You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga
negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan
melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,


baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 ayat (2) UU No. 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan)

Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang


merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan
kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat,
baik sehat maupun sakit. (Pasal 1 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan)

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan


terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan
keputusan pengadilan. Para penghuninya hidup dengan aturan-aturan yang ditetapan
oleh lembaga, tetapi karakter dari penghuni-penghuni lain berpengaruh besar pada
kehidupan mereka selama di LP. Mereka hidup terpisah dari masyarakat dan yang
unik adalah penghuninya sama-sama mempunyai latar belakang masalah yang
mengharuskan mereka mendapatkan hukuman dan pada umumnya akan diberi label
yang tidak baik dalam masyarakat. Penghuni LP kebanyakan adalah laki-laki, tetapi
jumlah wanita dan remaja juga ikut berpengaruh pada populasi keseluruhan.

Umumnya para narapidana menjalani hukuman karena suatu tindakan yang


melanggar hukum seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, pemerkosaan,

1
penggunaan obat-obat terlarang, dll. Dalam makalah ini, yang disoroti adalah tentang
pembinaan pada narapidana dengan kasus narkoba karena para narapidana narkoba
kondisinya sangat berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda
akibat penggunaan narkoba yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya
tingkat kesadaran akibat rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan
dan sifat overreaktif dan overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu
penanganan khusus pada narapidana narkoba dibandingkan dengan narapidana yang
lain.
Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam
memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk “Correctional setting” .
perawat memberikan pelayanan secara menyeluruh. Dari data disebutkan bahwa para
narapidana paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan
(38,9%), daya tahan menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan gangguan-
gangguan lain pada system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering
terjadi adalah gangguan tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan
cemas (37,2%).
Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat
menerapkan praktik correctional setting pada LP Pemuda Tangerang Banten karena
di LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum
tersedia dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus
lain.

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di correctional
setting
4. Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada correctional setting

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan pustaka


2.1.1 Definisi
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1
ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga
Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan
agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

2.1.2 Ciri ciri warga binaan permasyarakatan

Warga Binaan Pemasyarakatan

Terdiri dari:

1. Narapidana
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
LAPAS.

2. Anak Didik Pemasyarakatan


Anak Didik Pemasyarakatan adalah:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani


pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai
berumur 18 tahun.

3
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 tahun.
Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 bulan bagi mereka yang
belum berumur 14 tahun, dan paling lama 1 tahun bagi mereka yang pada saat
penetapan pengadilan berumur 14 tahun dan.

2.1.3 Klasifikasi
1. Asas Pelaksanaan Sistem Pembinaan

Sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan


pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a. pengayoman,
b. persamaan perlakuan dan pelayanan,
c. pendidikan,
d. pembimbingan,
e. penghormatan harkat dan martabat manusia,
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu. (Pasal 5)

2. Penggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan


penggolongan atas dasar:

a. umur,
b. jenis kelamin,
c. lama pidana yang dijatuhkan,
d. jenis kejahatan,
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
(Pasal 12)

4
3. Hak Narapidana (Pasal 14)

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;


b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan fisik kognitif dan psikososial


Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat.
Secara kuantitas nampak dari hampir semua lembaga pemasyarakatan
overcapacity. Banyaknya kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan
mutilasi; kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya
dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri;
dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat.

Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifactor, salah


satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab
eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan
pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak
yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk
teman ganknya dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian.
Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan criminal.

5
Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku
kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam
kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif
yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi
rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang
salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia
baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif
secara sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih
urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran
keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental
para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan.

Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang


membutuhkan penanganan psikolog antara lain :

1. Overcapacity sel akan menimbulkan perasaan ketersesakan yang


mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara
berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur
keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas
pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi
satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan.

2. Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan


politik berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar
yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara
teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah
proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat
hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk
meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela
toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-
respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai
pada situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan
depresif dan perilaku bunuh diri.Intervensi Krisis merupakan salah satu

6
program yang sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan
bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas.

3. Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu


menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi
psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan
dan perlakuan psikologis yang berbeda.

Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi


masing-masing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih
mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan
terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga
bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang
lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun
yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk
melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik
menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi
yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara
langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis.

Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada
proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu
berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk
pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi
perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan
masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan
para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan
motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu.

Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan


psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan
bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan
solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi
psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka
terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial,
rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan
sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka

7
mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka.
Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan
kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk
membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan
keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan.

Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk
mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan
diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Program-program
untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang
penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas
pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP
membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu
mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan
meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia
pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang
dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas
dan moral.

Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi


psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan.
Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut
ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya
sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP
perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya.

2.1.5 Masalah kesehatan


a. Karakteristik Responden
1. Umur
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas
IIA Ambarawa
Variabel Median SD Min-Maks
Umur 32,00 10,833 19-59

8
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa responden mempunyai nilai tengah 32,00
tahun dengan standar deviasi 10,833 tahun. Umur minimal responden 19 tahun
dan umur maksimal responden 59 tahun.
2. Pendidikan
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pendidikan di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA
Ambarawa
Variabel Pendidikan Frekuensi %
Pendidikan Tidak sekolah 2 2,8
SD 13 18,3
SMP 22 31,0
SMA 28 39,4
Perguruan Tinggi 6 8,5
71 100,0
Pada tabel 2 terdapat variabel pendidikan dimana sebagian besar responden
berpendidikan SMA yaitu sebesar 39,4% (28 orang) dan sangat sedikit responden
Tidak Sekolah sbesar 2,8% (2 orang).
b. Analisis Univariat
1. Lingkungan Fisik Ruang Tahanan
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik di Lembaga Permasyarakatan Klas
IIA Ambarawa
Variabel Kategori Frekuensi (%)
Kepadatan Padat 4 100,0
Tidak Padat 0 0,0
Luas Ventilasi Tidak memenuhi
0 0,0
syarat
Memenuhi syarat 4 100,0
Suhu Tidak normal 0 0,0
Normal 4 100,0
Pencahayaan Tidak memenuhi
3 75,0
syarat
Memenuhi syarat 1 25,0
Kelembaban Tidak memenuhi
1 25,0
syarat

