You are on page 1of 40

c

JOURNAL READING

CASE BASED DISCUSSION


“Seorang Anak 14 Tahun dengan Keluhan Penurunan Pendengaran”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Ujian Kepanitraan Klinik


Ilmu Penyakit THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Pembimbing :

dr. Sukamta Yudi, Sp. THT

Disusun oleh :
Deviana Mutiara A
H2A012017

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD TUGUREJO SEMARANG

2017

HALAMAN PENGESAHAN
1
Nama : Deviana Mutiara A
NIM : H2A012017
Fakultas : Kedokteran Umum
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit THT-KL
Pembimbing : dr. Sukamta Yudi, Sp. THT

Telah dipresentasikan pada tanggal Desember 2017.

Pembimbing

dr. Sukamta Yudi, Sp. THT

2
BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. F
Alamat : Semarang
Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 14 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMP
Status : Belum menikah
Tanggal periksa : Sabtu, 02 Desember 2017

2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poli THT RSUD Tugurejo pada tanggal 02
Desember 2017 pukul 10.00 WIB secara autoanamnesis.
a. Keluhan utama
Penurunan pendengaran
b. Riwayat Penyakit Sekarang
±4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh
pendengarannya menurun. Pendengaran menurun dirasakan tiba-tiba
pada malam hari saat pasien akan tidur. Pasien merasa pendengarannya
tidak seperti biasanya, terutama pada telinga kanannya. Ketika pasien
menutup telinga kiri, pasien merasa bila telinga kanannya mengalami
penurunan pendengaran. Pasien juga merasa akhir-akhir ini telinga
sering berdenging dan kadang-kadang nyeri. Nyeri yang dirasakan
hilang timbul. Pasien tidak mengeluh keluar cairan, darah dari telinga
ataupun kotoran dari telinga. Pasien juga tidak mengeluh telinga penuh
ataupun gembrebeg pada telinga kanan.

3
1 minggu belakangan ini pasien juga merasa tenggorokannya
tidak enak. nyeri telan ketika menelan. Nyeri dirasakan hilang timbul.
Pasien merasa nyerinya bertambah berat ketika menelan makanan.
Pasien juga mengeluhkan hampir setiap 2 bulan sekali tenggorokannya
gatal dan batuk-batuk. Pasien tidak memiliki alergi obat, makanan
ataupun debu dan bulu bulu binatang. Keluhan demam, pilek, sesak,
ngorok saat tidur, bersin-bersin, hidung tersumbat disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit serupa sebelumnya : disangkal
 Riwayat ISPA : diakui, hampir setiap 2
bulan sekali mengalami batuk dan rasa tidak enak di tenggorokan.
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Batuk lama/ pengobatan 6 bulan : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan ditanggung menggunakan asuransi BPJS. Kesan
ekonomi cukup.

3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah :-
Nadi : 88 x/menit
Nafas : 21x/menit
Suhu : 36,5oC (axiller)
Berat badan : 55 kg
4
Kulit : Sawo matang
Kepala : Mesosefal
Wajah : simetris (+), facies adenoid (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis
(-/-), skleraikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,
lapang pandang + normal
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (+) pada
daerah submandibula
Jantung : dalam batas normal
Paru : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
b. Status Lokalis
1) Telinga
Telinga AD AS

Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)

Retroaurikula Dbn Dbn

Aurikula Nyeri tarik (-), Nyeri tarik (-), kelainan


kelainan congenital (-) congenital (-)

Tragus pain Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Mastoid Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Canalis akustikus eksternus (otoskop)


Canalis akustikus AD AS
eksternus
Mukosa hiperemis (-) (-)

Discharge (-) (-)

Serumen (+) (+)

Granulasi (-) (-)

5
Furunkel (-) (-)

Jamur (-) (-)

Corpus alienum (-) (-)

Membran timpani (otoskop)


Membran timpani AD AS

Warna Hiperemis Jernih

Reflek cahaya (+) (+)

Perforasi (-) (-)

Bulging (-) (-)

Retraksi (-) (-)

Eksudat (+) (-)

2) Hidung
Hidung luar
Bentuk Dbn

Massa (-)

Deformitas (-)

Radang (-)

Kelainan congenital (-)

