You are on page 1of 8

Hasil Obstetri Pasien dengan Abortus Imminens pada Trimester Pertama

Ayse Nur Evrenos ` Ayse Nur Cakir Gungor `


Cavidan Gulerman ` Emine Cosar

Diterima: 17 Februari 2012/ disahkan: 24 July 2013/ dipublikasikan online: 4 Agustus 2013
©Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2013

Abstrak
Tujuan Kami bermaksud mencari tahu efek dari Abortus Imminens (AI) pada hasil obstetrik dari
kehamilan yang dilanjutkan melewati minggu ke-24 gestasi.
Metode Pada penelitian prospektif ini, 309 pasien dengan AI dibagi menjadi kelompok resiko
tinggi (dengan faktor resiko terjadinya abortus spontan) (n=92) dan kelompok resiko rendah
(tanpa faktor resiko) (n=217). Kelompok kontrol (n=308) dipilih secara acak.
Hasil Pada kelompok AI, persalinan preterm, KPD pada kehamilan preterm (PPROM),
persalinan secsio sesaria (SC), atonia uteri post partum dan tingkat kebutuhan NICU yang secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok control. DM gestasional, PPROM, kelahiran mati,skor
APGAR rendah acapkali terjadi pada pasien resiko tinggi daripada kelompok control.
Selanjutnya pada kelompok resiko tinggi, persalinan preterm, malpresentasi, persalinan SC, dan
kebutuhan NICU lebih tinggi daripada kelompok resiko rendah. Hipertensi gestasional/pre-
eklampsia, oligo/polihidramnion, IUGR, plasenta previa, abruption plasenta, chorioamnionitis,
abnormalitas congenital, persalinan dengan induksi, CPD, fetal distress, dan manual plasenta
tidak berbeda antar kelompok-kelompok tersebut.
Kesimpulan Pasien-pasien dengan riwayat AI, khususnya dengan faktor resiko tinggi dapat
memiliki dampak pada hasil obstetric dan neonatal. Jadi follow-up antenatal sudah harus
dilakukan secara teliti untuk gejala dan tanda awal komplikasi.

Kata kunci Abortus imminens, perdarahan trimester pertama, hasil obstetrik, hasil neonatal.

Pendahuluan
Hampir 20% dari semua kehamilan disulitkan dengan perdarahan trimester pertama yang
menjadi faktor resiko dari berbagai komplikasi. Setengah dari kehamilan-kehamilan tersebut
terakhiri dengan abortus spontan. Perdarahan pervaginam dengan serviks tertutup pada
kehamilan dini disebut AI. Diagnosis AI harus dikonfirmasi dengan USG dari kantung
gestasional dan detak jantung janin.
Kehilangan kehamilan sebelumnya, kelahiran mati, dan riwayat bayi dengan abnormalitas
kongenital meningkatkan kemungkinan kehilangan janin dari pasien dengan perdarahan trimester
pertama. Pasien dengan riwayat abortus sebelumnya memiliki kemungkinan kekambuhan
sebesar 20% dan tiga kejadian abortus berurutan meningkatkan resiko abortus sampai 50%.
Sebagai tambahan, penyakit sistem maternal seperti DM dan disfungsi tiroid, terapi infertilitas,
defek genetik maternal-paternal, dan meningkatnya usia maternal dan paternal adalah faktor-
faktor resiko untuk abortus spontan.
Untuk penanganan AI, sudah banyak terapi yang dicoba seperti tirah baring, hubugan seksual
yang dibatasi, progesterone dan HCG. Tapi secara umum, penatalaksanaan “wait and see” lebih
disukai.
Jika kehamilan setelah AI dilanjutkan, beberapa komplikasi obstetrik terjadi lebih sering dari
biasanya.
Tujuan kami adalah untuk mendeteksi apakah komplikasi kehamilan mempengaruhi hasil
obstetrik pada kasus komplikasi kehamilan AI yang dilanjutkan melewati minggu ke-24
kehamilan.

