You are on page 1of 21

Morgan bab 41

Anestesi pada Pasien Trauma


Konsep dasar
 Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary
survey, dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan
harus meliputi rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability
neurologis, dan eksposure (lingkungan). Penilaian dan resusitasi harus berjalan
bersamaan. Resusitasi pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu : kontrol pendarahan,
dan terapi definitive untuk traumanya. Setelah primary survey diikuti dengan
secondary dan tertiary survey.
 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher:
1 .nyeri leher
2. severe distracting pain/ nyeri yang sangat hebat
3. adanya defisit neurologis
4. intoksikasi
5. kehilangan kesadaran pada saat kejadian
fraktur cervical harus dicurigai bila ada tanda tersebut. Meskipun telah
menggunakan criteria ini, insidensi cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera
leher naik menjadi 10% dengan adanaya cedera kepala.
 Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan – belakang) harus di
hindari bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus
dilakukan pada saat pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau
MILS).
 Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi darah.
IV kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai bila
akses ke vena mudah.
 Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat
tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan akan
menjaga kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk ketidakseimbangan
asam basa , koagulopati, dan disfungsi miokard.
 Pasien shock hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan resusitasi
cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali bila
hipotensinya tidak berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin adanya
shock kardiogenik dan henti jantung.
 Zat penginduksi yang biasa digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan
etomidate. Meski setelah resusitasi cairan yang adekuat , dosis induksi propofol
yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada pasien dengan trauma mayor.
Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang normalnya menstimulasi
secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek depresi jantung
(cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat stimulasi simpatik
maksimal. Hipotensi bisa juga dialami setelah pemberian etomidate.
 Monitor invasive (pengukuran Tekanan darah arteri langsung, CVP, mpnitor
tekanan arteri pulmonal) bisa sangat membantu dalam patokan pemberian cairan,
tetapi monitoring invasive ini jangan sampai mengganggu proses resusitasi.
Pengukuran darah serial hematokrit ( hemoglobin) analisa gas darah, elektrolit
serum (K) sangat membantu dalam resusitasi.
 Setiap pasien trauma dengan perubahan mental harus dipikirkan adanya cedera
kepala. Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS.
Anestesi pada Pasien Trauma
Pendahuluan
Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia 1-35 tahun di USA. Hingga
1/3 kasus di seluruh rumah sakit di USA berkaitan langsung dengan trauma. 50 %
kasus trauma berakhir kematian segera, dan 30% lainnya terjdi beberapa jam setelah
kejadian (golden hour). Dikarenakan banyak korban trauma memerlukan operasi
secepatnya, ahli anestesi mempengaruhi tingkat keselamatan korban. Pada faktanya,
ahli anestesi yang memberikan resusitasi primer, dan memberikan tindakan anestesi
sebagai tindakan selanjutnya. Adalah penting bagi ahli anestesi untuk selalu waspada
terhadap pecandu obat, intoksikasi akut, hepatitis atau HIV. Bab ini menjelaskan
kerangka berpikir tentang penilaian awal pasien trauma dan tindakan anestesi dalam
terapi pasien cedera kepala leher, dada, perut, dan ekstemitas. Di akhir bab ada
diskusi kasus tentang luka bakar.
Penilaian awal/Initial assessment
Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary
survey, dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan
harus meliputi rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability
neurologis, dan eksposure (lingkungan). Apabila ABC terganggu resusitasi harus
segera di lakukan. Pada pasien kritis resusutasi dan penilaian awal dilakukan
bersamaan oleh team trauma. Monitoring dasar ECG, NIBP, Pulse oxymetry harus
segera dipasang sampai pasien mendapat terapi. Prinsip dari CPR dibahas pada bab
47. Resusitasi pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu : kontrol pendarahan, dan terapi
definitive untuk traumanya. Secondary survey dan tertiary survey dilakukan setelah
primary survey selesai.

