You are on page 1of 20

STATUS PEDIATRI

1. DATA PRIBADI

1. Nama : An. MI

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

3. Usia : 1 tahun 7 bulan

4. No RM : 009285XX

5. Alamat :Bogo Kidul

2. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama : Kejang 7 jam SMRS

Keluhan Tambahan : Panas dan batuk

2. Penyakit Sekarang :

pasien datang ke UGD RS dengan keluhan kejang demam saat 7 jam

SMRS. Kejang ± 2 menit. Saat kejang, mata os mendelik ke atas dan setelah

selesai kejang os langsung menangis. Kejang berlangsung 1x. Demam tinggi

sejak 2 hari SMRS. Sudah diberikan obat namun hanya turun sebentar

kemudian naik lagi. Batuk (+) sejak 1 hari SMRS. mual muntah di sangkal.

BAB cair di sangkal. BAK normal dan banyak.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Belum pernah kejang sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak OS pernah kejang demam saat usia 1 tahun.

1
5. Riwayat Pengobatan

OT OS menyatakan OS diberi obat penurun panas ± 10 jam SMRS, demam

turun sebentar kemudian naik kembali.

6. Riwayat Psikososial

OS tampak cemas.

OS merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara.

OS tinggal di rumah dengan orang tua dan kakaknyaMakanan/Gizi:

7. Riwayat Kehamilan

Ibu OS rutin kontrol di bidan, selama hamil ibu tidak pernah sakit

8. Riwayat Persalinan

Persalinan normal, BBL 3100 gr, PB 47cm, langsung menangis, tidak biru

9. Riwayat Imunisasi

Hep B, BCG, DPT, Polio, Campak.

Kesan : Imunisasi lengkap

10. Riwayat Tumbuh Kembang

Tumbuh kembang sesuai usiaKepribadian:

PEMERIKSAAN FISIK

1. Kesadaran Umum : tampak sakit ringan

2. Kesadaran : compos mentis

3. Tanda Vital

Suhu : 37,4 C

Nadi : 110x/menit

Nafas : 24x/menit

2
Tek. Darah : tidak diukur

4. Antopometri

BB : 8.7 kg

TB : 79 cm

LK : 44 cm

LILA : tidak di ukur (Os tidak koperatif)

5. Status Gizi :

BB/U = 8.7/10.7 X 100% = 81% Gizi baik

TB/U = 79/83 x 100% = 95% Tinggi Normal

BB/TB = 8.7/9.3 X 100% = 93% Gizi baik

Kesan = Gizi BaikKepala

6. Kepala : Normocephal, ubun-ubun sudah tertutup

7. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra

(-/-), mata cekung (-), air mata (-/-)

8. Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), perdarahan (-/-)

9. Telinga : normotia, sekret (-). Bercak dibelakang telinga (-)

10. Mulut : mukosa bibir kering (-), lidah tidak kering, perdarahan gusi

(-), Tonsil T1/T1, faring hiperemis (+)

11. Telinga : sekret (-)

12. Leher : Pembesaran KGB (-) :

13. Paru-Paru

Inspeksi : Simetris, retraksi (-)

Palpasi : Teraba getaran di kedua lapang paru

Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

3
14. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 1 jari di bawah papila mamae

Perkusi : redup

Auskultasi : BJ 1 & 2 normal, murmur (-), gallop (-)

15. Abdomen

Inspeksi : Permukaan datar

Auskultasi : BU (+)

Palpasi : Supel, turgor normal, tidak ada pembesaran hepar dan lien

Perkusi : Timpani

16. Ekstremitas atas

Akral : Hangat

Edema : -/-

Sianosis : -/-

RCT : <2 detik

17. Ekstremitas bawah

Akral : Hangat

Edema : -/-

Sianosis : -/-

RCT : <2 detik

18. Kelenjar inguinal : Tidak ada pembesaran KGB

19. Status Neurologis

GCS : E4 M6 V5 (15)

R. Meningens : Kaku Kuduk (-)

Lasegue (-)

