You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CA SERVIK

Oleh:
Isma Azizah
PO.62.20.1.15.127

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN
KELAS REGULER II
2017
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim atau
serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang menempel pada
puncak vagina. ( Diananda,Rama, 2009 )
Kanker serviks merupakan gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan
kelompok penyakit yang dimanifestasikan dengan gagalnya untuk mengontrol
proliferasi dan maturasi sel pada jaringan serviks. Kanker serviks biasanya
menyerang wanita berusia 35 - 55 tahun, 90% dari kanker serviks berasal dari sel
kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam
rahim.(Sarjadi, 2001)

2. Etiologi
Kanker serviks terjadi jika sel - sel serviks menjadi abnormal dan membelah
secara tidak terkendali, jika sel - sel serviks terus membelah, maka akan terbentuk
suatu masa jaringan yang disebut tumor yang bisa bersifat jinak atau ganas, jika
tumor tersebut ganas maka keadaannya disebut kanker serviks.
Etiologi kangker servik belum diketahui pasti.
Ada beberapafaktor resiko dan predisposisi :
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu:
1) Usia > 35 tahun
Pada usia tersebut mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher
rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko
terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim
pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan
bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin
melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
2) Usia pertama kali menikah.
Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk
melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim
10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20
tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-
sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh.
Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun
ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia
remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia
muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih
rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel
kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan
adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati,
sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya
bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi
terlalu rentan terhadap perubahan.
3) Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti
pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi
lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker
4) Penggunaan antiseptik.
Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks
yang merangsang terjadinya kanker
5) Wanita yang merokok.
Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian
menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin
dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan
menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-karsinogen
infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel
tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa
tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun tidak diketahui
dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa
menyebabkan kanker leher rahim.
6) Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia.
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko
terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama
terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai
riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
7) Paritas (jumlah kelahiran).
Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan
jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada,
seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk
golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim.
Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada
seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya
dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human
Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker
leher rahim.

3. Tanda dan gejala


Mengenali tanda-tanda pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-
tanda yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina.
b. Perdarahan setelah sanggama yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan
yang abnormal ( 75% - 80% ).
c. Perdarahan yang terjadi diluar senggama.
d. Perdarahan spontan saat defekasi.
e. Perdarahan diantara haid.
f. Rasa berat dibawah dan rasa kering divagina.
g. Timbulnya perdarahan setelah masa menopause
h. Anemia akibat pendarahan berulang.
i. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau
dan dapat bercampur dengan darah.
j. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
k. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut syaraf.
l. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang
panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan
terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat
lainnya.
m. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema
kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah
(rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul
gejala-gejala akibat metastasis jauh. (Dr RamaDiananda, 2009 )