9
Memenuhi syarat 3 75,0
Total 4 100,0

a) Kepadatan Hunian Kamar


Dari tabel 3 didapatkan bahwa kepadatan hunian kamar responden yang
menunjukkan padat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan 1 orang mendapatkan
2m². Ruangan untuk narapidana berjumlah 4 kamar dengan jumlah penghuni 23
orang pada kamar 1, 35 orang pada kamar 2, 35 orang pada kamar 3, 31 orang
pada kamar 4. Dengan jumlah tersebut, maka responden yang menempati kamar
berukuran 48m² mendapatkan 2m² perorang yang seharusnya mendapatkan 4m²
sehingga dinyatakan padat. Sebagai contoh kamar 1, apabila setiap 1 orang
penghuni mendapatkan 4m² maka penghuni kamar 1 berjumlah 12 orang. Dalam
kenyataannya, kamar 1 berpenghuni 23 orang.
Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan,
dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di
dalam ruangan akan mengalami pencemaran. Selain mempengaruhi kualitas
udara, kepadatan hunian juga mempengaruhi kemudahan dalam proses penularan
penyakit pernafasan seperti ISPA.
Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan maka apabila dalam ruangan
tersebut terdapat penderita ISPA akan terjadi pencemaran udara oleh
mikroorganisme penyebab ISPA yang berasal dari droplet penderita. Kepadatan
merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit
atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.
b) Luas Ventilasi
Dari tabel 3 didapatkan bahwa luas ventilasi kamar responden yang memenuhi
syarat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan luas ventilasi per kamar 8m². Dari
hasil pengukuran, didapatkan bahwa masing-masing ruangan terdapat 4 buah
ventilasi berupa jendela dengan ukuran 2x1 meter sehingga didapatkan ventilasi
per ruangan 8m² yang mana jika diukur dengan luas ruangan hasilnya 4,8m².
Dengan hasil itu, 4,8m² ≥10% luas lantai. Luas ventilasi yang memenuhi syarat
disebabkan karena ventilasi yang digunakan berupa jendela yang terbuat dari kaca

10
yang dapat dibuka dan ditutup. Jendela tersebut juga dilengkapi dengan besi-besi
sebagai keamanan tetapi udara bisa tetap masuk.
Fungsi ventilasi selain sebagai masuknya udara juga untuk menjaga tempat
tinggal dalam tingkat kelembaban yang optimum karena kelembaban dapat
menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab
penyakit).
c) Suhu
Dari tabel 3 didapatkan bahwa ruangan responden yang berada pada suhu
ruangan normal yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan suhu ruangan antara
28,6º-29,6ºC. Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa suhu ruangan pada kamar
1 sebesar 29,1ºC, kamar 2 sebesar 29,6ºC, kamar 3 sebesar 29,4ºC dan kamar 4
sebesar 28,6ºC dimana dari semua kamar responden suhu ruangan berada pada
kisaran 18º-30ºC. Suhu yang normal disebabkan karena dipengaruhi salah satunya
suhu adalah karena ventilasi yang ada dimana di lembaga pemasyarakatan
menggunakan ventilasi berupa jendela yang dapat dibuka dan ditutup.
Suhu juga berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu berguna untuk
membebaskan bakteri dan virus karena suhu yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA sebesar 4 kali.
d) Pencahayaan
Dari tabel 3 didapatkan bahwa pencahayaan ruangan responden yang tidak
memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan pencahyaan <60 lux (42
lux) dan >120 lux (130-151 lux), danpencahayaan ruangan responden yang
memenuhi syarat yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan pencahayaan 78,5 lux.
Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa pencahayaan pada kamar 1 sebesar 42
lux, kamar 2 sebesar 130 lux, kamar 3 sebesar 151 lux dan kamar 4 sebesar 78,5
lux. Maka sebanyak 3 kamar dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat karena
pencahayaan <60 lux dan >120 lux.Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat
disebabkan karena sinar matahari masuk langsung melalui jendela yang ada tanpa
terhalang sehingga pencahayaan cukup tinggi >120 lux.
Dalam penggunaan jendela, sinar matahari yang masuk terlalu banyak dapat
berpengaruh pada tingginya suhu ruangan namun dengan sinar matahari yang
mudah masuk ke dalam ruangan juga berperan mematikan bibit penyebab
penyakit.Sinar matahari yang masuk terlalu sedikit juga berpengaruh pada

11
berkembangnya bibit penyakit. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat dapat
berperan terjadinya ISPA dari faktor lingkungan.
e) Kelembaban
Dari tabel 3 diapatkan bahwa kelambaban udara kamar responden yang
memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan kelembaban antara 40%
hingga 55% dan kelembaban udara kamar responden yang tidak memenuhi syarat
yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban 35%.Dari hasil pengukuran,
didapatkan bahwa kelembaban pada kamar 1 sebesar 55%, kamar 2 sebesar 35%,
kamar 3 sebesar 40% dan kamar 4 sebesar 42% dimana sebanyak 3 kamar yang
memenuhi syarat karena kelembaban berada pada kelembaban normal yaitu 40%-
70%. Sedangkan 1 kamar dengan kelembaban <40% sehingga dikategorikan tidak
memenuhi syarat. Kelembaban udara yang memenuhi syarat karena didukung oleh
adanya ventilasi yang memenuhi syarat yaitu jendela yang luasnya ≥10% dari luas
lantai. Dari hasil pengukuran, sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban tidak
memenuhi syarat karena salah satu jendela terhalang oleh perlengkapan dari
responden yang ada sehingga udara dan cahaya matahari yang membuat
kelembaban tidak memenuhi syarat.
Kelembaban udara yang <40% dari kelembaban normal dapat mempengaruhi
penurunanan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh
terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Penurunan daya tahan tubuh terjadi
ketika kondisi ruangan panas oleh pencahayaan yang berlebihan maka proses
radiasi dan konduksi tubuh melalui kulit menurun serta tidak terjadi evaporasi.
2. Personal Hygiene dan Kebiasaan Merokok
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Personal Hygiene dan kebiasaan Merokok
Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa
Variabel Kategori Frekuensi (%)
Personal hygiene Buruk 20 28,2
Baik 51 71,8
Kebiasaan Ya 66 93,0
Merokok Tidak 5 7,0
Total 71 100,0

12
a) Personal Hygiene
Dari tabel 4 didapatkan bahwa sebagian besar responden yang personal
hygiene baik yaitu sebesar 71,8% (51 orang) dan sebagian kecil responden yang
personal hygiene buruk yaitu sebesar 28,2% (20 orang). Hal ini disebabkan
karena kebersihan yang meliputi pakaian, badan dan handuk sebagian besar
memenuhi syarat. Dapat dilihat dari frekuensi mandi responden 2 kali sehari
sebesar 66,2% (47 orang). Hal ini terjdi karena kemudahan responden dalam
mengakses air untuk kebutuhan mandi. Dari kebersihan pakaian responden,
sebesar 70,4% (50 orang) mencuci pakaian menggunakan air dan deterjen, dan
sebesar 53,5% (38 orang) selalu dipisah dalam mencuci pakaaian dikarenakan
tempat mencuci yang luas dan air yang mencukupi. Responden mendapatkan
peralatan mandi seperti sabun dan deterjen melalui kantin yang ada di dalam
lembaga pemasyarakatan. Selain itu, di lembaga pemasyarakatan mempunyai
fasilitas dimana peralatan mandi seperti sabun, deterjen, dan lain-lain diberikan
selama 3 bulan sekali, namun apabila peralatan habis sebelum 3 bulan tersebut,
maka kebutuhan tersebut ditanggung masingmasing penghuni.
Personal hygiene merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan
karena kebersihan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Dampak yang
sering timbul pada masalah personal hygiene adalah dampak fisik banyak
gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya personal
higiene dengan baik seperti gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dantelinga, dan gangguan fisik pada kuku.
b) Kebiasaan Merokok
Dari tabel 4 didapatkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan
merokok yaitu sebesar 93,0% (66 orang) dan responden yang tidak mempunyai
kebiasaan merokok yaitu sebesar 7,0% (5 orang). Hal ini disebabkan karena
responden sudah mempunyai kebiasaan merokok sebelum tinggal di lembaga
pemasyarakatan. Kebiasaan merokok juga dilakukan narapidana didalam lembaga
pemasyarakatan karena tidak terdapat aturan larangan merokok sehingga
kebiasaan merokok narapidana tidak dibatasi waktu dan tempat. Dalam hal ini
bisa dilihat dari tingkat konsumsi rokok responden, sebesar 1,5% (1 orang)
dengan tingkat konsumsi rokok tinggi, sebesar 37,9% (25 orang) dengan tingkat
konsumsi rokok sedang dan sebesar 60,6% (40 orang) dengan tingkat konsumsi
rokok rendah. Konsumsi rokok narapidana bisa dilakukan di dalam ataupun di

