You are on page 1of 26

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam Undang-undang

nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undangn nomor 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 tahun.1 Perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi

dan komunikasi, informasi yang cepat, kemajuan ilmu pengetahuan, perubahan

gaya hidup, dan lainnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam

kehidupan bermasyarakat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak.2

Berdasarkan World Health Organization (WHO), perilaku kekerasan anak

remaja dapat didefinisikan sebagai bentuk kekerasan interpersonal dalam

komunitas, yang dapat disebabkan oleh individu atau kelompok terhadap orang lain

yang bukan merupakan anggota keluarga. Beberapa tindakan yang termasuk

kekerasan pada remaja adalah penyerangan kepada orang lain, perilaku

mengancam, melukai orang lain, perkelahian, perundungan, masalah disiplin,

tindakan krimina. 3

Dalam beberapa dekade terakhir, angka perilaku kekerasan dan masalah

kriminal yang disebabkan oleh remaja mengalami peningkatan. Perilaku kekerasan

dan kriminal pada remaja ini berkembang ke arah penelitian dengan tema

“adolescent psychopathy.” 4 Psikiater yang bekerja dengan remaja untuk masalah

1
persidangan atau rehabilitasi akan menghadapi tantangan yang unik dan berkaitan

erat dengan masalah etik. Hal ini didasarkan pada rentang yang luas dalam

kemampuan pengembangan diri, latar belakang keluarga dan kehidupan sosial,

status sosioekonomu dan pendidikan yang berdampak pada variasi keadaan

psikologis yang mencolok. Tingkat keparahan perilaku dan kriminalitas dari remaja

bervariasi dari tingkat yang ringan hingga berat. Hal tersebut menjadi tantangan

tersendiri bagi psikiater yang bertugas dalam bidang psikiatri forensik.4

Hal yang menjadi kontroversi dalam bidang psikiatri forensik anak remaja

adalah penilaian terhadap risiko perilaku kekerasan di masa yang akan datang,

penilaian “psycopathy” pada remaja, potensi peran psikiater forensik sebagai

advokat untuk rehabilitasi dalam sistem peradilan anak-remaja.4 Mengingat

tingginya prevalensi dan besarnya dampak yang disebabkan oleh perilaku

kekerasan pada remaja, maka judul ini diangkat sebagai referat pada stase forensik

2
BAB II

Studi Pustaka

2.1. Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa yang penting dalam fase kehidupan. Pada

masa remaja, hal yang penting adalah terdapat interaksi otak-perilaku-interaksi

sosial. Hal yang penting adalah terdapat dua pembentukan neural network yaitu

emosi atau afektif, yang berkembang lebih dahulu, lebih cepat, dan lebih

intensif dibandingkan network kedua yaitu penilaian atau judgement, yang

berpusat di sistem limbik subkortikal dan akan berperan dalam kontrol dan

inhibisi dari reaksi emosi.5-7

Pada remaja, network emosi menunjukkan prevalensi struktural dan

fungsional yang melebihi network judgement pada tahun-tahun awal fase

remaja hingga usia 18 tahunan. Dominasi dari network emosi dimanifestasikan

oleh hiperaktivitas sistem limbik, yang berdampak pada kecenderungan untuk

mengambil tindakan berisiko, tanpa pertimbangan, tindakan berbahaya. Tahap

perkembangan maturasi ini menunjukkan besarnya keterlibatan emosi pada

pengambilan keputusan remaja, seperti dapat dilihat pada gambar 3.6-8

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan di atas, fase anak remaja