4
Kernig (-)

Brudzinki 1 (-)

Brudzinki 2 (-)

R. Fisiologis : Bisep (+/+)

Trisep (+/+)

Patella (+/+)

Achilles (+/+)

R. Patologis : Babinski (-/-)

20. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Nilai Normal Satuan

Hematologi rutin

Hemoglobin 11.7 10.8-12.8 g/dL

Hematokrit 34 35-43 %

Trombosit 279 217-491 ribu/µL

Leukosit 17.90 5.50-15.50 ribu/µL

Eritrosit 4.80 3.60-5.20 ribu/µL

MCV 73 73-101 Fl

MCH 24 23-31 Pg

MCHC 33 26-34 g/Dl

21. RESUME

5
An MI 1 tahun 7 bulan datang ke UGD RS dengan keluhan kejang saat 7

jam SMRS. Kejang ± 2 menit. Saat kejang, mata os mendelik ke atas dan

setelah selesai kejang os langsung menangis. Kejang berlangsung 1x.

Demam tinggi mendadak sejak 2 hari SMRS. Sudah diberikan obat

namun panasnya belum kunjung turun. Batuk (+) sejak 1 hari SMRS.

mual muntah di sangkal. BAB cair di sangkal.

Pemeriksaan fisik : Faring Hiperemis (+)

Pemeriksaan Lab : Hematokrit 34%, leukosit 17.90 rb

Assesment:

Kejang

Febris H2

ISPA

Diagnosis

Klinis : Kejang Demam Sederhana dan ISPA e.c. Bacterial Infection

Gizi : gizi baik

Imunisasi : Imunisasi lengkap

Tumbang : Tumbuh kembang sesuai usia

TERAPI

Terapi cairan :

Assering 870cc/ hari → 9 tpm makro

Terapi injeksi :

Ceftriaxone 50-80 mg/kgBB/hari = 1x 500 mg

6
*Range dosis (435-696 mg)

Terapi oral :

Puyer kejang demam : Paracetamol tab 80 mg ~ 100 mg

Diazepam tab 0,8 mg ~ 1 mg

Ambroxol 1/5 tab

7
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhuh
tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam biasanya terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum
tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti.
Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,
yaitu :
¤ Demam itu sendiri
¤ Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
¤ Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
¤ Gabungan semua faktor diatas
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mengaiami
kejang demam dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana
angka kejadian kejang demam hanya sekitar 1%. Menurut Lahat (1984), tingginya
angka kejadian kejang demam pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan
dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-
Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam
diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox
(1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat
kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.

8
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang demam pada
beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
¤ DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi.
Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun setelahnya.
¤ MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi.
Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang
lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca
imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi
kejang demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.

Patofisiologi
Untuk mempertahankan kinerja otak diperlukan adanya energi yang
didapatkan dari hasil metabolisme. Bahan yang dibutuhkan mutlak disini adalah
glukosa. Proses metabolisme ini juga membutuhkan oksigen yang dihantar oleh
paru-paru ke jantung kemudian ke otak. Sel syaraf, seperti sel lainnya dikelilingi
oleh suatu membrane yang permukaan dalamnya lipoid sedangkan permukaan
luarnya ionik. Dalam keadaan normal permeabilitas sel terhadap ion kalium lebih
tinggi dari ion natrium, sehingga kadar kalium dalam sel tinggi sedangkan kadar
natrium dalam sel rendah. Hal yang sebaliknya berlaku di luar sel saraf. Untuk
menjaga homeostasis ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase.
Keseimbangan potensial membrane ini dapat diubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstrasel, rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan adanya perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena adanya penyakit atau pengaruh keturunan.
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1o C menyebabkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat hingga 20%.
Pada seorang anak yang berusia 3 tahun sirkulasi darah ke otak mencapai 65%,
bandingkan dengan orang dewasa yang hanya mencapai 30%. Jadi adanya kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron
dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion natrium dan kalium sehingga
kesimbangannya tidak terjadi lagi.