Primary Survey
Airway
Membebaskan dan Menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas pertama. Bila
pasien dapat berbicara airway biasanya bagus (clear), namun bila pasien tidak sadar
biasanya membutuhkan bantuan airway dan ventilator. Tanda adanya obstruksi yaitu
Snoring (mengorok), gurgling, stridor, gerakan dada yang parodoksikal. Adanya
benda asing di jalan nafas harus selalu dipikirkan apabila menghadapi pasien tak
sadar. Manjemen airway lanjut (advance) (seperti ETT, krikotirotomi, trakeostomi)
diindikasikan bila terjadi apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma
maksilofacial, cedera leher dengan hematom, dan trauma dada berat.
Cedera leher sepertinya tidak pada orang sadar dengan tidak adanya gejala nyeri
leher dan nyeri tekan leher. 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher:
1 .nyeri leher
2. severe distracting pain/ nyeri yang sangat hebat
3. adanya defisit neurologis
4. intoksikasi
5. kehilangan kesadaran pada saat kejadian
fraktur cervical harus dicurigai bila ada minimal salah satu tanda tersebut, meski
tidak ditemukan jejas di atas klavukula. Meskipun telah menggunakan criteria ini,
insidensi cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi 10% dengan
adanaya cedera kepala. Untuk mencegah hiperekstensi leher, manuver jaw thrust terpilih
untuk membebaskan jalan nafas. Oropharing dan nasofaring tube bisa menjaga patensi
jalan nafas. Dalam Pasien tak sadar dengan trauma berat selalu dipikirkan adanya
aspirasi, jalan nafas harus segera dijaga menggunakan ETT atau dilakukan trakeostomi.
Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan – belakang) harus di hindari
bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus dilakukan pada
saat pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau MILS). Asisten diletakkan
di kedua sisi kepala pasien, memegang occiput dan menjaga jangan sampai kepala
bergerak/berotasi. Hasil Penelitian bahwa terjadi pergerakkan leher , terutama V. C1 dan
V.C2 pada saat pemasangan sungkup oksigen dan tindakan laringoskop meski telah
dilakukan stabilisasi leher (contoh : MILS, axial traction, kantung pasir, forehead tape,
soft collar, Philadelphia collar). Dari semua teknik yang dipakai MILS merupakan teknik
yang paling efektif, tetapi juga membuat tindakan laringoskop menjadi lebih sulit. Karena
hal itu ada sebagian ahli anestesi lebih memilih intubasi nasal (blind atau fiberoptik)
pada pasien dengan nafas spontan yang dicurigai cedera leher, dan teknik ini juga
meningkatkan resiko aspirasi. Dan penggunaan lainnya dari lightwand, bullard
laryngoskop, Wuscope atau intubating LMA. Keahlian dan pilihan teknik ahli anestesi
sangat menentukan dalam pemilihan teknik yang digunakan, sekaligus manfaat dan
resiko yang diterima pasien. Kebanyakan praktisi sangat akrab dengan intubasi oral, dan
teknik ini sebaiknya dipakai untuk pasien apne dan pasien yang membutuhkan intubasi
segera. Intubasi nasal sebaiknya dihindari unuk pasien dengan fraktur wajah atau basis
kranii. Bila esophageal obturator airway telah dipasang, maka alat ini tidak boleh di cabut
sampai trakea telah iintubasi, untk mencegah regurgitasi.
Adanya Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka bisa terlihat
pendarahan pembuluh darah besar leher, obstruksi hematom atau edeme, emfisema
subkutaneus, dan cedera leher. Trauma laring tertutup kurang terlihat jelas, gejelanya
yaitu krepitasi di leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau suara serak. Intubasi sadar
(awake intubation) dengan ETT kecil (6 in) dengan laringoskop atau bronkoskopi
fiberoptik dalam anestesi topikal bisa dilakukan bila laring bisa terlihat jelas. Bila trauma
wajah (facial) atau trauma leher menghalangi tindakan intubasi, maka tindakan
trakeostomi dalam anestesi local harus dipikirkan. Obstruksi akut akibat trauma saluran
nafas atas mugkin membutuhkan tindakan krikotirotomi, perkutaneus atau operasi
trakeostomi (lihat diskusi bab 5)
Breathing
Penilaian ventilasi nafas yang terbaik yaitu dengan cara look (dilihat), listen (didengar),
feel (dirasakan). Dilihat apakah ada cianosis, retraksi dinding dada, flail chest, trauma
tembus atau trauma tidak tembus (sucking) dada. Dengarkan apakah suara nafas ada atau
tidak, atau terdengar lemah. Rasakan apakah ada emfisema subkutan, pergeseran trakea,
dan iga yang patah. Klinisi harus selalu waspada akan tension pneumothorax dab
hematotorax, biasanya hal ini terjadi pada pasien dengan (gagal nafas) respiratory
distress. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum foto torax dilakukan.
Circulation
Adekuatnya atau tidaknya sirkulasi bisa dilihat dari frekuensi nadi, kuat atau tidaknya
nadi, tekanan darah dan perfusi perifer. Tanda tidak adekuatnya sirkulasi yaitu takikardi,
lemah atau tak terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas yang pucat, dingin dan
sianosis. Prioritas utama dalam menciptakan sirkulasi adekuat adalah menghentikan
perdarahan, prioritas selanjutnya yaitu mengganti cairan intravaskular. Henti jantung
pada saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit, karena trauma tembus dada,
segera memerlukan emergency room thoracotomy (ERT). Resusitasi torakotomi, segera
menghentikan perdarahan yang jelas terlihat, membuka pericardium, menjahit luka di
jantung, menutup (cross clamping) aorta diatas diafragma. Beberapa ahli bedah trauma
menggunakan ERT untuk kasus henti jantung karena trauma tumpul abdomen. Pasien
hamil aterm yang mengalami henti jantung atau shock hanya dapat diresusitasi setelah
bayinya dilahirkan.
Perdarahan (hemorrhage)
Asal perdarahan harus segera dicari dan dihentikan dengan cara balut tekan.
Perdarahan ekstremitas mudah dihentikan dengan cara balut tekan, torniket bisa
menyebabkan reperfusion injury (trauma reperfusi). Perdarahan trauma dada biasanya
berasal dari arteri intercostal dan biasanya berkurang atau berhenti setelah paru-paru
mengembang (setelah dipasang CTT). Perdarahan trauma abdomen, tergantung tingkat
keparahannya, bisa berhenti sendiri, bisa diberikan resusitasi cairan dan tranfusi darah,
bersamaan dengan tindakan operasi. Pakaian antishok pneumatic (pneumatic antishock
garment) bisa mengurangi perdarahan di perut dan ekstemitas bawah, meningkatkan
resistensi vascular, dan meningkatkan perfusi jantung dan otak. Perdarahan diatas
pakaian ini (dada dan kepala) dikontraindikasikan untuk menggunakan pakaian ini,
karena resiko bertambahnya perdarahan .
Shock merupakan kegagalan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya
perfusi organ dan pemenuhan oksigen jaringan (oksigen delivery). Ada berbagai macam
shock, dan pada pasien trauma biasanya merupakan shok hipovolemik. Respon fisiologis
perdarahan yaitu hipotensi, takikardi, capillary refill buruk, penurunan tekanan nadi,
takipnea, dan delirium (table 41-2). Hematokit serum dan kadar hemoglobin tidak akurat
dalam menentukan banyaknya perdarahan akut. Stimulasi somatic tepi somatik dan
kerusakan hebat jaringan mengurangi cardiac output dan isi sekuncup (stroke volume)
pada pasien dengan shok hipovolemik. Ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan
tekanan darah arterial invasif. Pada hipovolemik yang berat, nadi dapat menghilang pada
saat inspirasi. Tingkat hipotensi pada saat operasi berkaitan erat dengan tingkat
kematian.

