You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular

dan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan wabah yang disebabkan

oleh virus dengue (World Health Organization, 2004). Penyakit DBD di

Indonesia merupakan salah satu emerging disease dengan insiden yang

meningkat dari tahun ke tahun. DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan

di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 dengan Case Fatality Rate (CFR)

41,5% (Mayetti, 2010).

Infeksi virus dengue endemis di beberapa daerah tropis dan

subtropis, dan lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia

Selatan, dan Pasifik Barat. Sekitar 2,5 juta penduduk di daerah tersebut

pernah terinfeksi virus dengue. Menurut WHO terdapat kira-kira 50 – 100

juta kasus infeksi virus dengue setiap tahunnya, dengan 250.000–500.000

DBD dan 24.000 di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia DBD

merupakan masalah kesehatan, karena hampir seluruh wilayah Indonesia

mempunyai risiko untuk terjangkit infeksi dengue. Dua belas di antara 30

provinsi di Indonesia merupakan daerah endemis DBD, dengan case fatality

rate 1,2% (Edi, 2008).

Demam Berdarah Dengue merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat di Indonesia dan angka kematian DBD selalu meningkat dari

1
2

tahun ke tahun. Kejadian Luar Biasa / KLB DBD terjadi setiap 5 tahun,

tetapi kini semakin sering, bahkan ada beberapa kota terjadi KLB setiap

tahun. Tahun 2004, DBD menimbulkan KLB di 12 propinsi dengan jumlah

79.462 penderita dan 957 menyebabkan kematian. Awal tahun 2007,

kembali lagi terjadi KLB di 11 propinsi. Jumlah kasus DBD 2007 sampai

Juli adalah 102.175 kasus dengan jumlah kematian 1.098 jiwa. Kasus DBD

pada tahun 2005 di Jawa Tengah sebesar 7.144 kasus yang tersebar di

seluruh kabupaten dan kota. Diantara kasus tersebut, 181 penderita

diantaranya meninggal dunia (CFR = 2,53%) (Sohirin, 2005).

Kabupaten/kota yang mempunya CFR >2% adalah Cilacap (2,33%),

Karanganyar (3,03%), Semarang (3,29%), Surakarta (2,93%), dan Boyolali

(5%) (Dinkes Jawa Tengah, 2003).

Virus penyebab dan nyamuk sebagai vektor pembawa tersebar luas

di perumahan penduduk maupun fasilitas umum. Penyakit DBD disebabkan

oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe

yaitu den 1, den 2, den 3, dan den 4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang tersebar luas di

seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan, manifestasi

klinis bervariasi mulai dari asimtomatik, simtomatik (demam dengue,

DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD) (Edi, 2008).

Manifestasi klinik utama demam berdarah dengue adalah demam

tinggi (>39oC sampai hiperpireksi 40-41oC), hepatomegali, fenomena


3

perdarahan dan gagal sirkulasi. Sering terdapat keluhan epigastrik, nyeri

tekan pada pinggir kosta kanan, nyeri abdomen menyeluruh dan mungkin

disertai kejang (Darlan, 2003).

Demam berdarah dengue berdasarkan manifestasi klinis dan hasil

pemeriksaan laboratoris, diklasifikasikan menjadi 4 derajat yang paling

ringan adalah derajat I dan yang terberat adalah derajat IV. Syok pada DBD

terdapat pada derajat III dan IV, sedangkan DBD tanpa syok pada derajat I

dan II. Patogenesis DBD belum sepenuhnya difahami. Determinan utama

yang mengakibatkan penyakit ini berkembang menjadi berat belum

terungkap secara nyata. Disregulasi respon imun tampaknya mendasari

patogenesis DBD. Berbagai mekanisme dipertimbangkan turut terlibat,

antara lain antigen antibodi, komplemen dan produknya, berbagai mediator

soluble termasuk sitokin, dan virulensi virus (Glibber, 1996; Srikiatkhacorn,

2007; Luplerddlop, 2008; Samsi, 1999).

Dengan banyaknya kasus demam berdarah dengue yang terjadi pada

anak sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai profil demam berdarah

dengue dengan harapan masyarakat menjadi lebih memahami mengenai

gejala demam berdarah dengue.

1.2. Rumusan Masalah

“Bagaimana profil demam berdarah dengue pada anak di Rumah Sakit

Umum Daerah Sidoarjo tahun 2010-1013 ?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


4

1. Mengetahui profil demam bedarah dengue pada anak di Rumah Sakit

Umum Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian DBD pada anak di Rumah Sakit Umum

Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013.

2. Mengetahui distribusi DBD berdasarkan usia pada anak di Rumah

Sakit Umum Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013.

3. Mengetahui distribusi DBD berdasarkan jenis kelamin pada anak di

Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo tahun 2013.

4. Mengetahui distribusi DBD berdasarkan gejala klinis pada anak di

Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo tahun 2013.

5. Mengetahui distribusi DBD berdasarkan tingkat keparahan pada anak

di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo tahun 2013.

6. Menganalisis profil DBD pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah

Sidoarjo tahun 2010-2013.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian

1.4.1. Bagi Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat tetang penyakit demam

berdarah dengue dan dapat digunakan sebagai informasi dalam

memberikan motivasi kepada masyarakat guna meningkatkan

kesadaran tentang penyakit demam berdarah untuk menekan

angka terjadinya demam berdarah dengue.

1.4.2. Bagi Peneliti


5

Sebagai syarat untuk kelulusan sarjana kedokteran (S1) dan

penerapan teori yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan.

1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan

referensi masyarakat kampus baik dikalangan dosen maupun

mahasiswa mengenai profil demam berdarah dengue pada anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang

disebabkan oleh empat serotipe virus dengue yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4

dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di banyak daerah di dunia.

Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak.

Virus dengue dapat menyebabkan manifestasi klinis yang bermacam-macam

dari asimtomatik sampai simtomatik (Krisnanto, 2011).

Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan yang menimbulkan

wabah di seluruh dunia terutama di negara tropis dan subtropis. Diagnosis

penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO tahun 1997

dan diklasifikasikan dalam empat derajat berdasarkan beratnya penyakit

(World Health Organization, 2004).

