You are on page 1of 34

BAB I

PENDAHULUAN

Retinopati diabetik merupakan penyulit penyakit diabetes melitus yang paling


ditakuti karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosa yang kurang baik bagi
penglihatan. Retinopati diabetik dapat di hindari dengan mengontrol kadar gula darah
yang baik dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Diabetik retinopati
merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20
sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami
kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes
meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1
ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah
10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90%
pasien sudah menderita retinopati diabetik.

Gambar 1. Epidemiologi Diabetes Retinopati di Dunia

Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetik nonproliferatif. Setelah 20 tahun prevalensi retinopati diabetik

1
meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat. Di Amerika Utara, 3.6%
pasien diabetes tipe 1 dan 1.6% pasien diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total. Di
Inggris, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian atau total
setiap tahun.
Pada negara berkembang, setidaknya 12% kasus kebutaan disebabkan oleh
diabetes. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun, dan
meningkat setelah pubertas. Hal ini terjadi 20 tahun setelah menderita diabetes.
Asosiasi diabetes Amerika menyarankan pemeriksaan setahun sekali (mulai
dalam 3 hingga 5 tahun setelah didiagnosis menderita diabetes tipe 1 dan segera
setelah didiagnosis menderita diabetes tipe2) dengan alasan sebagai berikut
 Seseorang yang mengidap retinopathy DM tanpa disadari karena penyakit ini
tidak selalu menyebabkan gejala-gejala hingga kerusakan retina makin parah.
 Pengobatan akan lebih efektif jika dilakukan sebelum gejala-gejala dan
komplikasi retinopathy DM berkembang.
 Dengan pemeriksaan mata yang teratur, seorang dokter mata dapat
mengetahui dan mengobati sebelum tanda-tanda retinopati berlanjut.
Sayangnya banyak penderita diabetes yang tidak memeriksakan matanya
setahun sekali untuk mengetahui apakah telah mengalami retinopati (atau penyakit
mata lainnya yang disebabkan diabetes). Akibatnya mereka tidak mengetahui bahwa
mereka telah mengidap retinopati sampai akhirnya kehilangan penglihatan yang
signifikan. Para ahli percaya banyak kasus-kasus kehilangan penglihatan dan
kebutaan sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan mata tahunan
pada penderita diabetes.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina1


Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata
dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di
belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm pada sisi nasal. Permukaan
luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga
berhubungan dengan membran Brunch, koroid, dan sklera. Di sebagian besar tempat,
retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk suatu ruang
subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina. Namun pada diskus optikus dan ora
serrata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat sehingga perluasan cairan
subretina pada ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini berlawanan dengan ruang
subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera, yang meluar ke taji sklera.
Dengan demikian, ablasi koroid akan meluas melampaui ora serrata, di bawah par
plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan dalam corpus ciliare
dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke
anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan vitreus.
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut:
1. Membran limitans interna
2. Lapisan serat saraf yang mengandung aksoon-akson sel ganglion yang berjalan
menuju nervus opticus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam yang mengandung sambungan sel ganglion dengan
sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horisontal

3
6. Lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel
horisontal dengan fotoresptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membran limitans ekstrena
9. Lapisan fotoresptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitel pigmen retina
Lapisan dalam membran Brunch sebenarnya merupakan membran basalis epitel
pigmen retina.

Gambar 2. Lapisan-lapisan retina

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,
yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang
pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area
centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel
ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai

4
daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning – xantofil. Fovea
yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi
flouresens. Secara histologis, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami
penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena
akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan-
lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara
sentrifugal. Di tengah makula, 4 mm lateral dari diskus optikus, terdapat foveola yang
berdiameter 0,25 mm yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai
cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian retina
yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran
histologis fovea dan foveola ini memungkinkan diskriminasi visual yang tajam;
foveola memberikan ketajaman visual yang optimal. Ruang ekstraselular retina yang
normalnya kosong cenderung paling besar di makula.
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat di
luar membran Brunch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina;
serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam
retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh kariokapilaris dan rentan terhadap kerusakan
yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-
retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang. Sawar darah-retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.

2.2 Fisiologi Retina1


Retina merupakan jaringan mata yang paling kompleks. Mata berfungsi
sebagai suatu alat optik, suatu reseptor yang kompleks, dan suatu transduser yang
efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan
cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke
korteks penglihatan oksipital.