Table 41–1. Classification of Shock by Mechanism and Common


Causes.1

Hypovolemic shock

Loss of blood (hemorrhagic shock)

External hemorrhage

Trauma

Gastrointestinal tract bleeding

Internal hemorrhage

Hematoma

Hemothorax or hemoperitoneum

Loss of plasma
Burns

Exfoliative dermatitis

Loss of fluid and electrolytes

External

Vomiting

Diarrhea

Excessive sweating

Hyperosmolar states (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)

Internal ("third-spacing")

Pancreatitis

Ascites

Bowel obstruction

Cardiogenic shock

Dysrhythmia

Tachyarrhythmia

Bradyarrhythmia

Pump failure (secondary to myocardial infarction or other cardiomyopathy)

Acute valvular dysfunction (especially regurgitant lesions)

Rupture of ventricular septum or free ventricular wall

Obstructive shock

Tension pneumothorax

Pericardial disease (tamponade, constriction)

Disease of pulmonary vasculature (massive pulmonary emboli, pulmonary


hypertension)

Cardiac tumor (atrial myxoma)


Left atrial mural thrombus

Obstructive valvular disease (aortic or mitral stenosis)

Distributive shock

Septic shock

Anaphylactic shock

Neurogenic shock

Vasodilator drugs

Acute adrenal insufficiency

1
Reproduced, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency
Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.

Table 41–2. Clinical Classification of Shock.1,2

Pathophysiology Clinical Manifestations


Mild (< 20% Decreased peripheral perfusion Patient complains of feeling cold.
of blood only of organs able to withstand Postural hypotension and
volume lost) prolonged ischemia (skin, fat, tachycardia. Cool pale moist skin;
muscle, and bone). Arterial pH collapsed neck veins;
Pathophysiology Clinical Manifestations
normal. concentrated urine.

Moderate Decreased central perfusion of Thirst. Supine hypotension and


(20–40% of organs able to tolerate only brief tachycar-dia (variable). Oliguria
blood ischemia (liver, gut, kidneys). and anuria.
volume lost) Metabolic acidosis present.

Severe (> Decreased perfusion of heart and Agitation, confusion, or


40% of blood brain. Severe metabolic acidosis. obtundation. Supine hypotension
volume lost) Respiratory acidosis possibly and tachycardia invariably
present. present. Rapid, deep respiration.

1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but
apply to other types of shock as well.

Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi darah.
IV kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai bila akses ke
vena mudah. Pasien dengan kemungkinan trauma vena cava atau hepar sebaiknya akses
cairan menggunakan ke dua sistem vena cava, apabila dibutuhkan penutupan (cross
clamping) pembuluh darah dalam tindakan operasi. Meski CVP bisa menentukan status
volume tubuh, tetapi tindakan ini menghabiskan banyak waktu dan kemungkinan
terjadinya komplikasi mengancam jiwa ( misal, pneumothorax). Akses intra vena perifer
biasanya cukup untuk resusitasi.
Perdarahan hebat mengurangi kompartemen intravaskular. Cairan akan berpindah
dari kompartemen interstitial ke kompartemen intravaskular untuk mempertahankan
hemodinamik tubuh, dan kompartemen interstitialpun akan bergerak memasuki sel.
Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan ATP, disfungsi Na-K-ATP
dependent, dan menyebabkan edema sel.
Terapi cairan
Pemilihan terapi cairan ditentukan pertama kali oleh ketersediaan cairan itu
sendiri. Meskipun cross-match tranfusi darah (whole blood) sangat ideal, tetapi waktu
untuk cross match sekitar 45-60 menit. Golongan darah spesifik bisa menyebabkan
reaksi antibodi, tetapi merupakan terapi yang baik, dan diberikan segera setelah tersedia
(5-10 menit). Tranfusi golongan darah O-negatif sebaiknya diberikan kepada pasien
perdarahan yang mengancam jiwa dan tidak tercukupi dengan resusitasi cairan (contoh,
exsanguination). Komplikasi dari trnfusi pada perdarahan hebat dibhas di bab 29.
Cairan kristaloid selalu tersedia dan harganya murah. Resusitasi cairan
membutuhkan jumlah cairan banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak bertahan lama di
kompartemen intravaskular. Injeksi ringer laktat lebih sedikit menyebabkan asidosis
hiperkloremik dari pada NaCl fisiologis, meski kalsium sedikit lebih cocok untuk tranfusi
darah. Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik dan sebaiknya
dihindari bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat pun sedikit hipotonik
dan apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat edema cerebral. Cairan
hipertonik seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk resusitasi cairan dan menyebabkan
edema cerebral lebih sedikit dari pada RL dan NaCl fisiologis pada kasus cedera otak.
Dan pemberian kecil cairan NaCl hipertonis, akan cepat meningkatkan volume plasma,
penggunaannya dibatasi jangan sampai terjadi hipernatremi. Vasodilatasi dan hipotensi
sementara sebaiknya di observasi.
Cairan koloid lebih mahal daripada cairan kristaloid, tetapi lebih efektif dalam
meningkatkan volume intravaskular. Kekurangan cairan interstitial karene shok
hipovolemik, lebih baik diterapi dengan cairan kristaloid, atau kombinasi cairan kolod
dan kristaloid. Albumin terpilih digunakan daripada dextran atau hetastarch, karena
dikhawatirkan terjadi induksi koagulopati.
Apapun cairan yang diberikan sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu sebelum
pemberian. Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat
tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan akan menjaga
kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk ketidakseimbangan asam basa ,
koagulopati, dan disfungsi miokard. Hal itu juga menggeser kurva oksigen hemoglobin
ke kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat, dan beberapa obat anestesi. jumlah
pemberian cairan tergantung pada klinis pasien, tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut
jantung (heart rate).
CVP dan output urin menunjukkan adekuatnya perfusi organ.
Tidak adekuatnya perfusi organ akan berpengaruh pada metablisme aerob,
meningkatnya asam laktat dan asidosis metabolik. Natrium bikarbonat akan berubah
menjadi ion bikarbonat dan CO2, untuk sementara waktu, dapat memperburuk asidosis
intrasel karena membran sel relatif tidak soluble untuk bikarbonat dibanding CO 2.
ketidakseimbangan asam basa akan teratasi dengan resusitasi cairan dan baiknya perfusi
organ. Laktat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat dan H+ diekskresikan oleh
ginjal.
Pasien shok hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan resusitasi
cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali bila hipotensinya tidak
berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin adanya shock kardiogenik dan henti
jantung.
Shok yang tidak berespon dengan resusitasi cairan, mungkin bisa disebabkan
perdarahan yang banyak yang melebihi jumlah cairan yang diberikan, atau adanya shok
kardiogenik ( missal, tamponade pericardial, kontusio miokard, miokard infark), shok
neurogenik ( kerusakan batang otak, spinal cord transection), shok septic (komplikasi
lambat), kerusakan paru (pneumothorax dan hematothorax) dan asidosis dan hipotermi
berat.
Disability
Evaluasi untuk mengetahui disabilitas neurology, dengan pemeriksaan cepat
neurologis. Dikarenakan untuk menilai GCS lama, maka digunakan system AVPU :
awake, verbal responsive, pain responsive, dan unresponsive.
Exposure
Pasien sebaiknya dibuka seluruh pakaiannya, untuk melihat apakah ada jejas. In-
line immobilization sebaiknya dipakai bila pasien dicurigai ada cedera tulang belakang.

