You are on page 1of 20

BAKTERIAL VAGINOSIS

Definisi
Bacterial vaginosis merupakan kondisi dimana lactobacillus-predominant vaginal flora
normal digantikan dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh : Bakteroides Spp,
Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi, bacterial vaginosis
bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organisme, tetapi timbul akibat perubahan
kimiawi dan pertumbuhan berlebihan dari bakteri yang berkolonisasi di vagina.

Epidemiologi
Penyakit bakterial vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang memeriksakan
kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi bergantung pada tingkatan sosial
ekonomi penduduk pernah disebutkan bahwa 50 % wanita aktif seksual terkena infeksi G.
vaginalis, tetapi hanya sedikit yang menyebabkan gejala sekitar 50 % ditemukan pada pemakai
AKDR dan 86 % bersama-sama dengan infeksi Trichomonas.
Gardnerella vaginalis dapat diisolasi dari 15 % anak wanita prapubertas yang masih
perawan, sehingga organisme ini tidak mutlak ditularkan lewat kontak seksual. Meskipun kasus
bakterial vaginosis dilaporkan lebih tinggi pada klinik PMS, tetapi peranan penularan secara
seksual tidak jelas.
Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai aktivitas
seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita berkulit hitam yang
menggunakan kontrasepsi dan merokok. Bakterial vaginosis yang rekuren prevalensinya juga
tinggi pada pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena wanita tersebut
berganti-ganti pasangan seksualnya ataupun yang sering melakukan penyemprotan pada vagina.
Hampir 90 % laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella vaginosis,
mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra, tetapi tidak menyebabkan
uretritis.

Etiologi
Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan spesies
bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri
lainnya yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakterial vaginosis muncul, terdapat
pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan
normal ada dalam konsentrasi rendah.
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora
vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berhubungan dengan
bakterial vaginosis, yaitu :
• Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner dan Dukes’
bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Gardnerella vaginalis


Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus
Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak
mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram.
Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif.
Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada fermentasi berupa asam
asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam format. Ditemukan juga
galur anaerob obligat. Dan untuk pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin,
asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.
Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G. vaginalis
berhubungan dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan media kultur yang lebih
sensitive G. Vaginalis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa
tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini dipercaya bahwa G. vaginalis berinteraksi dengan
bakteri anaerob dan hominis menyebabkan bakterial vaginosis.
• Mycoplasma hominis
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu dari amin
yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi normal bakteri dalam
vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan meningkat menjadi 108-9
organisme/ml pada bakterial vaginosis. Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella
vaginalis dan bakteri anaerob termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus
Spp sebesar 100-1000 kali lipat.

Gambar : Mycoplasma hominis


• Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G. vaginalis untuk
menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri anaerob
dengan bakterial vaginosis. Menurut pengalaman, Bacteroides Spp paling sering
dihubungkan dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Bacteroides Spp


Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan batang anaerob
lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama dengan organisme lain yang
dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobilincus Spp hampir tidak pernah ditemukan
pada wanita normal, 85 % wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini.

Gambar : Mobilincus Spp


Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial vaginosis,
bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti pasangan akan
meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.
Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya Vaginosis Baterial :

1. Pasangan seksual yang baru


2. Merokok
3. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
4. Pembilasan vagina yang terlampau sering, menyebabkan menurunnya jumlah laktobaksil
penghasil hidrogen peroksida yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari bakteri
lain khususnya yang berasal dari bakteri anerobik.
5. Vagina yang terlalu sering dalam keadaan lembab dan jarang mengganti celana dalam.

Patogenesis
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri dari
unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen lengkap dari
ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari gram positif dan gram
negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi sinergetik dan antagonistik
antara mikroflora vagina endogen bersama dengan komponen lain, mengakibatkan tetap
stabilnya sistem ekologi yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina.
Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan pada mikroflora vagina. Dalam
keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang
menghasilkan asam organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida (H2O2), dan
bakteriosin.Asam laktat seperti organic acid lanilla yang dihasilkan oleh Lactobacillus,
memegang peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2),
dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi pertumbuhan bakteri khususnya
mikroorganisme yang patogen bagi vagina.
Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan
Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan enzim
katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak
pada bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi oleh Lactobacillus
adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein dengan berat molekul rendah yang
menghambat pertumbuhan banyak bakteri khususnya Gardnerella vaginalis.
G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram yang
mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya
bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah
Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida. Lactobacillus sendiri merupakan
bakteri anaerob batang besar yang membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat
mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif. Dalam
kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar,
bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini.
Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk
membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi.
Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna
kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel
epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai pembentuk
asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang mengubah
asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai suasana yang
sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit
dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang
keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya
Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi
genitalia.
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan
deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina.
Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan
dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan
histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual
atau pernah menderita infeksi Trichomonas.
Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat menjelaskan
yaitu :
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial
vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. vaginalis mengandung G.
vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak menyebabkan uretritis pada
laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah mengalami pengobatan bakterial
vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan
pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora
normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada
penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
Manifestasi Klinis
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering pada
bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah melakukan
hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy
odor).