5
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel
batang lebih tinggi di perifer. Di foveola, terdapat hubungan hampir 1:1 antara
fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat-serat saraf yang keluar, sedangkan di
retina perifer, sejumlah fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama. Fover
berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna yang
baik, keduanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik)
dan paling baik foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan untuk
penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik).
Fotoresptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik yang
avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali
proses penglihatan. Setiap sel fotoresptor kerucut mengandung rhodopsin, suatu
pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam diskus bermembran
ganda pada fotoreseptor segmen luar. Pigmen ini tersusun atas dua komponen, sebuah
protein opsin dan sebuah kromofor. Opsin dalam rhodopsin adalah scoptopsin, yang
terbentuk dari tujuh heliks transmembran. Opsin tersebut mengelilingi kromofornya,
retinal, yang merupakan turunan dari vitamin A. Saat rhodopsin menyerap foton
cahaya, 11-cis-retinal akan mengalami isomerisasi menjadi all-trans-retinal dan
akhirnya menjadi all-trans-retinol. Perubahan bentuk itu akan mencetuskan terjadinya
kaskade penghantar kedua (secondary messenger cascade). Puncak absorbsi cahaya
oleh rodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang merupakan
daerah biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum
fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak absorbsi panjang gelombang, berturut-
turut untuk sel kerucut sensitif –biru, -hijau, dan –merah, pada 430, 540, dan 575 nm.
Fotopigmen sel kerucut terdiri atas 11-cis-retinal yang terikat pada protein opsin
selain scotopsin.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantai oleh fotoreseptor batang. Dengan
bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat beragam corak abu-abu, tetapi warna-
warnanya tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap

6
cahaya, sensitivitas spektrum retina bergeser dari puncak dominasi rhodopsin 500 nm
ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu objek akan berwarna apabila
objek tersebuat secara selektif memantulkan atau menyalurkan sinar dengan panjang
gelombang tertentu dalam kisaran spektrum cahaya tampak (400-700 nm).
Penglihatan siang ahri (fotopik) terutama diperantai oleh fotoreseptor kerucut,
senjakala (mesopik) oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan malam (skotopik)
oleh fotoreseptor batang.
Fotoresptor diperlihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting
dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggungjawab untuk fagositosis segmen luar
fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk
sawar selektif antara koroid dan retina. Membran basalis sel-sel epitel pigmen retina
membentuk lapisan dalam membran Brunch, yang juga tersusun atas matriks
ekstraselular khusus dan membran basalis koriokapilaris sebagai lapisan luarnya. Sel-
sel epitel pigmen retina mempunyai kemampuan terbatas dalam melakukan
regenerasi.

2.3 Retinopati Diabetikum


2.3.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena. Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa
aneurismata, melebarnya vena, perdarahan, dan eksudat lemak. Gambaran retinopati
disebabkan perubahan mikrovaskular retina. Hiperglikemia mengakibatkan kematian
perisit intra mural dan penebalan membran basalis mengakibatkan dinding pembuluh
darah lemah. Penimbunan glukosa dan fruktosa merusak pembuluh darah halus pada
retina.

7
Gambar 3. Normal Retina dibandingkan Retinopati Diabetik

2.3.2 Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di
jumpai, terutama di negara barat. Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun
mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang
diabetes. Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10
tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko berkembangnya retinopati
meningkat setelah pubertas. Dalam urutan penyebab kebutaan secara global,
retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi
makula (AMD=age-related macular degeneration).
Angka kejadian retinopati diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus dan
durasi penyakit. Pada DM tipe I (insulin dependent atau juvenile DM), yang
disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya pasien berusia muda
(kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13 persen kasus yang
sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 90 persen
setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.
Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh
resistennya berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun

8
atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM
kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84 persen setelah menderita DM
selama 15-20 tahun.

