You are on page 1of 15

HAND OUT

MATA KULIAH : ASKEB IV ( Patologi )


TOPIK : Mengidentifikasi Masalah Perdarahan Postpartum
SUB TOPIK : 3.1. Masalah Perdarahan Post Partum
3.1.1. Definisi
3.1.2. etiologi dan Patogenesis
3.1.3. Manifestasi Klinis
3.1.4. Patofisiologi
3.1.5. Pemeriksaan Fisiik
3.1.6. Pemeriksaan Khusus
3.1.7. Pemeriksaan Penunjang
3.1.8. Diagnosa Banding
3.1.9. Penatalaksanaan
WAKTU : 2 x 50 menit

OBJEK PERILAKU MAHASISWI


Setelah selesai mengikut perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat dengan benar
mengidentifikasi masalah perdarahan pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

PENDAHULUAN
Retensio Plasenta ( Placenta Retention ) merupakan plasenta yang belum lahir dalam
setengan jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta ( rest placenta ) merupakan
tertinggalnya plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan
postpartum dini ( early postpartum hemorrhage ) atau perdarahan postpartum lambat
( late postpartum hemorrhage ) yang biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca
persalinan.
Sebab – sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena :
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus atau
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
URAIAN MATERI

3.1. MASALAH PERDARAHAN POSPARTUM


3.1.1. Definisi
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml
selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio
plasenta. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari
500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir ( Prof. Dr. Rustam
Mochtar, MPH, 1998 ).
Haemoragic Post Partum ( HPP ) adalah hilangnya darah leih dari 500
ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi ( Williams, 1998 ).
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu ( 40 – 60% )
kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan
akibat retensio plasenta diaporkan berkisar 16 – 17%. Di RSU H. Damanhuri
Barabai, selama 3 tahun ( 1997 – 1999 ) didapatkan 146 kasus rujukan
perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus
tersebut, terdapat satu kasus ( 0,68% ) berakhir dengan kematian ibu.
Yang dinamakan perdarahan postpartum adalah perdarahan yang
melebihi 500 cc dalam 24 jam setelah anak lahir.
Perdarahan sesudah 24 jam setelah anak lahir disebu perdarahan
postpartum yang lambat, biasanya disebabkan oleh jaringan plasenta yang
tertinggal.
Perdarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu ; ¼ dari
kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan ( perdarahan postpartum,
plasenta previa, solution plaentae, kehamilan ektopik, abortus dan ruptura
uteri ) disebabkan oleh perdarahn postpartum
Selain dari itu dimana perdarahan postpartum tidak menyebabkan
kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anaemia
mengurangkan daya tahan. Maka tugas kita mencegah perdarahan yang
banyak, amat penting.
Perdarahan postpartum lebih sering terjadi pada iu – ibu di Indonesia
dibandingkan dengan kejadian di luar negeri. Perdarahan postpartum
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
1. Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir.
2. Late postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir.

Tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan


komplikasi perdarahan postpartum adalah sebagai berikut :
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mencegah timbulnya syok.
3. Mengganti darah yang hilang.

Frekuensi perdarahan postpartum 4/5 – 15% dari seluruh persalinan.


Bedasarkan penyebabnya :
1. Atoni uteri ( 50 – 60% ).
2. Retensio plasenta ( 16 – 17% ).
3. Sisa plasenta ( 23 – 24% ).
4. Laserasi jalan lahir ( 4 – 5% ).
5. Kelainan darah ( 0,5 – 0,8% ).

3.1.2. Etiologi dan Patogenesis


Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu :
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat
palsenta, namun dinding uterus temap plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat ( dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm ).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematon yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan
spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil
darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa
perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan
sebab. Lama kala III pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala III, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.

Tanda – tanda lepasnya plasenta :


1. Keluanya darah secara tiba – tiba.
2. Tali pusat memanjang.
3. Uterus membulat dan memanjang.

Faktor – faktor yang mempengaruhi plasenta :


1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks ;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus ; serta pembentukan
constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa
; implantasi di cornu ; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik ; pemberian uterotonik yang tidak tepat
wakunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan
plaenta ; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi
uterus.
3.1.3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam jumlah
banyak > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing,
gelisah, letih dan dapat terjadi syol hipovolemik, tekanan darah rendah,
ekstremitas dingin, mual.