4. Patofisiologi
Dari beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kanker sehingga
menimbulkan gejala atau semacam keluhan dan kemudian sel - sel yang
mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel displasia. Apabila sel karsinoma
telah mendesak pada jaringan syaraf akan timbul masalahkeperawatan nyeri. Pada
stadium tertentu sel karsinoma dapat mengganggu kerja sistem urinaria
menyebabkan hidroureter atau hidronefrosis yang menimbulkan masalah
keperawatan resiko penyebaran infeksi. Keputihan yang berkelebihan dan berbau
busuk biasanya menjadi keluhan juga, karena mengganggu pola seksual pasien
dan dapat diambil masalah keperawatan gangguan pola seksual. Gejala dari
kanker serviks stadium lanjut diantaranya anemia hipovolemik yang menyebabkan
kelemahan dan kelelahan sehingga timbul masalah keperawatan gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh.
Pada pengobatan kanker leher rahim sendiri akan mengalami beberapa efek
samping antara lain mual, muntah, sulit menelan, bagi saluran pencernaan terjadi
diare gastritis, sulit membuka mulut, sariawan, penurunan nafsu makan ( biasa
terdapat pada terapi eksternal radiasi). Efek samping tersebut menimbulkan
masalah keperawatan yaitu nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sedangkan efek
dari radiasi bagi kulit yaitu menyebabkan kulit merah dan kering sehingga akan
timbul masalah keperawatan resiko tinggi kerusakan integritas kulit. Semua tadi
akan berdampak buruk bagi tubuh yang menyebabkan kelemahan atau kelemahan
sehingga daya tahan tubuh berkurang dan resiko injury pun akan muncul. Tidak
sedikit pula pasien dengan diagnosa positif kanker leher rahim ini merasa cemas
akan penyakit yang dideritanya.
Kecemasan tersebut bias dikarenakan dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit, ancaman status kesehatan dan mitos dimasyarakat bahwa kanker tidak
dapat diobati dan selalu dihubungkan dengan kematian. (Price, syivia Anderson,
2005
5. Pathway Keperawatan
Patofisiologi Sesuai Penyimpangan KDM Ca Serviks Pre Operatif
Trauma Paritas Kawin Mitra sex multipel
Nutrisi
Mekanik muda
kurang
Gangguan keseimbangan
hormon
Daya tahan Tubuh
Trauma serviks Kaitus
menurun
Volume serviks ber (+)

Infeksi Infksi Traktus Sperma ditelan & histan Terjadi eversi


Urogenitalis yang kaya Originin &
Terlalu sering protamin yang dilepas Masuk dalam vagina
Reaksi badan
fraksi Heterokromatin pH rendah
menebalkan epitel
DNA kepala sperma.
kolumner
Sekret Vagina
Kontak dengan DNA sel Abnormal
telur yang aktif
Proses kombinasi genetik
metaplasia
Mutagen di serviks

Aktifitas regenerasi epitel 

Diplasia Penekanan pada


Merusak pembuluh saraf Simpatik di
Ca
Darah parametrium
Cemas
Pembuluh darah pecah Nafsu makan  Refleks nyeri
dipersepsikan
Intake 
Lemah Pendarahan
Nyeri
Imobilisasi Disfungsi
seksual
Ansietas kematian
Resiko syok Nutrisi kurang
Intoleransi
Hypovolemik dari kebutuhan
Aktifitas

Gangguan
( Diananda,Rama, 2009 )
konsep diri
6. Klasifikasi Kanker Serviks
Klasifikasi kanker dapat di bagi menjadi tiga, yaitu klasifikasi berdasarkan
histopatologi, klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks, dan
klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO (The International
Federation of Gynekology and Obstetrics) :
a. Klasifikasi berdasarkan histopatologi :
1) CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya.
2) CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya.
3) CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel.
b. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks :
1) ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined
Significance)
2) LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion)
3) HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion)
c. Klasifikasi berdasarkan stadium klinis :
1) Stadium 0, karsinoma in situ atau infeksi awal HPV.
2) Stadium I, karsinoma terbatas di serviks
3) Stadium Ia, invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara
mikroskopik. Lesi yang dilihat secara langsung walau dengan invasi
yang baik sangat superfisial
4) Stadium Ia1, invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm
dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
5) Stadium Ia2, invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tetapi
kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
6) Stadium Ib, lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari
stadium Ia.
7) Stadium Ib1, besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm.
8) Stadium Ib2, besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm.
9) Stadium II, telah melibatkan vagina namun belum sampai ke 1/3 bawah
atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul.
10) Stadium IIa, telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan
parametrium.
11) Stadium IIb, infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding
panggul.
12) Stadium III, telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan
sampai ke dinding panggul.
13) Stadium IIIa, keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium
belum mencapai dinding panggul.
14) Stadium IIIb, perluasan sampai dinding panggul atau adanya
hidroneprosis atau gangguan fungsi ginjal
15) Stadium IV, perluasan ke organ reproduktif.
16) Stadium IVa, keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa
rektum.
17) Stadiun IVb, metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul
(Aziz et al., 2006).