memiliki perubahan perkembangan yang signifikan, selain itu terdapat

peningkatan aktivitas antisosial dan kriminalitas.9

3
Fase anak menuju remaja Fase remaja menuju dewasa

Gambar 3. Perbedaan Gray Matter Density (VBM) antar kelompok usia

2.2. Psychopathy

Psychopathy adalah sindrom spesifik yang dapat memprediksi perilaku

kekerasan dan agresivitas di masa yang akan datang. Penelitian pada

kelompok anak dan remaja menunjukkan dampak patologi kepribadian dan

disregulasi emosi pada perilaku agresivitas dan kekerasan.10

Epidemiologi

Data prevalensi kekerasan pada remaja menunjukkan pada tahun 2015,

remaja yang bersekolah tingkat 9-12, sebanyak 22.6% terlibat dalam

pertengkaran fisik (28.4% pria, 16.5% wanita). Sebanyak 16.2% melapokan

membawa senjata selama 1 hari atau lebih dalam 30 hari.11

Pada tahun 2015, sebanyak 7,8% terlibat dalam pertengkaran fisik di

lokasi sekolah. Selain itu sebanyak 5.6% anak sekolah tidak pergi ke sekolah

karena merasa tidak aman saat berada di sekolah atau perjalanan menuju atau

pulang dari sekolah. Sebanyak 6% melaporkan telah diancam atau terluka

4
karena senjata (senjata api, senjata tumpul, senjata tajam) di lingkungan

sekolah sebanyak 1 atau 2 kali dalam 12 tahun terakhir.11

Selama tahun 2014, sebanyak 501.581 anak remaja berusia 10-24 tahun

dirawat di ruang gawat darurat rumah sakit akibat pertengkaran fisik.11 Selain

itu untuk kasus kekerasan yang berujung dengan penahanan, sepanjang tahun

2015, sebanyak 24.3.2% ditahan akibat kasus kriminal kekerasan, 605 remaja

ditahan karena kasus pembunuhan, 2.745 akibat kasus kekerasan seksual, dan

21.933 akibat kasus penyerangan.11

2.3. Faktor Risiko

Penilaian faktor risiko dapat membantu seorang psikiater dalam menilai

kliennya. Mayoritas remaja yang berhubungan dengan hukum memiliki faktor

risiko yang serupa. Beberapa diantaranya adalah komorbiditas gangguan

psikiatri dan riwayat kekerasan.

Terdapat beberapa faktor risiko kekerasan pada remaja. Beberapa di

antaranya adalah :

a. Faktor individu

Kepribadian seseorang menentukan kecenderungan perilaku.

Beberapa aspek perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

kekerasan pada remaja adalah perilaku impulsif, kecerdasan, gangguan pada

fungsi eksekutif otak.12 Anak dan remaja yang masuk dalam kriteria juvenile

psychopathy memiliki karakteristik novelty seeking yang tinggi, tingkat

kooperatif yang rendah, perilaku menghindari tindakan yang berbahaya

5
yang rendah, ketergantungan terhadap reward.13 Selain itu Individu dengan

ciri psychopathic memiliki respon emosi yang lemah terhadap stimuli yang

tidak menyenangkan.14

Faktor kecerdasan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Hingga

saat ini pengaruh tingkat kecerdasan terhadap perilaku kejahatan pada anak

dan remaja menunjukkan hasil yang inkosisten. Penelitian yang dilakukan

terhadap 1354 anak di Amerika menunjukkan bahwa anak yang memiliki

angka psychopathy tinggi memiliki tingkat IQ yang relatif tinggi.15

Penelitian lain terhadap 56 anak wanita yang melakukan tindakan kriminal

menunjukkan bahwa anak wanita dengan angka psychopathy tinggi

memiliki tingkat IQ yang rendah.16

b. Faktor Neurobiologi

Penelitian yang dilakukan oleh Kimonis terhadap kadar

Dehydroepiandrosterone (DHEA), dan konsentrasi kortisol-terhadap-

DHEA menunjukkan bahwa individu yang memiliki angka agresivitas

tinggi memiliki kadar DHEA yang lebih rendah dan rasio kortisol terhadap

DHEA yang lebih tinggi.17

Penelitian menunjukkan bahwa ada kaitan antara psychopathy dengan

perubahan struktural otak yang dapat berdampak pada defsit afektif dan

interpersonal. Hal ini dibuktikan dengan penelitian terhadap 35 orang

sampel yang dinilai dnegan menggunakan Triarchic Psychopathy Measure.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peranan area subkortikal dan

kortikal otak dengan psychopathy.18

6
Penelitian lain yang dilakukan oleh de Oliveira Souza19 menunjukkan

terdapat abnormalitas struktural (penurunan volume total) grey matter di

frontopolar, orbitofrontal, korteks temporal anterior, sulkus temporal

superior dan insula pada individu dengan nilai psychopathy tinggi.