2.2. Etiologi

Penyakit DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan oleh

nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Virus dengue

termasuk di dalam genus Flavivirus dengan famili Flaviviridae (Medin,

2006; Soegijanto, 2004; Appana, 2007; Syahruarahman,1995).

Keempat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-

4) dapat dibedakan dengan metode serologik. Infeksi pada manusia oleh

6
7

salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi

ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan

sementara dan partial terhadap serotipe yang lain. Virus dengue menunjukan

banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom

RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid

ikohedral dan terbungkus oleh selaput tipis. Virionnya mempunyai diameter

kira-kira 50 nm. Genom flavivirus mempunyai panjang 11 kb (kilobases),

dan mempunyai urutan genom lengkap untuk mengisolasi keempat serotipe

(Bakhtiar, 2009).

Virus terdiri dari 3 struktur dan 7 protein tidak terstruktur yaitu :

nukleokapsid atau protein inti, protein yang berkaitan dengan membran (M)

dan protein pembungkus (E) dan ketujuh protein nonstruktural (NS1, NS2A,

NS2B, NS3,NS4, NS4B dan NS5). Domain bertanggung jawab untuk

netralisasi, fusi, dan interaksi reseptor virus dengan protein pembungkus

(Bakhtiar, 2009).

Gambar 1. Virus dengue famili Flaviviridae (Dikutip dari : Soegijanto,


2006)
8

2.3. Epidemiologi

Wabah dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan

Karibia dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang

menyerupai dengue telah digambarkan secara global di daerah tropis dan

beriklim sedang. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di

Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958 dan dilaporkan menjadi

epidemi di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965), dan

Calcutta (1963) (Soegijanto, 2004; Soedarmo, 2002; Isnar, 2010).

Gambar 2. Distribusi dengue di dunia tahun 2005 (Dikutip dari : Isnar


HA,Sentochnik D, 2010.)

Kasus infeksi dengue pertama di Indonesia dilaporkan pada tahun

1968 di kota DKI Jakarta dan Surabaya. Kemudian dilanjutkan dengan

laporan dari Bandung dan Yogyakarta. Sejak saat itu tersangka kasus

dengue dilaporkan oleh Departemen Kesehatan. Awalnya, angka kesakitan

dilaporkan hanya di pulau Jawa dengan jumlah kasus yang terbatas. Pada

awal tahun 1980-an, laju angka kesakitan meningkat dari 10000 sampai
9

30000 per tahun, dan sejak sepuluh tahun terakhir laju angka kesakitan telah

meningkat dari 30000-60000 kasus per tahun.

Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera

Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta

Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar

ke seluruh provinsi di Indonesia sejak tahun 1997 dan Angka kesakitan rata-

rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14

(1983), dan mencapai angka tertinggi tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000

penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Di Manado,

wabah timbul pertama kali pada tahun 1974 dalam laporan Tjandra dan

Munir pada tahun 1976 (Suroso, 1999; Soegijanto, 2004; Rampengan,

1986).

Selama awal tahun epidemi di setiap negara, penyakit DBD ini

kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur

kurang dari 15 tahun. Di Manado telah dilaporkan oleh Rampengan pada

tahun 1988 bahwa umur terbanyak adalah 4-6 tahun. Walaupun demikian,

berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus pada kelompok umur lebih

tua meningkat selama terjadi kejadian luar biasa. (Soegijanto, 2004;

Rampengan, 2007; Rampengan, 1986). Berdasarkan distribusi jenis

kelamin, laki-laki lebih banyak 66 (54,6%) dibandingkan dengan

perempuan 57 (45,4%) (Edi, 2008).


10

Pola berbagai serotipe virus dengue di wilayah Indonesia nampak pada Gambar 3

Gambar 3. Pola berbagai serotipe virus dengue di wilayah Indonesia tahun


2005. (Dikutip dari: Soegijanto, 2006.)

2.4. Patofisiologi

Pada DBD peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi

primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang

ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan

tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari

20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi

destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi.

Terdapat tiga faktor yang menyebabkan perubahan hemostasis pada

DBD yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi.

Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler

dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.


11

Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral

dan seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen.

Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul

pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.

Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah,

meningkat pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang

setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-

14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari

kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi

antibodi IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder

diagnosis dapat ditegakkan lebih dini (Evisina,2010).

2.5. Patogenesis

Virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES

seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus

limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus

akan difagosit oleh monosit.

Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan

organ-elorganel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-

komponen strukturalnya. setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel

maka virus akan dilepaskan dari sel.

Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit

dilakukan karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein

yang menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang (Evisina,2010).


12

2.6. Diagnosis

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO

1999.

Kriteria Klinis :

1. Demam timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, antara 2-7 hari.

2. Manifestasi perdarahan : uji tourniquet positif, ptekie, purpura, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan/atau melena.

3. Hepatomegali.

4. Tanda-tanda syok : nadi cepat dan lemah dengan tekanan nadi

menyempit (≤20 mmHg), hipotensi, kulit teraba dingin dan lembab dan

penderita jadi tampak gelisah.

Kriteria Laboratoris :

1. Trombositopenia (≤ 100.000/mm3)

2. Hemokonsentrasi : kenaikan hematokrit sebesar 20% atau lebih.

Ditemukan 2 kriteria klinis, ditambah adanya trombositopenia dan

hemokonsentrasi, atau kenaikan hematokrit cukup unruk menegakkan

diagnosis klinis DBD. Adanya efusi pleura (yang terlihat pada foto thoraks)

dan hipoalbuminemia merupakan bukti telah terjadinya kebocoran vaskuler

(WHO,1999).

Hasil penelitian Edi Haryoto mengatakan bahwa gelaja klinis yang

paling banyak adalah demam 115 (93,5%), muntah 80 (65,1%), nyeri perut

62 (50,4%), ruam konvalesen 58 (47,1%), mual 55 (44,7%), pusing 24


13

(19,5%), perdarahan gusi 8 (6,5%), epitaksis 5 (4,1%), melena 4 (3,3%) dan

gejala penyerta batuk 17 (17,9%), pilek 12 (9,8%) (Edi, 2008).