2.3.3 Patogenesis
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa
lamanya terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan
fisiologis dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh
darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada
orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit
ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan
lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia
telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
 Perubahan anatomis
o Capilaropathy
 Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit
 Proliferasi sel endotel
 Penebalam membrane basalis
o Sumbatan microvaskuler
 Arteriovenous shunts
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
 Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan
pembuluh darah baru pada retina dan discus opticus (pada
retinopati diabetik proliferatif) atau pada iris (rubeosis iridis)
 Perubahan hematologi:

9
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi eritrosit
yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas darah.
o Abnormalitas lipid serum
o Fibrinolisis yang tidak sempurna
o Abnormalitas dari sekresi growth hormone
 Perubahan biokimia
o Jalur poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan
alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu
sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati membran basalis
sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak didalam sel. Senyawa
poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan
menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.
o Glikasi nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi selama
hiperglikemi dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.
Protein yang teroglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan
menyebabkan perubahan fungsi sel.
o Protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
pemeabilitas vascular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan
proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC di
retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo
dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari glukosa.

Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat mempengaruhi
prognosis dari retinopati diabetik seperti;

10
 Arteriosklerosis dan hipertensi
 Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak
 Hiperlipoproteinemi, mempengaruhi arteriosklerosis sehingga mempercapat
perjalanan penyakit
 Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin
dapat menimbulkan perdarahan dan proliferasi.

Frank RN mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme


patogenesis retinopati diabetik:
Tabel 1. Hipotesis mengenai mekanisme patogenesis retinopati diabetik
Mekanisme Cara Kerja Terapi
Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, Aldose reduktase
menyebabkan kerusakan sel inhibitor
Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit pada Aspirin
endotel kapiler, hipoksia, kebocoran,
edema macula
Protein Kinase C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh Inhibitor terhadap
DAG pada hiperglikemia PKC β-isoform
Reactive oxygen Menyebabkan kerusakan enzim dan Antioksidan
species komponen sel yang penting untuk
survival
Advanced Mengaktifkan enzim yang merusak Aminoguanidin
glycation end-
product
Nitric oxide Meningkatkan produksi radikal bebas, Aminoguanidin
syntase menghambat ekspresi gen,
menyebabkan hambatan dalam
metabolisme sel

11
Apoptosis sel Penurunan aliran darah ke retina,
perisit dan sel meingkatkan hipoksia
endotel
VEGF Meningkatkan hipoksia retina, Fotokoagulasi pan
menimbulkan kebocoran, edema retinal
macula, neovaskularisasi
PEDF Menghambat vaskularisasi, menurun
pada hiperglikemia
GH dan IGF-1 Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, GH-
receptor blocker,
octreotide

Growth hormone
Growth hormone diduga berperan penting pada progresifitas diabetik
retinopathy. Kejadian retinopathy DM ternyata sangat rendah pada wanita dengan
perdarahan post partum akibat nekrosis pituitari. Penemuan ini memicu dilakukannya
ablatio kelenjar pituitari sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan pada
retinopathy DM pada tahun 1950. Teknik pengobatan tersebut sudah dilarang karena
ternyata menimbulkan komplikasi sistemik dan seiring ditemukannya teknik
pengobatan laser.

Platelets dan blood viscosity


Berbagai kelainan hematologi pada DM seperti peningkatan agregasi eritrosit,
penurunan deformability eritrosit, meningkatnya agregasi trombosit dan adhesi
memicu gangguan sirkulasi, defek endotel dan oklusi kapiler fokal yang
menyebabkan iskemia retina yang pada akhirnya berkembang menjadi retinopathy
DM.

12
Aldose reductase dan vasoproliferative factors
DM menyebabkan abnormalitas dari metabolisme glukosa akibat aktivitas
atau produksi insulin yang menurun. Meningkatnya kadar glukosa darah mempunyai
dampak pada perubahan anatomis dan fungsional dari kapiler retina. Pada DM terjadi
persistensi kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan glukosa yang berlebih
dalam aldose reductase pathway terbentuk di jaringan, yang mengubah gula menjadi
alkohol (glukosa menjadi sorbitol, galaktosa menjadi dulcitol). Perisit intramural
pada kapiler retina terkena pengaruh dari peningkatan kadar gula darah oleh karena
kadar aldosteron reduktse yang tinggi memicu hilangnya fungsi utama dari perisit
dalam hal autoregulasi kapiler retina. Hilangnya fungsi dari perisit menyebabkan
kelemahan dinding kapiler sehingga terbentuk kantung pada dinding kapiler (saccular
outpouching of capillary walls) yang dikenal sebagai mikroaneurisma.
Mikroaneurisma merupakan tanda paling awal untuk deteksi retinopathy DM.

