You are on page 1of 5

BAB IV

DISKUSI

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki berumur 18 tahun pada

tanggal 17 Desember 2017 di Bangsal Paru bagian ISO CAP + TB Paru dalam

pengobatan kategori I fase lanjutan + Hemaptoe

Pasien mengeluhkan sesak nafas yang meningkat sejak 3 hari sebelum

masuk rumah sakit. Sesak dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Sesak tidak

menciut, sesak tidak dipengaruhi aktifitas. Riwayat terbangun pada malam hari

karena sesak disangkal pasien. Hal ini dapat disebabkan oleh meningkatnya

produksi mukus pada alveolus akibat proses inflamasi, sehingga proses difusi

oksigen tergganggu. Lambat laun akan terjadi ketidakseimbangan antara oksigen

yang masuk dengan kebutuhan oksigen sehingga akan meningkatkan usaha

respirasi dan meningkatkan kebutuhan oksigen. Sesak ini juga dapat disebabkan

oleh efusi pleura yang menghambat pengembangan paru.

Pasien juga mengeluhkan batuk dan meningkat 5 hari sebelum masuk rumah

sakit. Batuk sudah dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, batuk disertai dahak

berwarna putih hingga kuning kental. Batuk berdarah ada. Pasien pernah dirawat

di bangsal penyakit dalam karena batuk darah, dirawat selama 10 hari dan

dilakukan pemeriksaan foto torak dan cek sputum (hasil BTA didapatkan +)

kemudian-, pada bulan agustus 2017 tanggal 19, diberikan pengoatan OAT

kategori I fase intensif (mulai tanggal 22 agustus 2017).Dan ada keluhan nyeri

dada ketika batuk. Batuk merupakan salah satu respon fisiologis tubuh yang terjadi

apabila terdapat iritasi pada dinding saluran nafas. Batuk diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar. Pada batuk akan terjadi peningkatan

tekanan intrakranial dan tarikan otot yang terjadi secara terus-menerus sehingga

akan menimbulkan rasa sakit berupa nyeri dada setiap kali batuk. Batuk disertai

dengan darah terjadi apa bila ada pembuluh darah yang pecah. Pada penderita
tuberkulosis, frekuensi serta intensitas dari batuk akan meningkat. Batuk juga

merupakan salah satu tanda yang cukup signifikan pada penderita tuberkulosis,

dan perlu menjadi perhatian khusus yang jika penderita tuberkulosis batuk, karena

partikel-partikel udara yang dikeluarkan mengandung kuman M. tuberculosis

sehingga akan mempermudah transmisi dari penyakit tuberkulosis.

Pasien juga mengeluhkan adanya keringat malam semenjak 4 bulan yang

lalu dan penurunan nafsu makan ada, disertai penurunan berat badan. Pasien juga

mengeluhkan demam, sejak 5 hari yang lalu.. Gejala-gejala tersebut merupakan

gejala malaise yang banyak dialami oleh pasien dengan infeksi tuberkulosis.

Gejala ini semakin lama akan semakin berat dirasakan dan bersifat hilang timbul.

Keringat malam pada pasien tuberkulosis mungkin juga terjadi sebagai respon

TNF-α yang dikeluarkan oleh sel - sel sistem imun akibat infeksi M. tuberculosis.

Demam diakibatkan oleh respon inflamasi terhadap infeksi yang sedang terjadi.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkantotal protein dan albumin rendah,

serta globulin tinggi. Pada pasien TB dapat menunjukan jumlah leukosit yang

normal ataupun bisa lebih dari 20.000 menandakan terdapat proses infeksi yang

lain. Proses infeksi lain pada pasien ini yaitu Community Aquired Pneumonia

(CAP).

Berdasarkan Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang penanggulangan TB,

diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan

pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah

pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.. Pemeriksaan TCM

digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan

pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pada pasien ini

dilakukan TCM dengan menggunakan Gene Expert dengan hasil MTB (+) dan

Resisten Rifampisin (-).