Nyeri tekan (-)/(-)

Hidung dalam
Rinoskopi Kanan Kiri
anterior
Mukosa Edem (-), hiperemi (-) Edem (-), hiperemi (-)

Konka Permukaan rata Permukaan rata


Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)

6
Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Septum deviasi (-) (-)

Discharge (-) (-)

Massa (-) (-)

Sinus paranasal
Sinus Frontal Sinus Maxilla Sinus Etmoid
Hiperemis (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Bengkak (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Nyeri Tekan (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Nyeri Ketok (-)/(-) (-)/(-) (-)/(-)
Transluminasi Tidak dilakukan

3) Rongga mulut dan orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mulut Mukosa Tenang
Mulut Bersih
Lidah Tidak ada deviasi
Palatum Reflek muntah (+)
Hiperemis (-) permukaan licin,
warna sama dengan kulit sekitar,
konsistensi kenyal, berbatas
tegas, tidak mobil, nyeri tekan (-).
Caries (-)
Gigi geligi Ditengah, dalam batas normal
Uvula
Tonsil Permukaan Tidak rata
Ukuran T2 – T2
Warna Hiperemis (+)
Kripta Melebar
Detritus (-)
Faring Mukosa Hiperemis (+)
Granulasi (-)
Post Nasal Drip (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah

7
a. Audiometri : memeriksa gangguan pendengaran.
b. Sediaan basah :mengambil sekret untuk diperiksa bakteriologis
(kultur)
c. Lab darah rutin :mengetahui tanda-tanda infeksi akut (leukositosis,
limfosit, neutrofil, dsb).
d. Titer ASTO/ASTO
e. X-photo mastoid
5. RESUME
Pasien an.F, laki-laki, usia 14 tahun dengan keluhan penurunan
pendengaran sejak 4 hari yang lalu. Keluhan pada telinga sebelah kanan
secara tiba-tiba dirasakan pada malam hari saat akan tidur. Telinga
sering berdenging, dan terdapat adanya nyeri hilang timbul. Tidak
keluar cairan,darah atau kotoran dari telinga.
1 minggu akhir-akhir ini mengeluh tenggorokan tidak enak. Nyeri
telan ketika menelan dirasakan hilang timbul. hampir setiap 2 bulan
sekali tenggorokannya gatal dan batuk-batuk. Pasien tidak memiliki
alergi obat, makanan ataupun debu dan bulu bulu binatang. Keluhan
demam, pilek, sesak, ngorok saat tidur, bersin-bersin, hidung tersumbat
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik tanda vital, nadi 88x/menit, RR :
21x/menit, suhu 36,5oC, pembesaran kelenjar getah beling didaerah
submandibula. Status lokalis pada liang telinga kanan maupun kiri
didapatkan serumen. Kemudian pada membran timpani telinga kanan
tampak hiperemis, dan terdapat adanya eksudat. Pada tonsil didpatkan
pemeriksaan untuk ukurannya T2 – T2, hiperemis, permukaan tak rata,
kripte melebar. Pada faring didapatkan faring tampak hiperemis.

6. DIAGNOSIS BANDING
1) Otitis Media Akut stadium hiperemis AD
2) Otitis Media Akut stadium supuratif AD
3) Otitis Media Kronik Supuatif
8
4) Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
5) Tonsilitis kronis ekaserbasi akut
6) Faringitis akut
7. DIAGNOSIS KERJA
Otitis Media Akut tipe hiperemi AD
Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
8. TATALAKSANA (Initial Plan)
Otitis Media Akut tipe hiperemis AD
a. Diagnosis :
- Pemeriksaan darah rutin
- X-photo mastoid
- audiometri
b. Terapi :
1) Medikamentosa :

R/ Amoxicilin tablet 500mg No. X


S 3 dd tab 1

R/ Rhinofed tablet No. X


S 2 dd tab 1

R/ Asam mefenamat tab 500mg No.X


S 2 dd tab 1

R/ Tarivid otic ED No. 3x gtt III


c. Monitoring :
 Keadaan umum
 Tanda vital
 Evaluasi Pendengaran
d. Edukasi :
 Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan telinga dan tidak
mengorek-ngorek liang telinga dengan benda keras.

