You are on page 1of 26

STATUS PASIEN

Identitas Pasien
- Nama : Ny. TN
- Umur : 25 tahun
- Pekerjaan : Pegawai Swasta
- Agama : Islam
- Suku Bangsa : Indonesia
- Anamnesis : Autoanamnesis
- No. MR : 00 76 03 XX
- Alamat : Tanjung Priuk
- Tgl. Masuk/Jam MRS : 08 Juni 2016/12.20
- Dokter yang Merawat : dr. Aranda, Sp.OG

Anamnesis

- Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan keluar darah pervaginam sejak 2 hari yang lalu.
- Riwayat Penyakit Sekarang
OS mengeluh keluar darah pervaginam sejak 2 hari yang lalu, darah yang keluar
berwarna merah, banyaknya darah yang keluar kurang lebih ½ pembalut kecil, dalam satu
hari ganti pembalut 2 kali, pada pukul 09.00 darah yang keluar semakin banyak dan
berlanjut menjadi seperti gumpalan darah, keluarnya gumpalan darah disertai mulas
seperti kontraksi ingin melahirkan. Os juga mengeluh nyeri setelah pada perut bagian
bawah, sifat nyerinya hilang timbul. Os mengaku 3 hari yang lalu kecapean ada acara
pengajian di rumah.

1
- Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Operasi Amandel 2009
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
 Riwayat asma disangkal
- Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah menderita penyakit Hipertensi. Riwayat diabetes melitus dan asma disangkal.
- Riwayat Pengobatan dan Alergi:
OS mengaku tidak sedang menjalani pengobatan jangka panjang. OS mengaku tidak
memiliki riwayat alergi obat maupun alergi makanan.

- Riwayat Psikososial:

OS mengaku jarang olahraga hanya jalan pagi saja. Pola makan teratur, sering
mengkonsumsi buah dan sayur. Selama hamil nafsu makan meningkat. Tidak meminum
minuman beralkohol, tidak merokok.

Riwayat Obstetri
- Riwayat Perkawinan:
Masih menikah, pernikahan pertama sejak tahun 2016
- Riwayat Haid:
Menarche usia 11 tahun, haid teratur, siklusnya 28 -30 hari, lama haid 5 – 7 hari, tidak
nyeri setiap haid,
- HPHT:
28 April 2016

Riwayat Persalinan

- Gravida (1), Aterm (0), Prematur (0), Abortus (0), Anak Hidup (0), SC (0)

No Tempat Penolong Tahun Aterm Jenis Jenis BB/PB Keadaan


Bersalin Persalinan Kelamin

1. Hamil
Ini

2
Pemeriksaan USG

- Terlihat masih ada sisa konsepsi di dalam kavum uterus

Pemeriksaan Fisik

- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


- Kesadaran : Composmentis
- BB : 65 kg
- TB : 160 cm
- IMT : 25 = Overweight

Tanda Vital
- Suhu : 36.7⁰C
- TD : 100/80 mmHg
- RR : 19x/menit
- Nadi : 75x/menit reguler, isi cukup

Status Generalis
- Kepala : Normocephal
- Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, reflex pupil +/+
- Mulut : Kering (-), sianosis (-)
- Leher : Pembesaran KGB submandibula -/-, pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Thoraks : Normochest, gerak simetris
- Paru : Vesikular +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
- Jantung : Bunyi Jantung I & II murni, regular
- Ekstremitas:

Atas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT <2 detik


Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT <2 detik

3
Status Obstetri
- TFU : -
- TBJ :-
- His :-
- DJJ :-
- Palpasi Abdomen

 Inspeksi :-
 Leopold I :
 Leopold II :
 Leopold III : Tidak bisa diinterpretasikan
 Leopold IV :

- Pemeriksaan Dalam
Portio tebal, tidak ada massa atau benjolan, pembukaan 1 cm, ada gumpalan darah kecil
sebesar ujung jarum, dan darah (+).