13
luar kamar sel dan juga secara tidak langsung terbantu oleh adanya kantin di
dalam lembaga pemasyarakatan yang menjual batang rokok sehingga kebutuhan
akan rokok bisa terpenuhi sewaktu-waktu. Selain dari kantin, peran teman juga
berpengaruhi karena kebutuhan rokok bisa jadi didapat dari sanak saudara yang
berkunjung. Dengan itu, teman yang tidak mempunyai uang untuk membeli
batang rokok di kantin dapat mengkonsumsi rokok dari pemberian temannya.
Dari hasil penelitian, sebesar 45,5% (30 orang) sudah mengkonsumsi rokok
pada kategori umur remaja awal yaitu pada umur 12-16 tahun dimana umur
tersebut sedang aktif mencari teman dalam pergaulan. Remaja mulai merokok
berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa
perkembangannya yaitu masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini
sering terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan
perkembangan sosial. Bahwasannya perilaku merokok bagi remaja merupakan
perilaku simbolisasi. Simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan
daya tarik terhadap lawan jenis.
3. Masalah Kesehatan
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Masalah Kesehatan Responden di Lembaga
Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa
Variabel Kategori Frekuensi (%)
ISPA Ya 28 39,4
Tidak 43 60,6
Skabies Ya 42 59,2
Tidak 29 40,8
Total 71

a) ISPA
Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang tidak menderita ISPA yaitu
sebesar 60,6% (43 orang) dan responden yang menderita ISPA yaitu sebesar
39,4% (28 orang).Dari hasil crosstabs antara penderita ISPA dan kebiasaan
merokok, diantara responden yang menderita ISPA terdapat 26,0% (25 orang)
mengkonsumsi rokok, sedangkan responden yang menderita ISPA terdapat 2,0%
(3 orang) tidak mengkonsumsi rokok.

14
Responden yang mengkonsumsi rokok terdapat 35,5% (30 orang) yang telah
mengkonsumsi rokok dari remaja awal, meskipun tingkat konsumi rokok tinggi
hanya sebesar 1,5% (1 orang) namun tetap memungkinkan terjadinya ISPA, hal
ini dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan membolehkan narapidana merokok
dimana saja termasuk didalam kamar narapidana yang mana asap dari rokok
dapat menyebabkan pencemaran udara dalam ruangan yang dapat merusak
mekanisme paru-paru bagi orang yang menghisapnya.
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi salah satunya oleh kepadatan
hunian. Dari 4 kamar narapidana ada, semua masuk dalam kategori padat dimana
kepadatan di dalam kamar yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan
suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan penghuninya dan
akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.
b) Skabies
Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang menderita skabies yaitu
sebesar 59,2% (42 orang) dan responden yang tidak menderita skabies yaitu
sebesar 40,8% (29 orang). Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya skabies yaitu buruknya personal hygiene. Salah satu
indikator personal hygiene buruk yaitu penggunaan handuk dimana sebesar
29,6% (21 orang) mandi menggunakan handuk bersama. Penggunaan handuk
secara bersama diduga menjadi salah satu cara penularan skabies apabila handuk
yang digunakan oleh penderita skabies membawa tungau sarcoptes scabiei
berpindah dari handuk ke tubuh penjamu (host) yang kemudian menginfeksinya.
Selain penggunaan handuk bersama, tidur dengan penderita skabies bisa
menjadi faktor resiko dalam menularkan skabies dimana aktivitas tungau
sarcoptes scabiei banyak lakukan dimalam hari ketika orang tidur, ditambah
kondisi kamar yang padat akan memudahkan terjadinya kontak fisik sehingga
penularan penyakit meningkat.
Penularan skabies terjadi ketika perlengkapan kebersihan seperti sabun dan
handuk, fasilitas asrama serta fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama
di lingkungan padat penduduk. Pemakaian alat dan fasilitas umum bersama-sama
membuat kebersihan kurang maksimal salah satunya kebersihan badan.

15
2.1.6 Program Pemerintah di Lembaga Permasyarakatan
Dalam sejarahnya Lembaga Pemasyarakatan Malang merupakan tempat
tahanan, pada waktu itu belum dikenal adanya lembaga pemasyarakatan, yang pada
zaman kolonial Belanda digunakan untuk mendidik para narapidana yang
melakukan tindak pidana. Namun dalam perkembangannya lembaga tersebut lebih
difungsikan untuk menahan para pejuang yang memberontak kepada pemerintah
Hindia Belanda. Sampai pada tahun 1964 nama penjara berlaku dan setelah itu
berubah menjadi lembaga pemasyarakatan, perubahan ini terjadi setelah
diadakannya kongres di Bandung, yang menghasilkan Instruksi Kepala Direktorat
Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 tanggal 17 juni 1964. Setelah sistem
kepenjaraan di ganti dengan sistem pemasyarakatan, peran Negara dalam
memberikan kesejahteraan dan keadilan warga negaranya yang berada di dalam
lembaga pemasyarakatan menjadi lebih besar.

Peran Negara dalam hal ini melalui Lembaga Pemasyarakatan, yang


merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, banyak melakukan perubahan dalam
hal pola pembinaannya, karena sekarang lembaga pemasyarakatan lebih manusiawi
dalam pemberian pembinaan kepada narapidananya. Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang sendiri juga mengalami perkembangan dalam
memberikan pembinaan, karena hal tersebut merupakan aturan yang telah dibuat
Negara untuk lebih menghargai manusia.

Beberapa peran Negara dalam pembinaan narapidana yang ada di Lembaga


Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang meliputi, pertama, peran Negara dalam
pemberian pendidikan, maksudnya adalah Peran Negara dalam hal ini adalah
sebagai penyedia sarana dan prasarana atas terselenggaranya berbagai macam
pendidikan, pelatihan-pelatihan, dan diklat kepada petugas. Bentuk-bentuk
Pendidikan yang ada Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang meliputi
Pendidikan Umum, Pendidikan Jasmani, dan Pendidikan Rohani.

Kedua, pemberikan ketrampilan kepada warga binaan maksudnya adalah


Peran Negara dalam hal ini adalah sebagai penyedia anggaran, sarana, prasarana,
perlengkapan, peralatan, dan semua kebutuhan yang di butuhkan guna menunjang
terlaksananya pemberianketrampilan kepada narapidana wanita ada beberapa jenis

16
ketrampilan yang dipelajari di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA
Malang yaitu: keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, ketrampilan
untuk mendukung usaha-usaha kecil, keterampilan yang dikembangkan sesuai
dengan minat dan bakat masingmasing narapidana, dan keterampilan untuk
mendukung usaha-usaha industri, pertanian, dan perkebunan, dengan teknologi
madya/tinggi.