Secondary survey
Secondary survey dimulai bila ABC sudah stabil. Di Secondary survey pasien di nilai dari
kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan tes lainnya ( foto Rontgen, tes laboratorium,
dan prosedur invasive dianostik) yang dibutuhkan. Pemeriksaan kepala mencari jejas di
scalp, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis mencakup GCS dan evaluasi system
motorik sensorik dan reflek. Pupil dilatasi (fixed dilated pupils)tidak selalu menunjukkan
kerusakan otak ireversibel. Dada di inspeksi dan di auskultasi lagi, untuk mencari apakah
ada fraktur dan integritas fungsional (flail chest). Suara nafas yang menurun
menunjukkan adanya pneumothorax yang membuthkan CTT. Suara jantung menghilang,
perbedaan tekanan sistolik dan diastolik yang dekat, teregangnya vena leher
kemungkinan adanya tamponade pericardial, dan harus dilakukan pericardiocentesis.
Meski pada pemeriksaan awal (primary survey) normal, tetap tidak menyingkirkan hal
ini. Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, auskultasi dan palpasi. Ekstremitas di
periksa, apakah ada fraktur, dislokasi dan terabanya nadi perifer. Kateter urin dan NGT
biasanya dipasang pada pasien trauma.
Pemeriksaan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin (hematokrit
atau hemoglobin), elektrolit, glukosa, ureum dan kreatinin. Analisa gas darah pun sangat
membantu. Foto torax sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan trauma berat.
Untuk menyingkirkan cedera leher, maka ketujuh vertebra di foto posisi lateral dan posisi
swimmer’s. foto cervical hanya mendeteksi 80-90% terjadinya faktur, dan dengan CT-
Scan alat yang reliable (dapat dipercaya) untuk menentukan ada atau tidaknya cedera
leher. Foto tambahan lainnya yaitu foto kepala, pelvis dan foto tulang panjang. A focused
assessment with sonogaraphy for trauma (FAST) scan adalah alat yang cepat, portable,
pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi perdarahan intraperitoneum atau
tamponade pericardial. FAST dipakai untuk memeriksa cairan di 4 daerah yaitu:
perihepatic, perisplenic, pelvis dan pericardium. Tergantung dari trauma dan kondisi
hemodinamik pasien, pemeriksaan lain (seperti, CT-scan dada atau angiografi) atau tes
diagnostik seperti diagnostic Lavage (DPL) bisa dilakukan.
Tertiary survey
Banyak pusat trauma memakai tertiary survey untuk menghindari cedera yang
terlewat. Antara 2-50% trauma bisa terlewat dengan primary dan secondary survey,
biasanya pada trauma tumpul multiple (seperti, kecelakaan mobil). Tertiary survey adalah
evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua cedera yang dialami pasien setelah indakan
resusitasi dan operasi. Dan biasanya dilakukan 24 jam setelah kejadian. Evaluasi ini pada
pasien lebih sadar, dan tentunya bisa lebih berkomunikasi, untuk mengetahui mekanisme
trauma lebih detail, dan rekam medik yang lebih detil untuk menentukan faktor
komorbidnya.
Tertiary survey berguna untuk menilai kembali trauma yang sudah diketahui atau
trauma yang terlewat pada primary dan secondary survey. Pemeriksaannya dengan
memeriksa kembali dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan mereview semua
hasil laboratorium dan semua hasil foto. Trauma yang terlewat biasanya fraktur pelvis,
trauma kepala,trauma tulang belakang, trauma abdomen dan kerusakan saraf perifer.

