You are on page 1of 23

BAB II

FUNGSI VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN

DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA

1. Tinjauan Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana

terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah perlakuan yang

sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk menyangkut

perasaan atau batiniah. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum

Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun penegrtian penganiayaan

tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan

menurut pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman. Menurut

Tirtaamidjaja, Pengertian penganiayaan adalah “Menganiaya ialah dengan sengaja

menyebabkab sakit atau luka pada orang lain”. 11 Akan tetapi perbuatan yang

menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai

penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.

Sedangkan menurut Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan

Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :

11
Tirtamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, 1995, hal. 78.

15
16
a. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan

penderitaan badan kepada orang lain.

b. Setiap perbuatan yang dilaukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan

badan orang lain.

Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin,

penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk

menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin di

atas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau

luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam

pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang

dengan sengaja menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh yang terhadap

pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sebagai contoh dapat

dikemukakan :

1) Seorang guru yang memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas.

2) Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam operasi.

Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam

perkembangannya muncul yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan Arrerst

Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang secara substansial menyatakan :

“Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan

suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada

penganiayaan”.12
17
Berdasarkan
12
yurisprudensi ini tersimpul pendapat, bahwa setiap perbuatan
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Djambatan, Jakarta, 1993, hal. 2.
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada
tubuh merupakan penganiayaan. Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin di

atas, maka menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai :

“Suatu perbuatan yang dilakukan dengans engajamenimbulkan rasa sakit atau luka

pada tubuh orang lain, yang akibatnya mana semata-mata merupakan tujuan si

petindak”.13

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiyaan di atas maka rumusan

penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut :

1) Unsur kesenjangan.

2) Unsur perbuatan.

Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu :

a) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh.

b) Luka tubuh.

c) Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.

Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai

di atas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut

sebagai berikut :

1) Unsur kesengajaan.

Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan

sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain

seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu

meliputi
13
kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Biro Konsultasi
Bantuan Hukum Fakultas
kesengajaan sebagaiHukum Universitas Brawijaya, Malang, 1999, hal. 10.
kemungkinan.
18

Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana

penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk),

maka seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila

orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka

pada tubuh. “Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana

penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun

dalam hal-hal tertentu kesengajaan sebagai kemungkinan”.14 Hal ini pernah

dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang

menyatakan :

Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar
kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu
merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini
opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit
seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan
diri dari penagkapan oleh seorang pegawai polisi.15
Bertolak dari Arrest Hoge Raad di atas tersimpul, bahwa kemungkinan

terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi

tidak dilakukannya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu

menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan.

14
Tongat, Op.Cit., hal. 73.
15
Ibid., hal. 74.
19
Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk

menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan

penganiayaan atas pertimbangan , bahwa menstinya ia sadar bahwa perbuatan


yang dilakukannya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit. Namun demikian

penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan

kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan

sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara

luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud,

kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya

dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah

merupakan tujuan pelaku.

2) Unsur perbuatan.

Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan

dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas

atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya

sekalipun sekecil apapun itu.Selain besifat positif, unsur perbuatan dalam

tindak pidana penganiayaan itu bisa dalam bebagai bentuk perbuatan seperti

memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.

a) Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh.

Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai

terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan.

20

b) Luka tubuh.

Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari

tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari
keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya

lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota

tubuh dan sebagainya. Unsur akibat-baik berupa rasa sakit atau luka – dengan

unsur perbuatan harus ada hubungan kasual. Artinya harus dapat dibuktikan,

bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung

dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal

antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya

tindak pidana penganiayaan.

c) Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.

Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana

penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah

merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang

menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan)

yang dilakukannya. Jadi, untu k adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa

rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat

yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi

hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal

ini tidak terjadi penganiayaan.

Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang

menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu. Persoalan itu mudah

dijawab, sebab tidak ada ukuran atu criteria umum baku yang dapat dipakai

sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum

dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan
21

pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya

sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat.

Sebagai contoh perbuatan orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam

masyarakat (mungkin untuk seluruh masyarakat Indonesia), perbuatan tersebut

diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya, sepanjang perbuatan

pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas yang wajar, maka

perbuatan tersebut (dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan

dalam masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak dapat

dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah

berlebihan, dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai

tujuan yang patut, apabila perbuatan pemukulan tersebut misalnya dilakukan

dengan menggunakan sepotong besi.

Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum

berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur

berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia.

Dalam KUHP tindak pidana penyaniayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian

yaitu sebagai berikut:

1) Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.

2) Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP.

3) Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP. 22

4) Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP.

5) Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP.


Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana

tersebut, di bawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut

sebagai berikut :

1) Penganiayaan biasa.

Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. IStilah lain

yang sering digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak

pidana penganiayaan dalam bentuk pokok. Apabila dibandingkan dengan

perumusan tentang tindak pidana lain dalam KUHP, maka perumusan tentang

tindak pidana penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat

dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya

saja tanpa menguraikan unsur-unsurnya. Oleh karena Pasal 351 KUHP hanya

mneyebutkan kualifikasinya saja, maka berdasarekan rumusan Pasal 351

tersebut tidak jelas perbuatan seperti apa yang sebenarnya dimaksud.

Sebagai kelaziman yang berlaku dalam hokum pidana, terhadap rumusan

tindak pidana yang hanya menyebutkan kualifikasinya biasanya ditafsir secara

historis, maka penafsiran terhadap Pasal 351 KUHP tersebut juga ditempuh

berdasarkan penafsiran historis. Untuk memberikan gambaran awal tentang

perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 351 KUHP di atas, akan dikutip

ketentuan dalam Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan : 23


a) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

b) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan

penjara paling lama lima tahun.


c) Jika mengakibatkan mati, dikenakan penjara paling lama tujuh tahun.

d) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan.

e) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP di atas terlihat bahwa

rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang

dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351 KUHP tersebut hanya merumuskan

kualifikasinya saja dan pidana yang diancamnya. Tindak pidana dalam Psal 351

KUHP dikualifikasikan sebagai penganiayaan.

Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP di atas pada

awalnya juga terdapat rumusan Psal sebagaimana lazimnya rumusan Psal_pasal

lain dalam KUHP yang merupakan unsure-unsur perbuatan dan juga akibat yang

dilarang. Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan oleh Menteri Kehakiman

Belanda ke Parlemen saat itu terdiri dari dua rumusan, yang pada intinya

memberikan batasan sekaligus menguraikan unsure-unsur perbuatan

penganiayaan, yaitu :

a) Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau

penderitaan pada tubuh orang lain.

b) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan

tubuh orang lain. 24


Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan Menteri Kehakiman di atas

sebenarnya cukup memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksud

penganiayaan oleh karena dalam rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur

perbuatan maupun akibat. Namun oleh karena sebagian parlemen menganggap


istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian yang sangat bias atau

kabur, Maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut. Sehingga

perumusan Pasal 351 ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu

penganiayaan didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah

mengerti apa yang dimaksud dengan penganiayaan.

Berdasarkan uraian tersebut, bahwa dalam konteks historis istilah

penganiayaan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh. Adapun unsur-unsur

dari penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP

adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umunya :

a) Unsur kesengajaan.

b) Unsur perbuatan.

c) Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka

tubuh, namun dalam Psal 351 ayat (1) KUHP ini tidak mempersyaratkan

adanya perubahan rupa atau tubuh pada akibat yang ditimbulkan oleh tindak

pidana penganiayaan tersebut.

d) Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku. 25


Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah

untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam

penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi :

a) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian.

b) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

c) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian.


d) penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

Secara doktriner, merusak kesehatan diidentikan dengan merusak

kesehatan fisik. Merusak kesehatan bukan saja berarti sakit (secara fisik), tetapi

juga mengandung arti melakukan perbuatan menjadikan orang yang sudah sakit.

Secara yuridis formal merusak kesehatan tidak ada perumusannya di dalam

Undang-undang. Namun secara doktrin, merusak kesehatan dapat diartikan

sebagai merusak fungsi organ atau sebagian dari organ tubuh manusia.

2) Penganiayaan Ringan.

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Berbeda dengan

penganiayaan lain yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas

konkordansi, maka penganiayaan ringan merupakan pengecualian dari asas

korkordansi. Jenis tindak pidana ini dalam WvS yang tidak dikenal. Dibuatnya

ketentuan tentang penganiayaan ringan dan tindak pidana ringan pada

umumnya di dalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah dasar

adanya perbedaan kewenangan mengadili dari Pengadilan Polisi (Land

gerecht) dan Pengadilan Negeri (Landraad) yang sengaja dibentuk oleh

pemerintah kolonial di Indonesia. Pengadilan Polisi berwenang mengadili


26
perkara-perkara ringan sedang untuk Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara

yang lain.

Rumusan tentang penganiayaan ringan yang terdapat dalam Pasal 352

KUHP adalah sebagai berikut :

a) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang

tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan


jabatan atau pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan

pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus

rupiah.

b) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas tersimpul, bahwa yang

dimaksud dengan penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk

dalam :

(1) Penganiayan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP.