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi
basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya
pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa
wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat
asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), kalau
ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau
C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul
kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, disuria, atau nyeri waktu kencing jarang
terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering berwarna
putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang berbusa.Sekret
tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kelainan yang
difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina normal, lebih tebal dan
terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan gambaran bergerombol.
Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva.
Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis
dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.

Diagnosis
Agen etiologi tunggal tidak dapat teridentifikasi pada bacterial vaginosis sehingga criteria
klinis (Amsel criteria) digunakan untuk membuat diagnosis. Diagnosis klinis pada bacterial
vaginosis berdasarkan pada tiga dari empat criteria Amsel yaitu : (1) abnormal gray discharge,
(2) pH > 4.5, (3) positif amine test, dan (4) terdapat clue cells > 20% pada sediaan basah.
A. Anamnesis
Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal (terutama setelah berhubungan
seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis (fishy odor). Pasien sering
mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa terbakar. Biasanya kemerahan dan edema pada vulva.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan secret vagina yang tipis dan sering berwarna
putih atau abu – abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang berbusa. Secret
tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis tau kelainan yang difus.
Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya secret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas
kumpulan sel epitel vagina yang memberikan gambaran bergerombol.

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan pH vagina
Pada pemeriksaan pH, kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna
kertas dibandngkan dengan warna standart. pH normal vagina 3,8 – 4,2 pada 80 – 90 % bacterial
vaginosis ditemukan pH > 4,5.

2. Whiff test
Whiff test dikatakan positif bila muncul bau amine ketika cairan vaginal dicampur
dengan satu tetes 10 – 20 % potassium hydroxide (KOH). Bau muncul sebagai pelepasan amine
dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob.

3. Pemeriksaan Preparat basah


Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9 % pada secret vagina
diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik
menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cell, yang merupakan sel epitel
vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat
basah memiliki sensitivitas 60 % dan spesifisitas 98% untuk mendeteksi bacterial vaginosis.

Gambar Clue Cells

4. Nugent Gram Stain test


Beberapa studi penelitian menggunakan quantitative Nugent Gram Stain test untuk
mendiagnosa bacterial vaginosis, dimana nilai uji 0-3 normal (non-BV), 4-6 intermediate, dan 7-
10 positif BV. Meskipun Nugent Gram Stain test cenderung subjektif, tetapi lebih sulit
dipraktekkan pada penggunaan klinis rutin.
Gambar Gram Stain

5. Kultur Vagina
Kultur dari sampel vagina tidak terbukti berguna untuk mendiagnosa BV karena BV
berhubungan dengan beberapa organisme seperti Gardnerella vaginalis, mycoplasma hominis,
Bacteriodes species, normal flora vagina lain, dan juga ada beberapa organisme yang tidak dapat
dikultur.

6. Deteksi Hasil Metabolik


Tes proline aminopeptidase : G. vaginalis dan Mobilincus Spp menghasilkan proline
aminopeptidase, dimana laktobasilus tidak menghasilkan enzim tersebut.

Suksinat / laktat : batang gram negative anaerob menghasilkan suksinat sebagai hasil
metabolic. Perbandingan suksinat terhadap laktat dalam secret vagina ditunjukkan dengan
analisa kromotografik cairan - gas meningkat pada bacterial vaginosis dan digunakan sebagai test
screening untuk bacterial vaginosis dalam penelitian epidemiologi klinik.