WHO (2004) membagi menjadi empat kategori menurut derajat

berat penderita sebagai berikut :

Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis lain,

dengan manifestasi perdarahan yang paling ringan, yaitu

Rumple Leed positif (jumlah bintik merah di lengan lebih

dari 20 setelah uji Torniquette dengan manset).

Derajat II : Selain manifestasi yang dialami pasien tingkat I juga

terjadi perdarahan lain, yaitu mimisan (epistaksis),

perdarahan gusi, muntah darah (hematemesis) dan atau

buang air besar yang mengandung darah (melena).

Derajat III : Terjadi kegagalan sirkulasi darah, denyut nadi lemah dan

cepat, tekanan darah turun (20 mmHg atau kurang) atau

hipotensi, disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.

Derajat IV : Terjadi syok berat, dimana tensi dan nadi tidak terukur.

(Dikutip dari : WHO,2004)

Penegakkan diagnosis pasti DBD melalui pemeriksaan serologi dan

isolasi virus. Diantara beberapa uji serologi, pemeriksaan HI

(hemaglutination Inhibition) adalah uji yang paling lazim digunakan sebagai

gold standart.
14

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan utama pada DBD adalah adanya kebocoran plasma yang ditandai

dengan adanya hemokonsentrasi. Adanya penumpukan cairan

ekstravaskuler tercermin pula dalam efusi pleura dan cairan asites atau

cairan peri/para organ dalam perut meliputi hepar, lien, kandung empedu

dan pankreas (Samsi, 1997).

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang

selalu ditemukan pada DBD.Penurunan jumlah trombosit < 100.000/mm3

biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum

atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang

disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan

peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, Kedua hal tersebut

biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi (Soedarmo,

2002; Samsi, 1992; CDC, 2005).

Pada prinsipnya pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk

mengkonfirmasi infeksi virus dengue, yaitu :

1. Isolasi virus

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sangat ideal sebagai

penunjang diagnostik karena dapat memastikan dengan tepat penyebab

penyakit. Namun pemeriksaan ini hanya berguna pada saat viremia yang

biasanya disertai peningkatan suhu tubuh dan berlangsung antara tiga

sampai lima hari. Inilah yang menjadi salah satu kendala isolasi virus
15

disamping kendala lain yaitu waktu yang lama dan peralatan yang

diperlukan sangat mahal (Soedarmo, 2002; Halstead, 1993; Suvatte,

1987).

2. Uji serologis

Dalam menilai ada atau tidak zat kebal yang spesifik terhadap infeksi

virus dengue, sering digunakan beberapa teknik antara lain

haemagglutination inhibition test (HI), antibody neutralization test dan

complement fixation test pemilihan teknik pemeriksaan ini tergantung

pada waktu dan biayanya (World Health Organization, 1997).

3. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah tepi seperti hitung trombosit dan hematokrit

merupakan kriteria utama pemeriksaan penunjang dalam menegakkan

diagnosis DBD, dan masih merupakan bagian dari kriteria WHO (World

Health Organization, 1997; CDC, 2005).

4. Pemeriksaan radiologi dan ultrasonografi

Pemeriksaan foto polos dada dua posisi yaitu AP (antero posterior),

supine dan RLD (right lateral decubitus) foto polos perut AP supine, dan

ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi kelainan pada DBD berupa :

efusi pleura, dilatasi pembuluh darah paru, kardiomegali, dilatasi vena

hepatika, hepatomegali, cairan di rongga peritoneum dan penebalan

dinding kandung empedu (Soedarmo, 2002; Glibber, 1996; CDC, 2005).


16

2.8. Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang

luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili

dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada

hari ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala

klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi

nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada

DBD dengan sepsis. Dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi di

samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat

membantu (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008).

2.9. Tingkat Keparahan Demam Berdarah Dengue

Derajat keparahan atau beratnya DBD dinyatakan dalam empat derajat

yaitu derajat I sampai dengan derajat IV yang paling parah. Keadaan syok

pada DBD yang disebut pula sebagai sindrom syok dengue (SSD)

dinyatakan dalam derajat III dan IV memiliki prognosis yang lebih buruk.

Pada derajat I dan II DBD tidak disertai dengan keadaan syok (Loho, 1994;

Wolrd Healh Organization, 1997; CDC, 2005).

Sindrom syok dengue muncul bila kebocoran plasma terjadi dalam

jumlah > 30% volume darah. Kebocoran plasma yang terjadi akan semakin

meningkatkan severitas pada penyakit ini. Penyebab dan mekanisme

kebocoran plasma di antaranya adalah peningkatan permeabilitas kapiler

disertai peran sentral endotel yang mengalami jejas akibat sitokin, kemokin,
17

kompleknmen, mediator inflamasi ataupun karena infeksi virus dengue

sendiri secara langsung (Gubler, 1998).


BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Teori Penelitian

Infeksi Virus Dengue Komplek AgAb

Aktivasi Agregasi Aktivasi


Komplemen Trombosit Koagulasi

Endotoksemi
a Manifestasi
Trombositopeni
Perdarahan
Permeabilitas
Disfungsi
Kapiler ↑
Endotel

syok

Anoksia

Kematian
Gambar 4: Kerangka Teori (Halstead, 1993)

Pada penelitian ini yang dilihat adalah trombositopeni dan manifestasi

peradarahan terhadap tingkat keparahan demam berdarah dengue pada anak.

18
19

3.2. Kerangka Konsep Penelitian

Gejala Klinis
Laboratorium
Serologis
Serologi

Diagnosis Demam Berdarah


Dengue

Tingkat Keparahan Demam


Berdarah Dengue

Gambar 5: Kerangka Konsep

Keterangan :

Variabel yang diteliti

 Gejala klinis dan laboratorium: berdasarkan kriteria WHO 1999

 Diagnosis demam berdarah dengue : ditegakkan berdasarkan gejala klinis

dan pemeriksaan laboratorium

 Tingkat keparahan demam berdarah dengue : (berdasarkan gejala klinis dan

pemeriksaan laboratorium

Dibagi menjadi 4 derajat : - derajat I dan II tanpa syok

- derajat III dan IV disertai syok


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan metode

observasi yang mengkaji Profil Demam Berdarah Dengue pada Anak di

RSUD Sidoarjo Tahun 2010-2013.