Material dan Metode


Pada penelitian ini, kami menguji pasien-pasien dengan diagnosis AI yang terdaftar di Dr.
Zekai Tahir Burak Women Health and Disease Education and Research Hospital antenatal klinik
antara 1 September 2009 sampai 31 Desember 2009. Telah diambil ijin dari Komite Etik dan
persetujuan tertulis dari pasien. Pasien yang telah berada pada minggu ke-6 dan 14 kehamilan
yang telah memiliki kantung gestasi, embrio/fetus pada pemeriksaan USG, dan mengalami
perdarahan pervaginam tanpa dilatasi serviks dan kelainan patologik seperti polip serviks dan
servisitis yang mungkin menyebabkan perdarahan pervaginam didiagnosis sebagai AI. Nyeri dan
hematoma yang terlihat pada pemeriksaan USG, tidak digunakan sebagai kriteria diagnosis.
Kami menguji 453 pasien dan mereka dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan pada yang
memiliki faktor resiko apapun sebelum atau awal periode kehamilan untuk abortus spontan
sebagai kelompok resiko tinggi, atau yang tidak, sebagai kelompok resiko rendah. Kehamilan
multiple, kehamilan hasil fertilisasai in vitro, anomali uterin, mioma uteri, insuffisiensi serviks
dan riwayat abortus berulang, disepakati sebagai faktor resiko. Hampir semua pasien dengan
riwayat abortus rekuren mengalami trombofilia. Dari 453 pasien, 140 diantaranya masuk
kelompok resiko tinggi dan 313 masuk kelompok resiko rendah.
Pasien yang mengalami abortus spontan atau intrauterine eksitus (n=31) dan pasien yang tidak
dapat di follow up (n=17) telah dieksklusikan dan sisanya, 92 pasien diinklusikan menjadi
kelompok resiko tinggi.
Pasien yang mengalami abortus spontan atau intrauterine eksitus (n=51) dan pasien yang tidak
dapat di follow up (n=45) telah dieksklusikan dan sisanya, 217 pasien diinklusikan menjadi
kelompok resiko rendah.
Sebagai kelompok kontrol, 362 pasien yang mendaftar ke klinik antenatal kami untuk
pemeriksaan rutin pada interval waktu yang sama dan tidak mempunyai riwayat AI pada
kehamilan yang sedang berlangsung dipilih secara acak. Pasien-pasien yang tidak dapat
difollow-up (n=52) dan mengalami abortus spontan/intrauterine eksitus (n=2) dieksklusikan.
Berarti 308 pasien membentuk kelompok kontrol.
Pada penelitian kami, kami membandingkan kelompok resiko rendah dan resiko tinggi
dengan kelompok kontrol mengenai usia maternal, riwayat obstetrik sebelumnya, komplikasi
kehamilan dan persalinan hasil neonatal secara prospektif. Kami tidak menggunakan terapi
apapun untuk AI kecuali tirah baring dan coitus terbatas. Hanya pasien-pasien yang mengalami
riwayat abortus berulang dengan trombofilia diberi heparin dengan berat jenis rendah sejak onset
kehamilan.
Data dianalisis dengan program SPSS 11.5, untuk mencari distribusi variabel continue
digunakan uji Shapiro-Wilk. Statistik deskriptif untuk variabel continue diartikan sebagai mean ±
SD atau median (minimum-maksimum). Variabel kategorik dinyatakan sebagai nomor kasus dan
presentase. Tingkat signifikansi dari perbedaan nilai mean diantara kelompok-kelompok,
dianalisis menggunakan uji One way-Anova dan signifikansi median dianalisis dengan uji
Kruskal-Wallis, jika ada perbedaan signifikan pada analisis variabel One-way atau Kruskal
Wallis, untuk menemukan penyebab dari perbedaan itu digunakan uji post hoc Tukey atau uji non
parametrik analog multiple. Variabel kategorik diuji dengan Pearson’s chi square jika nilai
p<0.05 diterima secara signifikan berbeda.

