You are on page 1of 4

Bagaimana Menjadi Agnostis?

Memikirkan sesuatu adalah membatasinya. Secara ilmiah


pun berpikir berati mendefinisikan sesuatu yang mana
pikiran fokus pada satu hal yang umum dan satu hal yang
khusus dari sesuatu yang menjadi objeknya. Atau bisa
pulanmeminjam istilah dari Descartes bahwa objek pikiran
diharuskan ‘Clear’ dan ‘distinct’, yang berarti satu konsep
harus jelas dan harus sangat partikular dari objek-objek
lainnya.

Tapi, apakah sesuatu yang dipikirkan, atau telah menjadi


sebuah konsep, itu sama dengan objek-objek eksternalnya?
Satu tradisi pemikiran mengatakan, ya pada satu aspek,
dan tidak pada aspek lainnya. Ya, dalam ‘bentuk-bentuk’
pengetahuan. Dan tidak dalam “realisasi keberadaan”.

Salah satu tokoh dari tradisi ini, yakni Sadra di dalam


majmu’ah rasa’il, menyatakan; “tidak mungkin
mempersepsi bentuk (eksternal) sesuatu kecuali dengan
“kehadiran bentuk lainnya” yang menyamainya secara
konseptual, namun berbeda tingkatan eksistensi.” Di sini
berarti terdapat perbedaan yang jelas, sebuah perbedaan
antara yang asasi dan yang tiruan.

Tradisi filsafat Islam dari Sadra hingga sekarang meyakini


bahwa realitas asasi yang sama dengan “stuktur dasar”
realitas tidak bisa menetap di mental/pikiran, sebab jika
demikian, apa-apa yang terwujud di mental akan memiliki
efek yang sama layaknya eksistensi eksternal, misalnya
seperti api dimana ia membakar dan melepuhkan ketika
mewujud di luar pikiran/eksternal, adapun ketika
terkonsepsikan tidak membakar dan melepuhkan. Kira-kira
seperti inilah gambaran perbedaan tajam antara yang asasi
dan yang tidak asasi.

Kendati terdapat perbedaan esensial, para pemikir dari


tradisi ini tidaklah menyerah untuk mencari relasi antara
pikiran dan realitas eksternal. Kerap kali terdapat
pernyataan yang berbunyi, inna al-mahiyyah washitah al-
dzihn wal kharij (esensi adalah perantara pikiran dan dunia
luar pikiran). Namun, mau bagaimana pun juga, esensi

1
(kuiditas) tetaplah bukan realitas yang asasi melainkan
implikasi-implikasi dari modus eksistensi yang, seperti
Sabzawari katakan, realitasnya merupakan misteri yang
terdalam (fi ghayatil khafa’).

Singkatnya, sesuatu yang terekam di pikiran ataupun


menjadi konsep-konsep telah terbatas. Apapun ia, pada
akhirnya kehilangan ‘efek’ eksternal. Satu hal yang didapat
oleh pikiran adalah esensi/kuiditas yang sama “dalam
bentuknya” dengan berbagai “bentuk” yang ada di
eksternal.

Jadi dari tesis-tesis mendasar tersebut, mengkonsepsi


sesuatu telah membatasinya atau bahkan secara alamiah
memang mengimplikasikan keterbatasan bahkan hanya
meniru saja. Bahkan, objek-objek yang terpikirkan memang
berbagai objek yang memiliki ciri perbedaan esensial yang
mana mereka berbeda satu sama lain.

Lalu bagaimana dengan sesuatu yang tak terbentuk, tapi ia


eksis atau diandaikan eksis? Seperti Tuhan yang tidak
memiliki esensi/kuiditas/bentuk/batasan. Sekarang mari
kita bicara tentang Tuhan (?)

Namun pertanyaannya adalah bagaimana pikiran kita


mengkonsepsi Tuhan ada atau eksis sebagaimana benda-
benda di sekitar kita atau—meminjam istilah filsuf-teologis
—sebab dari segala sesuatu? Seseorang juga bisa
membayangkan peristiwa ini dengan menganalogikannya
seorang perempuan yang bernama Lisa, dan Lisa adalah ibu
dari semua manusia. Mungkinkah?