9
 Antibiotik harus digunakan sampai habis walaupun gejala sudah
hilang, agar penyembuhan berlangsung baik dan tidak terjadi
komplikasi.
 Untuk sementara, telinga kanan jangan dulu terkena air. Bila mandi
telinga kanan ditutup dengan kapas.

 Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi,


olahraga teratur, istirahat yang cukup dan minum obat teratur.
 Datang kembali untuk kontrol, untuk melihat perkembangan
peyembuhan pada gendang telinga.

Tonsilitis Kronik eksaserbasi Akut


Diagnosis :
- Pemeriksaan darah rutin
- Swab tenggorok
- Titer ASTO/ASTO
Terapi :
Medikamentosa :

R/ Amoxicilin tablet 500mg No. X


S 3 dd tab 1

R/ Asam mefenamat tab 500mg No.X


S 2 dd tab 1

e. Monitoring :
 Keadaan umum
 Tanda vital
f. Edukasi :
 Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, minuman atau
makanan dingin, manis, pedas, gorengan atau yang mengiritasi
tenggorokan

10
 Menjaga hogienitas mulut dan tubuh agar tidak terjadi peradangan
berulang.
 Edukasi untuk kemungkinan operasi amandel jika amandel semakin
besar, terjadi infeksi berulang, tidak membaik dengan pengobatan
 Datang kembali untuk kontrol setelah 3 hari, untuk melihat
perkembangan

9. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
b. Quo ad sanam : Dubia ad bonam
c. Qou ad functionam : Dubia ad bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga

Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (daun telinga) dan canalis
auditorius eksternus ( liang telinga ). Telinga dalam terdiri dari koklea ( rumah
siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah
kanalis semisirkularis.

Anatomi telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari 3 bagian yaitu membran timpani, cavum


timpani dan tuba eustachius.

1. Membrana timpani

Membrana timpani memisahkan cavum timpani dari kanalis akustikus


eksternus. Letak membrana timpai pada anak lebih pendek, lebih lebar dan lebih
horizontal dibandingkan orang dewasa. Bentuknya ellips, sumbu panjangnya 9-10
mm dan sumbu pendeknya 8-9 mm, tebalnya kira-kira 0,1 mm.

12
Membran timpani terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa (merupakan bagian
terbesar) yang terletak di bawah malleolar fold anterior dan posterior dan pars
flacida (membran sharpnell) yang terletak diatas malleolar fold dan melekat
langsung pada os petrosa. Pars tensa memiliki 3 lapisan yaitu lapiasan luar terdiri
dari epitel squamosa bertingkat, lapisan dalam dibentuk oleh mukosa telinga
tengah dan diantaranya terdapat lapisan fibrosa dengan serabut berbentuk radier
dan sirkuler. Pars placida hanya memiliki lapisan luar dan dalam tanpa lapisan
fibrosa.

Vaskularisasi membran timpani sangat kompleks. Membrana timpani


mendapat perdarahan dari kanalis akustikus eksternus dan dari telinga tengah, dan
beranastomosis pada lapisan jaringan ikat lamina propia membrana timpani. Pada
permukaan lateral, arteri aurikularis profunda membentuk cincin vaskuler perifer
dan berjalan secara radier menuju membrana timpani. Di bagian superior dari
cincin vaskuler ini muncul arteri descendent eksterna menuju ke umbo, sejajar
dengan manubrium. Pada permukaan dalam dibentuk cincin vaskuler perifer yang
kedua, yang berasal dari cabang stilomastoid arteri aurikularis posterior dan
cabang timpani anterior arteri maksilaris. Dari cincin vaskuler kedua ini muncul
arteri descendent interna yang letaknya sejajar dengan arteri descendent eksterna.

2. Kavum timpani

Kavum timpani merupakan suatu ruangan yang berbentuk irreguler


diselaputi oleh mukosa. Kavum timpani terdiri dari 3 bagian yaitu epitimpanium
yang terletak di atas kanalis timpani nervus fascialis, hipotimpananum yang
terletak di bawah sulcus timpani, dan mesotimpanum yang terletak diantaranya.