7. Variety DNA Based Testing Methods


Penggunaan Variety DNA Based Testing Methods seperti Broad Range dan Quantitative
PCR telah mengidentifikasi novel bacteria yang berhubungan dengan bacterial vaginosis, dan
juga lebih objektif, dalam mengukur kuantitatif bakteri. itu juga memungkinkan pemahaman
yang lebih kompleks terhadap perubahan mikroflora yang mendasari bacterial vaginosis dan
untuk mengembangkan tes diagnostic.
Gambar Algoritma Vaginal Discharge

Diagnosa Banding

1. Trikomoniasis

Pada pemeriksaan hapusan vagina, trikomoniasis sering sangat menyerupai penampakan


pemeriksaan hapusan bacterial vaginosis. Tapi mobiluncus dan clue cells tidak pernah ditemukan
pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopik tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan
dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk diagnostic. Whiff test dapat
positif dan pH vagina 5 pada trikomoniasis.

2. Candidiasis

Pada pemeriksaan mikroskopik, secret vagina ditambah KOH 10 % berguna untuk


mendeteksi hifa dan spora candida. Keluhan yang paling sering pada candidiasis adalah gatal dan
iritasi vagina. Secret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH normal.
Gambar perbedaan BV, Trikomoniasis dan Candidiasis

Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :
1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu kestabilan pH di sekitar
vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat dari bahan dasar susu. Produk seperti
ini mampu menjaga seimbangan pH sekaligus meningkatkan pertumbuhan flora normal dan
menekan pertumbuhan bakteri yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa umumnya
bersifat keras dan dapat flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi kesehatan
vagina dalam jangka panjang.
2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar vagina harum dan
kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel halus yang mudah terselip disana-
sini dan akhirnya mengundang jamur dan bakteri bersarang di tempat itu.
3. Selalu keringkan bagian ms v sebelum berpakaian.
4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab, usahakan cepat
mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada salahnya Anda membawa
cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-jaga manakala perlu menggantinya.
5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun. 6. 6. Celana dari
bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar organ intim panas dan
lembab.
7. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena pori-porinya
sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans agar sirkulasi udara di sekitar
organ intim bergerak leluasa.
8. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut
9. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat bepergian ke
luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.
Penatalaksanaan
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan dengan
gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh dengan
sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus vagina kembali meningkat ke
level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan jumlah. Namun pada beberapa wanita,
bila bakterial vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih
parah. Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya.
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk
wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita hamil
dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat
yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan
antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.
a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang memberikan
keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x 400 mg atau 500 mg setiap
hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal, maka diberikan ampisilin oral (atau
amoksisilin) yang merupakan pilihan kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan
sekitar 66%).
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif terhadap bakteri
anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi anaerob. Metronidazol dapat
menyebabkan mual dan urin menjadi gelap.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan metronidazol
untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan 94%. Aman diberikan
pada wanita hamil. Sejumlah kecil klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu
sebaiknya menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.
3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7 hari.
Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol
3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka
penyembuhannya hanya 15 – 45 %.
c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul
masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama
kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari
selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi
ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita
tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin tidak
mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat digunakan
metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau
klindamisin krim.
d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual
Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan
selama masih dalam pengobatan.

Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi setelah
pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang berat. Bakterial
vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul (Pelvic Inflamatory
Disease/PID), dimana angka kejadian bakterial vaginosis tinggi pada penderita PID.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi
antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan
endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita
hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening
vaginosis bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali. Bakterial vaginosis
disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan frekuensi di
tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atas berhubungan
dengan bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi infeksi Gonorrhoea dan Klamidia.
Meningkatkan kerentanan terhadap HIV dan infeksi penyakit menular seksual lainnya.
Prognosis
Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak
menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat dipakai.
Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan. Dilaporkan
terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan
klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-96%).
Cracked Nipple

-Definisi

Trauma kulit pada papilla mamae, nama lain fissura papilla mamae. Sebagian besar

karena breastfeeding atau menyusui, dan terasa nyeri saat menyusui.Fisura terjadi pada hari

pertama sampai beberapa pekan setelah melahirkan (postpartum). Fisura tersebut dapat menjadi

tempat masuknya bakteri piogenik patogen dan beberapa jenis jamur, fisura papilla mamae juga

berhubungan dengan keadian mastitis setelahnya.