4.2. Populasi dan Sampel/Subyek Penelitian

4.2.1 Populasi : seluruh pasien DBD anak di Rumah Sakit Umum

Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013

4.2.2 Sampel : seluruh populasi pasien DBD anak di Rumah Sakit

Umum Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013

4.3. Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Sidoarjo tahun 2013.

4.4. Teknik Pengambilan Sampel

Setelah peneliti mendapat ijin dari pihak universitas dan pihak rumah sakit

yang akan diambil sampel berupa rekam medis dan proposal sudah

disetujui, maka data dikumpulkan dari rumah sakit yang diteliti, kemudian

data ditabulasi dan dianalisis untuk mencari profil demam berdarah

dengue pada anak di rumah sakit yang diteliti.

4.5. Intrumen Penelitian

Dalam penelitian ini data diperoleh melalui data sekunder yaitu:

20
21

Data rekam medis Rumah Sakit Daerah Sidoarjo tahun 2010-2013

4.6. Definisi Operasional

4.6.1 Demam Berdarah Dengue

Penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang

ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai manifestasi

perdarahan, renjatan atau kegagalan sirkulasi sampai berakibat

pada kematian penderita.

4.6.2 Tingkat keparahan

Tingkat keparahan DBD yang terbagi menjadi empat derajat

dengan manifestasi yang beragam dalam setiap derajatmya. Terbagi

menjadi Derajat I, Derajat II, Derjat III, dan Derajat IV.

Pada penelitian ini tingkat keparahan demam berdarah

dengue dibagi menjadi 2, yaitu :

- Tidak parah : demam berdarah dengue derajat 1 dan 2

- Parah : demam berdarah dengue derajat 3 dan 4

4.6.3 Demam

Adalah suatu keadaan suhu tubuh meningkat diatas normal, akibat

peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus, pemeriksaan

berdasarkan perabaan orang tua pasien pada saat sebelum masuk

rumah sakit dan di dalam rumah sakit dilakukan dengan

termometer air raksa pada aksila > 37oC atau rektal > 37,5oC.
22

4.6.4 Hepatomegali

Pembesaran hati dimana di palpasi lebih dari 2 sentimeter di bawah

arkus kosta.

4.6.5 Manifestasi perdarahan

Minimal uji torniket positif, yaitu dengan mempertahankan manset

tensimeter pada tekanan antara sistol dan diastol selama 5 menit,

kemudian dilihat apakah timbul petekie atau tidak di daerah volar

lengan bawah, hasil positif bila jumlah petekie ≥ 20. Perdarahan

spontan antara lain epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,

melena.

4.6.6 Umur

Umur dihitung berdasarkan tanggal kelahiran yang dinyatakan

dalam tanggal, bulan dan tahun. Perhitungan umur berdasarkan

tahun. Pada penelitian ini umur anak yang diteliti sesuai kriteria

IDAI adalah umur 1-18 tahun.

4.6.7 Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi

sirkulasi yang menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan

oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme

homeostasis.
23

4.6.8 Jumlah Trombosit

Jumlah trombosit dievaluasi tiap hari pada penderita trombosit

kurang dari 100.000 mm3 merupakan salah satu kriteria

laboratorium DBD

4.6.9 Trombositopenia

Adalah jumlah trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi

darah.

4.6.10 Nilai Hematokrit

Nilai hematokrit dievaluasi tiap 6 jam pada penderita (nilai

normal tiga kali hemoglobin).

4.6.11 Hemokonsentrasi

Adalah peningkatan jumlah hematokrit sebanyak 20% atau lebih.

4.7. Analisis Data

Data dianalisa secara deskriptif untuk melihat karakteristik dan pola

distribusi pasien anak DBD berdasar usia, jenis kelamin, tingkat

keparahan, dan gambaran klinis dari tahun 2010-2013 (kecenderungan

meningkat atau menurun).


BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo. Rumah Sakit ini

merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan kabupaten Sidoarjo yang

beralamat di jalan Mojopahit No. 667, Sidoarjo, Jawa Timur.

Sebagai unit pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, rata-rata

setiap hari Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo memeriksa dan mengobati ± 300

pasien. Selain datang sendiri, pasien yang berobat juga pasien rujukan dari

puskesmas dan praktek dokter swasta.

Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo angka kejadian

demam berdarah dengue pada anak pada tahun 2010 didapatkan 172 kejadian,

tahun 2011 didapatkan 131 kejadian, tahun 2012 didapatkan 221 kejadian dan

tahun 2013 didapatkan 288 kejadian.

Tenaga kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo terdiri dari tenaga

kesehatan medis/paramedis, tenaga kesehatan non medis/paramedis, dan tenaga

non kesehatan yang berstatus PNS dan kontrak.

24
25

5.2. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini dibagi oleh peneliti menjadi 6

karakter yakni berdasarkan angka kejadian, usia, jenis kelamin, gejala klinis dan

tingkat keparahan.

5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Angka Kejadian

Peneliti menggunakan karakteristik responden berdasarkan angka kejadian dari

tahun 2010 sampai dengan tahun 2013. Jumlah responden berdasarkan angka

kejadian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1: Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue pada Anak di RSUD


Sidoarjo Tahun 2010-2013

Tahun Frekuensi Persentasi %


2010 172 21,18%
2011 131 16,13%
2012 221 27,22%
2013 288 35,47%
Jumlah 812 100%
Sumber: Data Rekam Medis

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa angka kejadian demam berdarah

dengue pada anak tertinggi pada tahun 2013 dan angka kejadian terendah pada

tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian Demam Berdarah

Dengue pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo menurun pada tahun

2011 dan meningkat pada tahun 2012-2013


26

350

300

250
Jumlah Pasien

200

150

100

50

0
2010 2011 2012 2013

Gambar 6: Angka kejadian Demam Berdarah Dengue pada Anak di RSUD


Sidoarjo Tahun 2010-2013

Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak setiap tiga bulan dalam satu

tahundapat dilihat pada tabmjel 2.