4
Pemeriksaan Laboratorium
08/06/2016 11.30
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Masa Perdarahan 2.00 menit 1,00 – 03,00

Masa Pembekuan 4.00 menit 4,00 – 06,00

08/06/2016 14:21

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Hemoglobin 11.5 g/dl 11,7 – 15,5

Jumlah leukosit 10.59 103/цL 3.60 - 11.00

Hematokrit 33 % 35 – 47

Eritrosit 5.58 106/цL 3.80 - 5.20

MCV/VER 81 fL 80-100

MCV/HER 27 pg 26-34

5
Resume

G1P0A0 Hamil 6 minggu datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan keluar darah sejak
2 hari SMRS. Darah yang keluar berwarna merah, banyaknya darah yang keluar kurang lebih ½
pembalut kecil, dalam satu hari ganti pembalut 2 kali, pada pukul 09.00 darah yang keluar
semakin banyak dan berlanjut menjadi seperti gumpalan darah, keluarnya gumpalan darah
disertai mulas seperti kontraksi ingin melahirkan. Os juga mengeluh nyeri setelah pada perut
bagian bawah, sifat nyerinya hilang timbul. Os mengaku 3 hari yang lalu kecapean ada acara
pengajian di rumah. Pemeriksaan Fisis tekanan darah 100/80 mmHg, RR: 19x/menit, N:
75x/menit, suhu: 36,7⁰C. BB: 65, TB: 160, dan IMT tergolong Overweight. Terdapat nyeri perut
bagian bawah, Pada pemeriksaan dalam didapatkan portiotebal, pembukaan 1 cm, tidak terdapat
massa atau benjolan, dan darah (+).

Diagnosa
Ibu : Ny. TN G1P0A0 hamil 6 minggu + perdarahan pervaginam suspect abortus incomplete
Anak : kematian mudigah

Rencana Tindakan:
 Observasi TTV
 USG
 Observasi perdarahan pervaginam
 Pro Curetage
 Pemasangan Laminaria
 IVFD RL 20 tpm

Prognosis
- Ibu : Bonam
- Janin : Malam

6
Follow Up sebelum Curetage

Tanggal S O A P

08/06/2016 Keluar TD: G1P0A0 - Inf. RL20 tpm


13.00 darah 100/80 hamil 6 - Observasi KU
pervaginam N: 75 minggu + - Observasi
S:36.7oC abortus Perdarahan
P: 18 incomplete
08/06/2016 Keluar TD: G1P0A0 - Inf. RL20tpm
17.00 darah 110/70 hamil 6 - Observasi KU
pervaginam N: 78 minggu + - Observasi
S: 36oC abortus Perdarahan
P: 19 incomplete - Pemasangan
Laminaria
09/06/2016 Keluar TD: G1P0A0 - Inf. RL20tpm
08.00 darah 110/70 hamil 6 - Observasi KU
pervaginam N: 80 minggu + - Observasi
mulai S:36,5oC abortus Perdarahan
berkurang P: 19 incomplete

7
LAPORAN CURETAGE

Curetage dilakukan tanggal 09 Juni 2016 jam 13.00 WIB

Dilakukan anastesi IV

Dilakukan antisepsis

Dipasang speculum, tampak portio terbuka dengan massa di ostium, pembukaan 4 cm, portio
tipis.

Dengan tang abortus dikeluarkan jaringan ±10cc dan sisa konsepsi kesan adhesia ke anterior

Dilakukan kuretase di dasar fundus, jaringan minimal.

Diyakini perdarahan minimal. Tindakan dihentikan.

Portio dicuci dengan povidon iodine.