7. Pemeriksaan Penunjang dan hasilnya


a. Papanicalow Smear : untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada klien yang
tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang
diambil dari porsi serviks.
b. Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes papanicolaous ( tes PAP ) sangat
bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi
90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi adalah cara Skrining sel - sel
serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi.
Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologic.
c. Biopsi : Biopsi dilakukan didaerah abnormal jika SSP (sistem saraf pusat )
terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SSP tidak terlihat seluruhnya
atau hanya terlihat sebagian kelainan didalam kanalis serviskalis tidak dapat
dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan
dengan tepat dan alat biopsy harus tajam sehingga harus diawetkan dalam
larutan formalin 10%.
d. Laboratorium : untuk mengetahui aktivitas enzim pyvalekinase. Pada pasien
konservatif dapat diketahui peningkatan aktivitas enzim ini terutama pada
daerah epithelium serviks.
e. Radiologi : pelvic limphangiografi, untuk menunjukkan adanya gangguan
pada saluran pelvic atau peroatik limfe; dan pemeriksaan adanya obstrksia
pada ureter terminal.
f. Tes Schiler : menggunakan iodine solution yang diusapkan pada permukaan
serviks. Bila normal pada serviks akan membentuk bayangan (Mahagony
Brown) yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedang
pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna
yang tidak berubah karena tidak ada glikogen
g. Konisasi : Konosasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks
sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut ( konus ),
dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik,
tindakan konisasi selalu dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang
dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika karena suatu
hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes
Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol ( yodium 5g,
kalium yodida 10g, air 100ml ) dan eksisi dilakukan diluar daerah dengan tes
positif ( daerah yang tidak berwarna oleh larutan lugol ). Konikasi diagnostik
dilakukan pada keadaan - keadaan sebagai berikut :
1. Proses dicurigai berada di endoserviks.
2. Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi.
3. Diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar specimen biopsy.
4. Ada kesenjangan antara hasil sitologi dan histopatologik.

7. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakan harus ditentukan terapi apa yang tepat
untuk setiap kasus. Secara umum ada beberapa terapi yang dapat diberikan
bergantung pada usia dan keadaan umum penderita, luasnya penyebaran, dan
komplikasi lain yang menyertai. Pada umumnya stadium lanjut (Stadium IIb, III dan
IV) dipilih pengobatan radiasi yang diberikan secara intrakaviter dan eksternal
sedangkan stadium awal dapat diobati melalui pembedahan dan radiasi.
a. Mikroinvasi, stadium 1a1
Kasus-kasus stadium sangat dini ini biasanya dijumpai di negara maju dimana
program skrining sudah menjadi hal rutin. Diagnosis ditetapkan dengan
pemeriksaan histopatologi jaringan konisasi. Society of Gynecologic
Oncologist menggolongkan lesi dengan kedalaman invasi stroma 3 mm atau
kurang tanpa adanya invasi pembuluh darah atau limfe sebagai stadium 1a1.
Stadium 1a1 tanpa invasi pembuluh darah dan limfe kemungkinan penyebaran
ke kelenjar getah bening regionalnya tidak lebih dari 1%. Hal ini dapat
dilakukan tindakan konisasi serviks asalkan pada pemeriksaan
histopatologinya tidak dijumpai sel tumor pada tepi sayatan konisasi. Tingkat
kesembuhan pada stadium ini dapat diharapkan hingga 100% (Aziz et al.,
2006).
b. Stadium 1a2
Kasus dengan invasi stroma lebih dari 3 mm tetapi kurang dari 5 mm
kemungkinan invasi pembuluh darah atau limfe sekitar 7%. Kasus pada
stadium ini harus dilakukan histerektomi radikal dengan limfadenektomi
kelenjar getah bening pelvis atau radiasi bila ada kontra indikasi tindakan
operasi. Untuk mengurangi komplikasi operasi, tindakan pembedahan
cenderung kurang radikal karena kemungkinan penyebaran ke parametrium
sangat kecil. Bagi penderita yang masih menginginkan kehamilan dapat
dilakukan trakhelektomi (Aziz et al., 2006).
c. Stadium Ib
Stadium Ib1 (Ukuran lesi < 4 cm) pengobatannya adalah histerektomi radikal
dengan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dengan atau tanpa
kelenjar getah bening paraaorta memberikan hasil yang efektif. Hasil yang
sama efektifnya didapatkan bila diberikan terapi radiasi. Walaupun kedua
modalitas terapi ini memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sama, pada
penderita usia muda operasi radikal lebih disukai karena masih dapat
mempertahankan fungsi ovarium. Bagi penderita dengan ukuran lesi <2 cm
dapat dilakukan operasi trakhelektomi radikal sehingga masih dapat
mengalami kehamilan. Disamping dapat mempertahankan fungsi hormonal,
keunggulan lain terapi operatif tidak terjadi stenosis vagina akibat radiasi
(Aziz et al., 2006).
Stadium Ib2 (Ukuran lesi > 4 cm) atau disebut juga kanker serviks bentuk
barel karena ukuran yang besar. Kemungkinan penyebaran ke kelenjar getah
bening regional sekitar 20-25%. Dengan bentuk yang besar ini secara
anatomis bila diberikan terapi radiasi akan memberikan bagian tengah tumor
yang lebih radioresisten karena bagian tengah ini lebih hipoksik. Setelah
radiasi selesai diberikan ada kecenderungan terjadi kekambuhan sentral (Aziz
et al., 2006).
d. Stadium IIa
Jenis terapinya sangat individual bergantung dengan perluasan tumor ke
vagina. Keterlibatan vagina yang minimal dapat dilakukan histerektomi
radikal, limfadenektomi pelvis dan vaginektomi bagian atas. Terapi yang
optimal pada kebanyakan stadium IIa adalah kombinasi radiasi eksternal dan
radiasi intrakaviter. Operasi radikal dengan pengangkatan kelenjar getah
bening pelvis dan paraaorta serta pengangkatan vagina bagian atas dapat
memberikan hasil yang optimal asalkan tepi sayatan bebas dari invasi sel
tumor (Aziz et al., 2006).
e. Stadium IIb, III dan IVa
Pada kasus stadium lanjut ini tidak mungkin lagi dilakukan tindakan operatif
karena tumor telah menyebar jauh ke luar dari serviks. Pengobatan pada
stadium ini lebih cenderung ke radiasi. Luas lapangan radiasi bergantung pada
besar tumor serta jauhnya keterlibatan vagina. Bila hasil pemeriksaan dicurigai
menyebar sampai ke kelenjar getah bening paraaorta, radiasi harus diperluas
sampai daerah ini. Khusus stadium IVa dengan penyebaran sampai ke mukosa
kandung kemih lebih disukai operasi eksenterasi dari pada radiasi tetapi
eksenterasi juga menjadi pilihan terapi kuratif atau paliatif pada kasus
persisten sentral setelah mendapatkan kemoradiasi ataupun bila ada
komplikasi fistula rekto vagina atau vesiko-vaginal (Aziz et al., 2006).
f. Stadium IVb
Kasus stadium terminal ini prognosisnya sangat jelek, jarang bertahan hidup
sampai setahun semenjak didiagnosis. Penderita stadium IVb bila keadaan
umum memungkinkan dapat memberikan kemoradiasi namun hanya bersifat
paliatif (Aziz et al., 2006).