9
Lepas muatan ini akan meluas ke seluruh sel maupun membran sel sekitarnya
dengan bantuan neurotransmitter. Tidak semua jenis neurotransmitter dapat
menyebabkan terjadinya perpindahan ini. Hanya neurotransmitter yang bersifat
eksitasi seperti glutamat dan asam aspartat yang dapat menyebabkan peningkatan
penyaluran impuls saraf. Adanya daerah neuron yang mati (misalnya oleh karena
adanya glioma tumbuh lambat, hematoma, gliosis dan malformasi arterivenosus)
juga dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitasi yang baru. Eksitasi
berlebih ini yang akan disalurkan menuju motor end plate sehingga menyebabkan
kontraksi secara tiba-tiba dari otot-otot rangka.
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda. Pada anak dengan
ambang kejang rendah, dapat timbul kejang pada suhu 38o C. Sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, dapat timbul kejang pada suhu 40o C atau lebih.
Oleh karena itu perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang demam yang berlangsung
lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat akibat
peningkatan aktivitas otot dan selanjutnya diikuti peningkatan metabolisme. Hal ini
pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada neuron otak setelah
berlangsungnya kejang pada waktu yang cukup lama. Edema otak juga dapat terjadi
karena adanya gangguan peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler.

Manifestasi Klinis
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 38C atau lebih (rectal).
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang
yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan
atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya
sentakan atau kekakuan fokal.

10
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8%
yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri setelah
mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak capek,
mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak atau
disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik atau
menit, anak terbangun dan akan mulai berangsur sadar tanpa defisit neurologis..
Biasanya, kesadaran pulih sepenuhnya setelah 10 sampai 15 menit. Dalam masa ini,
anak agak sensitif (irritable) dan mungkin tidak mengenali orang di sekitarnya.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat
fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara
pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan
kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama.

Diagnosis
Berdasarkan kriteria Livingston, kejang demam dibagi atas kejang demam
sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi demam
(epilepsy triggered off by fever). Pembagian ini dapat memprediksi prognosis dari
pasien yang mengalami kejang demam. Menurut Livingston, kriteria kejang demam
sederhana adalah sebagai berikut:
¤ Umur anak ketika kejang antara 6 bulan - 4 tahun
¤ Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit
¤ Kejang bersifat umum
¤ Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
¤ Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
¤ Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
¤ Frekuensi bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
Pasien yang tidak memiliki minimal salah satu dari kondisi di atas
merupakan pasien yang menderita epilepsi yang diprovokasi demam (epilepsy
triggered off by fever). Dengan menggunakan kriteria Livingston tersebut, ternyata
sangat banyak pasien yang termasuk dalam golongan epilepsi yang diprovokasi

11
demam, sehingga konsekuensinya pasien-pasien yang memiliki kondisi tersebut
harus menerima pengobatan rumat. Selain itu juga sulit sekali untuk melakukan
anamnesis berapa lama demam sudah berlangsung sebelum pasien mengalami
kejang. Oleh karena itu, pembagian kejang demam dibagi sebagai kejang demam
yang membutuhkan terapi rumat maupun yang tidak membutuhkan terapi rumat.
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan klonik atau tonik-
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti dengan sendirinya. Setelah kejang
berhenti, anak langsung menangis.
¤ Anamnesis
Anak yang mengalami kejang demam akan didahului dengan
serangan demam baik suhu tinggi maupun suhu yang tidak terlalu tinggi yang
dapat disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Pastikan tidak adanya
infeksi sistem saraf pusat untuk mengeliminasi kemungkinan kejang oleh
penyebab lain.1 Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan untuk
menganamnesis anak dengan kejang demam:
♪ Usia anak berkisar 9-15 bulan
♪ Adanya riwayat infeksi seperti infeksi saluran pernapasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis maupun infeksi saluran kemih.
♪ Tidak ada infeksi sistem saraf pusat.
♪ Adanya demam sebelum timbulnya kejang
♪ Umumnya serangan kejang berlangsung 24 jam pertama sewaktu
demam.
♪ Kemungkinan adanya pengaruh genetik, riwayat anggota keluarga
yang juga pernah mengalami kejang demam.

