Professional Documents
Culture Documents
Primary Survey
Airway
Membebaskan dan Menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas pertama. Bila
pasien dapat berbicara airway biasanya bagus (clear), namun bila pasien tidak sadar
biasanya membutuhkan bantuan airway dan ventilator. Tanda adanya obstruksi yaitu
Snoring (mengorok), gurgling, stridor, gerakan dada yang parodoksikal. Adanya
benda asing di jalan nafas harus selalu dipikirkan apabila menghadapi pasien tak
sadar. Manjemen airway lanjut (advance) (seperti ETT, krikotirotomi, trakeostomi)
diindikasikan bila terjadi apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma
maksilofacial, cedera leher dengan hematom, dan trauma dada berat.
Cedera leher sepertinya tidak pada orang sadar dengan tidak adanya gejala nyeri
leher dan nyeri tekan leher. 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher:
1 .nyeri leher
2. severe distracting pain/ nyeri yang sangat hebat
3. adanya defisit neurologis
4. intoksikasi
5. kehilangan kesadaran pada saat kejadian
fraktur cervical harus dicurigai bila ada minimal salah satu tanda tersebut, meski
tidak ditemukan jejas di atas klavukula. Meskipun telah menggunakan criteria ini,
insidensi cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi 10% dengan
adanaya cedera kepala. Untuk mencegah hiperekstensi leher, manuver jaw thrust terpilih
untuk membebaskan jalan nafas. Oropharing dan nasofaring tube bisa menjaga patensi
jalan nafas. Dalam Pasien tak sadar dengan trauma berat selalu dipikirkan adanya
aspirasi, jalan nafas harus segera dijaga menggunakan ETT atau dilakukan trakeostomi.
Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan – belakang) harus di hindari
bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus dilakukan pada
saat pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau MILS). Asisten diletakkan
di kedua sisi kepala pasien, memegang occiput dan menjaga jangan sampai kepala
bergerak/berotasi. Hasil Penelitian bahwa terjadi pergerakkan leher , terutama V. C1 dan
V.C2 pada saat pemasangan sungkup oksigen dan tindakan laringoskop meski telah
dilakukan stabilisasi leher (contoh : MILS, axial traction, kantung pasir, forehead tape,
soft collar, Philadelphia collar). Dari semua teknik yang dipakai MILS merupakan teknik
yang paling efektif, tetapi juga membuat tindakan laringoskop menjadi lebih sulit. Karena
hal itu ada sebagian ahli anestesi lebih memilih intubasi nasal (blind atau fiberoptik)
pada pasien dengan nafas spontan yang dicurigai cedera leher, dan teknik ini juga
meningkatkan resiko aspirasi. Dan penggunaan lainnya dari lightwand, bullard
laryngoskop, Wuscope atau intubating LMA. Keahlian dan pilihan teknik ahli anestesi
sangat menentukan dalam pemilihan teknik yang digunakan, sekaligus manfaat dan
resiko yang diterima pasien. Kebanyakan praktisi sangat akrab dengan intubasi oral, dan
teknik ini sebaiknya dipakai untuk pasien apne dan pasien yang membutuhkan intubasi
segera. Intubasi nasal sebaiknya dihindari unuk pasien dengan fraktur wajah atau basis
kranii. Bila esophageal obturator airway telah dipasang, maka alat ini tidak boleh di cabut
sampai trakea telah iintubasi, untk mencegah regurgitasi.