8
Follow Up Post Curetage

Tanggal S O A P

09/06/2016 Nyeri TD: G1P0A0 - Inf. RL20tpm


17.00 post 100/70 hamil 6 - Cefixime tab 100mg
curetage N: 78 minggu + 2x2
(+) S: 36.7oC abortus - Zaldiar 3x1
P: 16 incomplete - Pospargin 3x1
10/06/2016 Nyeri TD: G1P0A0 - Inf. RL20tpm
05.00 post 110/70 hamil 6 - Cefixime tab 100mg
curetage N: 78 minggu + 2x2
(+) S: 36oC abortus - Zaldiar 3x1
P: 18 incomplete - Pospargin 3x1

9
ABORTUS
Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan,
sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus,
abortus provokatus ini dibagi dua kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk
menyelamatkan ibu. Pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu Kebidanan
dan kandungan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis jiwa. Bila perlu dapat ditambah
pertimbangan oleh tokoh agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan, harus
diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di kemudian hari.

Epidemiologi
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak
dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor
atau berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan abortus spontan
atau kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan mengalami 2
keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari psangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang
berurutan.

Etiologi

Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut.
 Faktor Genetik
o Mendelian
o Multifactor
o Robertsonian
o Resiprokal

10
 Kelainan kongenital uterus
o Anomali duktus Mulleri
o Septum uterus
o Uterus bikornia
o Inkompetensi serviks uterus
o Mioma uteri
o Sindroma Asherman
 Autoimun
o Aloimun
o Mediasi imunitas humoral
o Mediasi imunitas seluler
 Defek fase luteal
o Faktor endokrin eksternal
o Antibody antitiroid hormon
o Sintesis LH yang tinggi
 Infeksi
 Hematologik
 Lingkungan
Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya.
Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi
setelah trimester pertama.

Penyebab Genetik

Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit
50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun,
gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya
kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau
multifactor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan
sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidy yang disebabkan oleh kejadian sporadic,

11
misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus
karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomy autosom. Triploidi ditemukan
pada 16% kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma
(dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomy timbul akibat dari nondisjunction
meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar
trisomy, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomy
meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh
trisomy, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomy berakhir abortus kecuali
pada trisomy kromosom 1. Sindroma turner merupakan penyebab 20-25% kelainan sitogenetik
pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan sindroma Down (trisomy 21) bisa bertahan.
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetic amniosentesis pada semua
ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu diatas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidy adalah
1:80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomy akan
meningkat setelah usia 35 tahun.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos,
homositeinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia
berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan
hematologic lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrogenemi, defisiensi faktor XIII dan
hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal,
dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian
abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

Penyebab Anatomik
Defek anatomic uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetric, seperti abortus
berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insidensi kelainan bentuk uterus berkisar 1/200
sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus
pada 27% pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hasil hanya 18.8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,

12
mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan
36,5% mengalami persalinan abnormal (premature, sungsang). Penyebab kemudian uterus
bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa mneyebabkan baik
infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara gejala, hanya yang berukuran
besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan.
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah
pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya
gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histersalpingografi (HSG) dan
ultrasonografi (USG).

Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun, misalnya
pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). aPA
merupakan antibody spesifik yang terdapat pada perempuan denga diantara pasin SLE. Kejadian
abortus spontan diantara pasien SLE sekitar 10%, dibanding populasi umum. Jika digabung
dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75%
pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin
dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibody yang akan berikatan dengan sisi
negative dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis
yang penting, yaitu Lupus Anticoagulan (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan
biologically false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid syndrome) sering
juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetric, misalnya pada preeklamsia, IUGR dan
prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu thrombosis arteri-
vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.