Pertimbangan ilmu Anestesi


Pertimbangan umum
Anestesi regional tidak praktis dan tidak pada tempatnya untuk pasien yang
hemodinamiknya tak stabil dengan trauma mengancam jiwa.
Bila pasien sampai ke kamar operasi telah diintubasi, maka posisi ETT harus
diperiksa kembali. Pasien dengan suspek cedera kepala diberikan hiperventilasi untuk
menurunkan tekanan intra kranial. Ventilasi mungkin berkurang karena adanya
pneumothorax, flail chest, sumbatan ETT, atau cedera paru-paru.
 Bila pasien tidak diintubasi maka prinsip manajemen airway seperti di atas
harus dilakukan di kamar operasi. Bila cukup waktu maka hipovolemia sebaiknya
telah dikoreksi meski sebagian ,sebelum dilakukan anestesi umum. Resusitasi
cairan dan tranfusi darah harus diteruskan selama induksi dan tindakan anestesi.
Zat penginduksi yang biasa digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan
etomidate. Meski setelah resusitasi cairan yang adekuat , dosis induksi propofol
yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada pasien dengan trauma mayor.
Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang normalnya menstimulasi
secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek depresi jantung
(cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat stimulasi simpatik
maksimal. Hipotensi bisa juga dialami setelah pemberian etomidate.
Tindakan anestesi pada pasien tak stabil yang utama menggunakan muscle relaxant
(neuromuscular blocking agent), dengan anestesi umum dipakai tergantung respon
pasien (MABP >50-0 mmHg) untuk menciptakan sekurang-kurangnya amnesia
pasien. Dosis kecil intermiten ketamin (25mg setiap 15 menit) biasanya di toleransi
dengan baik dan menurunkan insidence of recall, khususnya bila dipakai dengan zat
volatil konsentrasi rendah (< 0,5 minimum alveolar concentration). Obat lain yang
berguna untuk mencegah recall yaitu midazolam (img intermiten) dan scopolamine
(0,3mg). Banyak para klinisi tidak menggunakan nitrous oxide, karena ada
kemungkinan terjadinya pneumothorax dan juga membatasi konsentrasi oksigen
inspirasi. Obat yang cenderung untuk menurunkan tekanan darah (contoh, pelepasan
histamin pada pemberian atracurarium dan mivacurarium) sebaiknya dihindari pada
pasien dengan shok hipovolemik. Tingkat konsentrasi alveolar zat anestesi inhalasi
meningkat pada kondisi shok disebabkan kardiak outputnya yang rendah dan
meningkatnya ventilasi. Semakin tinggi tekanan parsial anestesi alveolar (alveolar
anesthetic partial pressure) semakin tunggi pula tekanan parsial arteri (arterial partial
pressures) dan semakin tinggi pula beban miokard. Efek dari obat anestesi akan
meningkat sebab di masukkan ke dalam cairan intravaskular yang lebih kecil dari
normal. Kunci untuk manajemen anestesi yang aman dari pasien shok adalah untuk
memberikan dosis lebih kecil, apapun obatnya.
Monitor invasive (pengukuran Tekanan darah arteri langsung, CVP, mpnitor
tekanan arteri pulmonal) bisa sangat membantu dalam patokan pemberian cairan,
tetapi monitoring invasive ini jangan sampai mengganggu proses resusitasi.
Pengukuran darah serial hematokrit ( hemoglobin) analisa gas darah, elektrolit serum
(K) sangat membantu dalam resusitasi.
Trauma kepala dan tulang belakang
Semua pasien trauma dengan penurunan kesadaran harus selalu diduga adanya trauma
otak. Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS.
Cedera yang membutuhkan tindakan bedah segera yaitu epidural hematoma, acute
subdural hematome, trauma tembus otak, fraktur depressed tengkorak kepala. Trauma
lainnya yaitu fraktur basis kranii dan perdarahan intraserebral. Fraktur basis kranii
tandanya yaitu raccoon eye, battle sign, dan cairan cerebrospinal yang keluar melalui
telinga dan hidung. Tanda lain kerusakan otak yaitu gelisah, kejang, disfungsi nervus
kranialis (seperti, pupil nonreaktif). Trias cushing ( hipertensi, bradikardi, dan gangguan
nafas) merupakan tanda yang tak bisa dipercaya untuk mengetahui adanya herniasi otak.
Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh trauma kepala. Pasien yang dicurigai trauma
kepala, tidak diperbolehkan untuk mendapatkan premedikasi obat yang dapat
mempengaruhi status mental pasien (seperti, sedatif, analgesik) atau pemeriksaan
neurologis (misal, dilatasi pupil yang diinduksi obat antokolinergik).
Trauma otak biasanya diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial karena
adanya hematom atau edema. Tekanan tinggi intrakranial dikontrol dengan restriksi
cairan (kecuali bila ada tanda shok hipovolemik), diuretic (misal, dengan manitol
0,5g/kg),barbiturat dan kondisi hipokapnia (PaCO2 28-32 mmHg). Intubasi Endotrakeal
sangat dibutuhkan , dan juga menjaga dari resiko aspirasi akibat reflek muntah.
Hipertensi atau takikardi pada saat intubasi dapat dikurangi dengan pemberian slidokain
atau fentanyl intravena. Intubasi sadar (Awake intubation) bisa meningkatkan tekanan
intrakranial. Pemasangan endotrakeal tube atau nasogastrik tube pada pasien fraktur basis
kranii bisa menyebabkan perforasi cribriformis plate dan infeksi LCS. Sedikit peninggian
kepala akan memningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial.
Pengaruh kortikosteroid pada pasien cedera kepala masih menjadi kontroversi,
kebanyakan studi tidak menunjukkan efek samping maupun manfaat kortikosteroid. Obat
anestesi yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial sebaiknya tidak dipergunakan
(contohnya, ketamin). Hiperglikemia sebaiknya dihindari dan diobati dengan insulin bila
terjadi. Hipotermi ringan memberikan manfaat untuk mencegah iskemia-induced injury
pada pasien cedera kepala.
Autoregulasi aliran darah cerebral biasanya terganggu pada daerah yang cedera,
hipertensi arteri bisa memperburuk edema cerebral dan menyebabkan tekanan tinggi
intrakranial. Dan hipotensi arteri akan menyebabkan iskemik serebral regional.
Umumnya tekanan perfusi cerebral/cerebral perfusion pressure (selisih MABP di otak
dengan CVP atau tekanan intrakranial) harus dijaga > 60 mmHg.
Pasien dengan cedera kepala berat lebih rentan terjadinya hipoksemia arteri dari