8. Penatalaksanaan Keperawatan
Dalam lingkar perawatan meliputi sebelum pengobatan terapi radiasi eksternal
anatara lain kuatkan penjelasan tentang perawatan yang digunakan untuk
prosedur. Selama terapi yaitu memilih kulit yang baik dengan menganjurkan
menghindari sabun, kosmetik, dan deodorant.
Pertahankan kedekuatan kulit dalam perawatan post pengobatan antara lain
hindari infeksi, laporkan tanda - tanda infeksi, monitor intake cairan, beri tahu
efek radiasi persisten 10 - 14 hari sesudah pengobatan, dan melakukan perawatan
kulit dan mulut.
Dalam terapi radiasi internal yang perlu dipertimbangkan dalam perawatan
umum adalah teknik isolasi dan membatasi aktivitas, sedangkan dalam perawatan
pre insersi antara lain menurunkan kebutuhan untuk enema atau buang air besar
selama beberapa hari, memasang kateter sesuai indikasi, latihan nafas panjan dan
latihan rom dan jelaskan pada keluarga tentang pembatasan pengunjung. Selama
terapi radiasi perawatannya yaitu monitor tanda - tanda vital tiap 4 jam.
Memberikan posisi semi fowler, berikan makanan berserat dan cairan parenteral
sampai 300ml dan memberikan support mental. Perawatan post pengobatan
antara lain menghindari komplikasi post pengobatan ( tromboplebitis, emboli
pulmonal dan pneumonia ), monitor intake dan output cairan. (Bambang sarwiji,
2011)