Tabel 2: Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue pada Anak di RSUD


Sidoarjo Tahun 2010-2013 Berdasarkan Bulan

Bulan
Tahun Januari-Maret April-Juni Juli-September Oktober-Desember
2010 42 85 39 6
2011 49 53 19 10
2012 59 65 55 42
2013 78 125 61 24
Jumlah 228 328 174 82
Sumber: Data Rekam Medis

Berdasar tabel diatas diketahui bahwa angka kejadian DBD pada anak dari tahun

2010-2013 tertinggi pada bulan April sampai Juni dan terendah pada bulan

Oktober sampai Desember.


27

140

120

100

Januari-Maret
80
April-Juni
60 Juli-September
Oktober-Desember
40

20

0
2010 2011 2012 2013

Gambar 7: Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue pada Anak di RSUD


Sidoarjo berdasarkan Bulan

5.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Peneliti menggunakan karakteristik responden berdasarkan usia untuk

membedakan anak usia sebelum sekolah dan anak usia sekolah. Jumlah responden

berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3: Karakteristik Responden Demam Berdarah Dengue pada Anak


Berdasarkan Usia di RSUD Sidoarjo

Usia
Tahun 0 - < 1 tahun 1 - 4 tahun 5 - 14 tahun 15-18 tahun
2010 6 14 108 44
2011 4 16 78 33
2012 6 23 144 48
2013 17 40 136 95
33 93 466 220
Sumber: Data Rekam Medis

Bedasarkan tabel diatas diketahui bahwa responden terbanyak adalah

responden berusia 5-14 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasien Demam
28

Berdarah Dengue pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo lebih banyak

yang berusia 5-14 tahun.

160

140

120
Jumlah Pasien

100 0 - < 1 tahun


1 - 4 tahun
80
5 - 14 tahun
60
15-18 tahun
40

20

0
2010 2011 2012 2013

Gambar 8: Frekuensi Usia pada Pasien Demam Berdarah Dengue pada


Anak di RSUD Sidoarjo

5.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Tahun 2013

Peneliti menggunakan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin untuk

membedakan responden laki-laki dan perempuan pada tahun 2013. Data yang

dipakai hanya data pada tahun 2013 dikarenakan data rekam medis pada tahun

2013 lebih lengkap dan spesifik daripada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah

responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4: Karakteristik Responden Demam Berdarah Dengue pada Anak


Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Sidoarjo Tahun 2013

Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi %


Laki-laki 87 58%
Perempuan 63 42%
Jumlah 150 100%
Sumber: Data Rekam Medis
29

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa responden terbanyak adalah

responden berjenis kelamin laki-laki sedangkan responden perempuan berjumlah

lebih sedikit pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa pasien Demam

Berdarah Dengue pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo lebih banyak

yang berjenis kelamin laki-laki.

Perempuan
42% Laki-laki
58%

Gambar 9: Frekuensi Jenis Kelamin pada pasien Demam Berdarah Dengue


pada Anak di RSUD Sidoarjo pada Tahun 2013

5.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Gejala Klinis pada Tahun 2013

Peneliti menggunakan karakteristik responden berdasarkan gejala klinis untuk

melihat gejala klinis yang sering muncul pada penderita demam berdarah dengue

anak tahun 2013. Jumlah responden berdasarkan gejala klinis dapat dilihat pada

tabel 5.
30

Tabel 5: Karakteristik Responden Demam Berdarah Dengue pada Anak


Berdasarkan Gejala Klinis di RSUD Sidoarjo Tahun 2013

Gejala Klinis Frekuensi Persentasi


Demam 146 97,33%
muntah 106 70,67%
mual 115 76,67%
ruam konvalesen 10 6,67%
sakit perut 55 36,67%
pusing 60 40%
Epitaksis 22 14,67%
Perdarahan gusi 7 4,67%
Melena 4 2,67%
Batuk 33 22%
pilek 12 8%
Sumber: Data Rekam Medis

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa Gejala klinis yang muncul

adalah demam 146 (97,33%), mual 115 (76,67%), muntah 106 (70,67%), pusing

60 (40%), sakit perut 55 (36,67%), batuk 33 (22%), epitaksis 22 (14,67%), pilek

12 (8%), rash kovalesen 10 (6,67%), perdarahan gusi 7 (4,67%) dan melena 4

(2,67%). Hal ini menunjukkan bahwa gejala klinis terbanyak pasien demam

berdarah dengue pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo adalah

demam sebanyak 146 dari 150 kasus.


31

Melena 2.67%

Perdarahan gusi 4.67%

ruam konv 6.67%

pilek 8%

Epitaksis 14.67%

Batuk 22%

sakit perut 36.67%

pusing 40%

muntah 70.67%

mual 76.67%

Demam 97.33%

Gambar 10: Presentase Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue pada Anak
di RSUD Sidoarjo Tahun 2013

5.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Keparahan pada Tahun 2013

Peneliti menggunakan karakteristik responden berdasarkan tingkat keparahan

untuk melihat jumlah kasus terbanyak pada setiap grade pada tahun 2013. Jumlah

responden berdasarkan grade dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6: Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Tingakt


Keparahan pada Anak di RSUD Sidoarjo Tahun 2013

Grade Frekuensi Persentasi %


Grade I 91 60,67%
Grade II 36 24%
Grade III 18 12%
Grade IV 5 3,33%
Jumlah 150 100,00%
Sumber: Data Rekam Medis
32

Dari keempat grade akan dibagi menjadi 2 kategori yaitu demam berdarah dengue

tanda syok dan demam berdarah dengue dengan syok.

Tabel 7: Kejadian Demam Berdarah Dengue Tanda Syok dan Demam


Berdarah Dengue dengan Syok pada Anak di RSUD Sidoarjo Tahun 2013

Tingkat Keparahan DBD Frekuensi Persentasi %


DBD tanpa syok
127 84,67%
(Grade I + Grade II)
DSS
23 15.33 %
(Grade III + Grade IV)
Sumber: Data Rekam Medis

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kejadian terbanyak pada grade I

sebanyak 91 (60,67%) dan kejadian DBD tanpa syok lebih banyak dibanding

kejadian DBD dengan syok 23(15,33%). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian

demam berdarah dengue pada anak di RSUD Sidoarjo terbanyak adalah DBD

tanpa syok.