Hasil
Pada penelitian kami, ada 3 kelompok, kelompok resiko tinggi abortus imminens (n=92),
kelompok resiko rendah abortus imminens (n=217), dan kelompok kontrol (n=308).
Karakteristik demografik dari kelompok-kelompok dideskripsikan pada tabel 1.

Onset median perdarahan pada pasien terjadi pada minggu ke-9 dan 10 kehamilan pada
kelompok resiko tinggi dan rendah, berturut-turut.
Riwayat abortus pada kehamilan sebelumnya, terjadi pada 65.2% (n=60) pada kelompok
resiko tinggi, 22% (n=48) pada kelompok resiko rendah, dan 12.3% (n=38) pada kelompok
kontrol.
Distribusi dari faktor-faktor resiko pada kelompok resiko tinggi dideskripsikan di tabel 2.

Faktor-faktor yang mungkin mengganggu outcome obstetric seperti penyakit sistemik kronik,
dan merokok tidak berbeda secara signifikan diantara kelompok-kelompok (tabel 3).
Kelompok-kelompok penelitian dibandingkan berdasarkan komplikasi kehamilan (tabel 4).

Kehamilan tanpa komplikasi terjadi pada 40.2% (n=37) dari kelompok resiko tinggi, 50.2%
(n=109) dari kelompok resiko rendah, dan 65.9% (n=203) dari kelompok kontrol.
Rangkaian abnormalitas kehamilan terjadi lebih merata pada kelompok resiko rendah (OR 1.9
95% CI 1.75-2.13)(p<0.001) dan pada kelompok resiko tinggi (OR 2.8 95% CI 2.53-
3.25)(p<0.001).
Kelompok-kelompok dibandingkan berdasarkan karakteristik persalinan mereka pada tabel 5.