Adanya Trauma laring membuat situasi lebih buruk. Luka terbuka bisa terlihat
pendarahan pembuluh darah besar leher, obstruksi hematom atau edeme, emfisema
subkutaneus, dan cedera leher. Trauma laring tertutup kurang terlihat jelas, gejelanya
yaitu krepitasi di leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau suara serak. Intubasi sadar
(awake intubation) dengan ETT kecil (6 in) dengan laringoskop atau bronkoskopi
fiberoptik dalam anestesi topikal bisa dilakukan bila laring bisa terlihat jelas. Bila trauma
wajah (facial) atau trauma leher menghalangi tindakan intubasi, maka tindakan
trakeostomi dalam anestesi local harus dipikirkan. Obstruksi akut akibat trauma saluran
nafas atas mugkin membutuhkan tindakan krikotirotomi, perkutaneus atau operasi
trakeostomi (lihat diskusi bab 5)
Breathing
Penilaian ventilasi nafas yang terbaik yaitu dengan cara look (dilihat), listen (didengar),
feel (dirasakan). Dilihat apakah ada cianosis, retraksi dinding dada, flail chest, trauma
tembus atau trauma tidak tembus (sucking) dada. Dengarkan apakah suara nafas ada atau
tidak, atau terdengar lemah. Rasakan apakah ada emfisema subkutan, pergeseran trakea,
dan iga yang patah. Klinisi harus selalu waspada akan tension pneumothorax dab
hematotorax, biasanya hal ini terjadi pada pasien dengan (gagal nafas) respiratory
distress. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum foto torax dilakukan.
Circulation
Adekuatnya atau tidaknya sirkulasi bisa dilihat dari frekuensi nadi, kuat atau tidaknya
nadi, tekanan darah dan perfusi perifer. Tanda tidak adekuatnya sirkulasi yaitu takikardi,
lemah atau tak terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas yang pucat, dingin dan
sianosis. Prioritas utama dalam menciptakan sirkulasi adekuat adalah menghentikan
perdarahan, prioritas selanjutnya yaitu mengganti cairan intravaskular. Henti jantung
pada saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit, karena trauma tembus dada,
segera memerlukan emergency room thoracotomy (ERT). Resusitasi torakotomi, segera
menghentikan perdarahan yang jelas terlihat, membuka pericardium, menjahit luka di
jantung, menutup (cross clamping) aorta diatas diafragma. Beberapa ahli bedah trauma
menggunakan ERT untuk kasus henti jantung karena trauma tumpul abdomen. Pasien
hamil aterm yang mengalami henti jantung atau shock hanya dapat diresusitasi setelah
bayinya dilahirkan.
Perdarahan (hemorrhage)
Asal perdarahan harus segera dicari dan dihentikan dengan cara balut tekan.
Perdarahan ekstremitas mudah dihentikan dengan cara balut tekan, torniket bisa
menyebabkan reperfusion injury (trauma reperfusi). Perdarahan trauma dada biasanya
berasal dari arteri intercostal dan biasanya berkurang atau berhenti setelah paru-paru
mengembang (setelah dipasang CTT). Perdarahan trauma abdomen, tergantung tingkat
keparahannya, bisa berhenti sendiri, bisa diberikan resusitasi cairan dan tranfusi darah,
bersamaan dengan tindakan operasi. Pakaian antishok pneumatic (pneumatic antishock
garment) bisa mengurangi perdarahan di perut dan ekstemitas bawah, meningkatkan
resistensi vascular, dan meningkatkan perfusi jantung dan otak. Perdarahan diatas
pakaian ini (dada dan kepala) dikontraindikasikan untuk menggunakan pakaian ini,
karena resiko bertambahnya perdarahan .
Shock merupakan kegagalan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya
perfusi organ dan pemenuhan oksigen jaringan (oksigen delivery). Ada berbagai macam
shock, dan pada pasien trauma biasanya merupakan shok hipovolemik. Respon fisiologis
perdarahan yaitu hipotensi, takikardi, capillary refill buruk, penurunan tekanan nadi,
takipnea, dan delirium (table 41-2). Hematokit serum dan kadar hemoglobin tidak akurat
dalam menentukan banyaknya perdarahan akut. Stimulasi somatic tepi somatik dan
kerusakan hebat jaringan mengurangi cardiac output dan isi sekuncup (stroke volume)
pada pasien dengan shok hipovolemik. Ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan
tekanan darah arterial invasif. Pada hipovolemik yang berat, nadi dapat menghilang pada
saat inspirasi. Tingkat hipotensi pada saat operasi berkaitan erat dengan tingkat
kematian.