Penurunan area ini berdampak pada sensibilitas moral dan perilaku.

c. Faktor riwayat

Salah satu faktor yang paling kuat dalam memprediksi perilaku kekerasan

adalah awitan dini munculnya kesulitan dalam perilaku bermasalah seperti

agresi, kenakalan, penyerangan, penyalahgunaan zat, kekerasan, perilaku

anti sosial, paparan terhadap kekerasan yang dapat di rumah atau komunitas,

terutama yang terjadi sebelum usia 14 tahun.12

Moffitt membagi dua kelompok utama, yaitu

(1) Perilaku kekerasan dengan awitan pada masa kanak dan menetap

hingga masa dewasa, yang sering disebut life course persistent offenders

atau early starters

Tipe ini berkaitan dengan permasalahn perilaku yang tampak pada usia

dini, ketidakstabilan keluarga, defisit neuropsikologis, dan menetap

hingga dewasa.12

(2) Perilaku kekerasan dengan awitan lambat, seringkali disebut

adolescence limited offenders atau late starters

Tipe ini sering kali memiliki karakteristik dengan remaja, memiliki

korelasi yang lemah dengan faktor keluarga yang negatif, dan

7
berhubungan dengan proses pembelajaran sosial yang negatif dan

kelompok pergaulan anti sosial.12

d. Faktor keluarga

Faktor keluarga yang berhubungan dengan kekerasan pada remaja

adalah perilaku antisosial (contoh penggunaan NAPZA dan kriminalitas),


12,20
pola asuh negatif, konflik keluarga, dan kontrol perilaku yang buruk.

Hal yang cukup berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan adalah

maltreatment. Maltreatment dapat berbentuk kekerasan fisik, seksual,

maupun penelantaran. Kekerasan yang didapat pada masa kanak akan

berdampak pada proses perkembangan. Perilaku kekerasan dapat

menyebabkan hipervigilans dan hostilitas, sementara penelantaran dapar

berdampak pada disregulasi emosi akibat kurangnya interaksi emosi. Semua

proses ini dapat menjadi hardwired dalam jaringan neural melalui

overaktivasi beberapa bagian otak dan disfungsi proses kognisi.21,22

Penelitian yang dilakukan oleh Stouthamer-Loeber23 menunjukkan

bahwa anak yang mengalami maltreatment (kekerasan atau penelantaran)

mengalami perkembangan perilaku menjadi nakal, mengganggu, membuat

onar melalui 3 jalur : jalur konflik otoritas, seperti dapat dilihat pada gambar

1.12,24

Gambar 1 menjelaskan jalur yang terjadi pada perbedaan masalah

pada tahap perkembangan yang berakhir dengan masalah perilaku (Jalur

Overt dan Covert) :23,25,26

8
Gambar 1. Jalur Perkembangan Perilaku Kekerasan.25

a. Jalur Konflik Otoritas sebelum usia 12 tahun, yang dimulai dengan

perilaku keras kepala, dan memiliki perilaku pembangkangan /

ketidaktaatan pada tahap kedua, dan penghindaran otoritas (yaitu,

pembelot, melarikan diri dari rumah, dan tinggal di luar larut malam)

sebagai tahap ketiga;

b. Jalur Covert (terselubung) dimulai sebelum usia 15 tahun yang dimulai

dengan tindakan terselubung minor (mengutil dan sering berbohong),

merusak properti pada tahap kedua (yaitu kekerasan dan pemadaman

api), dan kenakalan yang cukup berat pada tahap ketiga (yaitu melakukan

9
kecurangan, mencopet), dan menunjukkan perilaku kenakalan serius

pada tahap keempat (yaitu, pencurian dan perampokan).

c. Jalur Overt yang dimulai dengan perilaku agresivitas ringan

(perundungan, mengganggu orang lain), memiliki pertengkaran fisik

pada tahap kedua (pertempuran fisik dan pertengkaran geng), dan

kekerasan yang berdampak parah pada tahap ketiga (pemerkosaan,

penyerangan, kekerasan).

Penelitian yang dilakukan terhadap 199 pria di Swedia menunjukkan

bahwa individu yang memiliki riwayat kekerasan yang berat atau

penelantaran yang terjadi pada masa awal kehidupan memiliki perilaku

kekerasan yang lebih tinggi.27 Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sevecke10 yang menunjukkan adanya hubungan antara

kekerasan fisik pada masa kanak, disregulasi emosi, dan psychopathic traits

pada anak laki-laki, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada anak perempuan.

Kaitan antara kekerasan yang didapatkan pada masa kanak dengan

perilaku kekerasan pada remaja mungkin berkaitan dengan mekanisme

belajar (Piaget, 1962) yang merupakan bagian dari memori deklaratif.