sirkulasi pintas paru (pulmonary shunting) dan Ventilasi/perfusi mismatch. Perubahan ini
bisa disebabkan aspirasi, atelectasis, perubahan langsung saraf dan pembuluh darah paru-
paru. Tekanan tinggi intrakranial menjadi faktor predisposisi edema paru karena
meningkatnya system saraf simpatis.
Tingkat kerusakan fisiologis pasien dengan trauma tulang belakang, sesuai dngan
tinggi lesinya di medulla spinalis. Penanganan khususu harus dilakukan untuk mencegah
trauma lebih lanjut pada saat transportasi dan intubasi. Lesi di leher bisa mengenai nervus
phrenicus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Rusaknya fungsi interkosta, membatasi
cadangan udara paru (pulmonary reserve), dan kemampuan untuk batuk. Trauma tinggi
dada akan mengganggu persarafan simpatis jantung (T1-T4), menyebabkan bradikardi.
Trauma tinggi medulla spinalis akut bisa menyebabkan spinal shock, suatu kondisi
ditandai hilangnya fungsi simpatis, baik kapasitas maupun resistensi pembuluh darah
yang berada di bawah lesi, menyebabkan hipotensi, bradikardi, areflexia, atoni
gastrointestinal. Distensi vena di kedua kaki adalah tanda trauma medulla spinalis.
Hipotensi pada pasien ini membutuhkan terapi cairan yang agresif- waspada akan
kemungkinan edema paru setelah keadaan akut telah teratasi. Suksinilkolin aman pada
saat 48 jam setelah trauma, tetapi setelahnya bisa menyebabkan hiperkalemia yang
mengancam jiwa. Dosis tinggi dan pemberian cepat kortikosteroid dengan
metilprednisolon (30mg/kg diteruskan 5,4mg/kg/jam untuk 23 jam) meningkatkan
kesembuhan neurologis (neurological outcome) pasien dengan trauma medulla spinalis.
Hiperreflexia otonom terjadi bila lesi di atas V. T5 tetapi bukan menjadi masalah pada
menajemen akut.
Trauma Dada
Trauma dada bisa sangat menggangu fungsi jantung dan paru, menyebabkan shok
kardiogenik atau hipoxia. Pneumothorak sederhana (Simple Pneumothorak) adalah
terkumpulnya udara diantara pleura parietal dan visceral. Kolapnya paru-paru yang
terkena menyebabkan abnormalitas ventilasi/perfusi berat dan hipoxia. Pada pemeriksaan
dinding dada yang sakit ditemukan pada perkusi hiperresonan, suara nafas menurun atau
hilang, dan pada foto torax terlihat paru-paru kolap. Nitrous oxide akan memperluas
pneumotorax dan dikontraindikasikan pada kondisi tersebut. Penanganannya dengan
pemasangan CTT di ICS 4-5, di depan midaxilary line. Kebocoran udara persisten setelah
pemasangan CTT menunjukkan adanya trauma bronkus mayor.
Pada tension pneumothorak, udara dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak
dapat keluar (one-way valve), dan udara berkumpul di paru-paru atau dinding dada.
Udara memasuki rongga dada pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar pada saat
ekspirasi. Akibatnya, paru-paru sisi sakit akan kolap, mediastinum dan trakea akan
terdorong ke sisi yang sehat. Simple pneumotorax bisa berubah menjadi tension
pneumothorax bila terjadinya ventilasi tekanan positif di paru-paru (Positive pressure
ventilation). Venous return dan ekspansi paru sisi sehat akan terganggu. Tanda klinis yaitu
pada sisi sakit suara nafas akan hilang dan hiperresonan pada perkusi, trakea akan
terdorong ke sisi sehat, dan vena leher akan teregang. Masukkan IV kateter no 14 ke ICS
2 pada midclavicula line akan merubah tension menjadi simple pneumotorax. Terapi
definitive yaitu pemasangan CTT.
Fraktur kosta multiple menurunkan fungsi integritas dinding dada , menghasilkan
keadaan yang disebut flail chest. Hipoksia sering diperburuk dengan adanya penyakit
paru dan hemothorax. Kontusio paru disebabkan gagal nafas yang lama. Hemotorax
dibedakan dengan pneumotorax yaitu pada perkusi paru akan didapatkan perkusi dull.
Hemomediastinum, seperti halnya hematothorax, bisa disebabkan oleh shok hemoragik.
Hemoptisis massif mungkin membutuhkan isolasi paru sakit dengan Double lumen tube
(DLT) untuk mencegah darah masuk ke paru yang sehat. Penggunaan ETT lumen tunggal
dengan bronchial blocker lebih aman bila sulit dalam penggunaan laringoskop atau
penggunaan DLT tidak berhasil. Trauma bronkus besar juga membutuhkan pemisahan
paru sakit dan paru sehat, ventilasi hanya menggunakan paru sehat. High frequency jet
ventilation bisa menjadi alternatif untuk bantuan ventilasi tekanan jalan nafas rendah
(lower airway pressure) dan meminimalisasi kebocoran udara bronkus bila terdapat
kebocoran bronkus bilateral atau pemisahan paru tidak bisa dilakukan. Kebocoran udara
bronkus yang terkena trauma bisa masuk ke vena pulmonary yang rusak menyebabkan
emboli paru dan sistemik. Sumber kebocoran harus segera dicari dan diperbaiki.
Kebanyakan ruptur bronkus bejarak 2,5 cm dari carina.
Tamponade jantung merupakan trauma dada mengnancam jiwa dan harus dikenali
secara dini. Bila tidak tersedia FAST atau Echocardiografi, trias Beck’s (distensi vena
leher, hipotensi, muffled heart tones), pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10
mmHg pada saat inspirasi), dan kecurigaan pada penyakit tersebut akan membantu
menegakkan diagnosis. Pericardiocentsis merupakan terapi sementara. Dengan cara
menusukkan kateter no 16 (panjangnya sekitar 15cm) dari Xipohocondral junction ke
ujung kiri scapula dengan sudut 45o, dibantu transthoracic echocardiografi atau EKG.
Perubahan gambaran EKG menunjukkan kateter mengenai miokardium. Terapi definitive
pericardial tamponade dengan torakotomi. Menajemen anestesi untuk keadaan ini harus
memaksimalkan inotropik, kronotropik dan preload jantung. Oleh karenanya, ketamin
merupakan obat terpilih. Trauma tembus jantung atau pembuluh darah besar
membutuhkan tindakan operasi segera. Tindakan pada jantung berulang, menyebabkan
episode bradikardi intermiten dan hipotensi berat.
Kontusio miokard biasanya didiagnosa dengan perubahan konsisten EKG, yang
menunjukkan iskemik (ST-segmen elevation), peningkatan enzim jantung( CK-MB atau
kadar troponin) atau perubahan EKG. Pergerakan abnormal dinding jantung bisa terlihat
dengan transthoracic echocardiography. Pasien cenderung lebih mudah terserang