Ketiga, peran regulasi. Peran negara dalam hal ini adalah sebagai perencana,
pembuat, pelaksana, dan yang melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang,
kebijakan, dan aturan-aturan yang telah di buatnya dalam pemberian pembinaan
kepada narapidana wanita, sehingga dapat terlaksana dengan baik dan berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Peran regulasi yang digunakan Negara dalam
menjalankan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, meliputi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Keempat adalah peran negara sebagaiperan konsumsi. Maksud Peran Negara


disini adalah sebagai pengguna anggaran yang telah diberikan oleh Negara untuk
menjalankan roda organisasi. Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA
Malangsangat tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Negara dalam
melakukan pembiayaan para aparaturnya, pemenuhan sarana dan prasarana
lembaga pemasyarakatan, proses pembinaan, dan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.

Kelima adalah peran negara sebagai peran distribusi social. Peran Negara
disini adalah sebagai pelaksana atau pengelola anggaran yang di gunakan dengan
sebaikbaiknya untuk menjalankan roda organisasi dan pemberian pembinaan
kepada narapidana wanita. Anggaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
semua kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang,

17
meliputi pembayaran gaji pegawai, gaji pegawai meliputi gaji pokok dan
tunjangannya, pemenuhan sarana dan prasarana, yang dimaksud dengan sarana dan
prasarana disini adalah infrakstruktur, perlengkapan dan peralatan kantor,
petugas/pegawai, dan narapidana, kemudian transportasi, pemenuhan proses
pembinaan, yang dimaksud dengan pemenuhan proses pembinaan disini adalah
pemenuhan kelengkapan penunjang implementasi program pembinaan seperti:
peralatan dan perlengkapan pembinaan ketrampilan, pemasaran ketrampilan, dan
mendatangkan para ahli-ahli untuk memberikan pelatihanpelatihan kepada
narapidana maupun petugas, dan pemenuhan kebutuhan seharihari, seperti
kebutuhan makan, minum, perawatan bangunan, keperluan wanita, keperluan
peribadatan, dan pemenuhan biaya operasional.

Menurut Montesquieu dalam Soehino (2008, h.117), Kekuasaan Eksekutif


adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ataukekuasaan menjalankan
pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Montesquieu, Pemerintah adalah
badan eksekutif dalam suatu Negara yang mempunyai peran yang telah diberikan
Negara untuk mengelola, dan menjalankan fungsi dari Negara yang bertujuan
untuk menyejahterakan rakyatnya, sedangkan fungsi pemerintah sendiri adalah
selain menjalankan peran Negara juga memberikan pelayanan dengan sebaik-
baiknya kepada masyarakatnya. Hal ini bertujuan untuk menyejahterakan serta
memakmurkan rakyatnya dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat
yang berada di dalam lembaga Pemasyarakatan.

Beberapa fungsi pemerintah yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita


Kelas IIA Malang, yaitu: Fungsi pengaturan yang ada di dalam di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, meliputi pemberian aturan atau tata
tertib kepada narapidana. Pemberian peraturan dan tata tertib ini bertujuan untuk
menjaga ketertiban dan keamanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas IIA Malang.

Kemudian fungsi pelayanan, pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada


masyarakatnya bertujuan untuk menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya
dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat yang berada di dalam
lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemerintah sebagai fungsi pelayanan, maksudnya
adalah pihak lembaga pemasyarakatan melaksanakan dan memberikan pelayanan

18
kepada narapidana, seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga
binaan pemasyarakatan yang menyebutkan tahap pembinaan ada 3, yaitu : Tahap
awal, Tahap Lanjutan, dan Tahap Integrasi. Setiap tahapan inilah fungsi
pemerintah sebagai fungsi pelayanan diterapkan. Berikut ini merupakan pelayanan
yang diberikan pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang kepada
narapidana, yaitu:

a. Pelayanan Pendidikan,
b. Pelayanan Beragama,
c. Pelayanan Ketrampilan,
d. Pelayanan Makan,
e. Pelayanan Administrasi,
f. Pelayanan Sarana dan Prasarana,
g. Pelayanan kesehatan, dan
h. Pelayanan konseling.

Dan yang terakhir fungsi pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan, fungsi


pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan adalah pemerintah dalam hal ini pihak
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dapat melakukan kerjasama
dengan instansi lain dan memanfaatkan sumberdaya yang ada guna mendukung
terlaksananya program pembinaan. Tujuan fungsi pemberdayaan ini adalah sebagai
sarana untuk menunjang pemberian keterampilan dan pelatihan kepada penghuni
Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang seperti: petugas dan
narapidana.
Beberapa bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dengan instansi
pemerintah terkait, Badan-badan Kemasyarakatan, maupun perorangan dalam
menunjang fungsi pemberdayaan, adalah sebagai berikut:
a. Dalam Pembinaan kesadaran beragama Pihak Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Kemenag Kota/Kabupaten Malang,
Yayasan Aisyah, Rohmatul Ummat, gereja-gereja seluruh Kabupaten/Kota
Malang, Muhammadiyah, dan NU.

19
b. Dalam Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Pihak Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Universitas–Universitas terkemuka
yang ada di Malang dan juga kantor sospol di Malang.
c. Dalam Pembinaan Keintelektualan selain dari petugas Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan pendidikan,
juga mengundang guru melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
KAB/Kota Malang.
d. Dalam Pembinaan Kesadaran Hukum selain dari petugas Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan penyuluhan,
juga bekerja sama dengan Universitas terkemuka yang ada di Malang, Kejaksaan
Negeri, dan juga Kepolisian.
e. Dalam Pembinaan kemandirian pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas
IIA Malang bekerjasama dengan Raisa Ang dalam pemasaran pernak pernik dan
hasil dari menyulam, merajut, dan bordir.
f. Dalam pemberian Asimilasi pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas
IIA Malang juga melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Negeri, Kepolisian,
Pengadilan Negeri dan Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai
Pemasyarakatan (BAPAS).
Keberadaan petugas atau pegawai Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan
roda organisasi dan juga sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dalam
menjalankan program pembinaan narapidana memiliki peran yang sangat besar,
karena petugas/pegawailah yang langsung berhubungan dengan narapidana.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan petugas/pegawai Lembaga pemasyarakatan
wanita kelas IIA Malang ini merupakan uraian dari tugas yang diberikan kepada
setiap bagian dan seksi yang ada di Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA
Malang, dengan adanya pembagian tugas dan wewenang dalam setiap
pelaksanaannya akan membuat petugas/pegawai lebih fokus terhadap job
description masing-masing, sehingga akan membuat roda organisasi dapat berjalan
dengan baik, terencana, dan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM.
Peranan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam pembuatan program
pembinaan yang tepat dan sesuai dengan minat dan bakat dari narapidana sangatlah
besar. Seperti yang tertuang dalam pasal 45 ayat 4 UU No.12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan yang berbunyi Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari

20
pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas : memberi
saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam
melaksanakan sistem pemasyarakatan, membuat penilaian atas pelaksanaan
program pembinaan dan pembimbingan, atau menerima keluhan dan pengaduan
dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pola pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA
Malang sangat mengedepankan button up dan juga top down approach seperti
model implementasi yang di utarakan oleh Brian W, Hogwood dan Lewis A. Guun
(1978,1986) dalam Wahab (2008, h.71). Model mereka seringkali disebut dengan
“the top down approach” atau melakukan pembinaan dengan mendengar,
mengamati, dan mendapatkan usulan dari petugas sendiri ataupun narapidana,
maksudnya petugas Lembaga Pemasyarakatan tidak serta merta melakukan
pembinaan atau menjalankan program pembinaan kepada narapidana tanpa
persetujuan dari narapidana, tetapi mereka melakukan jaring aspirasi untuk
mengetahui program pembinaan apa yang cocok dan mudah diterapkan kepada
Warga binaan. Berikut ini merupakan Alur Pembuatan Program Pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang:

Dikaji oleh Kepala


Usul dari warga Sidang Tim Lembaga
binaan atau Pengamat Permasyarakatan,
petugas lembaga Permsyarakatan sudah sesuai dengan
(TPP) peraturan atau belum

Implementasi
Evaluasi program
Program
pembinaan
Pembinaan

Sumber : Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang

Peran Negara dalam implementasi program pembinaan yang ada di dalam


Lembaga

21
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat besar, hampir disetiap sendi-
sendi organisasi peran negara dapat dirasakan manfaatnya. Dengan peran Negara
yang besar dampaknya secara otomatis tujuan dari Negara juga akan mudah untuk
diraih, yaitu menyejahterakan masyarakatnya. Tetapi dalam kenyataanya tidak
menutup kemungkinan adanya faktor-faktor yang mendukung ataupun adanya
faktor-faktor yang menghambat dalam mencapai tujuan Negara tersebut.
Peran negara dalam implementasi program pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang tersebut terdapat beberapa faktor yang
menjadi pendukung dan penghambat. Faktor pendukung peran negara dalam
implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas IIA Malang adalah:
Pertama, adanya pelatihan-pelatihan bagi petugas/pegawai Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sehingga kinerja petugas/pegawai dapat
lebih optimal. Kedua, adanya bantuan dari narapidana sendiri yang disebut dengan
“Tamping” dalam proses pembinaan. Ketiga, adanya struktur organisasi sendiri
dalam narapidana, seperti : Kepala Kamar, dan Kepala Blok.
Keempat, adanya dukungan dari pemerintah dalam proses pembinaan berupa
diberikannya sertifikat bebas narkoba bagipetugas, pelatihan-pelatihan bagi
petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,
diberikannya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 oleh Menteri Hukum dan Ham
Indonesia Andi Matalatta. Dengan diperolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008
menjadikan pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang menjadi lebih terstruktur dan transparan, maksudnya
adalah narapidana bebas untuk mencari tahu pembinaan apa yang akan di jalankan
dan juga narapidana lebih mengetahui tata cara dalam melakukan proses pengajuan
pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), dan Cuti Menjelang Bebas
(CMB).
Kelima, adanya kerja sama dengan instansi pemerintah yang lain, seperti :
Kementerian Agama Kabupaten/Kota Malang, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Kab./Kota Malang, Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri,
dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Dan adanya dukungan dari pihak swasta
maupun lembaga keagamaan dalam proses pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang.

22
Keberhasilan peran negara dalam implementasi program pembinaan yang ada
di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, tidak terlepas dari upaya
Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri.
Dengan di perolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 membawa dampak yang
positif bagi kinerja petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA
Malang, sehingga perlakuan yang diberikan oleh petugas kepada narapidana yang
berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang juga ikut
berubah. Petugas/pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang
memperlakukan narapidana selayaknya bukan di penjara, tetapi layaknya di asrama
putri maupun pondok pesantren, dalam hal pembagian kamar hingga perlakuan
terhadap narapidana di buat semanusiawi mungkin oleh petugas/pegawai.
Kemudian dalam hal pembagian makanan, narapidana tidak perlu mengantri untuk
mendapatkan makanan, tetapi petugas di bantu dengan narapidana yang disebut
dengan “Tamping” yang mempersiapkannya di ruang makan, hal ini merupakan
contoh kecil dari pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang. Berikut ini merupakan indikator-indikator Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang dalam memperoleh ISO 9001:2000
pada tahun 2008 adalah:
a. Berjalannya Model proses Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA
Malang,
b. Ketersediaannya sarana dan prasarana penunjang pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,
c. Melakukan pelatihan-pelatihan ± 4 kali dalam 1 tahun,
d. Adanya kerja sama dengan pihak ketiga (Kejaksaan Negeri, Kepolisian,
Pengadilan Negeri, Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai Pemasyarakatan
(BAPAS), dan instansi pemerintah/swasta),
e. Adanya Premi (upah hasil kerja),
f. Standart bahan baku yang harus ada dan sesuai dengan kebutuhan,
g. Adanya target dalam pembebasan bersyarat (PB) dan cuti menjelang bebas,
h. Menerapkan dengan baik Surat Edaran,
i. Standart makan yang memenuhi Gizi,
j. Chek list untuk daftar narapidana.
Dalam melaksanakan implementasi program pembinaan kepada narapidana
wanita Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang

23
sangat mengedepankan sistem kekeluargaan maksudnya adalah petugas/pegawai
memperlakukan narapidana wanita sebagai keluarga meskipun masih ada
batasanbatasan antara petugas dengan narapidana, hal ini dilakukan karena sangat
membantu narapidana dalam menjalankan program pembinaan dan segala bentuk
kegiatan yang diberikan oleh petugas.
Metode yang dipakai oleh petugas/pegawai dalam implementasi program
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah dengan
cara memberikan motivasi-motivasi kepada narapidana agar narapidana merasa
sedang tidak menjalani hukuman melainkan sedang belajar untuk disiplin.
Petugas/pegawai memberikan motivasi ketika narapidana mengalami masalah
maupun kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, sehingga narapidana tidak bosan atau
jenuh dalam menjalani masa hukumannya.
Selain adanya faktor yang mendukung Peran Negara dalam implementasi
program pembinaan narapidana wanita, di Lembaga Pemasyarakatan manapun juga
menghadapi permasalahan ataupun hambatan, hal ini tidak terlepas karena
perkembangan zaman semakin pesat dan mengharuskan setiap manusia untuk
mengikutinya. Program pembinaan narapidana yang dilakukan di Lembaga
pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang sebenarnya sudah berdasarkan ketentuan
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai peraturan
pelaksananya, namun dalam pelaksanaannya kurang berjalan dengan optimal
karena adanya akibat over capacity atau kelebihan penghuni, kurangnya sarana
prasarana, dan kekurangan petugas/pegawai, maka pola pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi tidak efektif sebagaimana yang
diharapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Berikut ini beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat peran negara
dalam implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang adalah:
a. Masih kurang lengkapnya Sarana dan Prasarana,
b. Kurangnya jumlah petugas/pegawai,
c. Kurangnya keberagaman dari program pembinaan,
d. Minimnya Anggaran Lembaga Pemasyarakatan,
e. Masih rendahnya kesejahteraan petugas.