(2) Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu

sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap :

(a) Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya

(b) Pegawai negeri yang sedang atau karena menjalankan tugasnya yang sah

(c) Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa

atau kesehatan atau dimakan atau diminum.

c) Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 27


Berdasarkan rumusan dalam Pasal 352 ayat (1) tersimpul, bahwa

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan

halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian sepanjang

penganiayaan itu tidak dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai kualitas

tertentu, demikian juga apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan dan jabatan atau pencaharian itu dalam makanan atau minuman,
penganiayaan itu merupakan penganiayaan ringan. Dengan kata lain dapat

dikemukakan, bahwa sekalipun penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian, tetapi

apabila penganiayaan itu dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai

kualitas tertentu, demikian juga apabila penganiayaan itu dilakukan dengan cara

memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan, maka

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan jabtan atau mata pencaharian itu bukan penganiayaan ringan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas, sangat mungkin

menimbulkan pertanyaan, apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan

penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan

atau pencaharian itu dengan berencana atau dilakukan terhadap orang-orang yang

berkualitas tertentu demikian juga apabila penganiayaan itu dilakukan dengan

memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa dan kesehatan.

Dalam hal ini apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit

atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian itu dilakukan dengan berencana, maka penganiayaan itu termasuk

dalam rumusan Pasal 353 KUHP. Dalam konteks penganiayaan ringan yang

dilakukan dengan berencana, barang kali tidak menimbulkan kesulitan dalam

penerapan hukum. Persoalan akan muncul manakala penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian itu dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu.

Mengingat, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk


28

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang

yang mempunyai kualitas tertentu itu dikecualikan sebagai penganiayaan ringan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya orang tua yang memukul anaknya,

sehingga karena pukulan itu menimbulkan rasa sakit atau luka pada anak tersebut.

Dapat juga misalnya seorang sesuai yang memukul istrinya, sehingga karena

pukulan itu istri merasa kesakitan atau tubuh istri terluka.

Apabila bertolak dari rumusan Pasal 352 ayat (1) KUHP diatas, dua contoh

penganiayaan itu yaitu penganiayaan orang tua terhadap anaknya dan

penganiayaan suami istrinya bukanlah merupakan penganiayaan ringan. Secara

logika, yang paling mungkin adalah bahwa dua contoh penganiayaan diatas masuk

kedalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu penganiayaan biasa. Namun, oleh karena

penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) secara doktriner dan berdasarkan

yurisprudensi ditafsir sebagai penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau

luka tubuh, sementara luka tubuh dalam konteks Pasal 351 ayat (1) harus ditafsir

sebagai luka yang menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan

atau pencaharian meski harus bersifat sementara. Oleh karena itu secara logika

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

pekerjaan atau pencaharian dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas

tertentu hanya mungkin dianggap sebagai penganiayaan biasa. Apabila

penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu

hanya menimbulkan rasa sakit atau luka yang tidak menjadi halangan untuk

menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.


29

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu

dianggap sebagai penganiayaan biasa bukan sebagai penganiayaan ringan apabila

akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu hanya berupa rasa sakit atau berupa

luka pada tubuh, luka tersebut merupakan luka yang menghalangi untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski hanya sementara.

Secara Implisist ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung

pemahaman, bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-

orang yang tidak mempunyai kualitas tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal

356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1), tetapi

termasuk penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1)

KUHP.

3) Penganiayaan Berencana.

Jenis penganiayaan ini diatur dalam pasal 353 KUHP yang menyatakan : 30
a) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara

paling lama empat tahun.

b) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan

pidana paling lama tujuh tahun.

c) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama

sembilan tahun.
Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa

penganiayaan berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu :

1) Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan akibat-akibat luka berat

atau kematian, yaitu diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Apabila dikaitkan

dengan Pasal sebelumnya khususnya pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur

penganiayaan biasa, maka penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan

luka berat atau kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang

direncanakan lebih dahulu. Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal

353 ayat (1) KUHP berupa penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan

adalah penganiayaan yang menimbulkan akibat rasa sakit atau luka tubuh

yang tidak termasuk luka menurut Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam

pengertian menurut kententuan Pasal 352 ayat (2) KUHP.

2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal

353 ayat (2) KUHP.

3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang diatur dalam Pasal 353

(3) KUHP. 31
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan di atas dan telah diatur dalam

pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa

faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana

apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan

disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (pasal

355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian
(ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana

(pasal 340 KUHP).

4) Penganiayaan berat pasal 354 KUHP.

Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 KUHP yang rumusannya

adalah sebagai berikut :

a) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan

penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

b) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan

pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga

menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja.

Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan

yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa

perbuatan itu melanggar hukum.

Ketiga unsur di atas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur

dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang

telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan

pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari

perbuatan pidana. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka

kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya

menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai

luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya

dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada pasal 90 KUHP yaitu
32

luka berat berarti jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh

lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. Senantiasa

tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian tidak dapat

lagi memakai salah satu panca indra, Mendapat cacat besar Lumpuh

(kelumpuhan), Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat

minggu, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pada pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa

dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat

bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau

alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

5) Penganiayaan berat berencana pasal 355 KUHP.

Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355 KUHP yang

rumusannya adalah sebagai berikut :

a) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun. 33


Bila dilihat penjelasan yang telah ada di atas tentang kejahatan yang

berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan

berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354

ayat 1) dengan penganiyaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu

penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk

penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus


terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat

maupun unsur penganiayaan berencana.

2. Fungsi Visum Et Repertum Dalam Tahap Penyidikan Tindak Pidana

Penganiayaan

Pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, tata cara

pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu

Undang-Undang nomor 8 tahun 1981. Maka. Pembuktian merupakan tahap paling

menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian

tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan

pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Dalam pasal 183 Undang-

Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang melakukannya”. Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang

nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh

dijatuhkan oleh hakim apabila terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah, Dua

alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim, Dan perbuatan pidana tersebut
34
dilakukan oleh terdakwa. Dan Dalam pasal 184 (1) KUHAP menyatakan alat

bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan

keterangan terdakwa.

Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal

yang amat mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian

penganiayaan dan delik penganiayaan lainnya penyidik mencari sebanyak


mungkin benda bukti yang mungkin ditinggalkan di TKP. Tidak dilakukannya

pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang pengalaman

atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting

untuk pengungkapan kasus. Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus

jelas arahnya agar pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan

dalam membuat tuduhan, misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas

sama sekali. Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya menganggap perlu mencari

alat bukti berupa pengakuan terdakwa dan mengabaikan pembuktian secara ilmiah

lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya pembuktian dilakukan

seadanya. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut

KUHAP) bahkan memberikan perhatian utama terhadap perlindungan jiwa dan

badan dengan memberikan ancaman hukuman yang lebih tinggi dibanding dengan

tindak pidana Iainnya. Maka dalam hal ini Kedudukan seorang ahli sangat

diperlukan dalam penanganan korban kejahatan, dimana dalam hal ini adalah

bantuan profesi dokter akan sangat menentukan adanya kebenaran faktual yang

berhubungan dengan kejahatan. Tugas pokok seorang dokter dalam membantu

pengusutan tindak pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan

Visum Et Repertum. fungsi dari Visum Et Repertum adalah dengan

mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya satu sama lain

secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan maka oleh karenanya pada

waktu memberi laporan pemberitaan dari Visum Et repertum itu harus yang

sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan

ditemukannya pada waktu pemeriksaan.16


35

3. Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana

Penganiayaan

Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan

penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia,

hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan

keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum

mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter

berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan

tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-

baiknya. Tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana

terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan Visum Et repertum

sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan

dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil

kesimpulan.

16
Wawancara dengan Bapak Hendro Wahyudiono selaku Direktur Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Ngawi pada Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Ngawi, 14 Maret 2010. 36
Maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaan dari

Visum Et repertum itu harus yang sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-

obyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan.

Dengan demikian kedudukan Visum Et Repertum merupakan kesaksian tertulis.

Maka Visum Et Repertum sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus

dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat

semua kenyataan sehingga akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat.
Selain daripada itu visum et repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen

dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah

diperiksa apabila bersangkutan ( jaksa, hakim ) tidak menyetujui hasil

pemeriksaan tersebut.17

Maka visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam

pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda Bukti).

Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh

dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka si tubuh korban

merupakan Corpus Delicti. maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian

tidak mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak

harus diganti oleh Visum Et Repertum. Dan tentunya Kedudukan seorang dokter

di dalam penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan visum et repertum

seharusnya disadari dan dijamin netralitasnya, karena bantuan profesi dokter akan

sangat menentukan adanya kebenaran.

17
Wawancara dengan Bapak Hendro Wahyudiono selaku Direktur Rumah 37
Sakit Umum Daerah
Sehubungan Kabupaten
dengan Ngawi
kedudukan pada
visum Rumah Sakit
et repertum Umum penting
yang semakin Daerah
Kabupaten Ngawi, 15 Maret 2010.
dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan misalnya, pangaduan atau laporan

kepada pihak Kepolisian baru akan dilakukan setelah tindak pidana penganiayaan

berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri

korban. Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis,

maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau

menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi. Korban yang melapor terlebih

dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan
pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan visum et

repertumnya. Maka sebagai dokter forensik mempunyai tugas untuk memeriksa

dan mengumpulkan berbagai. bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-

unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan

visum et repertum. Maka dari itu keterangan ahli berupa visum et repertum

tersebut akan menjadi sangat penting dalam pembuktian, sehingga visum et

repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan sumpah atas

permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan, sehingga akan membantu

para petugas kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam mengungkap suatu

perkara pidana penganiayaan.

You might also like