Usia kehamilan saat persalinan adalah 36.4 (26-42) untuk pasien resiko tinggi, 38.1 (25-42)
untuk pasien resiko, dan 38.6 (27-42) untuk kelompok kontrol (p<0.001).
Abnormalitas presentasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok resiko rendah ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol (OR 4.7 95% CI 3.8-5.3) dan tertinggi pada kelompok
resiko tinggi (OR 18.7 95% CI 16.2-21.1)(p<0.001).
Rasio persalinan SC secara signifikan lebih tinggi pada kelompok resiko rendah saat
dibandingkan dengan kelompok kontrol (OR 1.7 95% CI 1.51-1.93) dan tertinggi pada kelompok
resiko tinggi (OR 4.9 95% CI 4.21-5.52)(p<0.0019). Tapi ada perbedaan yang secara statistic
tidak signifikan tentang rasio CPD dan fetal distress diantara kelompok-kelompok tersebut.
Atonia postpartum lebih tinggi secara signifikan pada kelompok resiko rendah daripada
kelompok resiko tinggi (OR 4.7 95% CI 4.12-5.22)(p<0.05).
Nilai APGAR rendah digambarkan dibawah 4 dan 7 pada menit ke-1 dan ke-5, berturut-turut.
APGAR score yang rendah terjadi pada 14.1% (n=13) dari kelompok resiko tinggi, 4.1% (n=9)
di kelompok resiko rendah dan 2.3%(n=7) di kelompok kontrol. Secara statistik signifikan untuk
kelompok resiko tinggi (OR 6.9 95% CI 6.02-7.82)(p<0.01).
Kebutuhan akan NICU terjadi pada 26 pasien (28.3%) di kelompok resiko tinggi, 8 (8.7%)
diantaranya mengalami distress pernapasan, 6 (6.5%) mengalami BBLR, 12 (13%) mengalami
kedua masalah tersebut. Kebutuhan akan NICU terjadi pada 36 (16.6%) pasien di kelompok
resiko rendah, 23 (10.6%) mengalami distress pernapasan, 4 (1.8%) mengalami BBLR, 6( 2.8%)
mengalami kedua masalah, dan 3 (1.4%) mengalami abnormalitas kongenital.
Kebutuhan akan NICU terjadi pada 19 (6.2%) pasien di kelompok kontrol, 12 (3.9%)
diantaranya mengalami distress pernapasan, 1 (0.3%) mengalami BBLR, 5 (1.6 %) mengalami
kedua masalah tersebut,dan 1 (0.3%) mengalami abnormalitas kongenital. Kebutuhan akan
NICU secara signifikan lebih tinggi di kelompok resiko rendah dibandingkan dengan kelompok
control (OR 3 95% CI 2.56-3.43) dan yang tertinggi pada kelompok resiko tinggi (OR 5.9 95%
CI 5.21-6.63)(p<0.001).
Penyebab AI multifaktorial. Beberapa faktor resiko untuk AI adalah insufisiensi serviks,
abnormalitas uterus, riwayat abortus berulang, mioma uteri, kehamilan multiple dan kehamilan
IVF. Kami membagi pasien AI menjadi 2 kelompok berdasarkan faktor-faktor resiko seperti
kehamilan multiple yang mungkin mengganggu outcome kehamilan. Komplikasi kehamilan
yang berdiri sendiri dari AI seperti PPROM dan NICU mungkin terjadi karena faktor-faktor
resiko tersebut. Jadi kami mencoba untuk mengeksklusikan efek ini dengan membentuk
kelompok kontrol.
Design prospektif pada penelitian kami menguatkan hal ini, karena dengan jalan ini gejala
subjektif yang dapat terlupakan oleh pasien selama kehamilan terdeteksi dengan tepat ketika hal
tersebut terjadi. Sebagai tambahan, kami menandai faktor-faktor resiko dari pasien jadi kami
dapat mengerti dengan jelas efek dari AI, terpisah dari faktor-faktor resiko yang ada.
Ketika Basama et al. menunjukkan prevalensi AI meningkat seiring usia, penelitian lain
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan diantara faktor-faktor resiko tersebut.
Pada penelitian kami juga ditemukan hubungan antara peningkatan insiden AI dengan usia.
Basama et al. dan Dadkhah et al. tidak menemukan hubungan antara AI dengan gravida dan
paritas. Meskipun paritas secara signifikan tidak berbeda antara kelompok-kelompok pada
penelitian kami, pasien-pasien pada kelompok resiko tinggi punya gravida lebih, mungkin karena
ada riwayat abortus sebelumnya.
Prevalensi penyakit sistemik yang mungkin mempengaruhi outcome obstetrik tidak berbeda