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Grade I Grade II Grade III Grade IV

Gambar 11: Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Tingkat


Keparahan pada Anak di RSUD Sidoarjo Tahun 2013
BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan profil

demam berdarah dengue pada anak yaitu angka kejadian, usia, jenis kelamin,

gejala klinis dan tingkat keparahan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang menggunakan

metode observasi. Peneliti mengambil data dengan cara melihat data rekam medis

mulai tahun 2010 sampai 2013 untuk melihat distribusi angka kejadian DBD

pertahun, distribusi angka kejadian DBD setiap tiga bulan per tahun dan distribusi

angka kejadian berdasarkan usia. Sedangkan untuk distribusi angka kejadian DBD

berdasarkan jenis kelamin, gejala klinis dan tingkat keparahan hanya

menggunakan data rekam medis tahun 2013 karena data pada tahun 2013 lebih

lengkap dan spesifik daripada tahun-tahun sebelumnya.

Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan penurunan angka kejadian

demam berdarah dengue pada tahun 2010, yaitu 172 (21,18%) sedangkan tahun

2011, yaitu 131 (16,13%). Pada tahun 2012 angka kejadian demam berdarah

dengue meningkat yaitu 221 (27,22%) dan tahun 2013, yaitu 288 (35,47%). Pada

tahun 2010 sampai 2013, angka kejadian demam berdarah dengue terkecil pada

tahun 2011 dan terbesar pada tahun 2013. Penurunan angka kejadian DBD dapat

disebabkan karena keberhasilan upaya pencegahan penyakit DBD atau kesalahan

dalam pencatatan jumlah angka kejadian DBD. Sedangkan peningkatan angka

33
34

kejadian dapat disebabkan karena banyak faktor antara lain faktor perilaku

masyarakat, faktor kebersihan lingkungan dan kegagalan upaya pencegahan

penyakit DBD di Sidoarjo (Masrizal, 2011).

Kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vector borne disease, terutama

vektor serangga. Kemampuan nyamuk dalam bertahan hidup mengalami

penurunan pada kondisi kering. Rata-rata kelembaban telah ditemukan sebagai

faktor paling kritis pada iklim/ penyakit. Seperti penyakit berbasis vektor lainnya,

DBD menunjukkan pola yang berkaitan dengan iklim terutama kelembaban

karena mempengaruhi penyebaran vektor nyamuk dan kemungkinan menularkan

virus dari satu manusia ke manusia lain. Vektor nyamuk bersifat sensitif terhadap

kelembaban (Sintorini, 2007). Selain itu, perhitungan kelembaban merupakan

satu-satunya faktor iklim yang sangat baik dalam memprediksi penyebaran DBD.

Kelembaban udara tidak berpengaruh langsung pada angka insiden DBD, tetapi

berpengaruh pada umur nyamuk A.aegypti yang merupakan vektor penular DBD.

Pada kelembaban udara yang rendah yaitu di bawah 60% terjadi penguapan air

dari tubuh nyamuk sehingga dapat memperpendek umur nyamuk (Yanti, 2004).

Pada penelitian Masrizal menunjukkan bahwa hubungan kelembaban

udara dengan jumlah kasus DBD menunjukkan hubungan yang sedang dan

berpola negatif. Hasil uji statistik didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara kelembaban udara dengan kasus DBD. Tidak signifikannya

hubungan yang diperoleh antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit

DBD, kemungkinan disebabkan oleh faktor lain yang lebih besar pengaruhnya.

Banyaknya tempat pembuangan sampah dan tumpukan barang bekas yang dapat
35

menampung air hujan dapat meningkatkan populasi nyamuk Aedes yang berperan

sebagai vektor DBD. Selain itu, perilaku masyarakat yang tidak menjaga

kebersihan juga diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya

penyimpangan tersebutrtinya semakin rendah kelembaban udara semakin

meningkat kasus DBD. Rata-rata kelembaban udara perbulan yang paling tinggi

terjadi pada bulan Nopember sebesar 82,7 % dan yang paling rendah terjadi pada

bulan Februari sebesar 78 % (Masrizal, 2011).

Pada penelitian ini, angka kejadian DBD selama empat tahun selalu terjadi

peningkatan pada bulan April-Juni 328 (40,39%) dan penurunan pada bulan

Oktober-Desember 82 (10,09%). Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan

bahwa faktor kelembaban udara bukanlah faktor penentu tinggi rendahnya angka

kejadian DBD, tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor perilaku

masyarakat, faktor kebersihan lingkungan dan kegagalan upaya pencegahan

penyakit DBD di Sidoarjo.

Menurut Soegijanto, penyakit DBD ini kebanyakan menyerang anak-anak

dan 95% kasus yang dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun, terbanyak pada

usia 4-6 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan di Bagian IKA RSCM, yang

melaporkan insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 5–9 tahun yaitu

46,1%. Pada penelitian Edi Hartoyo, insiden tertinggi terdapat pada kelompok

umur 5–10 tahun, yaitu 52 (42,4%) (Edi, 2008).

Pada penelitian ini insiden demam berdarah dengue tertinggi terdapat pada

kelompok usia 5-14 tahun, yaitu 466 (57,38%). Hasil penelitian ini sama dengan

hasil penelitian dari bagian IKA RSCM dan penelitian dari Edi Hartoyom
36

Menurut penelitian Edi Hartoyo, jenis kelamin laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan. Temuan ini tidak berbeda jauh dari penelitian

yang dilakukan di Bagian IKA RSCM yang mendapatkan laki-laki perempuan

1,3:1 dan penelitian Suharyono mendapatkan perbandingan laki-laki dan

perempuan 1,4:1 (Edi, 2008)..

Pada penelitian ini, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan. Dari 150 kejadian, 87(58%) jenis kelamin laki-laki dan 63

(42%) jenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini sama hasil penelitian

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena imunitas pada anak laki-laki

membutuhkan waktu lebih lama untuk matur dibanding anak perempuan dan

kebiasaan bermain di luar rumah pada anak laki-laki (Edi, 2008).

Secara teori, demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit infeksi

yang disebabkan oleh virus dengue. Gejala awal dari suatu infeksi didalam tubuh

adalah demam. Berdasarkan kriteria WHO tahun 1999, gejala klinis pada demam

berdarah dengue yang pertama muncul adalah demam (WHO, 1999). Menurut

penelitian Edi Hartoyo, gejala klinis yang sering muncul adalah demam paling

banyak, lalu muntah, nyeri perut, ruam konvalesen, mual, pusing, perdarahan

gusi, epitaksis, melena dan gejala penyerta batuk, pilek (Edi, 2008).

