Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Retensio Plasenta ( Placenta Retention ) merupakan plasenta yang belum lahir dalam
setengan jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta ( rest placenta ) merupakan
tertinggalnya plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan
postpartum dini ( early postpartum hemorrhage ) atau perdarahan postpartum lambat
( late postpartum hemorrhage ) yang biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca
persalinan.
Sebab – sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus atau
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
URAIAN MATERI
2. Retensio Plasenta
Gejala yang selalu ada : plasenta belu lahir setelah 30 menit,
perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
Gejala yang kadang – kadang timbul : tali pusat putus akibat raksi
berlebihan, inverse uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama
1 jam setelah bayi lahir.
3. Inversio Uteri
Inversiio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian
atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami
inverse jika bagian dalam menjadi diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi
sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi
sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
a. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga serviks
seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam.
Robekan serviks yang luas menimbulakn perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak mau berhenti,
meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan
baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
b. Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih
sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam. Terlebih apabila kepala
janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat
pada pemeriksaan speculum.
c. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hamper semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya
terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu
cepat, sudut arkus lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran panggul yang lebih besar daripada sirkum
ferensia suboksipito bregmatika.
Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi
perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang
kuat.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan
robekan jalan lahir adalah :
1) Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar (fundus uteri
masih tinggi).
a. Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar ( fundus uteri masih
tinggi ).
b. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
c. Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika,
kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
2) Atonia uteri ( robekan jaringan lunak )
a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini
terus menerus, penangnanannya : ambil speculum dan cari robekan.
c. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterootonika langsung
uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
3.1.4. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar
untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus
menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah –
pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi tterus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang
lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan
karena terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya
fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab
dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong
pada keadaan shock hemoragik.
3.1.9. Penatalaksanaan
Penanganan Retensio Plasenta
1. Resusitasi, pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV – line
dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
( sodium klorida isotonic atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila
memungkinkan ). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Tranfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan darah.
2. Drips Oksitosin ( oxytocin drips ) 20 IU dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0,9% ( normal saline ) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual
plasenta. Indikasi manual plasenta adalah perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak
lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi
ekstraksi, perforasi dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat
putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan
dapat dikeluarkan dengan tang ( cunam ) abortus dilanjutkan kuret sisa
plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati – hati
karena dinding rahim relative tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda – tanda infeksi dan
untuk pencegahan infeksi sekunder.