The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS,
yaitu meliputi:
 Trombosis vascular
- Satu atau lebih episode thrombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan
dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi
- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi

13
 Komplikasi kehamilan
- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan
anatomic, genetic, atau hormonal.
- Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi secara sonografi
normal
- Satu atau lebih persalinan premature dengan gambaran janin normal dan
berhubungan dengan preeklamsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.
 Kriteria laboratorium
- aCL: IgG atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih
pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu
- aCL diukur dengan metode ELISA standar
 Antibody fosfolipid/antikoagulan
- Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT, dan CT)
- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan
plasma platelet normal
- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid
- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin.
aPA ditemukan kurang dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20% pada
perempuan dengan SLE. Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas,
akibat adanya atherosis dan oklusi vascular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap β-2
glikoprotein 1 yang lebih spesifik.
Pemberian antikoagulan seperti aspirin, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil yang
efektif. Pada percobaan hewan, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone plasenta dan
melindungi kerusakan jaringan plasenta.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap
prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregasi trombosit, penurunan C-reactive
protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan
pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan diatas 10 minggu.
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah,
prednisone, immunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan
pemberian heparin 5000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin

14
dari 50% jadi 80% pada perempan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes APLAs
positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu
pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.

Penyebab Infeksi
Teori pesan mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan
yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada
kejadian abortus antara lain:
 Bakteria
 Virus
 Parasite
 Spirokaeta
 Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung
pada janin atau unit fetoplasenta.
 Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit
bertahan hidup.
 Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin
 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (missal Mikoplasma
hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses
implantasi.
 Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes).
 Memacu perubahan genetic dan anatomic embrio, umumnya oleh karena virus selama
kehamilan awal (misalnya rubella, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie virus B,
varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV)
Faktor Lingkungan

Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi
dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan
tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang
telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon

15
monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan
adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin
yang berakibat terjadinya abortus.
Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem
pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon
secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar
progesterone.
 Diabetes mellitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek
jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar
HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat signifikan.
Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali
lipat mengalami abortus.
 Kadar progesterone yang rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corner mempublikasikan tentang proses
fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesterone yang rendah
berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan
sekitar 7 minggu, yaitu saat dimana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk
menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan
abortus. Dan bila progesterone diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.
 Defek fase luteal
Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesterone saat fase
luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23-60% perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya
belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini.
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama
dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan 50% perempuan dengan histologi
defek fase luteal punya gambaran progesterone yang normal.
 Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua

16
Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus.
Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga proses migrasi
trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Pada proses ini interaksi antara
trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa
Large Granular Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B.
Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar
progesterone. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama mempunyai
peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan mendahului membunuh sel
target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas ekstravillous (dengan pembentukan
cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK desidua, sehingga memungkinkan terjadinya
invasi optimal untuk plasentasi yang normal.

Faktor Hematologik

Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik
memgang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan
terjadi keadaaan hiperkoagulasi dikarenakan:

 Peningkatan kadar faktor prokoagulan

 Penurunan faktor antikoagulan

 Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama
pada kehamilan sebelum 12 minggu. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus,
sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan
yang berlebihan pada usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin
memacu vasospasme serta agregasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta
nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.

Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan thrombosis sitematik ataupun


plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan thrombosis sitematik ataupun plasenter
dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari 22% kasus.

17
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sistein.
Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan thrombosis dan
penyakit vascular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulan. Gen pembawa
akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.
Pada pasien ini penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein normal dalam
beberapa hari.

Macam-macam Abortus
Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi yang
terjadi.
Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada
umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada
keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup dan besarnya
uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin positif. Untuk menentukan
prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG pada urin dengan
cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10.
Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila negative maka
prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed
consent yang diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan
harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk
mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi
pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometrii janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan
umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin diperhatikan disamping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
secara transabdominal maupun transvaginal. Pada USG transabdominal lebih baik pasien
menahan kencing untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG lebih
jelas.

18
Abortus Insipiens

Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan
ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam
proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin
sudah mulai pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan
hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi
disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan diatas 12 minggu, uterus
biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu
dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil
diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding
uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika
profilaksis.
Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus. Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila diperlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.