24
Dengan masih adanya permasalahan yang di hadapi oleh petugas/pegawai lembaga
pemasyarakatan akan membuat implementasi program pembinaan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi terhambat dan akan
membuat pelaksanaannya menjadi kurang berjalan dengan efektif.

2.1.7 Pelayanan kesehatan

Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah


tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa ke suatu titik
yang memprihatinkan. Ledakan epidemi HIV di kalangan pengguna napza suntik
di Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya turut pula masuk ke dalam rutan
dan lapas-lapas karena intensifikasi penegakan hukum kasus-kasus narkoba sejak
direvisinya kebijakan napza di tanah air pada tahun 1997. Keprihatinan ini
mengundang perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah untuk merespon situasi
yang telah menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan di
dalamnya.

Departemen Hukum dan HAM RI sendiri sebagai sektor yang langsung mengelola
sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005 telah
merumuskan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba
pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-
2009. Dokumen tersebut kemudian menjadi refleksi akan perlindungan seluruh
warga negara, termasuk penghuni lapas dan rutan, akan layanan kesehatan yang
dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia.

Pemerintah sebagai aparatur negara memiliki unit-unit kerja berdasarkan sektor


baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk
memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah melalui tugas-tugas
pokok dan fungsinya, termasuk produk-produk kebijakannya. Perkembangan
situasi di Indonesia, khususnya dalam merespon berbagai permasalahan, turut pula
menimbulkan perkembangan sistem pemerintahan termasuk bertambahnya
lembaga atau institusi negara yang memiliki tugas khusus terhadap permasalahan
spesifik. Walaupun demikian, layanan publik sebagai wujud dari perlindungan
HAM harus tetap menjadi perhatian utama untuk dapat meningkatkan kualitas
hidup warga negara Indonesia termasuk penghuni lapas dan rutannya. Ketersediaan

25
dan peningkatan mutu layanan tersebut, selain harus berpihak pada kesejahteraan
masyarakat (publik), juga hanya akan terjadi ketika unit-unit kerja pemerintah
sebagai yang berkewajiban menyediakan layanan dapat berkoordinasi untuk
mencapai cita-cita tersebut.

a. Instansi Vertikal Bidang Pemasyarakatan

Lapas dan rutan merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Hukum dan
HAM RI melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan
kegiatannya sesuai dengan kebijakan dan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pemasyarakatan, UPT mendapatkan dukungan baik berupa bimbingan
teknis maupun pendanaan dari APBN (pusat). Penyusunan rencana kegiatan dan
anggaran dilakukan UPT sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya masing-masing
(bagian-bagian). Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada lapas secara fungsional
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM yang bersangkutan. Secara umum, lapas dan rutan
memilki peran utama pelayanan atau pelaksanaan teknis di bidang pemasyarakatan.

Kantor wilayah adalah instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM RI


berkedudukan di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Menteri Hukum dan HAM RI. Terdapat Divisi Pemasyarakatan untuk membawahi
bidang pemasyarakatan. Divisi ini melaksanakan sebagian tugas kantor wilayah di
bidang pemasyarkatan berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pemasyarkatan. Instansi ini juga menyusun rencana kegiatan dan
anggaran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Peran utama instansi di tingkat kantor
wilayah ini adalah supervisi pelaksanaan teknis dan koordinasi di bidang
pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM merupakan instansi pusat yang menaungi bidang
pemasyarakatan. Bidang ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
yang peran utamanya adalah perumusan kebijakan untuk bidang-bidang kerja di
lingkup direktorat jenderal termasuk bimbingan teknis dan evaluasi.

Masing-masing instansi yang telah diuraikan di atas bertanggung jawab dalam


menyusun dan melaksanakan rencana kerja masing-masing sesuai dengan peran
utamanya serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan kepada instansi yang berada

26
di atasnya (vertikal). Secara hukum, instansi ini merupakan instansi dengan domain
‘pemasyarakatan’ mulai dari perumusan kebijakan, pengawasan, hingga
pelaksanaan teknis. Jika menyinggung masalah pelayanan kesehatan, maka domain
tersebut berada pada departemen lain dimana saat ini telah didesentralisasi –
otonomi daerah.

b. Desentralisasi Bidang Kesehatan

Secara umun peran instansi-instansi untuk bidang kesehatan tidak jauh berbeda
dengan instansi vertikal, yaitu terdapat perumusan kebijakan, pengawasan, dan
pelayanan/pelaksanaan teknis. Namun yang menjadi perbedaan adalah tiap
tingkatan daerah memiliki kebijakan masing-masing di bidang tersebut, dan untuk
pelaksanaan teknis paling banyak dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Kebijakan,
yang berkonsekuensi pada anggaran, bidang ini mau tidak mau mengikuti
kebijakan dan arah pembangunan pemerintah kota/kabupaten secara umum. Upaya
penanggulangan penyakit bisa saja tidak seragam antara daerah satu dengan yang
lainnya. Sebagai contoh, terdapat perencanaan dan anggaran untuk pemberantasan
muntaber di daerah A, namun tidak di daerah B. Namun jika terdapat wabah
muntaber di daerah B, maka pemerintah pusat atau provinsi dapat membantu
pemerintah kota/kabupaten tersebut.

c. Memadukan Instansi Vertikal dalam Desentralisasi Kesehatan

Untuk menjawab masalah-masalah kesehatan di lapas dan rutan yang


berkedudukan di wilayah suatu kabupaten atau kota, maka pemaduan kedua jenis
instansi dan bidang perlu dilakukan. Hal ini bukan hanya untuk perencanaan dan
kebijakan, namun juga bimbingan teknis, pengawasan, dan evaluasi pelayanan.

Lapas dan rutan memiliki klinik kesehatan, namun klinik ini tentunya tidak dapat
berfungsi sebagaimana layaknya puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas dan
anggaran operasionalnya. Karena lapas dan rutan berada di wilayah kabupaten atau
kota, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM berada di tingkat provinsi, maka
kepala UPT pemasyarakatan diharapkan berperan untuk mengkoordinasikan
pelayanan kesehatan dengan pemerintah kota/kabupaten. Lapas dan rutan bersama
dinas kesehatan dan jajarannya diharapkan dapat menjalin hubungan kerja sesuai
tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka anggaran,

27
perencanaan, dan pembinaan teknis upaya-upaya pelayanan kesehatan di lapas dan
rutan dapat terlaksana dan berkesinambungan.

Di tingkat kantor wilayah atau provinsi juga diharapkan terjadi perpaduan tersebut.
Sesuai dengan peran utamanya, divisi pemasyarakatan kanwil melakukan
koordinasi dan bimbingan teknis pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan
dinas kesehatan provinsi beserta jajarannya. Dengan kata lain, untuk ‘bidang
pemasyarakatan’ tiap-tiap tingkatan instansi bekerja secara vertikal, namun untuk
‘bidang layanan kesehatan’ bekerja secara horizontal. Sehingga apa yang tertulis
dalam paragraf penutup Ringkasan Eksekutif Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara di Indonesia 2005-2009, Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
HAM RI dan yang menjadi kewajiban negara ini dapat terwujud sebagaimana
tertulis di bawah ini:

“Selanjutnya, narapidana/tahanan yang menderita sakit mendapatkan hak


pelayanan kesehatan serta dapat mengikuti kegiatan baik di bidang bimbingan
hukum maupun bidang pelayanan sosial di lapas/rutan.”