¤ Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam.
Umumnya dapat dilakukan pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu
pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan, denyut nadi serta tekanan darah
pada penderita. Yang menonjol disini biasanya didapatkan peningkatan suhu
tubuh.

12
Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk
memperhatikan apakah ada defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan
kesadaran yang digunakan dapat berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun
kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif pasien terbagi atas:
♪ Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan.
♪ Delirium : gaduh gelisah, kacau, disorientasi
♪ Somnolen : mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri
♪ Stupor: dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian
kesadaran turun lagi
♪ Koma : tanpa gerakan sama sekali
Secara kuantitatif dapat digunakan Glasgow Coma Scale.
Pemeriksaan tanda rangsang meningial dapat digunakan untuk mengeksklusi
adanya meningitis. Bentuk pemeriksaan tanda rangsang meningeal meliputi
kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Laseque dan tanda Brudzinsky.
¤ Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan
kadar elektrolit, glukosa serum, pemeriksaan CSS serta pemeriksaan
radiologik yang sesuai. Adanya pemeriksaan ini bukan hanya untuk
menegakkan diagnosis kejang demam namun juga untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya infeksi sistem saraf pusat yang membangkitkan
serangan kejang.
Pemeriksaan elektrolit menunjukkan adanya hipokalsemia,
hipomagnesia dan hiperfosfatemia. Selain itu didapati penurunan kadar
glukosa darah / hipoglikemia. Analisa cairan serebrospinal tidak selalu
dilakukan pada kejang demam. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
kecurigaan adanya meningitis pada bayi dan anak.
Pemeriksaan EEG tidak diindikasikan pasca kejang demam sederhana
karena umumnya gambarannya hanya akan membuktikan bentuk normal dan
tidak akan mengubah manajemen. EEG hanya diindikasikan pada kejang
demam atipik maupun anak yang beresiko berkembang menjadi epilepsi.
Kelainan EEG berupa perlambatan yang mencolok sering dialami pada anak
dengan kejang afebris rekuren dibandingkan anak normal. EEG tidak dapat

13
digunakan untuk memperkirakan anak mana yang akan mengalami kejang
demam berulang atau yang mengalami epilepsi.

Diagnosis Banding
Berikut ini beberapa jenis penyakit yang dapat dibandingkan dengan kejang demam
sederhana:
¤ Kejang Demam Kompleks / Atipikal
Merupakan kejang pada demam dengan manifestasi klinis yang lebih
lama (lebih dari 15 menit) yang disertai dengan tanda fokal. Serangan kejang
yang kompleks dapat terjadi lebih dari satu kali dalam satu hari. Adanya
kejang demam kompleks harus diwaspadai karena dapat merupakan pertanda
infeksi akut yang serius serta dapat menyebabkan komplikasi berupa
timbulnya epilepsi. Dua hal yang perlu diperhatikan untuk membedakan
kejang demam kompleks dan sederhana ialah lama berlangsungnya kejang
serta jumlah serangan kejang yang terjadi.
¤ Meningitis
Merupakan infeksi pada meningen, yaitu selaput pembungkus otak.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri seperti Stereptococcus pneumonia,
Eschericia coli, dan Haemophilus influenzae maupun virus seperti virus
herpes zoster dan herpes simplex. Ada triad klasik dari meningitis, yaitu
berupa kaku kuduk, demam tinggi dan perubahan status mental. Selain itu
dapat dijumpai adanya fotofobia dan fonofobia. Jika tidak ada gejala klasik
ini, maka sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis pada seseorang. Pada
anak biasanya terlihat irritabel dan kurang sehat. Pada bayi berusia hingga 6
bulan biasanya didapai penonjolan fontanella.
Adanya pemeriksaan analisa cairan serebrospinal dapat digunakan
untuk menegakkan adanya meningitis.
¤ Ensefalitis
Merupakan merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang
umumnya disebabkan oleh virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri.
Mikroorganisme ini dapat masuk melalui kulit, saluran nafas dan saluran
cerna. Gejala yang dialami biasanya berupa demam tinggi, pusing kepala,
kebingungan dan terkadang kejang. Pada pasien anak umumnya dijumpai