Gambar 4. Fundus pada Background Retinopathy DM dengan gambaran multipel mikroaneurisma


(Bhavsar, 2009)

Ruptur mikroaneurisma menyebabkan perdarahan retina yang dapat terjadi


superfisial (flame-shaped hemorrhages) atau pada lapisan retina yang lebih dalam
(blot and dot hemorrhages).

13
Gambar 5. Background diabetik retinopathy: blot hemorrhages (kepala panah), mikroaneurisma
(panah pendek) dan hard exudates (panah panjang) (Bhavsar, 2009)

Peningkatan permeabilitas yang terjadi menyebabkan kebocoran cairan dan


material protein yang secara klinis tampak sebagai penebalan retina dan eksudat.
Apabila pembengkakan dan eksudasi mencakup makula maka terjadi penurunan
visus. Edema makula adalah penyebab tersering penurunan visus pada pasien dengan
nonproliferative diabetik retinopathy (NPDR). Gejala tersebut tidak hanya ditemukan
pada pasien denan NPDR namun juga dapat terjadi pada pasien proliferative diabetik
retinopathy (PDR).
Seiring dengan progesifitas penyakitnya dapat terjadi oklusi dari kapiler retina
yang dapat menyebabkan hipoksia. Infark pada nerve fiber layer dapat menyebabkan
terbentukanya cotton-wool spots (CWS) yang berhubungan dengan stasis pada
axoplasmic flow. Keadaan hipoksia retina lebih lanjut menyebabkan terjadinya
mekanisme kompensasi pada mata untuk menjaga suplai oksigen yang cukup ke
jaringan. Kelainan diameter vena seperti venous beading, loops, dandilation
menandakan proses peningkatan hipoksia dan hampir selalu tampak pada perbatasan
dengan area non perfusi.
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) menandakan adanya proses
pertumbuhan pembuluh darah baru atau remodelling dari pembuluh darah
sebelumnya melalui proliferasi endotel pada jaringan retina yang berperan sebagai
pintas (shunt) melalui daerah non perfusi. Keadaan iskemia retina lebih lanjut
memicu produksi dari faktor vasoproliferatif seperti vascular endothelial growth

14
factor (VEGF) yang memicu pembentukan pembuluh darah baru.Matriks
ekstraselular pertama-tama dihancurkan dahulu dengan protease dan pembuluh darah
baru kemudian dibentuk melalui penetrasi venula retina pada internal limiting
membrane dan dari jaringan kapiler antara permukaan dalam retina dan bagian
posterior hyaloid (the posterior hyaloid face).

Gambar 6. Neovaskularisasi pada Permukaan Retina (Bhavsar, 2009)

Neovaskularisasi sering ditemukan pada perbatasan area perfusi dan non perfusi dan
juga pada papila nervi opticus. Neovaskularisasi tumbuh menembus permukaan retina
dan ke dalam hyaloid posterior (the scaffold of the posterior hyaloid face). Pembuluh
darah baru tersebut jarang menimbulkan gangguan visual. Pembuluh darah tersebut
rapuh dan bersifat sangat permeabel sehingga gampang pecah oleh traksi vitreus yang
menyebabkan perdarahan ke dalam vitreus dan ruang pre retina.Neovaskularisasi ini
berhubungan dengan pembentukan jaringan fibroglial. Densitas dari neovaskular
meningkat begitu pula dengan jaringan fibrotik namun pada tahapan yang lebih lanjut
pembuluh darah ini mengalami regresi dan meninggalkan jaringan fibrotik avaskuler
yang melekat pada retina dan hyaloid posterior. Pada saat terjadi kontraksi vitreus
makan terjadi traksi pada retina melalui jaringan fibroglial yang dapat menyebabkan
edema retina, heterotropia retina dan tractional retinal detachments serta retinal tear
formation.

15
2.3.4 Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR menurut Early Treatment
Diabetik Retinopathy Study dibagi menjadi:

Gambar 7. Stadium Retinopati Diabetik

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan Background


Diabetik Retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma, perdarahan retina,
eksudat, IRMA, dan kelainan vena
a. Minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b. Ringan-sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA
c. Berat: terdapat ≥1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada
4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA pada 1
quadran

16
d. Sangat berat: ditamukan ≥ 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada discus (NVD) yang mencakup < ¼ dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau
neovaskularisasi dimana saja diretina (NVE) tanpa disertai perdarahan
preretina atau vitreus.
b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko
sebagai berikut
i. Ditemukan NVE
ii. Ditemukan NVD
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup > ¼ daerah diskus
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau
setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,
merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada retinopati
proliferative resiko tinggi.