Pada penelitian ini, gejala klinis terbanyak yang sering muncul adalah

demam 146 (97,33%). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Edi

Hartoyo dan sesuai dengan teori yang ada.

Menurut penelitian Edi Hartoyo, diagnosa demam berdarah dengue

terbanyak adalah grade I dan grade II 59 (47,9%) dibandingkan SSD (DBD grade
37

III dan IV) yaitu 43 (34,9%) anak (Edi,2008). Pada penelitian Raihan, angka

kejadian DBD tanpa syok (grade I dan II) sebanyak 140 (50,7%) dan DBD dengan

syok (grade III dan IV) sebanyak 84 (30,4%) (Raihan, 2010).

Pada penelitian ini, demam berdarah dengue tanpa syok (grade I dan II),

yaitu 127 (84,67%) sedangkan demam berdarah dengue dengan syok (grade III

dan IV), yaitu 23 (15,33%). Menurut hasil penelitian ini, angka kejadian DBD

tanpa syok lebih banyak dibanding DBD dengan syok. Hasil ini sama dengan

hasil penelitian sebelumnya.

Terjadinya syok pada demam berdarah disebabkan oleh serotipe virus

dengue, peningkatan permeabilitas kapiler dan perubahan homeostasis Pada

penelitian sebelumnya, syok terjadi disebabkan oleh virus dengue serotip DEN-3

(Mashoedi, 2007). Sedangkan pada penelitian ini peneliti belum sampai meneliti

serotipe virus dengue yang menyebabkan syok pada demam berdarah dengue di

RSUD Sidoarjo.
BAB VII

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak di RSUD Sidoarjo

tahun 2010-2013 tertinggi pada tahun 2013, yaitu 288 kejadian (35,47%)

dan terendah pada tahun 2011, yaitu 131 kejadian (16,13%).

2. Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak di RSUD tahun

2010-2013 tertinggi pada bulan April-Juni yaitu 328 kejadian (40,39%)

dan terendah pada bulan Oktober-Desember yaitu 82 kejadian (10,09%).

3. Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak di RSUD tahun

2010-2013 tertinggi pada usia 5-14 tahun, yaitu 466 kejadian (57,38%).

4. Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak di RSUD tahun

2013 tertinggi adalah jenis kelamin laki-laki 87(58%).

5. Gejala Klinis yang sering muncul pada pasien anak dengan demam

berdarah dengue di RSUD Sidoarjo tahun 2013 adalah demam 146

kejadian (97,33%).

6. Angka kejadian demam berdarah dengue pada anak di RSUD tahun

2013 tertinggi adalah demam berdarah grade I : 91 kejadian (60,67%).

38
39

7.2. Saran

1. Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti berharap

semoga penelitian yang telah dilakukan ini dapat memberikan masukkan

untuk pasien, rumah sakit, dan dapat dikembangkan lebih dalam oleh

peneliti lain.

2. Diharapkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat dalam melakukan

perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah terjadinya peningkatan

dan penyebaran kasus DBD serta peningkatan health promotion seperti

penyuluhan yang berkaitan dengan penyakit DBD kepada masyarakat

oleh instansi terkait.

3. Selain itu perlu juga untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam

pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD seperti melakukan

gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus

(menguras, menutup, dan mengubur) melalui kegiatan gotong royong

rutin, pengelolaan sampah yang baik, abatisasi, pemeliharaan ikan

pemakan jentik, dan penyemprotan.

4. Kemudian bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai profil demam berdarah dengue pada anak dengan

klasifikasi lebih spesifik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Appana R, Guat TL, See LLC. 2007. Cross-reactive T cell responses to the non-
structural regions of dengue viruses among dengue fever and dengue
haemorrhagic fever patients in Malysia. J Clin Vaccine Immunol.10:69-77.

CDC. 2005. Dengue and dengue haemorrhagic fever information for health care
practitioners.San Juan Puerto Rico.h.1-4.

Darlan Darwin. 2003. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada Anak.


Vol.4.no4. Sari Peditri. Jakarta.
EHP. Dengue Reborn Widespread Resurgence of A Resilient Vector.
Environmental Health Perspectives, 2008; 9:116.

Gama Azizah. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue
di desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Vol.5. Eksplanasi. Surakarta.

Glibber DJ. 1998. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Cirn Microbiol Rev.
11:1-14.

Gubler DJ. 1998. The global pandemic of dengue/dengue haemorrhagic fever


current status and prospects for the future. Technical monograph second
series.Singapore.

Halstead SB. 1980. Dengue haemorrhagic fever a public health problem and a
field for research. Bull WHO.vol 58: h 1-21.

Halstead SB. 1997. Epidemiology of dengue haemorrhagic fever. Dalam:Gubler


DJ, Kuno G, penyunting. Dengue and dengue haemorrhagic fever.England:
Walingford CAB International.h.23-4.

Halstead SB.1993. Pathophysiology and pathogenesis of dengue haemorrhagic


fever. Monograph on dengue/dengue haemorrhagic fever. New Delhi :
WHO Regional Publication SEARO.h.22.
Hanafiati Evisina.2010. Patogenesis Infeksi Virus Dengue. Vol 20 Edisi 20
Khusus : h.1-2.

Hartoyo Edi. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada Anak. Vol.10
: h. 2-4, Sari Pediatri.Banjarmasin.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Infeksi virus dengue. Dalam: Soedarmo SP, Garna
H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. 2008. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi kedua.Jakarta:Balai Penerbit IDAI.h.155-81.

40
41

Loho T. 1994. Peranan IgM antidengue dalam membentuk diagnosis infeksi


dengue. Dalam: Nelwan KHH,Sosorosumiharjo RF, penyunting. Naskah
lengkap update ilmu penyakit infeksi.Jakarta:FK UI.h.15-8.