Selain itu perilaku kekerasan yang diterima pada masa kanak berpengaruh

terhadap neuroplastisitas anak tersebut. Hal ini dapat terjadi karena

kurangnya stimulasi neural otak yang menyebabkan mereka rentan terhadap

stres. Maltreatment yang dialami oleh anak memberikan sekuele

perkembangan yang berbeda.28

e. Faktor sosial dan kontekstual

10
Pada tahap remaja, hubungan dengan teman sebaya yang memiliki perilaku

anti sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap anak remaja dan erat

kaitannya dengan perilaku penyerangan atau kekerasan. Keterikatan dengan

kelompok dengan perilaku negatif berkaitan erat dengan rendahnya

komitmen terhadap pendidikan, perilaku kekerasan atau kriminal,

penyalahgunaan NAPZA.12

f. Gangguan psikiatri

Perilaku kekerasan pada remaja sering kali berkaitan dengan gangguan

psikiatri. Kejadian traumatik pada masa kanak, sering kali dilakukan oleh

anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, berisiko menimbulkan

gangguan stres pasca trauma dan dapat berkembang menjadi gangguan

psikiatri. Risiko ini semakin meningkat bila anak-remaja tersebut

mengalami trauma multipel.12

Gangguan psikiatri yang dapat berperan terhadap terjadinya juvenile

psychopathy adalah depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Price29 terhadap

103 remaja yang ditahan karena masalah hukum menunjukkan bahwa

depresi dan kejadian psychopathy berinteraksi, ditunjukkan dnegan lebih

tingginya tingkat kemarahan, agresivitas, masalah interpersonal, dan

penyalahgunaan pada remaja yang mengalami depresi. Hal ini

menunjukkan bahwa diperlukan adanya program untuk penapisan gangguan

psikiatri pada anak remaja.

11
Gangguan psikiatri yang berkaitan dengan kekerasan adalah gangguan

perkembangan pervasif, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas,

gangguan spektrum autisme, gangguan conduct12.

2.4. Penilaian Kekerasan Anak-Remaja

Terdapat beberapa kuesioner yang dapat digunakan untuk memprediksi

perilaku kekerasan pada Anak dan Remaja (terlampir)

- Structured Assessment of Violence Risk in Youth (SAVRY)9,30

SAVRY dibuat dengan tujuan secara spesifik fokus pada perilaku

kekerasan dan residivisme pada anak-remaja berusia 12-18 tahun. Alat

ini berhubungan dengan perilaku mempertimbangkan riwayat kekerasan,

keadaan sosial dan faktor risiko klinis yang dapat berhubungan dengan

kekerasan. SAVRY memiliki validitas yang lebih baik dari pada

PCL:YV.

- Psychopathy Checklist: Youth Version (PCL:YV)9,31,32

PCL:YV merupakan alat untuk menilai kepribadian psikopat pada anak

remaja. Alat ini tidak secara khusu menilai perilaku kekerasan akan tetapi

psychopathy behubungan dengan perilaku kekerasan dan anti sosial pada

remaja dan dewasa dan njuga dengan tingkat residivisme pada orang

dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Corrado menunjukkan bahwa

PCL:YV memiliki tinggkat akurasi prediksi residivisme kekerasan

sebesar 63-68%.

- Youth Level of Service/Case Management Inventory (YLS/CMI)9

12
YLS/CMI disusun sebagai daftar tilik yang perlu diisi oleh profesional

untuk menilai risiko dan faktor kebutuhan pada subjek berusia 12-18

tahun. Item-item daftar tilik terbagi dalam 8 subskala yang

menggambarkan faktor-faktor berkaitan dengan kriminalitas pada anak-

remaja. Selain itu terdapat bagian khusus yang berfokus pada

perencanaan kasus. Alat ini dapat berguna untuk memprediksi

residivisme. Konsistensi internal dilaporkan berkisar antara .80 dan .91

dan reliabilitasnya antara .71 hingga .85. Reliabilitas test-retest berkisar

antara .75 untuk nilai risiko total.

2.5. Pengadilan Anak2,33

Sistem peradilan anak telah diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak. Sistem

peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anaka

yang berhadapan dnegan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan

tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Pada pengadilan anak

terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan yaitu

- Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain

yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan

bukan pembalasan.

13
- Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pengadilan Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara anak, dan batas umur anak nakal yang dapat diajukan

ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pemeriksaan perkara:

1. Dalam hal anak melakukan tindak pidana sebelum berumur 18 (delapan

belas) tahun dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang

bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke sidang anak.

2. Hakim yang mengadili perkara anak, adalah Hakim yang ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua

Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.