Airlie House Convention membagi DR menjadi 3:


1. Stadium nonproliferatif
2. Stadium preproliferatif
3. Stadium proliferatif

Pembagian stadium menurut Daniel Vaughan dkk:


 Stadium I
Mikroaneurisma yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan
bulat kecil didaerah papil dan macula

17
o Vena sedikit melebar
o Histologis didapatkan mikroaneurisma dikapiler bagian vena didaerah
nuclear luar

 Stadium II
o Vena melebar
o Eksudat kecil-kecil, tampak seperti lilin, tersebar atau terkumpul
seperti bunga (rosette) yang secara histologis terletak didaerah lapisan
plexiform luar
 Stadium III
Stadium II dan cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriol
terminal. Diduga bahwa cotton wool patches terdapat bila disertai retinopati
hipertensif atau arteriosklerose.
 Stadium IV
Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai dengan sheathing
pembuluh darah. Perdarahan nyata besar dan kecil, terdapat pada semua
lapisan retina, dapat juga preretina.
 Stadium V
Perdarahan besar diretina dan preretina dan juga didalam badan kaca yang
kemudian diikuti dengan retinitis proliferans, akibat timbulnya jaringan
fibrotic yang disebtai dengan neovaskularisasi. Retinitis proliferans ini
melekat pada retina yang bila mengkerut dapat menimbulkan ablasi retina dan
dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan total.

Klasifikasi menurut FKUI


 Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada
fundus okuli

18
 Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan
atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli
 Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.
 Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong
pada derajat berat.

2.3.5 Gejala Klinis


Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa:
 Kesulitan membaca
 Penglihatan kabur
 Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
 Melihat lingkaran cahaya
 Melihat bintik gelap dan kelap-kelip

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:


 Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh
darah terutama polus posterior
 Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak
dekat mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end
artery, dilapisan tengah dan compact.
 Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok

19
 Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina. Gamabarannya
kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata, membesar kemudian
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
 Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan
terlihat becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak
dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
 Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula-
mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang kearah preretinal,
ke badan kaca. Jika pecah dapat menimbulkan perdarahan retian, perdarahan
subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca.
 Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
macula sehingga sangat mengganggu tajam pengelihatan.

2.3.6 Pemeriksaan Klinis

Anamnesis
Pada tahap awal retinopathy DM tidak didapatkan keluhan. Pada tahap lanjut
dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan penurunan tajam penglihatan
serta pandangan yang kabur.

Pemeriksaan oftalmologi
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopathy DM dapat dibagi menurut
Diabetik Retinopathy Severity Scale :
 Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopathy
 Nonproliferative retinopathy
Retinopathy DM merupakan progressive microangiopathy yang
mempunyai karakteristik pada kerusakan pembuluh darah kecil dan oklusi.

20
Kelainan patologis yang tampak pada awalnya berupa penebalan membran
basement endotel kapiler dan reduksi dari jumlah perisit. Kapiler berkembang
dengan gambaran dot-like outpouchings yang disebut mikroaneurisma.
Perdarahan dengan gambaran flame-shaped tampak jelas.
o Mild nonproliferative retinopathy ditandai dengan ditemukannya
minimal 1 mikroaneurisma. Pada moderate nonproliferative
retinopathy terdapat mikroaneurisma ekstensif, perdarahan intra
retina, venous beading, dan/ atau cotton wool spots. Kriteria lain
juga menyebutkan pada Mild nonproliferative retinopathy:
kelainan yang ditemukan hanya adanya mikroaneurisma dan
moderate nonproliferative retinopathy dikategorikan sebagai
kategori antara mild dansevereretinopathy DM.
o Severe nonproliferative retinopathyditandai dengan ditemukannya
cotton-wool spots, venous beading, and intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA). Hal tersebut didiagnosis pada saat
ditemukan perdarahan retina pada 4 kuadran, venous beading
dalam 2 kuadran atau IRMA pada 1 kuadran. Kriteria lain
menyebutkan proliferative diabetik retinopathy dikategorikan jika
terdapat 1 atau lebih: neovaskularisasi (seperti pada : iris, optic
disc, atau di tempat lain), atau perdarahan retina/ vitreus.
 Proliferative Retinopathy
Komplikasi yang terberat dari DM pada mata pada proliferative
diabetik retinopathy. Iskemia retina yang progresif menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru yang menyebabkan kebocoran serum
protein yang banyak. Early proliferative diabetik retinopathy memiliki
karakteristik munculnya pembuluh darah baru pada papila nervi optikus (new
vessels on the optic disk (NVD)) atau pada tempat lain di retina. Kategori
high-risk ditandai dengan pembuluh darah baru pada papila yang meluas