disritmia, seperti heart block dan fibrilasi ventrikel. Operasi elektif harus ditunda, sampai
semua tanda trauma jantung teratasi.
Trauma lainnya pada dada yaitu transeksi atau diseksi aorta, avulsi (terobeknya)
arteri subclavia kiri, rusaknya katup mitral atau aorta, herniasi diafragmatika traumatika,
ruptur esophagus. Transeksi aorta biasanya terjadi di distal arteri subklavia kiri, karena
trauma deselerasi berat, secara klasik terlihat pada foto radiografi mediastinmnya lebar
dan biasanya diiringi dengan fraktur iga pertama.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) komplikasi trauma paru lambat dan
biasanya disebabkan : sepsis, trauma langsung dada, aspirasi, cedera kepala, emboli paru,
transfusi berlebihan, dan keracunan oksigen. Pasien trauma sering terkena resiko seperti
siatas. Meski dengan teknologi modern, tingkat kematian ARDS sekitar 50%. Dalam
beberapa kasus ARDS terjadi cepat, pada saat di kamar operasi. Pneumonia aspirasi,
terjadinya sebelum pasien diintubasi, biasanya terjadi di kamar operasi dan bisa tertukar
dengan ARDS. Ventilator mekanik pada mesin anestesi, tidak bisa mancukupi kebutuhan
oksigen pasien dengan komplian paru yang buruk. Penggunaan ventilator ICU yang
memberikan tekanan udara tinggi mungkin diperlukan.
Trauma Abdomen
Pasien dengan rauma multiple harus selalu dicurigai trauma abdomen, sampai
terbukti tidak. Sampai 20% pasien dengan trauma abdomen tidak mengeluh sakit atau
menunjukkan tanda rangsang peritoneum (defans muscular, nyeri tekan, tanda ileus) pada
pemeriksaan pertama. Jumlah darah banyak (akut hemoperitoneum) mungkin terjadi pada
trauma abdomen (contoh, trauma hepar atau trauma limpa) dengan tanda minimal.
Trauma abdomen terbagi manjadi trauma tembus (luka tembak, luka tusuk) dan trauma
tidak tembus (deselerasi, tabrakan, trauma kompresi).
Trauma tembus abdomen biasanya terlihat jelas di perut atau di bagian bawah
dada. Organ yang paling sering terkena yaitu hati. Pasien terbagi menjadi : 1. tak ada
denyut nadi 2. hemodinamik tak stabil 3. stabil. Pasien tak ada denyut nadi dan pasien
dengan hemodinamik tak stabil (dengan pemberian resusitasi cairan sebanyak 1-2 l, tetap
tak bisa menaikkan tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg) harus segera dilakukan
laparotomi. Biasanya akibat sobek pembuluh darah besar atau cedera organ solid. Pasien
stabil dengan tanda peritonitis atau evicerasi sebaiknya harus segera dilakukan
laparotomi. Dan pasien dengan hemodinamik stabil dengan trauma tembus abdomen dan
tidak menunjukkan tanda peritonitis, harus dievaluasi secara cermat, untuk menghindari
laparotomi yang tak perlu. Tanda penting adanya trauma abdomen yaitu udara bebas di
bawah diafragma pada foto torax, darah dari NGT, hematuria, dan darah dari rectum.
Evaluasi lebih lanjut untuk pasien dengan hemodinamik stabil yaitu pemeriksaan fisik
serial, eksplorasi luka, diagnostik peritoneal lavage (DPL), FAST, CT abdomen, atau
laparoskopi diagnostik. Dengan penggunaan FAST dan CT Scan, tindakan DPL dapat
dikurangi.
Trauma tumpul abdomen penyebab tertinggi kematian dan kesakitan karena
trauma dan merupakan kasus trauma intraabdominal paling banyak. tersobek atau ruptur
lien adalah kejadian yang paling sering. Pada trauma tumpul abdomen, Hasil FAST
positive dan hemodinamik buruk, memerlukan tindakan operasi segera. Bila FAST
negatif atau equivocal pada pasien hemodinamik tak stabil, khususnya tanpa tanda
rangsang peritoneum, maka harus dicari sumber perdarahan atau sebab lain yang
menyebabkan shok nonhemoragik. Pada pasien trauma tumpul abdomen hemodinamik
stabil berdasar hasil FAST. Bila FAST positif, keputusan untuk melakukan laparoskopi
atau laparotomi berdasar hasil CT abdomen. Bila hasil FAST negatif, pasien diobservasi
dengan pemeriksaan serial dan pemeriksaan FAST.
Hipotensi berat biasanya terjadi setelah pembukaan dinding perut, karena
hilangnya efek tampon terhadap extravasasi darah di perut. Bila cukup waktu, pesiapan
resusitasi cairan dan tranfusi darah dengan alat infus (rapid infusion device) harus
dilakukan sebelum laparotomi. Nitrous oxide tidak dipakai untuk mencegah semakin
teregangnya usus. Pemasangan NGT dapat mengurangi regangan usus, tetapi harus
dipasang melalui mulut bila pasien tersangka fraktur cribriformis plate. Tranfusi darah
banyak, harus dipersiapkan bila trauma abdomen dengan trauma vascular, hepatic, lien,
trauma ginjal, fraktur pelvis, atau pedarahan retroperitoneal. Hiperkalemia yang diinduksi
tranfusi darah (tranfusion-induced hyperkalemia), sama berbahayanya dengan
exsangunasi dan harus cepat diterapi.
Perdarahan perut masif mungkin membutuhkan penyekatan daeran perdarahan
dan/atau peng-kleman (clamping) aorta abdominal, sampai sumber perdarahan dapat
ditemukan, dan resusitasi sudah bisa mencukupi kehilangan darah. Peng-kleman
(clamping) arteri yang lama bisa menyebabkan trauma iskemik pada liver, ginjal, usus,
sindroma kompartemen pada ekremitas bawah, dan lebih lanjut bisa menyebabkan gagal
ginjal akut dan rhabdomiolisis. Penggunaan manitol dan diuretik (sebelum clamping
aorta) bersamaan dengan terapi cairan bisa mencegah terjadinya gagal ginjal, tapi hal ini
masih kontroversi. Cepatnya terapi cairan dan tranfusi darah , cepatnya mengontrol
perdarahan, waktu clamping arteri yang pendek ,dapat mengurangi insidensi komplikasi.
Edema usus berkelanjutan (progressive) oleh trauma dan resusitasi cairan bisa
menghalangi penutupan pada saat akhir operasi. Penutupan perut terlalu ketat, bisa
meningkatkan tekanan intraabdomen, menyebabkan kompartemen sindrom di abdomen
akibatnya terjadi iskemik ginjal dan iskemik lien. Meski dengan penggunaan muscle
relaxant yang banyak, seringkali oksigenasi dan ventilasi sangat buruk. Oliguri dan
kerusakan ginjal (renal shutdown) terjadi setelahnya. Pada kasus ini, maka perut tetap
dibiarkan terbuka (menggunakan penutup steril- dengan plastik cairan intravena) 48-72
jam, sampai edema berkurang dan penutupan bisa dilakukan.