3. Dalam hal belum ada Hakim Anak, maka Ketua Pengadilan dapat

menunjuk Hakim Anak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dengan ketentuan yang

bersangkutan segera diusulkan sebagai Hakim Anak.

4. Hakim Anak memeriksa dan mengadili perkara anak dengan Hakim

Tunggal, dan dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat

menunjuk Hakim Majelis (Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah

apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang

bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya).

14
5. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang

dewasa dan atau anggota TNI, maka anak yang bersangkutan diajukan

ke sidang Anak, sedangkan orang dewasa dan atau anggota TNI diajukan

ke sidang yang bersangkutan.

6. Dalam hal anak melakukan tindak pidana HAM Berat, diajukan ke

Sidang Anak.

7. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di

pengadilan neheri wajib diupayakan Diversi. Diversi dilaksanakan dalam

hal tindak pidana yang dilakukan diancam dnegan pidana penjara di

bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

8. Acara persidangan anak dilakukan sebagai berikut:

1. Persidangan dilakukan secara tertutup;

2. Hakim, Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa tidak

menggunakan Toga;

3. Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing

Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil Penelitian

Kemasyarakatan (Litmas) mengenai anak yang bersangkutan;

4. Selama dalam persidangan, Terdakwa wajib didampingi oleh orang

tua atau wali atau orang tua asuh, penasihat hukum dan pembimbing

kemasyarakatan;

5. Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar

Terdakwa dibawa keluar ruang sidang, akan tetapi orang tua, wali

15
atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing

Kemasyarakatan tetap hadir;

6. Dalam persidangan, Terdakwa Anak dan Saksi Korban Anak dapat

juga didampingi oleh Petugas Pendamping atas izin Hakim atau

Majelis Hakim;

7. Putusan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;

9. Penahanannya:

1. Hakim di sidang pengadilan berwenang melakukan penahanan bagi

anak paling lama 15 (lima belas) hari dan dapat diperpanjang oleh

Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30

(tiga puluh) hari;

2. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh

mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan

masyarakat. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam

surat perintah penahanan;

3. Tempat penahanan bagi anak harus dipisahkan dari orang dewasa;

10. Putusan:

1. Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan

kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, untuk mengemukakan

segala ikhwal yang bermanfaat bagi anak.

a. Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian

kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

b. Terhadap anak nakal dapat dijatuhi pidana atau tindakan:

16
Pidana yang dijatuhkan terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana

Tambahan. Pidana Pokok meliputi: penjara, kurungan, denda atau

pidana pengawasan. Pidana Tambahan berupa perampasan barang-

barang tertentu dan / atau pembayaran ganti rugi.

11. Tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal berupa:

1. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;

2. menyerahkan pada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja; atau

3. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja.

12. Terhadap Terdakwa anak sedapat mungkin tidak dijatuhi pidana penjara

(vide: UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

1. Pidana penjara, Pidana kurungan atau Pidana denda yang dapat

dijatuhkan kepada anak nakal paling lama atau paling banyak

½ (satu perdua) maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.

Ketentuan ini diberlakukan juga dalam hal minimum ancaman

pidana bagi anak (yurisprudensi tetap).

2. Apabila anak nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang

dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 tahun, akan

tetapi apabila anak nakal tersebut belum mencapai usia 12 (dua

belas) tahun, maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhi

17
tindakan menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen

Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di

bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

3. Apabila anak nakal yang melakukan tindak pidana belum mencapai

umur 12 (dua belas) tahun yang tidak diancam pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut

dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir

3b di atas, dan dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan

yang ditetapkan oleh Hakim.

4. Dalam hal anak nakal dijatuhi pidana denda dan denda tersebut tidak

dapat dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja.

5. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama

90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4

(empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

6. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan Hakim apabila pidana penjara

yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, dan jangka waktu masa

pidana bersyarat paling lama 3 (tiga) tahun.

7. Dalam hal anak melakukan pelanggaran lalu lintas jalan, diterapkan

acara pemeriksaan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam

KUHAP, demi kepentingan anak yang bersangkutan (yurisprudensi

tetap).