14
demam, tidak nafsu makan dan irritabilitas. Adanya ensefalitis juga dapat
diikuti dengan adanya meningitis. Analisa cairan otak dapat menunjukkan
peningkatan kadar protein dan sel darah putih, sedangkan kadar glukosa
darah normal. Pada beberapa pasien tidak dijumpai perubahan berarti pada
analisa cairan serebrospinal.
¤ Abses Otak
Abses otak jarang terjadi pada bayi berusia dibawah 1 tahun, namun
insidensinya akan meningkat setelah masa itu dan hampir sepertiga dari
semua kasus abses otak terjadi pada kelompok usia pediatrik. Abses otak
umumnya timbul sekunder dari infeksi tubuh di tempat lain atau melalui luka
tembus. Penyebabnya antara lain oleh karena absen hematogen atau
metastatic pada anak dengan kelainan jantung bawaan, oleh penetrasi otak
oleh benda asing atau pembedahan maupun akibat infeksi kulit kepala.
Gejala yang dijumpai berupa letargi, anoreksia dan muntah. Anak
yang usianya lebih tua dapat mengeluhkan adanya nyeri kepala. Dapat
dijumpai kejang yang bersifat fokal maupun umum yang disertai dengan
demam yang tidak terlalu tinggi. Adanya abses biasanya akan disertai dengan
timbulnya defisit neurologis seperti hemiparesis, gangguan sensorik dan
kelainan lapang pandang. Adanya abses pada fossa posterior akan
menyebabkan ataksia, dismetria, serta kelumpuhan saraf kranialis. Defisit
neurologis ini tidak dijumpai pada kejang demam sederhana.
Pemeriksaan CSS umumnya tidak memberikan hasil bermakna. Sedangkan
CT Scan dapat digunakan menegakkan diagnosis dan evaluasi pengobatan
penyakit ini.

Penatalaksanaan
¤ Non medika mentosa
Seringkali kejang yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya.
Penting untuk menjaga jalan napas agar tetap lancar pada pasien yang
mengalami serangan kejang demam.
♪ Jika anak mengalami kejang, posisikan anak miring (semiposisi)
dengan leher yang diekstensikan sehingga sekresi dapat keluar
secara lancar melalui mulut.

15
♪ Jika pernasapan sulit: buka saluran napas dengan ekstensi leher
secara hati-hati, angkat rahang ke depan. Jangan letakkan apapun ke
dalam mulut. Berikan O2 jika tersedia.
♪ Tetap perhatikan keadaan vital pasien seperti kesadaran, suhu,
tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung. Penting untuk
mengetahui pada suhu berapa anak mengalami kejang sehingga kita
dapat mengetahui ambang kejang anak tersebut.
♪ Jangan letakkan apapun (sendok, jari) di mulut pasien.
♪ Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan kompres air dingin
dan pemberian antipiretik. Antipiretik yang dapat digunakan pada
anak adalah Paracetamol. Jangan gunakan asam salisilat sebagai
antipiretik karena dapat menyebabkan sindrom Reye.
Setelah kejang berhenti, periksa kadar glukosa dan elektrolit darah.
Pada kejang demam biasanya didapati peningkatan kadar fosfor, penurunan
kadar magnesium dan kalsium serta penurunan kadar glukosa darah.
Hal yang perlu diperlukan adalah untuk menyingkirkan penyebab
kejang akibat infeksi pada sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis
dan abses otak. Oleh karena itu dapat dilakukan pungsi lumbal pada L4 – L5
untuk mengambil cairan serebrospinal. Cairan ini kemudian dianalisa untuk
mengetahui kemungkinan adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Namun,
analisa cairan serebrospinal ini tidak dilakukan pada semua kasus kejang
demam melainkan hanya dilakukan pada:
♪ Kejang dengan usia pasien dibawah 1 tahun.
♪ Kejang yang berulang.
♪ Adanya gejala-gejala gangguan sistem saraf pusat seperti adanya
defisit neurologis pasca kejang.