secara signifikan antar kelompok. Seperti Mulik et al., kami menemukan tidak ada beda yang
signifikan antara kelompok resiko rendah dan kelompok kontrol tentang merokok, namun pada
kelompok resiko tinggi, rasio merokok lebih rendah daripada kelompok lain. Mungkin itu karena
respon sikap positif dari pasien berdasarkan faktor resiko yang mereka miliki.
Karena dampak positif dari perdarahan disfungsi plasenta dipikirkan bahwa mungkin ada
hubungan antara AI dan penyakit hipertensi kehamilan. Pada penelitian multisenter prospektif,
Weiss et al. menemukan bahwa ada hubungan antara AI dan preeklampsia (OR 1.5). pada
penelitian lain Wijesiriwardana et al. dan Dadkhah et al. menemukan tidak ada hubungan antara
AI dan preeklampsia. Kami juga tidak menemukan hubungan antara hipertensi dalam kehamilan
dengan AI.
Dampak pada outcome obstetrik dapat dilihat pada kehamilan dengan DM dan pre-pregnancy
DM, khususnya pada DM tak terkontrol. Penelitian retrospektif oleh Ahkter et al. menemukan
peningkatan pada tingkat AI pada ibu hamil dengan DM (OR 1.4).
Menariknya, kami menemukan hubungan erat antara AI resiko tinggi dengan DM gestasional
(OR 4.6). Hal ini bisa dikarenakan rerata usia yang lebih tua pada kelompok ini. Tapi hubungan
ini harus diteliti ulang oleh penelitian yang lebih bagus design kontrol prospektifnya.
Jika tempat plasentasi pada kehamilan awal berada di daerah bawah, perdarahan trimester
pertama dan plasenta previa lebih lazim. Wejisiriwardana et al. menemukan 1.8 kali, Mulik et al.
menemukan 3.3 kali dan Obed et al. menemukan 2.5 kali lipat peningkatan pada prevalensi
plasenta previa pada pasien dengan riwayat AI. Namun Davari-Tanha et al. menemukan tidak
ada perbedaan antara kelompok AI dengan kontrol tentang prevalensi plasenta previa pada
penelitian prospektifnya. Kami juga tidak menemukan perbedaan yang signifikan mengenai
plasenta previa diantara kelompok-kelompok tersebut.
AI menyebabkan disfungsi plasenta yang mengarahkan ke terjadinya plasenta letak rendah.
Mulik et al., Obed et al., dan Johns et al. menemukan peningkatan pada plasenta letak rendah
pada pasien AI. Namun Wijesiriwardana et al. tidak menemukan peningkatan resiko untuk
plasenta letak rendah pada pasien-pasien AI. Kami juga tidak menemukan perbedaan signifikan
tentang plasenta previa diantara kelompok-kelompok tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan
kecilnya ukuran sampel penelitian kami.
Perdarahan, terganggunya ruang chorioamniotic, infeksi yang disebabkan hematoma, dan
pengurangan invasi cytotrophoblastic oleh arteriola spiralis menstimulasi terjadinya persalinan
preterm dan PPROM pada pasien AI. Berbagai macam penelitian telah menunjukkan
peningkatan resiko persalinan preterm pada AI. Kami menemukan 2.1 kali peningkatan pada
pasien resiko rendah dan 6.4 kali peningkatan pada pasien resiko tinggi untuk terjadinya
persalinan preterm. Beberapa penelitian menemukan peningkatan terjadinya resiko PPROM pada
pasien-pasien tersebut, yang lainnya menemukan tidak ada hubungan antara AI dengan PPROM.
Kami menemukan peningkatan yang cukup pada kelompok resiko rendah yang tidak signifikan
untuk PPROM tapi 3.2 kali peningkatan untuk kelompok resiko tinggi sudah dipastikan. Hal ini
mungkin karena dari faktor-faktor resiko yang sudah diketahui dari pasien-pasien tersebut.
Pembentukan jaringan parut di bawah plasenta pada pasien AI mungkin menyebabkan IUGR.
Dadkhah et al. dan Tongsong et al. menunjukkan tidak ada beda. Mulik et al.menemukan
peningkatan 2.5 kali untuk IUGR. Kami juga menemukan tidak ada hubungan antara AI dan
IUGR.
Seperti studi sebelumnya kami tidak menemukan hubungan antara anomali kongenital dan AI.