9. Komplikasi
Komplikasi berkaitan dengan intervensi pembedahan sudah sangat menurun yang
berhubungan dengan peningkatan teknik- teknik pembedahan tersebut.
Komplikasi tersebut meliputi : fistula uretra,disfungsi kandung kemih, emboli
pulmonal limfosit, infeksi pelvis, obstruksi usus besar dan fistula rektovaginal.
Komplikasi yang dialami segera saat terapi radiasi adalah reaksi kuilt, sistitis
radiasi dan enteritis. Komplikasi berkaitan ada kemoterapi tergantung pada
kombinasi obat yang digunakan. Masalah efeksamping yang sering terjadi adalah
supresi sumsum tulang, mual dan muntah karena penggunaan kemoterapi yang
menggandung sisplatin (Gale Danille, 2000)
B. ASUHAN KEPERAWATAN CA SERVIK
1. Pengkajian keperawatan.
Hal-hal yang perlu dikaji dalam keperawatan :
a. Identitas pasien.
Biodata pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, pendidikan,
pekerjaan, agama, dan alamat.
b. Riwayat kesehatan sekarang.
1) Riwayat kesehatan yang lalu tentang penyakit yang berhubungan dengan
kanker seperti endodermis, diabetes, hipertensi, jantung, mioma. Dikaji
juga tentang penggunaan estrogen lebih dari 3 tahun.
2) Riwayat kesehatan saat ini yaitu keluhan sampai saat klien pergi
kerumah sakit seperti terjadinya pendarahan pervagina diluar siklus haid,
pendarahan post koitus, nyeri pada abdomen, amenorrhoe dan
hipernorrhoe, pengeluaran cairan vagina yang berbau.
3) Riwayat kesehatan keluarga yaitu tentang anggota keluarga yang pernah
mengalami penyakit yang sama.
4) Riwayat tumbuh kembang yaitu meliputi usia pertama kali melakukan
hubungan seks, menarche, banyaknya kehamilan dan melahirkan, lama
dan siklus haid, usia pertama kali menikah, adanya pasangan yang lebih
dari satu, beberapa kali menikah dan bagaimana perkembangan klien
pada saat ini.
5) Riwayat psikososial yaitu tentang penerimaan klien terhadap
penyakitnya serta harapan terhadap pengobatan yang akan dijalani,
hubungan dengan suami/keluarga terhadap klien dari sumber keuangan.
Konsep diri klien meliputi gambaran diri peran dan identitas. Kaji juga
ekspresi wajah klien yang murung atau sedih serta keluhan klien yang
merasa tidak berguna atau menyusahkan orang lain.
6) Riwayat kebiasaan sehari-hari meliputi pemenuhan kebutuhan nutrisi,
elimenasi, aktivitas klien sehari-hari, pemenuhan kebutuhan istirahat dan
tidur.
c. Pemeriksaan fisik, meliputi :
1. Keadaan umum, meliputi : kesadaran, tensi, nadi, pernafasan, suhu, tinggi
badan, dan berat badan.
2. Inspeksi :
a) Kepala : Rambut rontok, mudah tercabut, warna rambut.
b) Mata : Konjungtiva pucat, icterus pada skelera.
c) Leher : Pembesaran kelenjar limfe, bendungan vena jugularis.
d) Payudara : Kesimetrisan, bentuk adanya massa.
e) Dada : Kesimetrian, ekspansi dada, tarikan dinding dada pada
inspirasi, frekuensi pernafasan.
f) Abdomen : Terdapat luka operasi, bentuk, warna kulit, pelebaran
vena-vena abdomen, nampak pembesaran, striae.
g) Genetalia : Sekret, keputihan, peradangan, pendaahan, lesi.
h) Ekstermitas : Oedema, atrofi, hipertrofi, tonus dan kekuatan otot.
3. Palpasi :
a) Leher : pembesaran kelenjar limfe leher dan kelenjar limfe sub
mandibularis.
b) Payudara : teraba massa abnormal, nyeri tekan.
c) Abdomen : teraba massa, ukuran dan konsistensi massa, nyeri tekan,
perabaan hepar, ginjal dan limfe.
4. Perkusi :
a) Abdomen : hipertympani, tympani, redup, pekak, batas-batas hepar.
b) Refleks fisiologi dan patologis.
5. Auskultasi :
Abdomen, meliputi peristaltik usus, bising aorta abdominalis, arteri renalis
dan arteri iliaca.
6. Riwayat psikososial klien meliputi reaksi emosional setelah diagnosa
penyakit diketahui : ibu menginginkan mendapatkan pertolongan dokter.
7. Pola kegiatan sehari-hari meliputi : riwayat kebiasaan makanan : hari yang
meliputi pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminasi (BAB/BAK) aktivitas
klien sehari-hari, pemenuhan kebetuhan istirahat dan tidur, rekreasi dan
olah raga.
8. Pemeriksaan penunjang.
1) Pap smear
2) Biopsi
3) Kolposkopi
4) Laboratorium
5) Radiologi
6) Tes Schiler, ditambah pemeriksaan lainnya.
7) Pemeriksaan hematology (Hb, Ht, lekosit, trombosit, LED, golongan
darah, masa peredaran dan masa pembekuan)
8) Pemeriksaan biokimia darah meliputi SGOt dan SGPT.
9) Pemeriksaan kardiovaskulr, antara lain EKG.
10) Pemeriksaan system respiratorius dan urologi serta tes alergi terhadap
obat.
2. Diagnosa Keperawatan
