domestik dan menyebabkan kerugian ekonomi di daerah endemik.
Penyakit ini terkait dengan produksi harian telur oleh cacing dewasa. Telur cacing yang berada
dalam tubuh disimpan ke dalam hati, usus, dan saluran genitourinari, di mana mereka
merangsang reaksi inflamasi yang kuat dan pembentukan granuloma yang akhirnya
menyebabkan kematian (Wang, X et al, 2008).
2. Epidemiologi
Daur Hidup Schistosoma japonicum, dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia.
Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia
masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cercaria akan berubah
bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam
jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan
menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus
dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar
pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk
kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air, larva yang keluar disebut
mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong O.h. lindoensis dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria (Hadidjaja, 2000).
Menurut Hadidjaja (2000), patogenesis Schistosoma japonicum, akan menyebabkan
perubahan-perubahan karena infeksi tiga stadium cacing Schistosoma japonicum yaitu cercaria,
cacing dewasa dan telur. Pada saat cercaria menembus kulit terjadi perubahan pada kulit berupa
eritema dan papula. Perubahan tersebut disertai rasa gatal dan panas. Bila cercaria yang masuk
ke dalam kulit dengan jumlah yang banyak, maka akan terjadi dermatitis. Gejala paru timbul
ketika schistosomula mencapai paru yaitu dengan timbulnya batuk dan terkadang disertai dahak.
Pada beberapa kasus, terkadang batuk bercampur dengan sedikit darah. Gejala paru tersebut
dapat menjadi berat sehingga timbul serangan asma. Manifestasi toksik mulai timbul antara
minggu ke-2 sampai minggu ke-6 setelah terjadi infeksi. Pada stadium ini timbul gejala seperti
lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh dan diare. Beratnya
gej ala tergantung dari banyak atau sedikitnya cercaria yang masuk. Pada infeksi yang cukup
berat dapat timbul demam tinggi. Sedangkan stadium akut dimulai sejak cacing betina bertelur.
Gej ala berat yang timbul adalah hepatomegali dan splenomegali yang timbul 6 8 bulan setelah
cercaria masuk.
Stadium menahun terjadi pada stadium lanjut. Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan
dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar karena
peradangan, kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis, hal ini disebut sirosis. Pada
schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal yang mengakibatkan terjadinya
hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gej ala yang timbul yaitu
splenomegali, edema pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditentukan asites
dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena
pecahnya varises pada esofagus.
Cacing Schistosoma membutuhkan dua hospes yaitu hospes definitif dan hospes
perantara untuk tahap perkembangbiakannya secara sexual dan asexual dengan sempurna.
Hospes definitif yaitu manusia dan berbagai binatang mamalia yang berperan sebagai reservoir
sedangkan hospes perantaranya yaitu sejenis siput amfibi. Di Indonesia, siput Oncomelania
ditemukan pada tahun 1971 oleh Carney. Siput tersebut dinamakan oleh Davis dan Carney tahun
1973 sebagai Oncomelania hupensis lindoensis.
3. Etiologi
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, yaitu sejenis
parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung empedu orang
yang dijangkiti. Schistosomiasis diperoleh dari berenang, menyeberangi, atau mandi di air
bersih yang terkontaminasi dengan parasit yang bebas berenang. Schistosomes berkembang
biak di dalam keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk
berenang bebas di dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk ke dalam
dan bergerak melalui aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi
cacing pita dewasa. Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat
terakhir di dalam pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal
untuk beberapa tahun. Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar
pada dinding kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat
rusak dan meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan, dan pembentukan jaringan luka
parut. Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada
orang yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki
keong untuk mulai siklusnya kembali.
Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya menetap di dalam pembuluh
darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari sana melalui aliran darah menuju ke hati.
Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan luka parut dan meningkatkan tekanan di dalam
pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan hati (pembuluh darah portal).
Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi portal) bisa menyebabkan
pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di dalam kerongkongan.
Telur-telur pada schistosoma hematobium biasanya menetap di dalam kantung kemih,
kadangkala menyebabkan borok, ada darah dalam urin, dan luka parut. Infeksi schistosoma
hematobium kronis meningkatkan resiko kanker kantung kemih.
Semua jenis schistosomiasis bisa mempengaruhi organ-organ lain (seperti paru-paru, tulang
belakang, dan otak). Telur-telur yang mencapai paru-paru bisa mengakibatkan peradangan dan
peningkatan tekanan darah di dalam arteri pada paru-paru (hipertensi pulmonari).
Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan segera
menetas dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat
singkat, oleh karena itu harus segera menemukan siput yang bertindak sebagai inang antaranya
yaitu siput Oncomelania. Jika larva ini tidak 4 menemukan siput Oncomelania , dalam waktu 12
jam, larva ini akan mati. Mirasidium berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies
siput yang cocok sebagai inang antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan
penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang
disebut sporokista.
Di dalam tubuh sporokista memperbanyak diri secara aseksual menghasilkan ratusan
serkaria. Ketika serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan
yang rentan. Dilingkungan berair serkaria berenang menggunakan ekornya sampai mendapatkan
inang definitive. Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi
dengan serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit
manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing muda (sistosomula).
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh darah masuk kedalam
jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena porta disekitar hati. Cacing
dewasa dalam vena porta akan berpasangan dimana cacing betina akan masuk kedalam
celah/saluran ( canalis ginecophoric) yang terdapat disepanjang tubuh cacing jantan. Pada
akhirnya pasangan-pasangan cacing S. japonicum bersama-sama pindah ketempat tujuan terakhir
yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan sekaligus
tempat bertelur.
7. Penularan schistosomiasis
B. Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA
Wang, X, et al. 2008. The protective efficacy aganist Schistosoma japonicum infection by immunization
with DNA vaccine and levamisole as adjuvant in mice. Vaccine, 2008-03-28, Volume 26, Issue 15,
Pages 1832-1845. Elsevier Ltd
Sibadu, A. 2004. Pengaruh Pekerjaan, Status Gizi, Pemanfaatan Jamban Keluarga dan Pemanfaatan
Sarana Air Bersih Terhadap Reinfeksi Schistosomiasis Japonica Pasca Terapi di Dataran Tinggi
Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah Tahun 2002. Tesis Master Universitas Airlangga.
Indonesia.
Sudomo, M. & W.P Carney. 1974. Precontrol Investigation of Schistosomiasis in Central Sulawesi.
Buletin Penelitian Kesehatan.
Campbell, N.A. 1996. Biology, Fourth Edition, New York : Benjamin /Cummings, pp 600- 601.
http://science.northern.edu/biology/genbio/images/trematoda.html [4 November 2004]
Hadidjaja, P dan M. Sudomo. 1976. Some aspect on the ecology and Biology of O. lindoensis. Southeast
Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth., 7(2)
Medical Service Corporation International (MSCI). 2000. Schistosomiasis. Environmental Health and
Diseases Control. http://mscionline.com/Tropical Diseases Fact Sheets/ schistosomiasis.htm. [5
Oktober 2004]