Gejala klinis berdasarkan penyebab :


1. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek dan
perdarahan segera setelah anak lahir ( perdarahan post partum primer ).
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terleppasnya sebagian
plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum ; karena perlukaan pada jalan
lahir atau karena atonia uteri. Atonia uteri merupakan sebab terpenting
perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama ;
pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil
kembar atau janin besar ; persalinan yang serin ( multiparitas ) atau anestesi
yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan
plasenta dan mendorng rahim ke bawah sementara plasenta belum epas dari
rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui.
Tapi bila ada perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita
telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada
perdarahan atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
Tearapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus
diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu
yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada
persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim
jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dinding
rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan supaya
penghentian perdarahan sepecap mungkin dan mengatasi akibat perdarahan.
Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan
suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang
diharapkan dalam waktu singkat dilakukan kompresi baimanual pada rahim,
bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa
ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan
postpartum ada kemungkinan dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang
mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Adapun faktor predisposisi terjadinya atonia uteri : umur, paritas,
partus lama dan partus terlantar, obstetric operatif dan narkosa, uterus terlalu
renggang dan besar misalnya pada gemelli, hidramnion atau janin besar,
kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couvelair pada solusio
plasenta, factor sosio ekonomi yaitu malnutrisi.

2. Retensio Plasenta
Gejala yang selalu ada : plasenta belu lahir setelah 30 menit,
perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
Gejala yang kadang – kadang timbul : tali pusat putus akibat raksi
berlebihan, inverse uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan.
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama
1 jam setelah bayi lahir.

Penyebab retensio plasenta :


1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
a. Plasenta adhesive : plasenta yang melekat pada desidua endometrium
lebih dalam.
b. Plasenta inkerta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai
ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembuus serosa atau
peritoneum dinding rahim.
2. Plasenta sudah lepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni
uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim ( akibat
kesalahan penanganan kala III ) yang akan menghalangi plasenta keluar
( plasenta inkarserata ).

3. Inversio Uteri
Inversiio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian
atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami
inverse jika bagian dalam menjadi diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi
sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi
sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.

Pembagian inversion uteri :


a. Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam
kavumuteri namun belum keluar dari ruang rongga rahim.
b. Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam
vagina.
c. Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan
sebagian sudah keluar vagina.

Penyebab inversion uteri ;


a. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat
kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi ( mengejan dan batuk ).
b. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual
plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
Faktor – faktor yang memudahkan terjadinya inversion uteri :
a. Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya.
b. Tarikan tali pusat yang berlebihan.

Frekuensi inversion uteri ; angka kejadian 1 : 20.000 persalinan.

Gejala klinis inversion uteri :


a. Dijumpai pada kala III atau postpartum dengan gejala nyeri yang hebat,
perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih
melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi stranguasi
dan nekrosis.
b. Pemeriksaan dalam :
1. Bila masih inkomplit aka pada daerah simfisis uterus teraba fundus
uteri cekung ke dalam.
2. Bila komplit, diatas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina
teraba tumor lunak.
3. Kavum uteri sudah tidak ada.

4. Perdarahan karena robekan serviks


Setelah persalinan buatan atau kalau ada perdarahan walaupun
kontraksi uterus baik dan darah yang keluar berwarna merah muda harus
dilakukan pemeriksaan dengan speculum. Jika terdapat robekan yang berdarah
atau robekan yang lebih besar dari 1 cm, maka robekan tersebut hendaknya
dijahit.
Untuk memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke
bawah hingga cerviks dekat dengan vulva.
Kemudian kedua bibir serviks dijepit dengan klem dan ditarik ke
bawah. Dalam melakukan jahtan jahtan robekan serviks ini yang penting
bukan jahitan lukanya tapi pengikatan dari cabang – cabang arteria uterine.

5. Perdarahan postpartum karena sisa plasenta


Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan plasenta tidak
lengkap, maka harus dilakukan ekksplorasi dari kavum uteri.
Potongan potongan plasenta yang ketinggalan tanpa diketahui,
biasanya menimbulkan perdarahan postpartum lambat.
Kalau perdarahan banyak sebaiknya sisa – sisa plasenta ini segera
dikeluarkan walaupun ada demam.