g. Nyeri berhubungan dengan penekanan sel kanker pada syaraf dan
kematian sel.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang.
Kriteria :
a. pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala nyeri 1- 3.
b. Ekspresi wajah rileks.
c. Tanda - tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
Kaji riwayat nyeri, lokasi, frekuensi, durasi, intensitas, dan skala nyeri.
Berikan tindakan kenyamanan dasar: relaksasi, distraksi, imajinasi, message.
.Awasi dan pantau TTV.
Berikan posisi yang nyaman.
e. Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional :
a. Mengetahui tingkat nyeri pasien dan menentukan tindakan yang
akan dilakukan selanjutnya.
b. Mengurangi rasa nyeri.
c. Mengetahui tanda kegawatan.
d. Memberikan rasa nyaman dan membantu mengurangi nyeri.
e. Mengontrol nyeri maksimum.
h. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah karena proses eksternal Radiologi .
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi dipertahankan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Kriteria hasil :
a. Pasien menghabiskan makanan yang telah diberikan oleh petugas.
b. Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
c. Berat badan klein normal.
d. Hasil hemoglobin dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi pasien
b. Ukur berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
c. Dorong Pasien untuk makan - makanan tinggi kalori, kaya protein dan
tetap sesuai diit ( Rendah Garam ).
d. Pantau masukan makanan setiap hari.
e. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering.
Rasional :
a. Untuk mengetahui status nutrisi
b. Memantau peningkatan BB.
c. Kebutuhan jaringan metabolik adequat oleh nutrisi.
d. Identifikasi defisiensi nutrisi.
e. Agar nutrisi terpenuhi
i. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan pengeluaran
pervaginam ( darah, keputihan ).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan jam pasien tidak terjadi
penyebaran infeksi dan dapat menjaga diri dari infeksi .
Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda - tanda infeksi pada area sekitar serviks
b. Tanda - tanda vital dalam batas normal.
c. Tidak terjadi nasokomial hilang, baik dari perawat ke pasien, pasien
keluarga, pasien ke pasien lain dan klien ke pengunjung.
d. Tidak timbul tanda - tanda infeksi karena lingkungan yang buruk
e. Hasil hemoglobin dalam batas normal, dilihat dari leukosit.
Intervensi :
a. Kaji adanya infeksi disekitar area serviks.
b. Tekankan pada pentingnya personal hygiene.
c. Pantau tanda - tanda vital terutama suhu.
d. Berikan perawatan dengan prinsip aseptik dan antisepik.
e. Tempatkan klien pada lingkungan yang terhindar dari infeksi.
f. Kolaborasi pemeberian antibiotik.
Rasional :
a. Mengurangi terjadinya infeksi.
b. Agar tidak terjadi penyebaran infeksi.
c. Mencegah terjadinya infeksi.
d. Membantu mempercepat penyembuhan.
e. Mencegah terjadinya infeksi.
j. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur
pengobatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan hilang atau
berkurang.
Kriterial hasil :
a. Pasien mengatakan perasaan cemasnya hilang atau berkurang.
b. Terciptanya lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien.
c. Pasien tampak rileks, tampak senang karena mendapat perhatian.
d. Keluarga atau orang terdekat dapat mengenai dan mengklarifikasi rasa
takut.
e. Pasien mendapat informasi yang akurat, serta prognosis dan pengobatan
dan klien mendapat dukungan dari terdekat.
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
b. Beri lingkungan terbuka dimana pasien merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk bicara.
c. Pertahankan bentuk sering bicara dengan pasien, bicara dengan
menyentuh klien.
d. Bantu pasien atau orang terdekat dalam mengenali dan mengklarifikasi
rasa takut.Beri informasi akurat, konsisten mengenai prognosis,
pengobatan serta dukungan orang terdekat.
Rasional :
a. Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketakutannya.
b. Membantu mengurangi kecemasan.
c. Meningkatkan kepercayaan klien.
d. Meningkatkan kemampuan kontrol cemas.
e. Mengurangi kecemasan.
e. Resiko tinggi kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan efek dari
prosedur pengobatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kerusakan
intergritas kulit.
Kriteria hasil :
a. Pasien atau keluarga dapat mempertahankan keberhasilan pengobatan tanpa
mengiritasi kulit.