Kita kembali ke tesis awal, konsep-konsep kita mengandung


esensi sesuatu yang sama dalam bentuk antara
pikiran/pemikiran dengan realitas eksternal. Lalu—sekali
lagi—bagaimana pengetahuan kita memiliki relasi dengan
yang tak berbentuk, Tuhan?

Jika konsep-konsep pikiran saya memiliki bentuk yang sama


dengan objek, maka saya memiliki jaminan ia benar-benar

2
eksis/ada, bahkan hal ini merupakan teori kebenaran
menurut metafisika tradisional.

Kita bisa berdiri dengan cara seperti ini; semenjak lahir,


apapun yang saya alami adalah benda-benda di sekitar
saya atau paling banter membaca berita atas temuan sains
di luar angkasa. Tapi memikirkan Tuhan, mengkonsepkan
Tuhan, atau apapun namanya, dari pengalaman yang
seperti apa?

Barangkali menyatakan Tuhan eksis dilakukan dengan cara


meminjam contoh-contoh ‘adanya’ benda-benda di sekitar
kita dengan tambahan ‘adanya Tuhan sangat tidak terbatas’
dan sebab itu pula ada tambahan “maha” ketika
menyematkan salah satu perbuatan Tuhan. Bahasa
kasarnya, kita menciptakan Tuhan atau mengada-
adakannya saja, meminjam sifat-sifat kemanusiaan kita
hanya untuk disematkan padanya, dan kemudian
ditambahkan hal-hal yang “lebih” padanya.

Pernyataan Tuhan tak terbatas pun bermasalah, terlebih


lagi pikiran seseorang selalu membatasi objek-objeknya,
maka dengan demikian tidak ada yang tahu Tuhan ada atau
tidak. Membatasi Tuhan menjadi bentuk-bentuk spesifik
juga tak kalah bermasalahnya, sebab sama saja Tuhan itu
disamakan seperti benda-benda yang ada di dunia, yakni
sesuatu yang dapat hancur, berubah, dan bisa ada atau
bisa tidak ada.

Berdasarkan tesis-tesis di atas, kita tidak tahu Tuhan ada


atau tidak, sebab tidak ada alat yang dapat mendeteksi
kalau ia ada. Sekalipun seseorang menemukannya, apa
jaminannya jika itu benar dan sejauh mana pembuktiannya
itu objektif?

Kembali ke Sadra; pengetahuan adalah kesamaan bentuk


secara konseptual.... Dan itu berarti menegaskan
pengetahuan seseorang adalah pengetahuan yang kerap
berkelindan dengan bentuk-bentuk. Mari andaikan Tuhan
merupakan realitas eksternal dan pengetahuan kita atau
eksistensi mental kita sama-sama sederajat dengan realitas
Tuhan, maka ada dua Tuhan, di pikiran dan di realitas.
Adapun jika diasumsikan tidak sederajat akan terjerumus

3
pula, dari mana dan dari segi apa seseorang dapat
mempersepsi Tuhan yang notabene realitas eksternal
tersebut?

Menurut salah satu tradisi, dikatakan pula, “tu’raf al-asyaa’


bi adhadiha” (berbagai sesuatu diketahui dengan
perbandingan-perbandingannya). Jika menggunakan
asumsi teis bahwasannya Tuhan tidak memiliki
perbandingan berarti Tuhan tidak diketahui.

Lagipula sejauh ini bahasa yang selama telah terpakai pun


selalu “mengacu” pada realitas-realitas yang ada, sebuah
realitas yang masing-masing memiliki bentuk dan telah
mengalamai proses agar nama-nama tersebut disepakati
bersama.

Mungkinkah benar pembalikan Feurbach atas hadits


“Tuhan menciptakan manusia dengan bentukNya” menjadi
“manusia menciptakan Tuhan dengan bentuknya” yang
mana arti bentuk yang kedua bisa berupa harapan-
harapannya, keinginan-keinginnya, atau kepentingan-
kepentingannya?

You might also like