6. Robekan Jalan Lahir


Gejala yang selalu ada : perdarahan segera, darah segar mengalir
segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, plasenta baik.Gejala yang
kadang – kadang timbul : pucat, lemah, menggigil.
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari
perdarahan postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.

a. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga serviks
seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam.
Robekan serviks yang luas menimbulakn perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak mau berhenti,
meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan
baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
b. Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih
sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam. Terlebih apabila kepala
janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat
pada pemeriksaan speculum.
c. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hamper semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya
terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu
cepat, sudut arkus lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran panggul yang lebih besar daripada sirkum
ferensia suboksipito bregmatika.
Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi
perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang
kuat.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan
robekan jalan lahir adalah :
1) Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar (fundus uteri
masih tinggi).
a. Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar ( fundus uteri masih
tinggi ).
b. Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
c. Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika,
kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
2) Atonia uteri ( robekan jaringan lunak )
a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini
terus menerus, penangnanannya : ambil speculum dan cari robekan.
c. Setelah dilakukan masase atau pemberian uterootonika langsung
uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
3.1.4. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar
untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus
menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah –
pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga
perdarahan terjadi tterus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang
lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan
karena terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya
fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab
dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong
pada keadaan shock hemoragik.

3.1.5. Pemeriksaan Fisik


a. Pemerikasan tanda – tanda vital
1. Pemeriksaan suhu badan
Suhu biasanya meningkat sampai 380C dianggap normal. Setelah satu
hari suhu akan kembali normal ( 36 – 370C ), terjadi penurunan akibat
hipovolemia.
2. Nadi
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat.
3. Tekanan darah
Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia.
4. Pernafasan
Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga menjadi tidak normal.
3.1.6. Pemeriksaan Khusus
Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda – tanda
komplikasi dengan mengevaluasi system dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi:
1. Nyeri / ketidaknyamanan
Nyeri tekan uterus ( fragmen – fragmen plasenta tertahan ).
2. Sistem vaskuler
a. Perdarahan diobservasi setiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap
jam berikutnya.
b. Tensi diawasi setiap 8 jam.
c. Apakah ada tanda – tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah.
d. Haemorroid diobservasi, konjungtiva anemis / sub anemis, defek
koagulasi congenital, idiopatik trombositopeni purpura.
3. Sistem reproduksi
a. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari postpartum,
kemudian tiap 8 jam selama 3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan
posisinya serta konsistensinya.
b. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna,
banyak dan bau.
c. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda – tanda
infeksi, luka jahitan dan apakah ada jahitan yang lepas.
d. Vulva dilihat, apakah ada edema atau tidak.
e. Payudara dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum.
f. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan
fungsi sebelum kehamilan ( sub involusi ).
4. Traktus urinarus
Diobservasi tiap 2 jam hari pertama.Meliputi miksi lancer atau tidak,
spontan dan lain – lain.
5. Traktur gastro intestinal.
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
6. Integritas ego : mungkin cemas, ketakutan dan khawatir.
3.1.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ),
melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi
2. Menentukan adanya gangguan kongulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial
Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time
( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis
spons desidua.

3.1.8. Diagnosa Banding


Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada
miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.

3.1.9. Penatalaksanaan
Penanganan Retensio Plasenta
1. Resusitasi, pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV – line
dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid
( sodium klorida isotonic atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila
memungkinkan ). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi
oksigen. Tranfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan
hasil pemeriksaan darah.
2. Drips Oksitosin ( oxytocin drips ) 20 IU dalam 500 ml larutan
Ringer laktat atau NaCl 0,9% ( normal saline ) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil
lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual
plasenta. Indikasi manual plasenta adalah perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak
lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi
ekstraksi, perforasi dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat
putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan
dapat dikeluarkan dengan tang ( cunam ) abortus dilanjutkan kuret sisa
plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan
kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati – hati
karena dinding rahim relative tipis dibandingkan dengan kuretase pada
abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan
dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda – tanda infeksi dan
untuk pencegahan infeksi sekunder.

You might also like