Trauma Ekstremitas
Trauma ekstremitas bisa mengancam jiwa, karena rusaknya pembuluh darah dan
karena infeksi sekunder. Trauma vascular bisa menyebabkan perdarahan massif dan
membahayakan viabiitas dari ekstremitas. Contohnya, Fraktur femur kehilangan darah 2-
3 labu, dan fraktur pelvis tertutup bisa menyebabkan kehilangan darah lebih banyak lagi
dan menyebabkan shok hipovolemik. Penanganan yang terlambat atau salah
memposisikan pasien bisa memperparah dislokasi dan kerusakan saraf lebih lanjut.
Emboli lemak karena fraktur pelvis dan tulang panjang bisa menyebabkan insufficiency
paru, disritmia, peteki kulit, perubahan kesadaran 1-3 hari setelah kejadian. Diagnosis
laboratorium emboli paru berdasar pada kenaikan serum lipase, adanya lemak di urin dan
trombositopenia.
Sindroma kompartemen bisa terjadi pada hematom intramuskular luas, luka
remuk (crush injury), fraktur dan luka amputasi. Peniningkatan tekanan fascia interna dan
penurunan tekanan arteri menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan, dan pembengkakan
yang progresif. Seperti yang telah didiskusikan, rhabdomiolisis dan gagal ginjal bisa
terjadi. Trauma karena reperfusi darah bisa memperparah edema dan trauma. Lengan atas
dan tungkai bawah yang paling beresiko untuk terkena. Diagnosis ditegakkan secara
klinik berdasar pengukuran langsung tekanan kompartemen : diatas 45 mmHg atau 10-30
mmHg dari tekanan darah diastolik. Fasiotomi segera diperlukan, untuk menyelamatkan
ekstremitas.
Dengan teknik operasi modern sudah bisa memperbaiki (reimplanation)
ekstremitas dan jari yang terkena trauma. Bagian tubuh yang telah diamputasi, dan telah
didinginkan, masih bisa disambung kembali (reimplanasi) bahkan sampai 20 jam setelah
amputasi, sedangkan yang tidak didinginkan hanya sampai 6 jam. Bila trauma terisolasi,
teknik anestesi regional (blok plexus brachialis atau interscalene) direkomendasikan
untuk meningkatkan laju darah perifer (periferal blood flow) dengan cara menghambat
persarafan simpatis. Pada saat tindakan anestesi umum, pasien harus selalu hangat, dan
keadaan menggigil harus dicegah untuk memaksimalkan perfusi darah.

You might also like