Hypovolemic shock
External hemorrhage
Trauma
Internal hemorrhage
Hematoma
Hemothorax or hemoperitoneum
Loss of plasma
Burns
Exfoliative dermatitis
External
Vomiting
Diarrhea
Excessive sweating
Internal ("third-spacing")
Pancreatitis
Ascites
Bowel obstruction
Cardiogenic shock
Dysrhythmia
Tachyarrhythmia
Bradyarrhythmia
Obstructive shock
Tension pneumothorax
Distributive shock
Septic shock
Anaphylactic shock
Neurogenic shock
Vasodilator drugs
1
Reproduced, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current Emergency
Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock but
apply to other types of shock as well.
Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi darah.
IV kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai bila akses ke
vena mudah. Pasien dengan kemungkinan trauma vena cava atau hepar sebaiknya akses
cairan menggunakan ke dua sistem vena cava, apabila dibutuhkan penutupan (cross
clamping) pembuluh darah dalam tindakan operasi. Meski CVP bisa menentukan status
volume tubuh, tetapi tindakan ini menghabiskan banyak waktu dan kemungkinan
terjadinya komplikasi mengancam jiwa ( misal, pneumothorax). Akses intra vena perifer
biasanya cukup untuk resusitasi.
Perdarahan hebat mengurangi kompartemen intravaskular. Cairan akan berpindah
dari kompartemen interstitial ke kompartemen intravaskular untuk mempertahankan
hemodinamik tubuh, dan kompartemen interstitialpun akan bergerak memasuki sel.
Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan ATP, disfungsi Na-K-ATP
dependent, dan menyebabkan edema sel.
Terapi cairan
Pemilihan terapi cairan ditentukan pertama kali oleh ketersediaan cairan itu
sendiri. Meskipun cross-match tranfusi darah (whole blood) sangat ideal, tetapi waktu
untuk cross match sekitar 45-60 menit. Golongan darah spesifik bisa menyebabkan
reaksi antibodi, tetapi merupakan terapi yang baik, dan diberikan segera setelah tersedia
(5-10 menit). Tranfusi golongan darah O-negatif sebaiknya diberikan kepada pasien
perdarahan yang mengancam jiwa dan tidak tercukupi dengan resusitasi cairan (contoh,
exsanguination). Komplikasi dari trnfusi pada perdarahan hebat dibhas di bab 29.
Cairan kristaloid selalu tersedia dan harganya murah. Resusitasi cairan
membutuhkan jumlah cairan banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak bertahan lama di
kompartemen intravaskular. Injeksi ringer laktat lebih sedikit menyebabkan asidosis
hiperkloremik dari pada NaCl fisiologis, meski kalsium sedikit lebih cocok untuk tranfusi
darah. Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik dan sebaiknya
dihindari bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat pun sedikit hipotonik
dan apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat edema cerebral. Cairan
hipertonik seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk resusitasi cairan dan menyebabkan
edema cerebral lebih sedikit dari pada RL dan NaCl fisiologis pada kasus cedera otak.
Dan pemberian kecil cairan NaCl hipertonis, akan cepat meningkatkan volume plasma,
penggunaannya dibatasi jangan sampai terjadi hipernatremi. Vasodilatasi dan hipotensi
sementara sebaiknya di observasi.
Cairan koloid lebih mahal daripada cairan kristaloid, tetapi lebih efektif dalam
meningkatkan volume intravaskular. Kekurangan cairan interstitial karene shok
hipovolemik, lebih baik diterapi dengan cairan kristaloid, atau kombinasi cairan kolod
dan kristaloid. Albumin terpilih digunakan daripada dextran atau hetastarch, karena
dikhawatirkan terjadi induksi koagulopati.
Apapun cairan yang diberikan sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu sebelum
pemberian. Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat
tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan akan menjaga
kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk ketidakseimbangan asam basa ,
koagulopati, dan disfungsi miokard. Hal itu juga menggeser kurva oksigen hemoglobin
ke kiri dan menurunkan metabolisme laktat, sitrat, dan beberapa obat anestesi. jumlah
pemberian cairan tergantung pada klinis pasien, tekanan darah, tekanan nadi, dan denyut
jantung (heart rate).