18
2.6. Tata Laksana

Saat ini banyak anak usia sekolah yang memiliki tingkat kompetensi

sosial emosional yang rendah sehingga memiliki tanggung jawab dan

kepekaan sosial emosional yang rendah. Hal ini menjadikan ini berdampak

terhadap performa akademik, perilaku negatif, dan tingkat kesehatan yang

rendah. Selain itu kemampuan resolusi konflik, empati, membuat keputusan

pun rendah.34

Perilaku agresif dan kekerasan pada anak dan remaja dapat berdampak

terhadap kesehatan fisik dan psikologis yang dampaknya dapat berkelanjutan

hingga masa dewasa. Program intervensi dan rehabilitatif pada anak dan

remaja yang mengalami masalah perilaku ini merupakan hal yang penting

untuk mencegah dan mengurangi perilaku agresivitas yang berujung pada

penurunan risiko hendaya perkembangan jangka pendek maupun jangka

panjang. Usaha pencegahan perlu bersifat berkesinambungan dengan

evaluasi berkala yang ketat dan dapat dilakukan dengan berbagai

pertimbangan seperti pilihan lokasi (keluarga, sekolah, komunitas),

kelompok target (pencegahan primer dan sekunder), variable target (universal

atau spesifik).3,35

a. Individu

- Perilaku kekerasan pada anak remaja sering kali berkaitan dnegan gangguan

psikitri. Hal ini menunjukkan perlunya program penapisan pada anak remaja

untuk mengidentifikasi gangguan psikiatri yang dapat dilaunjatkan dnegan

program terapi yang adekuat dan komprehensif.29

19
b. Kelompok

- Program pembelajaran sosial dan emosional34,36

Program pembelajaran sosial dan emosional dapat meningkatkan

kemampuan sosial dan emosional, sikap, perilaku, dan performa akademik.

Keterampilan sosial dan emosional berhubungan dengan perkembangan

remaja yang positif, pendidikan karakter, perilaku hidup sehat, penurunan

depresi dan kecemasan, conduct disorders, kekerasan, perundungan, konflik,

dan kemarahan. Keterampilan ini dapat meningkatkan kesejahteraan remaja.

Penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Ttofi37 dari tahun 1983 – 2009

menunjukkan bahwa program anti perundungan, anti kekerasan, dapat

menurunkan angka kejadian perundungan hingga 20-23%, dan angka

kekerassan 17-20%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin intensif

program tersebut dijalankan, maka angka keberhasilan akan semakin tinggi.

20
Tabel 1. Framework Konseptual Untuk Pencegahan Kekerasan Pada Remaja3

Input/Aktivitas Hasil Luaran Hasil Luaran- Komunitas


Remaja/Keluarga Pendek (1-3 tahun) Menengah (3-5 tahun) Panjang (5-10 tahun)
Strategi kerja sama untuk
meningkatkan pencegahan Meningkatkan penggunaan pogram-
perilaku kekerasan pada anak- berbasis-bukti untuk meningkatkan Remaja/Keluarga Remaja/Keluarga Hasil luaran kesehatan
remaja di komunitas kemampuan remaja memecahkan Meningkatkan komunikasi Menurunkan angka Menurunkan angka
masalah, resolusi konflik, efektif dan kemampuan perundungan, homicide anak dan
Penilaian besarnya perilaku kemampuan meregulasi emosi. resolusi konflik efektif pertengkaran, dan remaja
kekerasan pada anak remaja, Selain itu meningkatkan kemampuan Meningkatkan supervisi membawa senjata tajam Menurunkan angka
beban/biaya, faktor parenting orang tua, dan dan pengawasan orang tua Menurunkan angka kecelakaan/luka akibat
risiko/protektif, dan menurunkan konflik keluarga. keanggotaan gang kekerasan
konsekuensi untuk pedoman Sekolah Menurunkan risiko Menurunkan angka
aksi yang akan dilakukan Sekolah Menurunkan angka keluarga ketidakadilan
Meningkatkan penggunaan pogram- ketidakhadiran karena rasa
Menyebarkan berbasis-bukti di sekolah (misal, tidak aman Sekolah
danmengimplementasikan program pencegahan universal) Meningkatkan jumlah Menurunkan angka
strategi komprehensif Meningkatkan jumlah sekolah yang sekolah yang memiliki kekerasan anak remaja
mengintegrasikan pencegahan kebijakan yang Menurunkanperundungan
Evaluasi strategi secara kekerasan ke dalam kurikulum dan mempromosikan Menurunkan angka CATATAN
berkala kebijakan sekolah. keamanan victimization guru dan
Menurunkan jumlah siswa murid Komunitas berisiko
Technical Asssistance(TA), Komunitas yang mendapatkan tinggi dan karakteristik
Meningkatkan kapasitas komunitas hukuman disiplin anak remaja yang
alat/perlengkapan, dan
untuk mengumpulkan data dan Komunitas berisiko :
pembiayaan untuk Komunitas Menurunkan angka
melacak indikator kekerasan remaja - Memiliki agka
komunitas dalam rangka Meningkatkan pengenalan kekerasan dan
Mengembangkan rencana kriminalitas di atas rata-
mengimplementasi dan pencegahan berdasarkan data lokal pencegahan kekerasan kriminalisasi anak dan
evaluasi strategi sebagai prioritas kesehatan remaja tara
Meningkatkan implementasi dan
masyarakat Menurunkan angka Memiliki keadaan
kerjasama untuk membangun
lingkungan dan strategi Meningkatkan sumber penggunaan NAPZA pada sosial ekonomi yang di
penjangkauan di lapangan. daya yang dapat anak dan remaja bawah rata-rata
mempertahankan program- Menurunkan penerimaan
berbasis-bukti dan terhadap kekerasan dalam
meningkatkan hal norma atau budaya
implementasi program