Kematian perinatal pada pasien AI meningkat 2.8 kali pada penelitian Mulik et al. dan 7.6 kali di
penelitian Davari-Tanha. Namun pada beberapa studi tidak ada hubungan antara kematian
perinatal dengan AI. Kami tidak memcatat kematian perinatal namun kami menemukan
peningkatan 3.1 kali pada intrauteri eksitus pada kelompok resiko tinggi.
Rerata usia gestasi pada aterm terendah pada kelompok resiko tinggi karena persalinan
preterm dan PPROM. Wijesiriwardana et al. menemukan peningkatan 1.3 kali pada fetal
malpresentasi pada kelompok AI kami menemukan 4.7 kali peningkatan pada kelompok resiko
rendah dan 18.7 kali pada kelompok resiko tinggi. Penemuan ini bisa jadi karena faktor resiko
yang mendasari pada pasien-pasien tersebut.
Seperti Wijesiriwardana et al. kami tidak menemukan hubungan antara induksi persalinan
dengan AI. Weiss et al. menemukan peningkatan 1.3 kali persalinan SC pada pasien AI.
Wijesiriwardana et al menunjukkan peningkatan 1.3 kali pada persalinan SC elektif namun tidak
ada beda mengenai persalinan SC emergensi. Mulik et al. menemukan tak ada beda pada
persalinan SC. Di penelitian kami, kami menemukan peningkatan 1.7 kali pada kelompok resiko
redah dan peningkatan 4.9 kali pada kelompok resiko tinggi pada syarat-syarat dari persalinan
SC. Peningkatan persalinan SC pada kelompok resiko rendah bisa jadi dikarenakan dari
peningkatan presentasi bukan letak kepala dari kelompok ini ketika dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Meningkatnya presentasi bukan letak kepala pada kelompok resiko rendah
mungkin disebabkan penemuan secara kebetulan karena jumlah sampel yang sedikit.
Meskipun beberapa penelitian menemukan peningkatan retensi plasenta dan ekstraksi manual
plasenta pada pasien AI, kami tidak menemukan hubungan antara retensi plasenta dan AI yang
mungkin disebabkan karena jumlah sampel penelitian kami yang sedikit.
Meskipun Wijesiriwardana et al. tidak menemukan hubungan antara atonia postpartum
dengan AI, kami menunjukkan kenaikan 4.7 kali pada kelompok resiko rendah namun tidak pada
kelompok resiko tinggi. Kenaikan dari atonia uteri pada kelompok resiko rendah bisa jadi tanda
dari langkah-langkah biasa pada patofisiologi AI dan juga atonia uteri. Jadi ini hasil yang
mencolok pada penelitian kami.
Penelitian Tongsong menunjukkan kenaikan 1.2 kali pada skor APGAR yang rendah pada
pasien AI. Pada penelitian Wijesiriwardana ada kenaikan 1.13 kali pada kebutuhan NICU. Spila
et al. tidak menemukan hubungan antara kebutuhan NICU dengan AI. Kami tidak menemukan
adanya hubungan antara kelompok resiko rendah dengan kelompok kontrol mengenai skor
APGAR yang rendah. Namun kenaikan 6.9 APGAR skor yang rendah ditetapkan pada kelompok
resiko tinggi. Kenaikan ini bisa saja disebabkan karena usia kehamilan yang rendah pada
kelompok resiko tinggi ini. Kebutuhan NICU kebanyakan disebabkan oleh distress pernapasan,
meningkat 3 kali lipat pada kelompok resiko tinggi dan hal ini biasanya disebabkan karena
prematuritas yang meningkat 5.9 kali pada kelompok resiko tinggi.
Keterbatasan pada penelitian ini adalah ketiadaan ditemukannya hematoma pada gambaran
USG, jumlah dan berulangnya perdarahan, dan infeksi mempersulit kehamilan yang mungkin
menghantar pada komplikasi neonatal. Parameter objektif dari pH outcome fetal tidak diteliti
pada penelitian kami. Justru kami mengevaluasi skor APGAR dan kebutuhan NICU untuk bayi
baru lahir.
Kesimpulannya, terbebas dari jumlah perdarahan, pasien AI memiliki peningkatan dampak
resiko pada outcome perinatal dan neonatal, selain itu jika pasien memiliki faktor resiko sebelum
atau awal kehamilan perinatal outcome dapat menjadi lebih buruk dan pasien serta dokter harus
lebih hati-hati tentang dampak outcome tersebut.