21
melebihi satu per tiga dari diameter papila, pembuluh darah tersebut
berhubungan dengan perdarahan vitreus atau pembuluh darah baru manapun
di retina yang meluas melebihi setengah diameter papila dan berhubungan
dengan perdarahan vitreus.
Pembuluh darah baru yang rapuh berproliferasi pada sisi posterior dari
vitreus dan tampak terangkat ketika vitreus mulai menarik retina. Apabila
terjadi perdarahan maka perdarahan vitreus yang masif akan menyebabkan
hilangnya penglihatan yang mendadak. Resiko berkembangnya
neovaskularisasi dan perdarahan retina dimulai ketika terjadinya complete
posterior vitreous detachment. Pada mata dengan proliferative diabetik
retinopathy dan adhesi vitreoretinal yang persisten dapat berkembang proses
fibrotik dan membentuk ikatan fibrovaskular yang menyebabkan traksi
vitreoretina. Hal tersebut dapat menyebabkan progressive traction retinal
detachment atau apabila terjadi robekan retina maka telah terjadi
rhegmatogenous retinal detachment.
Perkembangan selanjutnya dari DM pada mata yaitu dapat terjadi
kompllikasi: iris neovascularization (rubeosis iridis) dan neovascular
glaucoma. Proliferative diabetik retinopathy berkembang pada 50% penderita
diabetes tipe I dalam waktu 15 tahun sejak timbulnya penyakit sistemik
mereka. Hal ini kurang lazim pada penderita diabetes tipe II, tetapi karena ada
lebih banyak pasien dengan diabetes tipe II, lebih banyak pasien dengan
proliferative diabetik retinopathy memiliki tipe II dari tipe I diabetes.

22
Gambar 8.Moderate nonproliferative diabetik retinopathy dengan mikroaneurisma dan cotton
wool spots (Ehlers, Shah, 2008)

Gambar 9.Proliferative Diabetik Retinopathy dengan neovaskularisasi dan scattered microaneurysm


(Ehlers, Shah, 2008)

Gambar 10. Proliferative Diabetik Retinopathy dengan neovaskularisasi pada diskus optikus
(Ehlers, Shah, 2008)

23
 Diabetik maculopathy dan Diabetik macular edema (DME)
Diabetik maculopathy tampak sebagai penebalan retina fokal atau
difus yang diakibatkan oleh rusaknya inner blood–retinal barrier pada
endotel kapiler retina yang memicu terjadinya kebocoran plasma ke sekeliling
retina. Hal tersebut lebih sering ditemukan pada DM tipe II dan memerlukan
terapi. Diabetik maculopathy dapat diakibatkan iskemia yang ditandai dengan
edema makula, perdarahan yang dalam dan eksudasi. FFA menunjukkan
hilangnya kapiler retina dan bertambah luasnya daerah avaskular pada fovea.
Dapat terjadi pada tiap tahapan dari retinopathy DM.
Edema makula yang signifikan secara klinis (Clinically significant
macular edema (CSME)) ditetapkan apabila teradapat satu dari beberapa
kriteria berikut :
o Penebalan retina dalam jarak 500 µm (satu per tiga ukuran disc) dari fovea
centralis.
o Hard exudates pada jarak 500 µm dari fovea centralis apabila
berhubungan dengan penebalan retina.
o Penebalan retina lebih besar dari ukuran disc dan bagian dari penebalan itu
mencakup area disc pada fovea centralis.