Luplerddlop N, Misse D. 2008. Cellular response to dengue virus infection-


induced vascular leakage. Jpn J Inf Dis.61:298-301.
Mashoedi, Imam. 2007. Hubungan Antara Distribusi Serotipe Virus Dengue dari
Isolat Nyamuk Aedes Spesies dengan Tingkat Endemisitas Demam
Berdarah Dengue (DBD). Universitas Diponegoro: Semarang.
Masrizal. 2011. Analisis Epidemologi Penyakit Demam Berdarah Dengue melalui
Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya degan Faktor Iklim di
Kota Padang Tahun 2008-2010. Padang :Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Andalas.

Mayetti. 2010. Hubungan Gambaran Klinis dan Laboratorium sebagai Faktor


Risiko Syok pada Demam Berdarah Dengue. Vol 11. No 5. Sari Pediatri.
Padang.

Medin CL, Rothman AL. 2006. Celltype-specific mechanism of interleukin 8


induction by dengue virus and differential response to drug treatment.
JID.vol193:h107-77.

Nimmanitya S. 1996. Clinical management of dengue haemorrhagic fever/dengue


shock syndrome. WHO Dengue Bull. 20:13-9.

Nimmanitya S. 1975. Dengue haemorrhagic fever:problems and progress. Pediatr


Indones.15:93-104.

Prasetyowati H, Puji E. 2010. Serotipe Virus Dengue di Tiga Kabupaten/Kota


Dengan Tingkat Endemisitas DBD Berbeda di Propinsi Jawa Barat.
Aspirator Vol. 2 No. 2.

Raihan. 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue.
Sari Pediatri, Vol. 12, No. 1.

Rampengan TH. 2007. Demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.
Dalam: Rampengan TH,penyunting. Penyakit infeksi tropik pada anak.edisi
kedua. Jakarta: EGC.h.122-49.

Rampengan TH. 1986. Demam berdarah dengue pada anak di RSU Manado.
MKI.6:300-5.

Samsi TK, Susanto I, Wulur H, ruspandji T. 1992. Problematik diagnosis demam


berdarah dengue.CDK.81:44-9.
42

Samsi TK. 1999. Manifestasi klinis infeksi dengue klasik dan gambaran tidak
lazim. Dalam: Firmansyah A, Sastroasmoro S, Trihono, penyunting. Naskah
lengkap KONIKA XI. Jakarta.h.39-413.

Samsi TK. 1997. Pendekatan diagnosis demam berdarah dengue. Simposium


demam berdarah dengue. Medan.
Simmons Cameron. 2012. Dengue. The New England Journal of Medicine.
England.

Sintorini MM. Pengaruh iklim terhadap kasus demam berdarah dengue. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 2007; Vol. 2, No. 1, Agustus 2007.

Soedarmo SP. 2002. Infeksi virus dengue. Dalam: Soedarmo SP,Garna H,


Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Dedokteran Anak FK UI.
Jakarta:Balai Penerbit IDAI.h.177-208.

Soegijanto S, Sustini F. 2004. Epidemiologi demam berdarah dengue. Dalam:


Soegijanto S,penyunting. Demam berdarah dengue, tinjauan dan temuan
baru di era 2003. Surabaya:Airlangga University Press.h.1-9.

Soegijanto S. 2006. Aspek imunologi penyakit demam berdarah dengue. Dalam:


Soegijanto S, penyunting. Demam berdarah dengue.Jilid kedua.
Surabaya:Airlangga University Press.h.45-60.

Soegijanto S. 2006. Bahaya yang mengintai endemisitas DBD di Indonesia.


Dalam: Soegijanto S, penyunting. Demam berdarah dengue. Edisi kedua.
Surabaya: Airlangga University Press.h.41-4.

Soegijanto S. 2004. Demam berdarah dengue pada anak. Dalam: Soegijanto S,


penyunting. Kumpulan makalah penyakit tropis dan infeksi.Jilid pertama.
Surabaya:Airlangga University Press.h.23-44.

Srikiatkhacorn A, Ajariyakhajorn C, Endy TP. 2007. Virus-induced decline in


soluble vascular endothelial growth receptor 2 is associated with plasma
leakage in dengue haemorrhagic fever. J Virol.81:1592-600.

Sumarmo PS. 2004. Masalah demam berdarah dengue di Indonesia. Disampaikan


pada pelatihan demam berdarah dengue tingkat nasional; Jakarta. h.23-9.

Sumarmo PS. 1997. Demam berdarah di Indonesia dan dunia ,situasi sekarang
dan harapan di masa mendatang. Dalam: Samsi TK, Ruspandi T, Setiawan
J, penyunting. Naskah lengkap simposium tiga dekade demam berdarah
dengue di Indonesia.Jakarta: Biro Penerbit RSSW.h.1-13.
43

Suroso T. 1999. Epidemiologi demam berdarah dengue. Surabaya:Airlangga


University Press.h.12-20.

Suvatte V. 1987. Immunological aspects of dengue haemorrhagic fever studies in


Thailand. South East Asian J Trop Med Pub Health.18:312-5.

Syahrurahman A, Tallei T, Ernawati B, Subandrio A, Pratiwi S. 1995.


Penandaan virus dengue untuk dteksi IgM antidengue. J PAMKI.4:20-30.

Taib Bakhtiar. 2009. Penyakit Demam Berdarah Dengue pada Anak. Vol.1, No.1.
Majalah Ilmiah Unimus. Banda Aceh.

Wibowo Krisnanto. 2011. Pengaruh Transfusi Trombosit Terhadap Terjadinya


Perdarahan Masif pada Demam Berdarah Dengue. Vol.12,No.6. Sari
Pediatri. Yogyakarta.

World Health Organization. 2004. Pencegahan dan penanggulangan penyakit


demam dengue dan demam berdarah dengue.Jakarta:EGC.h.10-30.

World Health Organization. 1997. Dengue haemorrhagic fever:diagnosis,


treatment, prevention and control. Edisi kedua.Geneva:WHO.h.1-23.
WHO. Demam Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan
Pengendalian/ Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Alih bahasa: Monica
Ester; editor edisi bahasa Indonesia: Yasmin Asih, ed.2. Jakarta: EGC,
1999.

Wuryadi S. 1990. Isolasi virus dengue dari penderita demam berdarah dengue
pada waktu wabah di Jakarta tahun 1988. CDK.60:27-30.
Yanti S. Hubungan Faktor-Faktor Iklim dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2000-2004. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, 2004.

You might also like