Pertentangan kepentingan. Kami menyatakan bahwa kami tidak mempunyai pertentangan kepentingan.

Daftar Pustaka
1. Johns J, Jauniaux E (2006) Threatened miscarriage as a predictor of obstetric outcome. Obstet
Gynecol 107:845–850
2. Basama FM, Crosfill F (2004) The outcome of pregnancies in 182 women with threatened
miscarriage. Arch Gynecol Obstet 270: 86–90
3. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Giltstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD (2001) Williams
Obstetric Mc Graw-Hill Publishing; 21 edn. pp 866–867
4. Greene MF (1999) Spontaneous abortions and major malformations in women with diabetes
mellitus. Semin Reprod Endocrinol 17:127–136
5. Wang JX, Norman RJ, Wilcox AJ (2004) Incidence of spontaneous abortion among pregnancies
produced by assisted reproductive technology. Hum Reprod 19:272–277
6. Warren JE, Silver RM (2008) Genetics of pregnancy loss. Clinic Obstet Gynecol 51:84–95
7. Slama R, Bouyer J, Windham G, Fenster L, Werwatz A, Swan SH (2005) Influence of paternal age
on the risk of spontaneous abortion. Am J Epidemiol 161:816–823
8. de la Rochebrochard E, Thonneau P (2002) Paternal age and maternal age are risk factors for
miscarriage; results of a multicentre European study. Human Reprod 17:1649–1656
9. Sotiriadis A, Papatheodorou S, Makrydimas G (2004) Threatened miscarriage; evaluation and
management. BMJ 329:152–155
10. Qureshi NS, Edi- Osagie EC, Ogbo V, Ray S, Hopkins RE (2005) First trimester threatened
miscarriage treatment with human chorionic gonadotrophins: a randomised controlled trial. BJOG
112:1536–1541
11. Weiss JL, Malone ED, Vidaver J, Ball RH, Nyberg DA, Comstock CH et al (2004) Threatened
abortion : a risk factor for poor pregnancy outcome, a population based screening study. Am J Obstet
Gynecol 190:745–750
12. Wijesiriwardana A, Bhattacharya S, Shetty A, Smith N (2006) Obstetric outcome in women with
threatened miscarriage in the first trimester. Obstet Gynecol 107:557–562
13. Dadkhah F, Kashanian M, Eliasi G (2010) A comparison between the pregnancy outcome in women
with or without threatened abortion. Early Human Dev 86:193–196
14. Mulik V, Bethel J, Bhal K (2004) A retrospective populationbased study of primigravid women on
the potential effect of threatened miscarriage on obstetric outcome. J Obstet Gynaecol 24:249–253
15. Ahkter J, Qureshi R, Rahim F, Moosvi S, Rehman A, Jabbar A, Islam N, Khan MA (1996) Diabetes
in pregnancy in Pakistani women: prevalence and complications in an indigenous south Asian
community. Diabet Med 13:189–191
16. Obed JY, Adewole IF (1997) Antepartum hemorrhage: the influence of first trimester uterine
bleeding. West Afr J Med 16:24–26
17. Davari-Tanha F, Shariat M, Kaveh M, Ebrahimi M, Jalalvand S (2008) Threatened abortion: a risk
factor for poor pregnancy outcome. Acta Med Iran 46:314–320
18. Johns J, Hyett J, Jauniaux E (2003) Obstetric outcome after threatened miscarriage with and without
a hematoma on ultrasound. Obstet Gynecol 102:483–487
19. Tongsong T, Srisomboon J, Wanapirak C, Sirichotiyakul S, Pongsatha S, Polsrisuthikul T (1995)
Pregnancy outcome of threatened abortion with demonstrable fetal cardiac activity: a cohort study. J
Obstet Gynaecol 21:331–335
20. Sipila P, Hartikainen Sorri AL, Oja H, Von WL (1992) Perinatal outcome of pregnancies
complicated by vaginal bleeding. Br J Obstet Gynaecol 99:959–963

You might also like