Gambar 11. Nonproliferative Diabetik Retinopathy dengan edema macula signifikan


(Ehlers, Shah, 2008)

24
Gambar 12. Gambaran edema makula (Ehlers, Shah, 2008)

2.3.7 Diagnosis Banding


 Branch Retinal Vein Occlusion
 Central Retinal Vein Occlusion
 Macular drussen: Bilateral, titik kekuningan focal yang dapat di salah artikan
sebagai hard exudate. Namun pada kelainan ini, titik-titik tersebut tidak
membentuk sebagai rosette.
 Hypertensive retinopathy: terdapat tanda khas yang berupa oedema retinal
bilateral, terdapat eksudat keras dan flame shapped haemorrages dan dapat
bersamaan dengan adanya BDR (background diabetik retinopathy). Namun
hard exudates membentuk macular star dan tidak membentuk cincin.
 Retinal artery macroaneurysm: terdapat oedem retina, hard exudates, dan
haemorrhages, namun biasanya unilateral dan perubahan lebih terlokalisir.
 Ocular Ischemic Syndrome.

25
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes. Kadar
HbA1c juga penting pada follow-up jangka panjang perawatan pasien dengan
diabetes dan retinopati diabetik. Mengontrol diabetes dan mempertahankan level
HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran pada manajemen optimal diabetes dan
retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan, maka progresi dari retinopati
diabetik bisa berkurang secara signifikan.

Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA))
merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis dan
manajemen retinopathy DM :
o Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang
tidak membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma
karena mereka tampak hipofluoresen.
o Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap
homogen yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.
o IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai
pembuluh darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas luar
retina yang tidak mendapat perfusi.

26
Gambar 13. Gambaran FFA pada Retinopathy DM

Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang
menggunakan cahaya untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari retina. Uji
ini digunakan untuk menentukan ketebalan retina dan ada atau tidaknya
pembengkakan di dalam retina akibat tarikan vitreomakular. Tes ini juga digunakan
untuk diagnosis dan penatalaksanaan edema makular diabetik atau edema makular
yang signifikan secara klinis.

Gambar 14. Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas Ketebalan Retina

27
2.3.9 Penatalaksanaan

Perawatan Medis
Pengendalian glukosa: pengendalian glukosa secara intensif pada pasien
dengan DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan insidensi dan progresi
retinopathy DM. Walaupun tidak ada uji klinis yang sama untuk pasien dengan DM
tidak tergantung insulin (NIDDM), sangat logis untuk mengasumsikan bahwa prinsip
yang sama bisa diterapkan. Faktanya semua diabetes (NIDDM dan IDDM) harus
mempertahankan level hemoglobin terglikosilasi kurang dari 7% untuk mencegah
atau paling tidak meminimalkan kompilkasi jangka panjang dari DM termasuk
retinopathy DM.

Terapi Bedah
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Pada nonproliferative diabetik retinopathy (NPDR),
terapi laser diindikasikan pada terapi CSME. Strategi untuk mengobati edema
macular tergantung dari tipe dan luasnya kebocoran pembuluh darah.
 Jika edema adalah akibat dari kebocoran mikroaneurisma spesifik, pembuluh
darah yang bocor diterapi secara langsung dengan fotokoagulasi laser fokal.
 Pada kasus dimana fokus kebocoran tidak spesifik, pola grid dari laser
diterapkan.
 Terapi lainnya yang potensial untuk diabetik macular edema (DME) meliputi
intravitreal triamcinolone acetonide dan bevacizumab. Kedua medikasi ini
bisa menyebabkan penurunan atau resolusi macular edema.
Fokus pengobatan bagi pasien retinopathy DM non proliferative tanpa edema
makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya.

28
Terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara
klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan
penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan. Sedangkan mata dengan edema
makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya dipantau
secara ketat tanpa terapi laser.
Untuk proliferative retinopathy DM biasanya diindikasikan pengobatan
dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara
menimbulkan regresi dan sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-pembuluh
baru tersebut. Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan
mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami iskemik. Tekniknya
berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar
berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oeh
diskus dan pembuluh vaskular temporal utama.
Di samping itu peran bedah vitreoretina untuk proliferative retinopathy DM
masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan
penglihatan yang baik.

Gambar 15. Laser Fotokoagulasi

29
Diet
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk semua
orang dan terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu mencapai
pengontrolan berat badan yang lebih baik dan juga pengontrolan diabetes.

Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting
untuk semua individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa membantu
dengan menjaga berat badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal ini dapat
membantu meningkatkan kontrol terhadap diabetes, dan dapat menurunkan
komplikasi dari diabetes dan retinopathy DM.

Medikamentosa
Beberapa obat-obatan yang belum resmi digunakan untuk terapi retinopati
diabetik. Obat-obatan ini dimasukkan ke dalam mata melalui injeksi intravitreus.
Intravitreal triamcinolone digunakan dalam terapi edema makular diabetik.
Uji klinis dari Diabetik Retinopathy Clinical Research Network menunjukkan
bahwa, walaupun terjadi penurunan pada edema makular setelah triamcinolone
intravitreal tetapi efek ini tidak secepat yang dicapai dengan terapi laser fokal.Sebagai
tambahan, triamcinolone intravitreal bisa memiliki beberapa efek samping, seperti
respon steroid dengan peningkatan tekanan intraocular dan katarak.
Obat-obatan lain yang digunakan pada praktek klinis dan uji klinis meliputi
bevacizumab intravitreal dan ranibizuma. Obat-obatan ini merupakan fragmen
antibodi dan antibodi VEGF. Mereka bisa membantu mengurangi edema makular
diabetik dan juga neovaskularisasi diskus atau retina. Kombinasi dari beberapa obat-
obatan ini dengan terapi laser fokal sedang diinvestigasi dalam uji klinis.

30
2.3.10 Prognosis

 Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang


memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap
1 tahun.
 Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat
progresif.
 Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula
yang secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap
4-6 bulan karena dapat berkembang menjadi clinically significant macular
edema (CSME).
 Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi. Dengan
terapi fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat berkurang
50%.
 Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari pasien
DRNP berat akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah 75%
dimana 45% diantaranya tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu pasien
DRNP sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiap 3-4 bulan.
 Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi. Teknik
yang dilakukan adalah scatter photocoagulation
 Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula menggunakan
metode focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi
metode panretina dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema macula, maka
untuk terapi dengan metode ini harus dibagi menjadi 2 tahap.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:


 Faktor prognostik yang menguntungkan

31
o Eksudat yang sirkuler.
o Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.
o Perfusi sekitar fovea yang baik.
 Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
o Edema yang difus / kebocoran yang multiple.
o Deposisi lipid pada fovea.
o Iskemia macular.
o Edema macular kistoid.
o Visus preoperatif kurang dari 20/200.
o Hipertensi.

32
BAB III
KESIMPULAN

Retinopathy DM adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh


kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena. WHO melaporkan, 4,8 persen penduduk di seluruh
dunia menjadi buta akibat retinopathy DM. Dalam urutan penyebab kebutaan secara
global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan
degenerasi makula (AMD= age-related macular degeneration). Pemeriksaan
oftalmologi retinopathy DM secara khas terbagi dalam Diabetik Retinopathy Severity
Scale meliputi: Non proliferative, prolifertative dan maculopathy DM dengan
masing-masing temuan klinis yang khas pada tiap tingkat perkembangan
penyakitnya. Fundus Fluorescein Angiography merupakan pemeriksaan penting
dalam menunjang retinopathy DM. Terapi retinopathy DM mencakup perawatan
medis untuk kontrol gula darah dan terapi oftalmologi yang mencakup terapi bedah
dan medikamentosa. Prognosis ditentukan oleh faktor-faktor yang menguntungkan
dan merugikan dalam perjalanan penyakit ini serta tindakan yang dilakukan dalam
intervensinya.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Paul Riordan-Eva, John P. itcher. 2009. Vaughan & Asbury; Oftalmologi


umum. Edisi 17. Jakarta: EGC
2. Bhavsar AR., Drouilhet JH. 2009. Background Retinopathy Diabetik.
Diunduh dari: www.e-medicine.com.
3. Bhavsar AR., Drouilhet JH. 2009. Proliferative Retinopathy Diabetik.
Diunduh dari: www.e-medicine.com.
4. Crick RP., Khaw PT. 2003. A Text Book of Clinical Ophtalmology. 3rd
edition. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
5. Ehlers JP., Shah CP. 2008. Wills Eye Manual, The: Office and Emergency
Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. 5th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
6. Eva PR., Whitcher JP. 2008. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology.
17th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
7. Ilyas S., Yulianti SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

34

You might also like