21
BAB III

Kesimpulan

Kekerasan pada remaja merupakan masalah yang serius dan dapat menimbulkan

dampak yang besar dalam tatanan kehidupan sosial. Terdapat beberapa faktor risiko yang

berperan dalam perilaku kekerasan pada remaja. Beberapa faktor risiko yang sering dilaporkan

adalah gangguan psikiatri dan maltreatment. Tindakan intervensi yang dapat dilakukan dan

menunjukkan hasil yang baik adalah social emotional learning program.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014, (2014).


2. Undang undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,
(2012).
3. Matjasko JL, Massetti GM, Bacon S. Implementing and Evaluating Comprehensive
Evidence-Based Approaches to Prevent Youth Violence: Partnering to Create
Communities Where Youth Are Safe From Violence. The journal of primary prevention.
2016;37:109-19.
4. O'Shaughnessy RJ. Forensic psychiatry and violent adolescents. Brief Treat Crisis Interv.
2008;8(1):27-42.
5. Greydanus DE, Greydanus MM. Internet use, misuse, and addiction in adolescents:
current issues and challenges. International journal of adolescent medicine and health.
2012;24(4):283-9.
6. Chwedorowicz R, Skarżyński H, Pucek W, Studziński T. Neurophysiological maturation
in adolescence – vulnerability and counteracting addiction to alcohol. Annals of
Agricultural and Environmental Medicine. journal article. 2017;24(1):19-25.
7. Dahl RE. Biological, developmental, and neurobehavioral factors relevant to adolescent
driving risks. American journal of preventive medicine. 2008 Sep;35(3 Suppl):S278-84.
8. Ernst M, Korelitz KE. Cerebral maturation in adolescence: behavioral vulnerability.
L'Encephale. 2009 Dec;35 Suppl 6:S182-9.
9. Welsh JL, Schmidt F, McKinnon L, Chattha HK, Meyers JR. A comparative study of
adolescent risk assessment instruments: predictive and incremental validity. Assessment.
2008 Mar;15(1):104-15.
10. Sevecke K, Franke S, Kosson D, Krischer M. Emotional dysregulation and trauma
predicting psychopathy dimensions in female and male juvenile offenders. Child and
adolescent psychiatry and mental health. 2016;10.
11. Youth violence: National Center for Injury Prevention and Control2016.
12. Denaro D, Watt B, Hasan T. Violence Risk among Youth Referred to a Forensic Mental
Health Service. Psychiatry, Psychology and Law. 2017 2017/07/04;24(4):561-75.
13. Lennox C, Dolan M. Temperament and character and psychopathy in male conduct
disordered offenders. Psychiatry research. 2014 Mar 30;215(3):706-10.