19
Abortus inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus dimana
pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum
uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya
pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian
placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam
keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan
pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan
hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG
hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis klinis. Besar uterussudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hiperekoik
yang bentuknya tidak beraturan.
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil
konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjak terjadinya kontraksi uterus segera
dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya
dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretasi dilakukan secara hati-hati sesuai dengan keadaan
umum ibu dan besarnya uterus. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun
peroral dan antibiotika.
Missed Abortion

Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan
sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apapun kecuali merasakan
pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan diatas 14 minggu
sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda
kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Kadangkala missed abortion juga diawali
dengan abortus iminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada
pemeriksaan tes urin kehamilan pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil,
kantong gestasi yang mengecil, dan bertuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak
ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus
20
diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena
hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung
dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan
diatas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku
dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau
mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberikan
infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500cc dekstrose 5% tetesan
20tpm dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk
mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari
dan kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi
berhasil keluar dengan induksi ini dilanjurkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
Pada decade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau
sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak
disebutkan adalah dengan pemberian misoprostol secara sublingual sebanyak 400mg yang dapat
diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi
atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan
untuk megosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih
besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kut.
Apabila terdapat hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen.
Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan pemberian
antibiotika.

Abortus habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turu.
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi
kehamilan berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian
abortus habitualis sekitar 0.41% dari seluruh kehamilan.
Sebab abortus habitualis dapat dibagi dalam 2 golongan:
1. Sel benih yang kurang baik: pada saat ini kita belum tahu bagaimana mengobatinya
2. Lingkungan yang tidak baik: hal-hal yang dapat mempengaruhi lingkungan ialah:

21
a. Dysfungsi glandula thyroidea: hypofungsi kelenjar ini dapat diobati dengan
pemberian thyroid hormon
b. Kekurangan hormon-hormon corpus luteum atau placenta. Kekurangan hormon
diatasi dengan terapi substitusi misalnya sering diberi progesterone.
c. Defisiensi makanan seperti asam folin
d. Kelainan anatomis dari uterus yang kadang-kadang dapat dikoreksi secara
operatif: uterus duplex.
e. Cervix yang incompetent: cervix yang incompetent sudah membuka pada bulan 4
ke atas: akibatnya ketuban mudah pecah dan terjadi abortus. Cervix dapat menjadi
incompetent setelah portio amputasi atau karena robekan cervix yang panjang.
Abortus karena cervix yang incompetent dapat dicegah dengan operasi Shirodkar
atau McDonald.
f. Hypertensia essentialis
g. Golongan darah suami istri yang tidak cocok; sistim ABO atau faktor Rh
h. Toxoplasmose.

Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan
reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive
(TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus.
Kelainan ini dapat diobati dengan transfuse leukosit atau heparinisasi. Namun, decade terakhir
ini menyarankan perlunya mencari penyebab abortus secara lengkap sehingga dapat diobati
sesuai dengan penyebabnya.
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialan inkompetensia serviks yaitu keadaan
dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium serviks akan membuka (inkompeten)
tanpa disertai rasa mules/kontraksi Rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini
sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan
usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis
servikalis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks dapat diketahui dengan anamnesis yang cermat. Dengan
pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput

22
ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi
8mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil
seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk
memberikan fiksasi pada serviks agar dapat menerima beban dengan berkembangnya umur
kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14 minggu dengan cara Shirodkar atau
McDonald dengan melingkari kanalis servikalis dengan benang sutera/Mersilene yang tebal dan
simpul baru dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.
Abortus Infeksiosus, Abortus Septik

Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik
ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peradaran darah tubuh atau peritoneum
(septikemia atau peritonitis).

Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi
apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus infeksiosus dan
abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi
yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat ke
seluruh tubuh (sepsis, septicemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septik.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus
yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi,
tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar
dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis.
Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan
tekanan darah turun.

Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan


perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman
yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama
dapat diberikan penisilin 4x1.2 juta unit atau ampisilin 4x1 gram ditambah gentamisin 2x80mg
dan metronidazole 2x1gram. Selanjutnya antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur.

Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam
setelah antibiotika adekuat diberikan.jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi dengan
uterotonika.