2.1.8 Peran Perawat

Peran perawat kesehatan kelompok binaan di lembaga permasyarakatan


meliputi beberapa aspek yaitu :

1. Pemberi asuhan keperawatan ( care provider )

Peran perawat pelaksana (care provider) bertugas untuk memberikan pelayanan


berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien (individu, keluarga,
maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Asuhan keperawatan ini dapat
dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan, sehingga masalah yang muncul dapat ditentukan diagnosis
keperawatannya, perencanaannya, dan dilakukan tindakan yang tepat sesuai
dengan tingkat kebutuhan yang dialaminya, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui hal yang
sederhana sampai dengan masalah yang kompleks (Mubarak & Chayatin, 2009).

28
Apabila penghuni lapas terserang penyakit segera melakukan perawatan dengan
tata cara penghuni lapas melakukan pendaftaran, pemanggilan tahanan,
melakukan anamnesis dan pemeriksaan, terakhir pengambilan obat.

2. Peran sebagai penemu kasus


Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan berperan
dalam mendeteksi serta dalam menemukan kasus serta melakukan penelusuran
terjadinya penyakit yang menyerang para penghuni lapas.

3. Peran sebagai pendidik kesehatan ( Health Educator )


Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan harus
memberikan pendidikan kepada para penghuni lapas. Pendidikan kesehatan ini
bertujuan untuk mengurangi angka sakit antar penghuni lapas.

4. Peran sebagai kolaborator

Perawat melakukan koordinasi terhadap semua pelayanan kesehatan serta


bekerjasama (kolaborasi) dengan tenaga kesehatan lain dalam perencanaan
pelayanan kesehatan serta sebagai penghubung dengan institusi pelayanan
kesehatan dan sektor terkait lainnya. Misalnya apabila terdapat penghuni lapas
yang sakit maka terlebih dahulu dibawa ke klinik yang ada di lapas dan apabila
saran dan prasarana di klinik tidak memadai maka penghuni lapas dapat dibawa ke
rumah sakit di luar lapas.

5. Peran sebagai konselor

Perawat sebagai konselor melakukan konseling keperawatan sebagai usaha


memecahkan masalah secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan perawat
antara lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi
dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan klien, menolong klien
mengidentifikasi masalah dan faktor - faktor terkait, memandu klien menggali
permasalahan, dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan. Dengan adanya
konseling maka muncul pendekatan baik secara psikologis dan fisik bisa
dilakukan dengan bimbingan lapas maupun kepala lapas.

29
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian

1. Pengkajian Sosial

a. Umur

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara
signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus
mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

b. Fisik

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak
muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja
berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak
muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti
bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan
usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

30
Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara
signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus
mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

c. Genetik

Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional


settingadalah jenis kelamin dan etnisitas.

Jenis kelamin

Secara umum fasilitas dalam institisi correctional terpisah antara pria dan wanita.
Sehingga perawat yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja seperti tahanan
wanita .Namun apapun gender, perawat mungkin menemukan masalah yang unik
dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan wanita mengalami masalah
kesehatan yang berbeda karena jumlah mereka kecil.

Etnisitas

Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam populasi penjara. Anggota


kelompok minoritas mempunyai status kesehatan yang rendah dan memiliki resiko
terkena penyakitmenular selama dipenjara. Perawat perlu mengkaji kelompok
minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang terjadi pada kelompok ini.

2. Pengkajian Epidemiologi

Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk
mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah
yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan
meliputi penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan.

Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual
lain.

A. TBC

31
Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang
terinfeksi dapat diisolasi.

B. HIV AIDS

Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau gejala
infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan.

C. Hepatitis B dan penyakit seksual lain

Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual dan hepatitis B serta waspada
adanyatanda fisik dan gejala penyakit ini.

D. Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, penyakit jantung, dan
paru serta kejang.

Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota
keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji
adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan
tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja.

E. Cedera

Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera
mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau
kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan potensial
terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda – tanda trauma.

F. Kehamilan

3. Pengkajian Perilaku dan lingkungan

Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional setting meliputi diet,


penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta
penggunaan kondom di lingkungan correctional setting

Pengkajian psikologis pada correctional setting juga penting karena :

32
a. Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang terjadi selama berada di
tahanan.

b. Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan menimbulkan


efek psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat di correctional setting harus
mewaspadai tanda – tanda depresi dan masalah mental ( correctional setting ) lain
pada tahanan dan mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional
settingharus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh
diri. Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada tahanan yang berada
dalam isolasi .

c. Lingkungan dalam correctional setting juga dapat menimbulkan kekerasan


seksual yang menimbulkan konsekuensi psikis. Dalam mengkaji hal ini, perawat
harus mewaspadai tanda – tanda kekerasan dan menanyakan pada klien mengenai
masalah ini. Jika kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk melindungi
klien dari cedera yang lebih lanjut.

d. Layanan kesehatan mental mungkin kurang di beberapa correctional setting.

e. Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan psikologis.


Perawat harus mengkaji masalah psikis yang timbul dan membantu mereka melalui
konseling dengan tepat

4. Pengkajian Administratif dan policy

.Perawat di correctional setting juga mengkaji keadekuatan sistem pelayanan


kesehatan dalam memenuhi kebutuhan tahanan. Fasilitas di correctional
setting bisa menggunakan salah satu pendekatan di bawah ini untuk menyediakan
perawatan kesehatan untuk tahanan.

a) Layanan kesehatan diberikan oleh staf yang bekerja di institusi.

b) Membuat kontrak dengan agensi untuk menyediakan pelayanan kesehatan.

33
Apapun pendekatan yang digunakan, perawat perlu mengkaji keadekuatan
pelayanan kesehatan yang diberikan untuk tahanan. Pelayanan minimal meliputi
perwatan primer dan sekunder

b. Diagnosa Keperawatan

1. Ansietas

2. Isolasi Sosial

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4. Sindroma pasca trauma

5. Ketidakberdayaan

6. Kurang perawatan diri : Hygiene, berpakaian, makan

7. Resiko mencederai diri

c. Intervensi

Intervensi yang bisa dilakukan di lembaga pemasyarakatan

1. Assertive Community Treatment ( ACT )


Nama asli dari terapi ini adalah Training in Community Living ( TCL ), terapi ini
cocok dilakukan untuk kelompk yang berada di luar layanan perawatan pasien (
diluar Rumah Sakit). ACT digunakan secara interdispliner ( perawat psikiatrik,
social worker, activity therapist ). Terapi ini digunakan pada dewasa yang
mengalami gangguan jiwa berat.
2. Multisystemic Theraphy
Pendekatan pengobatan yang sangat fleksibel yang membahas beberapa kebutuhan
dari klien, emosional klien dan keluarganya. Bisa digunakan pada setting rumah
tahanan, sekolah,dan setting di lingkungan rumah. Terapi ini digunakan pada orang
dewasa yang mengalami gangguan emosional.