23
14. Kimonis ER, Fanti KA, Goulter N, Hall J. Affective startle potentiation differentiates
primary and secondary variants of juvenile psychopathy. Development and
psychopathology. 2017 Oct;29(4):1149-60.
15. Hampton AS, Drabick DA, Steinberg L. Does IQ moderate the relation between
psychopathy and juvenile offending? Law and human behavior. 2014 Feb;38(1):23-33.
16. Spironelli C, Segre D, Stegagno L, Angrilli A. Intelligence and psychopathy: a
correlational study on insane female offenders. Psychol Med. 2014 Jan;44(1):111-6.
17. Kimonis ER, Goulter N, Hawes DJ, Wilbur RR, Groer MW. Neuroendocrine factors
distinguish juvenile psychopathy variants. Developmental psychobiology. 2017
Mar;59(2):161-73.
18. Vieira JB, Ferreira-Santos F, Almeida PR, Barbosa F, Marques-Teixeira J, Marsh AA.
Psychopathic traits are associated with cortical and subcortical volume alterations in
healthy individuals. Social cognitive and affective neuroscience. 2015 Dec;10(12):1693-
704.
19. de Oliveira-Souza R, Hare RD, Bramati IE, Garrido GJ, Azevedo Ignacio F, Tovar-Moll
F, et al. Psychopathy as a disorder of the moral brain: fronto-temporo-limbic grey matter
reductions demonstrated by voxel-based morphometry. NeuroImage. 2008 Apr
15;40(3):1202-13.
20. Soreff SM, Hough MG. Aggression. StatPearls. Edisi. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing
StatPearls Publishing LLC.; 2017.
21. Lee V, Hoaken PNS. Cognition, emotion, and neurobiological development: Mediating
the relation between maltreatment and aggression. SAGE. 2007.
22. Koizumi M, Takagishi H. The Relationship between Child Maltreatment and Emotion
Recognition. PloS one. 2014;9(1).
23. Stouthamer-Loeber M, Loeber R, Homish DL, Wei E. Maltreatment of boys and the
development of disruptive and delinquent behavior. Development and psychopathology.
2001 Fall;13(4):941-55.
24. Loeber R, Stouthamer-Loeber M. Development of juvenile aggression and violence.
Some common misconceptions and controversies. The American psychologist. 1998
Feb;53(2):242-59.
25. Loeber R, Burke JD. Developmental Pathways in Juvenile Externalizing and
Internalizing Problems. Journal of research on adolescence : the official journal of the
Society for Research on Adolescence. 2011 Mar;21(1):34-46.

24
26. Loeber R, Dishion T. Boys' experimentation and persistence in developmental pathways
toward serious delinquency. Journal of Child and Family Studies. 1983;6(321).
27. Lang S, af Klinteberg B, Alm PO. Adult psychopathy and violent behavior in males with
early neglect and abuse. Acta psychiatrica Scandinavica Supplementum. 2002(412):93-
100.
28. Cheatham CL, Larkina M, Bauer PJ, Toth SL, Cicchetti D. Declarative memory in abused
and neglected infants. Advances in child development and behavior. 2010;38:161-82.
29. Price SD, Salekin RT, Klinger MR, Barker ED. Psychopathy and depression as predictors
of psychosocial difficulties in a sample of court evaluated adolescents. Personality
disorders. 2013 Jul;4(3):261-9.
30. Chu CM, Goh ML, Chong D. The Predictive Validity of Savry Ratings for Assessing
Youth Offenders in Singapore: A Comparison With YLS/CMI Ratings. Criminal Justice
and Behavior. 2016 Jun;43(6):793-810.
31. Corrado RR, Vincent GM, Hart SD, Cohen IM. Predictive validity of the Psychopathy
Checklist: Youth Version for general and violent recidivism. Behavioral sciences & the
law. 2004;22(1):5-22.
32. Stockdale KC, Olver ME, Wong SC. The Psychopathy Checklist: Youth Version and
adolescent and adult recidivism: considerations with respect to gender, ethnicity, and age.
Psychological assessment. 2010 Dec;22(4):768-81.
33. Pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan pidana umum dan pidana khusus.
Agung M, editor Jakarta: Mahkamah Agung; 2008.
34. Durlak JA, Dymnicki AB, Taylor RD, Weissberg RP, Schellinger KB. The impact of
enhancing students social and emotional learning : A meta analysis of school based
universal interventions. Child development. 2011;82(1):405-32.
35. Pawils S, Metzner F. [Violence prevention in childhood and adolescence--a brief
overview]. Bundesgesundheitsblatt, Gesundheitsforschung, Gesundheitsschutz. 2016
Jan;59(1):52-6.
36. Sancassiani F, Pintus E, Holte A, Paulus P, Moro MF, Cossu G, et al. Enhancing the
Emotional and Social Skills of the Youth to Promote their Wellbeing and Positive
Development: A Systematic Review of Universal School-based Randomized Controlled
Trials. Clinical practice and epidemiology in mental health : CP & EMH. 2015;11(Suppl
1 M2):21-40.

25
37. Ttofi MM, Farrington DP. Effectiveness of school-based programs to reduce bullying: a
systematic and meta-analytic review. Journal of Experimental Criminology.
2010;7(1):27-56.

26

You might also like