CVP dan output urin menunjukkan adekuatnya perfusi organ.
Tidak adekuatnya perfusi organ akan berpengaruh pada metablisme aerob,
meningkatnya asam laktat dan asidosis metabolik. Natrium bikarbonat akan berubah
menjadi ion bikarbonat dan CO2, untuk sementara waktu, dapat memperburuk asidosis
intrasel karena membran sel relatif tidak soluble untuk bikarbonat dibanding CO 2.
ketidakseimbangan asam basa akan teratasi dengan resusitasi cairan dan baiknya perfusi
organ. Laktat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat dan H+ diekskresikan oleh
ginjal.
Pasien shok hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan resusitasi
cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali bila hipotensinya tidak
berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin adanya shock kardiogenik dan henti
jantung.
Shok yang tidak berespon dengan resusitasi cairan, mungkin bisa disebabkan
perdarahan yang banyak yang melebihi jumlah cairan yang diberikan, atau adanya shok
kardiogenik ( missal, tamponade pericardial, kontusio miokard, miokard infark), shok
neurogenik ( kerusakan batang otak, spinal cord transection), shok septic (komplikasi
lambat), kerusakan paru (pneumothorax dan hematothorax) dan asidosis dan hipotermi
berat.
Disability
Evaluasi untuk mengetahui disabilitas neurology, dengan pemeriksaan cepat
neurologis. Dikarenakan untuk menilai GCS lama, maka digunakan system AVPU :
awake, verbal responsive, pain responsive, dan unresponsive.
Exposure
Pasien sebaiknya dibuka seluruh pakaiannya, untuk melihat apakah ada jejas. In-
line immobilization sebaiknya dipakai bila pasien dicurigai ada cedera tulang belakang.
Secondary survey
Secondary survey dimulai bila ABC sudah stabil. Di Secondary survey pasien di nilai dari
kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan tes lainnya ( foto Rontgen, tes laboratorium,
dan prosedur invasive dianostik) yang dibutuhkan. Pemeriksaan kepala mencari jejas di
scalp, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis mencakup GCS dan evaluasi system
motorik sensorik dan reflek. Pupil dilatasi (fixed dilated pupils)tidak selalu menunjukkan
kerusakan otak ireversibel. Dada di inspeksi dan di auskultasi lagi, untuk mencari apakah
ada fraktur dan integritas fungsional (flail chest). Suara nafas yang menurun
menunjukkan adanya pneumothorax yang membuthkan CTT. Suara jantung menghilang,
perbedaan tekanan sistolik dan diastolik yang dekat, teregangnya vena leher
kemungkinan adanya tamponade pericardial, dan harus dilakukan pericardiocentesis.
Meski pada pemeriksaan awal (primary survey) normal, tetap tidak menyingkirkan hal
ini. Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, auskultasi dan palpasi. Ekstremitas di
periksa, apakah ada fraktur, dislokasi dan terabanya nadi perifer. Kateter urin dan NGT
biasanya dipasang pada pasien trauma.
Pemeriksaan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin (hematokrit
atau hemoglobin), elektrolit, glukosa, ureum dan kreatinin. Analisa gas darah pun sangat
membantu. Foto torax sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan trauma berat.
Untuk menyingkirkan cedera leher, maka ketujuh vertebra di foto posisi lateral dan posisi
swimmer’s. foto cervical hanya mendeteksi 80-90% terjadinya faktur, dan dengan CT-
Scan alat yang reliable (dapat dipercaya) untuk menentukan ada atau tidaknya cedera
leher. Foto tambahan lainnya yaitu foto kepala, pelvis dan foto tulang panjang. A focused
assessment with sonogaraphy for trauma (FAST) scan adalah alat yang cepat, portable,
pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi perdarahan intraperitoneum atau
tamponade pericardial. FAST dipakai untuk memeriksa cairan di 4 daerah yaitu:
perihepatic, perisplenic, pelvis dan pericardium. Tergantung dari trauma dan kondisi
hemodinamik pasien, pemeriksaan lain (seperti, CT-scan dada atau angiografi) atau tes
diagnostik seperti diagnostic Lavage (DPL) bisa dilakukan.