Batas cavum timpani ;

Atas : tegmen timpani

Dasar : dinding vena jugularis dan promenensia styloid

Posterior : mastoid, m.stapedius, prominensia pyramidal

13
Anterior : dinding arteri karotis, tuba eustachius, m.tensor timpani

Medial : dinding labirin

Lateral : membrana timpani

Kavum timpani berisi 3 tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan


stapes. Ketiga tulang pendengaran ini saling berhubungan melalui artikulatio dan
dilapisi oleh mukosa telinga tengah. Ketiga tulang tersebut menghubungkan
membran timpani dengan foramen ovale, seingga suara dapat ditransmisikan ke
telinga dalam.

Maleus, merupakan tulang pendengaran yang letaknya paling lateral.


Malleus terdiri 3 bagian yaitu kapitulum mallei yang terletak di epitimpanum,
manubrium mallei yang melekat pada membran timpani dan kollum mallei yang
menghubungkan kapitullum mallei dengan manubrium mallei. Inkus terdiri atas
korpus, krus brevis dan krus longus. Sudut antara krus brevis dan krus longus
sekitar 100 derajat. Pada medial puncak krus longus terdapat processus
lentikularis. Stapes terletak paling medial, terdiri dari kaput, kolum, krus anterior
dan posterior, serta basis stapedius/foot plate. Basis stapedius tepat menutup
foramen ovale dan letaknya hampir pada bidang horizontal.

Dalam cavum timpani terdapat 2 otot, yaitu :

- M.tensor timpani, merupakan otot yang tipis, panjangnya sekitar 2 cm, dan
berasal dari kartilago tuba eustachius. Otot ini menyilang cavum timpani ke lateral
dan menempel pada manubrium mallei dekat kollum. Fungsinya untuk menarik
manubrium mallei ke medial sehingga membran timpani menjadi lebih tegang.

- M. Stapedius, membentang antara stapes dan manubrium mallei dipersarafi oleh


cabang nervus fascialis. Otot ini berfungsi sebagai proteksi terhadap foramen
ovale dari getaran yang terlalu kuat.

14
3. Tuba eustachius

Kavitas tuba eustachius adalah saluran yang meneghubungkan kavum


timpani dan nasofaring. Panjangnya sekitar 31-38 mm, mengarah ke antero-
inferomedial, membentuk sudut 30-40 dengan bidang horizontal, dan 45 dengan
bidang sagital. 1/3 bagian atas saluran ini adalah bagian tulang yang terletak
anterolateral terhadap kanalis karotikus dan 2/3 bagian bawahnya merupakan
kartilago. Muara tuba di faring terbuka dengan ukuran 1-1,25 cm, terletak setinggi
ujung posterior konka inferior. Pinggir anteroposterior muara tuba membentuk
plika yang disebut torus tubarius, dan di belakang torus tubarius terdapat resesus
faring yang disebut fossa rosenmuller. Pada perbatasan bagian tulang dan
kartilago, lumen tuba menyempit dan disebut isthmus dengan diameter 1-2 mm.
Isthmus ini mudah tertutup oleh pembengkakan mukosa atau oleh infeksi yang
berlangsung lama, sehingga terbentuk jaringan sikatriks. Pada anak-anak, tuba ini
lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dibandingkan orang dewasa,
sehinggga infeksi dari nasofaring mudah masuk ke kavum timpani.

A. Definisi

Peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius,


antrum mastoid dan sel-sel mastoid.1

15
B. Etiologi

Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus, Escherchia


Coli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus Vulgaris dan Pseudomonas
aurugenosa, M. catarrhalis, H. influenza, S. pneumonia. Virus seperti
rhinovirus (HRV), polyomavirus (HPyV), adenovirus (HAdV), bocavirus
(HBoV), dan coronavirus (HCoV).1

C. Patogenesis1

 Perubahan tekanan udara


tiba-tiba
 Alergi
 Infeksi Sembuh/normal
 Sumbatan (sekret, tampon,
tumor)