-Etiopatogenesis

Penyebab trauma adalah trauma mekanik akibat menyusui. Apabila aliran susu menurun,

tekanan intraoral dari bayi baru lahir akan meningkat karena daya pengisapan bayi berlebihan,

sehingga menyebabkan daerah papila mamae edema dan kemerahan setelah menyusui.Penyebab

aliran susu menurun sangat banyak, salah satunya adalah posisi menyusui dan kelekatan yang

tidak benar.Selain itu, adanya fisura berkaitan dengan adanya pengaruh dari gaya gesek dan arah

gaya gesek terhadap kulit (papilla mamae).

-Tatalaksana

Prinsipnya adalah memroteksi luka dengan memberi pengobatan topikal, menyusui lebih

diutamakan kepada papilla yang sehat (papila yang lain), sedangkan papila yang trauma air

susunya harus tetap dikeluarkan secara berkala dengan menggunakan pompa atau pijatan sampai

luka benar-benar sembuh untuk mencegah statis air susu.Tatalaksana dibagi menjadi 3, yaitu saat

menyusui, setelah menyusui, dan diantara menyusui (apabila tidak menyusui).


a. Saat menyusui

 Pakai papilla yang sehat dahulu, lalu pakai papilla yang sakit. Karena isapan bayi

pada papilla yang sakit tidak sekuat pada isapan yang pertama

 Mencoba berbagai posisi menyusui yang paling nyaman, namun tetap benar

 Apabila menyusui sakit, pakai breastpump, apabila tetap sakit, stimulasi dengan

pijatan pada papilla mamae. Hal ini dilakukan untuk mencegah statis asi, mencegah

mastitis, dan mempertahankan supply dari asi sendiri.

b. Setelah menyusui

 Setelah menyusui, cuci papilla mamae dengan normal salin (air saja cukup),

keringkan dengan handuk lembut dan bersih

 Setelah kering oleskan medical grade lanolin ointment, atau vaseline. Lanolin adalah

salep berasal dari lemak domba yang berfungsi sebagai penjaga kelembaban dan

sebagai proteksi dengan membentuk barrier sehingga mencegah bakteri masuk

melalui fisura. Lanolin juga memulai proses “moist wound healing” yang memiliki

banyak keuntungan seperti mengurangi sel sel yang mati dan dehidrasi, meredakan

nyeri, meningkatkan angiogenesis, meningkatkan reepitelisasi dari papilla mamae,

sehingga proses penyembuhan lebih cepat.

 Selain lanolin, dapat pula dipakai All Purpose Nipple Ointment, yang berisi

antibiotik, anti fungal, dan anti inflamasi. Karena pada beberapa kasus didapatkan

pula infeksi dari jamur candida albicans.

c. Diantara menyusui

 Menjaga personal hygene dari payudara.


 Menggunakan sabun non-antibakterial dan non-perfume apabila ingin membersihkan

payudara, menggunakan sabun pada daerah papila mamae yang luka tidak dianjurkan.

-Edukasi

Edukasi mengenai prinsip dasar menyusui yaitu teknik benar, susui sesuai permintaan

bayi, ibu rileks dan percaya diri saat menyusui.

Penilaian proses menyusui.

 B= Body Position : Rileks, nyaman, ibu memegang seluruh tubuh bayi, kepala tegak lurus,

dagu bayi menyentuh payudara, seluruh tubuh bayi menghadap ibu, payudara ibu mendekati

bayi, bukan bayi mendekati payudara ibu.

 R= Response : Bayi mencari puting, menghisap tenang, dan asi keluar. Isapan bayi lambat

dan tenang, ada jeda diantra isapan, ada gerakan menelan dari bayi.

 E= Emotion : Ibu merangkul dengan yakin, atensi ibu baik (menatap bayi).

 A= Anatomy : Payudara lunak setelah menyusui dan terasa lebih ringan

 S= Suckling : Isapan bayi, kekuatan normal. Kelekatan mulut bayi yang baik:

- Dagu menyentuh payudara

- Mulut bayi terbuka lebar

- Bibir Bawah keluar

- Areola mama sedikit terlihat, biasanya bagian bawah tidak terlihat, bagian atas sedikit

terlihat.
Gambar 1.1 Kelekatan yang benar.

Gambar 1.2 Kelekatan yang salah.

 T= Time : 15-20 menit bayi akan melepas sendiri apabila teknik dan posisi menyusui benar.

( Buck, Miranda L. et al. 2014. Nipple pain, Damage, And Vasospasm in the First 8 Week

Postpartum. Breastfeeding Medicine Vol.9 hal.56-62 )

You might also like