b. Pasien dan keluarga dapat mencegah terjadi infeksi atau trauma kulit.
c. Pasien keluarga beserta TIM medis dapat meminimalkan trauma pada area
terapi radiasi.
d. Pasien, keluarga beserta tim medis dapat menghindari dan mencegah cedera
dermal karena kulit sangat sensitif selama pengobatan dan setelahnya.
Intervensi :
a. Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan.
b. Dorong pasien untuk menghindari menggaruk dan menepuk kulit yang
kering dari pada menggaruk.
c. Tinjau protokol perawatan kulit untuk pasien yang mendapat terapi radiasi.
d. Anjurkan memakai pakaian yang lembut dan longgar pada, biarkan pasien
menghindari penggunaan bra bila ini memberi tekanan.
Rasional :
a. Mempertahankan kebersihan kulit tanpa mengiritasi kulit.
b. Membantu menghindari trauma kulit.
c. Efek kemerahan dapat terjadi pada terapi radiasi.
d. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit.
f. Resiko injuri berhubungan dengan kelemahan dan kelelehan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
cedera atau injuri.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat meningkatkan keamanan ambulasi.
b. Pasien mampu menjaga keseimbangan tubuh ketika akan melakukan
aktifitas.
c. Pasien mampu meningkatkan posisi fungsional pada ektremitas.
Intervensi :
a. Intruksikan dan bantu dalam mobilitas secara tepat.
b. Anjurkan untuk berpegangan tangan atau minta bantuan pada
c. keluarga dalam melakukan suatu kegiatan.
d. Pertahankan posisi tubuh tepat dengan dukungan alat bantuan.
Rasional :
a. Membantu mengurangi kelelahan.
b. Membantu pasien untuk melakukan kegiatan.
c. Membantu mempercepat penyembuhan.
f. Gangguan pola seksual berhubungan dengan metaplasia penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien mampu
mempertahankan aktifitas seksual pada tingkat yang diinginkan bila mungkin.
Kriteria hasil :
a. Pasien mampu memahami tentang arti seksualitas, seksualitas dapat
diungkapkan dengan bentuk perhatian yang diberikan seseorang.
Intervensi :
a. Kaji masalah- masalah perkembangan daya hidup.
b. Catat pemikiran pasien/ orang- orang yang berpengaruh bagi pasien
mengenai seksualitas
c. Evaluasi faktor- faktor budaya dan religius/ nilai dan konflik- konflik
yang muculberikan suasana yang terbuka dalam diskusi mengenai
masalah seksualitas.
d. Tingkatkan keleluasaan diri bagi pasien dan orang- orang yang penting
bagi pasien.
Rasional :
a. Faktor- faktor seperti menoupose dan proses penuan remaja dan dewasa
awal yang perlu masukan dalam pertimbangan mengenai seksualitas
dalam penyakit yang perawatan yang lama.
b. Untuk memberikan pandangan bahwa keterbatasan kondisi/ lingkungan
akan berpengaruh pada kemampuan seksual tetapi mereka takut untuk
menanyakan secara lansung.
c. Untuk mempengaruhi persepsi pasien terhadap masalah seksual yang
muncul.
d. Apabila masalah- masalah diidentifikasikan dan di diskusikan maka
pemecahan masalah dapat ditemukan
e. Perhatikan penerimaan akan kebutuhan keintiman dan tingkatkan makna
terhadap pola interaksi yang telah dibina
h. Resti terjadinya syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
pervaginam.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan syok berkurang atau tidak
terjadi syok.
Kriterial hasi :
a. Pasien tidak mengalami anemia
b. Tanda - tanda vital stabil.
c. Pasien tidak tampak pucat.
Intervensi :
a. Kaji adanya tanda terjadi syok
b. Observasi KU
c. Observasi TTV
d. Monitor tanda pendarahan
e. Check hemoglobin dan hematokrit
Rasional :
a. Mengetahui adanya penyebab syok
b. Memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat
terjadi pendarahan sehingga segera diketahui tanda syok.
c. TTV normal menandakan keadaan umum baik.
d. Perdarahan cepat diketahui dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai
syok.
e. Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien
sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
(Doengoes, 2005)
DAFTAR PUSTAKA

Alimul hidayat, A. Aziz. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia : aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Diananda, Rama. 2009. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Cetakan 3. Katahati: Jogjakarta.

Gale, Danielle & Charette, Jane. (2000). Rencana asuhan keperawatan onkologi. Jakarta :
EGC

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses. Penyakit. Ed.6.
Jakarta: EGC;

Sarjadi. 2001 . Patologi Ginekologi, Jakarta Hipokrates

You might also like