EFUSI

Gangguan tuba

infeksi OME

Tekanan (-) telinga tengah

OMA

Sembuh OME OMS

16
D. Manifestasi klinis dan Klasifikasi1

Stadium Patologi Gejala/Tanda Terapi

Oklusi Tekanan berkurang, Membrane timpani Dekongestan, HCL


efusi (+) normal/keruh efedrin 5%

Hiperemis Pembuluh darah Membrane timpani Dekongestan,HCL


melebar, sekret hiperemis, edema efedrin 5%,
eksudat/serosa antibiotik (ampisilin,
eritromisin),
analgetik

Supurasi Sel epitel superficial Membrane timpani Antibiotik,


rusak sehingga menonjol kearah analgetik,
eksudat menjadi luar, demam, nyeri miringotomi
purulen telinga sangat hebat,
nadi meningkat

Perforasi Rupture membran Nanah keluar, tidak Cuci telinga H2O2


timpani gelisah lagi, demam 3%,antibiotik
berkurang

Resolusi Membrane timpani Sekret berkurang Antibiotik


perlahan kembali sampai kering,
normal gejala sudah tidak
ada

E. Faktor Resiko3
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras,
faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu
(ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain,
abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau
virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba
Eustachius dan lain-lain.
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan
fungsi tidak matang atau imatur tuba eustachius. Selain itu, sistem
pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens
17
terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak
perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous
Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras
lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosial ekonomi juga
berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang
terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga
mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam
pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI
banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak
mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di
pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan
adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena
fungsi tuba eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit
telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi
akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus .

18
F. Mekanisme Inflamasi1

Rangsangan yang tidak mengenakkan

Gangguan membrane sel

Fosfolipid

Asam Arakhidonat

Leukotrin Prostaglandin Prostaglandin Tromboksan


(COX2) (COX1) (COX1)

LTB4 LTC4/D4/E

Atraksi / aktivasi fagosit Modulasi leukosit

Inflamasi
Perubahan permeabilitas
vaskuler, kontraksi
bronchial, peningkatan
sekresi

Inflamasi
Bronkospasme, kongesti,
penyumbatan mukus

19
G. Stadium
a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi
membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,
refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani
kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.1
b. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran
timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku
di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan
otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih
normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di
kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan
satu hari.1
Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

20
c. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain
itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel
superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah
liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi
dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai
muntah dan kejang. 1
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik
akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-
vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot. 1

Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

d. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat
pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya
pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,
21
anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur
nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau
nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut
otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap
berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.1
Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

e. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa
pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan
berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini
berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa
otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di
kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.1

H. Diagnosis Deferensial
- Otitis media akut stadium oklusi tuba eustachius
22
- Otitis media akut stadium hiperemis
- Otitis media akut stadium supurasi
- Otitis media akut stadium perforasi
- Otitis media akut stadium resolusi
- Otitis Eksternus Akut
- Otitis media supuratif kronik
I. Terapi
Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran
napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan
antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari
komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran
timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.1
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk
anak kurang dari 12 tahun atau HClfedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk
anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik.1
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung
dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-
100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.1
23
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh
sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.1
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali
dalam 7 sampai dengan 10 hari.
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran
timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini
berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.1
Tatalaksana Otitis Media Akut Stadium Hiperemis: 2
a. Antibiotika
Terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Bila pasien alergi penisilin berikab eritromisin.
Pada anak berikan ampisilin 50-100 mg/kgBB per hari dibagi 4 dosis,
atau amoksilin 40mg/kBB per hari dibagi 3 dosis, atau eritromisin
40mg/kBB.
b. Dekongestan
Dewasa : HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik (Obat tetes
hidung)
Anak : HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (Obat tetes
hidung)
c. Analgetika
Ibuprofen 3 – 4 x 200 – 400 mg
Paracetamol 3 – 4 x 500 – 1000 m

24
Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi.1
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran
timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat
dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior.
Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi
miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan
terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak
OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur. 1
b. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan
pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau
pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo
dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah
dijalankan.1