¤ Medika Mentosa
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama
pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu
pemberian obat-obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat-obat yang dapat
digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10-15 mg/kgBB/hari
setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam.

16
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek
terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan
efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara
perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan.
Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan
dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis,
hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi
jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang
seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif
melalui rektum telah dibuktikan keampuhannya. Pemberian dilakukan pada
anak atau bayi dalam posisi miring atau menungging dan dengan rektiol yang
ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektal ke rektum
sedalam 3-5 cm. Kemudian rektal dipijat hingga kosong betul dan
selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara
merapatkan kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat
digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang
tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak berhenti
juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa
dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital
yang langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1
bulan-1 tahun 50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4
jam kemudian diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama
diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari
berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan
belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral.
Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari
karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi
pernafasan.

17
Komplikasi
¤ Epilepsi
Anak yang menderita kejang demam berseiko lebih besar mengalami
epilepsi dibandingkan dengan yang tidak. Besarnya resiko ini dipengaruhi
banyak faktor, namun yang terpenting adalah kelainan status neurologik
sebelum kejang, timbulnya kejang demam yang kompleks dan riwayat
kejang afebris pada keluarga. Seorang anak normal yang mengalami kejang
demam memiliki resiko 2x lipat lebih besar dibandingkan populasi kontrol.
Apabila kejang pertamanya kompleks, atau bila anaknya abnormal, resiko
dapat meningkat hingga 5 kali lipat. Bila kedua faktor ada maka resikonya
menjadi 18 kali lipat dan insidensi epilepsi dapat mencapai 10% dalam
kelompok ini. Anak dengan serangan kejang demam fokal, berkepanjangan,
dan berulang dengan penyakit yang sama memiliki 50% kemungkinan
menderita epilepsi saat ia berusia 25 tahun.
¤ Retardasi mental
Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, defisit koordinasi dan
motorik dan status epileptikus pernah dilaporkan sebagai gejala sisa kejang
demam. Kejang yang berkepanjangan tampaknya merupakan faktor pemicu
timbulnya sekuele.

Pencegahan
Pencegahan terutama dari kejang demam adalah mencegah agar suhu tubuh
anak tidak terlalu tinggi sehingga tidak menjadi faktor pemicu timbulnya kejang.3
Hal yang dapat dilakukan ialah:
¤ Memberi kompres air dingin pada anak yang demam.
¤ Tidak mengenakan baju yang tebal dan tertutup pada anak.
¤ Menggunakan obat penurun suhu tubuh, yaitu Paracetamol.
Pencegahan sekunder berupa mencegah rekurensi demam telah dibahas di bagian
penatalaksanaan, yaitu dengan pemberian diazepam oral 0,33 mg/kg setiap 8 jam.

Prognosis

18
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik
dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi
terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-
Buchthal (1973) mendapatkan:
¤ Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50% dan pria 33%.
¤ Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat
kejang 25%.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Kejang-kejang pada masa anak-anak.
Ilmu kesehatan anak nelson. Vol 3. Ed 15th. Jakarta: EGC; 2004.hal.2059-
60.
2. Abraham MR, Julien IE, Colin DR. Sistem saraf. Buku ajar pediatric
Rudolph. Vol 3. Ed 20th. Jakarta: EGC; 2007.hal.2160-1.
3. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Kejang demam sederhana. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak. Vol 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2003.hal.1190-2.
4. Taslim SS, Sofyan I. Kejang demam. Buku ajar neurologi anak. Jakarta:
Balai Penerbit IDAI; 2001.hal.244-51.
5. Roy M, Simon JN. Kejang demam. Pediatrika. Ed 7th. Jakarta: Erlangga:
2005.hal.112-4.

20

You might also like