Tatalaksana utama pada pasien ini


IVFD NaCl 0,9%

Inj Meropenem

Inj ranitidine 2 x 1 amp

Inj Kalnex 3x1

Inj vit k 3x1

Parasetamol 3 x 500mg

OAT lanjut

Vit B6 1x1

N asetil sistein 2x1

Pemberian cairan NaCl 0,9% dimaksud untuk menjaga asupan cairan dan juga
nutrisi pasien yang tampak lemah dan kehilangan napsu makan.
Pada pasien ini OAT yang diberikan adalah kategori 1 karena pasien
tergolong kepada tuberkulosis kasus baru. Pengobatan OAT kategori 1 pada kasus
TB paru baru berdasarkan panduan OAT dari Program Nasional Pengendalian
Tubeculosis di Indonesia terdiri dari 6 bulan, yaitu 2 bulan fase intensif dan 4
bulan fase lanjutan.

Regimen OAT yang dianjurkan yaitu kombinasi dosis tetap atau fixed dose
combination (FDC) yang terdiri dari 4 obat untuk fase intensif (Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol) dan 2 obat untuk fase lanjutan (Rifampisin,
Isoniazid). Keuntungan dari pemberian OAT dalam FDC ialah penatalaksanaannya
yang sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal, dapat meningkatkan
kepatuhan pasien meminum obat dan menurunkan resiko penyalahgunaan obat
tungga serta MDR akibat monoterapi. Jumlah tablet FDC yang diberikan per-hari
kepada pasien disesuaikan dengan berat badan pasien.

Dalam pengobatan TB sebagian besar pasien dapat menyelesaikan


pengobatan tanpa efek samping yang berarti. Namun, pada beberapa pasien dapat
terjadi efek samping yang merugikan atau berat. Oleh karena itu, penting untuk
mengajarkan kepada pasien mengenai keluhan dan gejala umum efek samping
OAT sehingga pasien maupun keluarga dapat melapor sesegera mungkin pada
pelayanan kesehatan dan mendapat tatalaksana yang cepat. Efek samping yang
dapat dirasakan oleh pasien diantaranya adalah mual, muntah, warna kemerahan
pada urin, gatal-gatal, gangguan penglihatan, gangguan keseimbangan, neuropati
perifer, hepatitis karena obat, dan lainnya. Pada pasien yang mengalami efek
samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan dan diberikan petunjuk
cara mengatasi keluhan ataupun mendapat pengobatan tambahan untuk
menghilangkan keluhan akibat efek samping OAT. Sementara itu, pada pasien
yang mengalami efek samping berat akibat OAT maka pengobatannya dihentikan
sementara dan dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna tatalaksana
lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.
2. Price dan Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit vol 1.
Ed 6. 2006 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report 2016
(Updated).
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2016.
5. Crofton, S.J. (2009) Clinical tuberculosis. Edited by Hans L. Rieder, Chiang
Chen Yuan, Robert P. Gue, and Donald A. Enarson. 3rd edn. United Kingdom:
Macmillan Education.
6. Jensen, P.A., Lambert, L.A., Iademarco, M.F. and Ridzon, R. (2005)
Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in
health-care settings, 2005. Available at:
http://francais.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5417a1.htm.
7. Ariyothai, N., Podhipak, A., Akarasewi, P., Tornee, S., Smithtikarn, S. and
Thongprathum, P. (2004) ‘Cigarette smoking and its relation to pulmonary
tuberculosis in adults’, The Southeast Asian journal of tropical medicine and
public health., 35(1), pp. 219–27.
8. Lönnroth, K., Williams, B., Stadlin, S., Jaramillo, E. and Dye, C. (2008)
‘Alcohol use as a risk factor for tuberculosis-a systematic review’, BMC
public health., 8. doi: 10.1186/1471-2458-8-289.
9. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2014. Modul Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi: Tuberkulosis paru dan program DOTS.
10. Djojodibroto, R.D. (2014) Respirologi (Respiratory Medicine). Edited by Y.
Joko Suyono and Eva Melinda. 2nd edn. Jakarta: EGC.
11. Hasan H, 2010. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru
2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo.
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. 2016.
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.

You might also like