25
J. Edukasi
- Hindari kontak dengan air pada bagian telinga yang sakit.
- Hindari memanipulasi telinga yang sakit dengan benda asing khususnya
benda yang tajam.
- Pemakaian obat teratur serta kontrol kembali sehari sebelum obat habis
atau terdapat keluhan kembali.
K. Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang
semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif
kronik. Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi
membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis,
petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).1
Komplikasi OMA dapat dibagi menjadi:4
Komplikasi Intra temporal
a) Otitis Media Supuratif Kronik
Terjadi karena penanganan OMA yang terlambat, penanganan yang
tidak adekuat, daya tahan tubuh yang lemah dan virulensi kuman yang
tinggi. Secara klinis ada 2 stadium yaitu stadium aktif dimana dijumpai
sekret pada liang telingadan stadium nonaktif dimana tidak ditemukan
sekret di liang telinga.
b) Mastoiditis Akut
Adanya jumlah pus yang berlebihan akan masuk mendesak selulae
mastoid dan terjadi nekrosis pada dinding selule dengan bentuk
empiema, mastoidkapsul akan terisi sel peradangan sehingga bentuk
anatomi akan hilang. Infeksi dapat melanjut menembus tulang korteks
sehingga terjadi abses subperiosteal. Pada beberapa kasus dimana
drainase cukup baik akan terjadi keadaan kronik dimana didapat retensi
pus di dalam seluler mastoid yang disebut sebagai mastoid reservoir
dengan gejala utama otore profus.
26
Klinis : panas tinggi, rasa sakit bertambah hebat, gangguan
pendengaran bertambah, sekret bertambah, bengkak dan rasa sakit di
daerah mastoid.
c) Petrositis
Terjadi karena pneumotisasi di daerah os petrosus umumnya kurang
baik. Walau demikian, petrositis jarang terjadi pada OMA.
d) Fasial paralisis
Adanya pembengkakan pada selubung saraf di dalam kanalis falopian
akan terjadi penekanan pada saraf fasial. Pada OMA jarang terjadi
kecuali bial ada kelainan kongenital di mana terdapat hiatus pada kanal
falopian.
Klinis : gejala pertama adalah kelemahan pada sudut mulut yanng
cenderung menjadi berat. Paralisis terjadi pada stadium hiperemi atau
supurasi. Kelumpuhan ini akan sembuh sempurna bila otitis medianya
sembuh
e) Labirintitis
Meskipun jarang terjadi perlu diketahui bahwa infeksi disini adalah
kelanjutan dari petrositis atau karena masuknya kuman melaui foramen
ovale dan rotundum. Peradangan ini dapat mengenai koklea, vestibulum
dan kanalis semi sirkularis. Klinis : mual, tumpah, vertigo dan kurang
pendengaran tipe sensorineural.
f) Proses adhesi atau perlengketan
Dapat terjadi pada otitis media yang berlangsung 6 minggu. Sekret
mukoid yang kental dapat menyebabkan kerusakan tulang pendengaran
atau menyebabkan perleketan tulang pendengaran dengan dinding
cavum timpani.
g) Ketulian
Komplikasi Intrakranial
a) Abses extradural
Terjadi penimbunan pus antara duramater dan tegmen timpani.
Seringkali tegmen timpani mengalami erosi dan kuman masuk ke dalam
27
epitimpani, antrum, adn celulae mastoid. Penyebaran infeksi dapat pula
melalui pembuluh darah kecil yang terdapat pada mukosa periosteum
menuju bulbus jugularis, nervus facialis, dan labirin. Klinis : otalgia,
sakit kepala, tampak lemah.
b) Abses subdural
Jarang terjadi penimbunan pus di ruang antara duramater dan arachnoid.
Penyebaran kuman melalui pembuluh darah. Klinis : sakit kepala,
rangsang meningeal, kadang – kadang hemiplegi.
c) Abses otak
Terjadi melalui trombophlebitis karena ada hubunganb antara vena –
vena daerah mastoid dan vena – vena kecil sekitar duramater ke
substansia alba. Klinis : sakit kepala hebat, apatis, suhu tinggi, tumpah,
kesadaran menurun, kejang, papil edema.
d) Meningitis otogenik
Terjadi secara hematogen, erosi tulang atau melalui jalan anatomi yang
telah ada. Pada anakkomplikasi ini sering terjadi karena pada anak jarak
antara ruang telinga tengah dan fossa media relatif pendek dan
dipisahkan oleh tegmen timpani yang tipis. Klinis : tampak sakit,
gelisah, iritabel, panas tinggi, nyeri kepala, rangsang meningeal (+).
e) Otitic Hodrocephalus
Jarang terjadi. Infeksi ini terjadi melalui patent sutura petrosquamosa.
Klinis : sakit kepala terus – menerus, diplopia, paresis N VI sisi lesi,
mual, tumpah, papil edem.