Tertiary survey
Banyak pusat trauma memakai tertiary survey untuk menghindari cedera yang
terlewat. Antara 2-50% trauma bisa terlewat dengan primary dan secondary survey,
biasanya pada trauma tumpul multiple (seperti, kecelakaan mobil). Tertiary survey adalah
evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua cedera yang dialami pasien setelah indakan
resusitasi dan operasi. Dan biasanya dilakukan 24 jam setelah kejadian. Evaluasi ini pada
pasien lebih sadar, dan tentunya bisa lebih berkomunikasi, untuk mengetahui mekanisme
trauma lebih detail, dan rekam medik yang lebih detil untuk menentukan faktor
komorbidnya.
Tertiary survey berguna untuk menilai kembali trauma yang sudah diketahui atau
trauma yang terlewat pada primary dan secondary survey. Pemeriksaannya dengan
memeriksa kembali dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan mereview semua
hasil laboratorium dan semua hasil foto. Trauma yang terlewat biasanya fraktur pelvis,
trauma kepala,trauma tulang belakang, trauma abdomen dan kerusakan saraf perifer.
Trauma Ekstremitas
Trauma ekstremitas bisa mengancam jiwa, karena rusaknya pembuluh darah dan
karena infeksi sekunder. Trauma vascular bisa menyebabkan perdarahan massif dan
membahayakan viabiitas dari ekstremitas. Contohnya, Fraktur femur kehilangan darah 2-
3 labu, dan fraktur pelvis tertutup bisa menyebabkan kehilangan darah lebih banyak lagi
dan menyebabkan shok hipovolemik. Penanganan yang terlambat atau salah
memposisikan pasien bisa memperparah dislokasi dan kerusakan saraf lebih lanjut.
Emboli lemak karena fraktur pelvis dan tulang panjang bisa menyebabkan insufficiency
paru, disritmia, peteki kulit, perubahan kesadaran 1-3 hari setelah kejadian. Diagnosis
laboratorium emboli paru berdasar pada kenaikan serum lipase, adanya lemak di urin dan
trombositopenia.
Sindroma kompartemen bisa terjadi pada hematom intramuskular luas, luka
remuk (crush injury), fraktur dan luka amputasi. Peniningkatan tekanan fascia interna dan
penurunan tekanan arteri menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan, dan pembengkakan
yang progresif. Seperti yang telah didiskusikan, rhabdomiolisis dan gagal ginjal bisa
terjadi. Trauma karena reperfusi darah bisa memperparah edema dan trauma. Lengan atas
dan tungkai bawah yang paling beresiko untuk terkena. Diagnosis ditegakkan secara
klinik berdasar pengukuran langsung tekanan kompartemen : diatas 45 mmHg atau 10-30
mmHg dari tekanan darah diastolik. Fasiotomi segera diperlukan, untuk menyelamatkan
ekstremitas.
Dengan teknik operasi modern sudah bisa memperbaiki (reimplanation)
ekstremitas dan jari yang terkena trauma. Bagian tubuh yang telah diamputasi, dan telah
didinginkan, masih bisa disambung kembali (reimplanasi) bahkan sampai 20 jam setelah
amputasi, sedangkan yang tidak didinginkan hanya sampai 6 jam. Bila trauma terisolasi,
teknik anestesi regional (blok plexus brachialis atau interscalene) direkomendasikan
untuk meningkatkan laju darah perifer (periferal blood flow) dengan cara menghambat
persarafan simpatis. Pada saat tindakan anestesi umum, pasien harus selalu hangat, dan
keadaan menggigil harus dicegah untuk memaksimalkan perfusi darah.