Antibiotic dilanjurkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotic yang lebih sesuai. Apabila
ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vagina/uterus
dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerktomi total secepatnya.

23
Penatalaksanaan Abortus

Abortus imminens
Ada harapan bahwa kehamilan dapat berlangsung terus, pasien diminta untuk:
- Bed rest
- Diberi sedative, misalnya luminal, codein, morphin
- Progesterone 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi
kerentanan otot-otot Rahim (misalnya gestanon)
Istirahat rebah tidak usah melebihi 48 jam. Kalau telur masih baik, perdarahan dalam
waktu ini akan berhenti.
Kalau perdarahan tidak berhenti dalam 48 jam maka kemungkinan besar terjadi abortus
dan istirahat rebah hanya menunda abortus tersebut. Jika perdarahan berhenti, pasien harus
menjaga diri, jangan banyak bekerja dan coitus dilarang selama 2 minggu.
Jika perdarahan disebabkan erosi, maka erosi diberi nitras argentii 5-10%; kalau
sebabnya polyp, maka polyp diputar dengan cunam sampai tangkainya terputus.
Selanjutnya kita perhatikan apakah janin masih hidup dengan menentukan apakah rahim
terus membesar.
Jika janin telah mati, maka rahim tidak membesar dan reaksi Galli Mainini menjadi
negative, tapi baiknya dilakukan sekurang-kurangnya 2x berturut-turut. Baru kalau Gailli
Mainini 2x berturut-turut negative artinya.
Abortus incipiens

Karena boleh dikatakan pasti terjadi abortus, maka pengobatan berlainan dengan
pengobatan abortus imminens. Untuk mempercepat pengosongan Rahim diberi oxytocin 2,5
satuan tiap 0,5 jam sebanyak 6 kali. Untuk mengurangi nyeri karena his boleh diberi sedative.
Jika Pitocin tidak berhasil, dapat dilakukan curettage asal pembukaan cukup besar.

Abortus incompletes
Abortus incompletes harus segera dibersihkan dengan curettage atau secara digital.
Selama masih ada sisa-sisa placenta akan terus terjadi perdarahan.
Abortus febrilis/infeksius
Abortus incompletes yang telah disertai infeksi tidak segera dicuretage, kecuali kalau
perdarahan banyak sekali. Jika abortus febrilis dicuret, pagar leucocyte yang menghalangi invasi

24
kuman rusak dan pembuluh-pembuluh darah terbuka, sehingga kuman dapat memasuki
pembuluh darah tersebut dan terjadilah sepsis. Sedapat-dapatnya penderita diberi antibiotika
dulu, curettage baru dikerjakan setelah suhu tenang selama 3 hari.
Missed abortion
Dulu sikap kita menghadapi missed abortion konservatif, mengingat:
- Kesukaran teknik dalam melakukan dilatasi dan curettage
- Kemungkinan infeksi besar
Sekarang kecenderungan untuk menyelesaikan missed abortion lebih aktif karena adanya
oxytocin dan antibiotika. Segera setelah kematian janin dapat dipastikan, diberi Pitocin
misalnya 10 satuan dalam 500cc glukosa.
Jika tidak terjadi abortus dengan Pitocin infus ini, sekurang-kurangnya terjadi
pembukaan yang memudahkan curettage. Dilatasi dapat juga dihasilkan dengan
pemasangan laminaria stift.

25
DAFTAR PUSTAKA

Chan, Paul & Susan Johnson. 2004. Gynecology and Obstetrics 2004 Edition New ACOG

Treatment Guidelines. California: Current Clinical Strategies.

Cunningham, F. Gary. 2010. Obstetri Williams, Edisi 23. Jakarta: EGC.

Decherney, Alan & Lauren Nathan. 2003. Current Obstetri and Gynecologic Diagnosis and

Treatment, ninth Edition. Los Angeles: Mc-Graw hill.

Prawirohardjo, Sarwono. 2013. Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawihardjo.

26

You might also like