28
1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring
merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak
kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian
tengah faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan
tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah
faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari
saluran pencernaan bagian atas(4).
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang, dan lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus
sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana
dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di
sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba
Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung
posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba
Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius(5). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa
organ penting:
 Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah
kubah.
 Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
 Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian
kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan
ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
 Koana posterior rongga hidung.
29
 Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen
hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
 Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal
dari oksipital dan arteri faringeal asenden.
 Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya
dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.
 Ostium dari sinus-sinus sfenoid(4).
Batas-batas nasofaring:
 Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari
palatum durum.
 Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra
oleh os vomer
 Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan
dari mukosa bagian atas
 Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan
posterior, muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller(4).

Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang
memanjang ke bawah sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan
tosila lingua pada bagian faring ini(6).

Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring
pada daerah setinggi hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke

30
bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir pada cricoid cartilage
pada akhir bagian inferior dari laring(6).

Gambar 1. Faring

2. TONSIL

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla


tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas
dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin
Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi
melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer
menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur
3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada
masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan
bagian terpenting dari cincin waldeyer(4).

Gambar 2. Cincin Waldeyer


31
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring
dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat
orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (4).

Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk
ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris.
Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang
bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang
kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah
intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan
fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan
tonsilla lingualis(4).

Gambar 3. Tonsil Palatina

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1. Anterior : arcus palatoglossus


2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor
pharyngis superior(4).
32
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan


aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke
rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular
node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan
pada akhirnya ke duktus torasikus(4).

3. TONSILITIS KRONIS
a. Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis
disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya
tahan tubuh penderita mengalami penurunan(3).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Pada
pendería tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus
beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus
33
pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan
virus Herpes. Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di
mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah
Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan
Klebsiela(3,4).

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan


tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti
Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus
epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (3).

c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis,
yaitu rangsangan kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah), alergi
(iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan
fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).

d. Patogenesis

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil
tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman
dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun(3).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini

34
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan
disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat
pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis.
Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika
yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah
sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag
tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,3).

e. Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan


tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-
menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada
sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering
dan pernafasan berbau(1).

f. Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju,
3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa
faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada
tonsil,

Gambar 5. Tonsilitis
35
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah
kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil
yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya,
minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe
submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan
rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan
yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini
disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta
tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(3).

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi :

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring(3).

g. Pemeriksaan penunjang
- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada
tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan
ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan
bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk

36
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis
tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan
yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus (3).

h. Penatalaksanaan

1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang


bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis
atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan
mononukleosis).
2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma(3).
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan, serta kecenderungan neoplasma. The American
Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicators
Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah
sebagai berikut :

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah


mendapatkan terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor
pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,

37
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif (1).

3. Faringitis kronik
a. Etiologi
Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas
iritan dan lainnya. Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas
melalui mulut pada keadaan terjadinya obstruksi jalan nafas (contohnya
pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan dengan sinusitis
kronik(7).
b. Gejala
Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan
adanya viscous mucus.
Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya
benda asing di faring(7).

Gambar 5. Faringitis Kronik


c. Diagnosis
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata
akibat adanya hiperplasia dari jaringan limfatik pada dinding posterior
faring (hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak halus, dan mengkilat
pada beberapa kasus (atrofi).
Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya
obstruksi jalan nafas di hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis
kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain seperti deviasi septum atau
hiperplasi konka(7).
38
d. Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan
melakukan kaustik faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau
dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat
kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan
ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya
dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut (1).

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
ke-6 . Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2007
2. Soepardi, Efiaty Arsyad. buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, Tenggrpk,
Kepala dan Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2010
3. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook
of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
4. Riece H. Komplikasi Otitis Media Akuta. Kumpulan Karya Ilmiah.

40

You might also like