34
3. Therapeutic Elements
Therapeutic elements terdiri dari pragmatic, outcome-oriented, treatment
approaches, home-based interventions, dan individual treatment.

Kasus

Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak dibangun sejak tahun 2000
dengan luas sekitar 2000 m2. Saat ini jumlah warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak sebanyak 40 orang. Terdiri atas 24
orang narapidana, yakni 23 orang pria dan 1 orang wanita dan 16 orang tahanan
yakni 15 orang pria dan 1 wanita, dan tercatat juga jumlah pegawai atau petugas
lapas sebanyak 49 orang. Dari total jumlah warga binaan yang berusia 14 tahun
sebanyak 7 orang, berusia 15 tahun sebanyak 8 orang, berusia 17 tahun sebanyak
9 orang, dan berusia 18 tahun sebanyak 16 orang. Sebanyak 65% terkait kasus
penggunaan obat-obatan terlarang, 20% terkait kasus pencurian, 10 % terkait
kasus kekerasan, dan 5% untuk kasus lain-lainnya.

Lingkungan diseluruh area lapas termasuk bersih namun sanitasi masih buruk
serta jumlah air bersih yang masih kurang. Sebanyak 70 % warga binaan
mengalami ansietas. Pola hidup yang jauh dari sehat menjadikan warga binaan
anak menjadi individu yang rentan tertular berbagai penyakit. Selama 6 bulan
terakhir sebanyak 8 orang mengalami diare dan 1 orang mengalami gatal – gatal.
Sebanyak 10 orang memiliki kebiasaan merokok. Fasilitas yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan Anak kelas II B Pontianak antara lain lapangan sepak bola.
Kegiatan yang ada antara lain senam pagi setiap hari minggu, kegiatan
kerohanian, pendidikan, dan lain – lain.

Pengkajian

A. Data Inti Komunitas

35
I Data Umum
1. Sejarah
Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak dibangun sejak tahun 2000
2. Luas wilayah
Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak luasnya sekitar 2000 m2.

II Demografi
- Jumlah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak
sebanyak 40 orang. Terdiri atas 24 orang narapidana, yakni 23 orang pria dan 1
orang wanita dan 16 orang tahanan yakni 15 orang pria dan 1 wanita, dan tercatat
juga jumlah pegawai atau petugas lapas sebanyak 49 orang.
- Dari total jumlah warga binaan yang berusia 14 tahun sebanyak 7 orang, berusia
15 tahun sebanyak 8 orang, berusia 17 tahun sebanyak 9 orang, dan berusia 18
tahun sebanyak 16 orang.
- Sebanyak 65% terkait kasus penggunaan obat-obatan terlarang, 20% terkait kasus
pencurian, 10 % terkait kasus kekerasan, dan 5% untuk kasus lain-lainnya.

III. Status Kesehatan

- Selama 6 bulan terakhir sebanyak 8 orang mengalami diare dan 1 orang


mengalami gatal – gatal.
- Sebanyak 70 % warga binaan mengalami ansietas.
B. Data Sub Sistem
- Lingkungan diseluruh area lapas termasuk bersih
- Sanitasi masih buruk
- Jumlah air bersih yang masih kurang.
C. Perilaku terhadap kesehatan
- Sebanyak 10 orang memiliki kebiasaan merokok.
- Fasilitas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas II B Pontianak antara
lain lapangan sepak bola.
- Kegiatan yang ada antara lain senam pagi setiap hari minggu, kegiatan
kerohanian, pendidikan, dan lain – lain.

36
Data 00146
70 % warga binaan mengalami ansietas Ansietas
Hasil Wawancara
1. Ansietas sering terjadi pada warga
binaan yang pertama kali masuk
lembaga pemasyarakatan
2. Perasaan takut menghadapi situasi
yang ada di lembaga
pemasyarakatan

Diagnosa :
Domain 9 Koping / Toleransi Stres
Kelas 2 Respon Koping
Kode 00146
Ansietas b.d perasaan takut, distres
NOC NIC
Domain III Psychosocial Health Domain 3 Pola Kebiasaan
Class M Psychological Well Kelas Psikologikal, Promosi rasa
Being nyaman
Code 1210 Kode 5820
Tingkat Ketakutan Menurunkan tingkat ansietas
Preventif Primer Preventif Primer
121001 Distres ( 1-5 ) - Lakukan pendekatan secara
121004 Kurang percaya diri ( 1- perlahan
5) - Jelaskan tingkat harapan terhadap
121015 Mencari sumber kebiasaan pasien
ketakutan (1-5) - Dampingi pasien untuk mendorong
rasa nyaman dan menurunkan rasa
takut
- Mendengarkan penuh perhatian
Preventif sekunder
- Identifikasi ketika terjadi
perubahan tingkat ketakutan

37
- Instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi
- Berikan medikasi untuk
menurunkan ansietas, bila perlu

Data :
- Sanitasi masih buruk Ketidakefektifan manajemen kesehatan
- Jumlah air bersih yang
masih kurang
- 8 orang mengalami diare
- 1 orang mengalami gatal –
gatal.

Diagnosa :
Domain 1 Promosi Kesehatan
Kelas 2 Manajemen kesehatan
Kode 00078
Ketidakefektifan manajemen kesehatan b.d insufiensi pengetahuan
NOC NIC
Domain IV Pengetahuan dan Domain 3 Kebiasaan
Pola Kebiasaan Hidup Sehat Kelas S Edukasi Pasien
Kelas S Manajemen Kesehatan Kode 5510
Kode 1805 Edukasi Kesehatan
Pengetahuan : Kebiasaan Hidup Preventif primer
Sehat - Tentukan pengetahuan dan pola
Preventif primer hidup sehat individu atau
180518 Health Promotion kelompok

38
Service (1-5) - Identifikasi faktor eksternal dan
internal yang dapat meningkatkan
dan menurunkan motivasi
kebiasaan hidup sehat
- Libatkan individu atau kelompok
dalam perencanaan dan
pelaksanaaan rencana gaya hidup
atau kebiasaan hidup sehat
- Jelaskan strategi yang bisa
digunakan untuk menolak atau
berisiko untuk memunculkan
kebiasaan tidak sehat

Data 00118
- 10 orang memiliki
kebiasaan merokok Perilaku kesehatan cenderung beresiko

39
Diagnosa
Domain 1 Health Promotion
Class 2 Health Management
Code 00118
Perilaku kesehatan cenderung beresiko b.d kebiasaan merokok
NOC NIC
Domain IV Health Knowledge Domain 3 Behavioral
& Behavior Class O Behavior Therapy
Class Q Health Behavior Code 4360
Code 1602 Modifikasi Perilaku
Perilaku Promosi Kesehatan Preventif Primer
160203 : Monitor perilaku - Motivasi pasien untuk berubah
individu terhadap risiko ( 1-5 ) - Perkenalkan pasien kepada
160207 : Melakukan perilaku seseorang atau group yang berhasil
sehat secara teratur ( 1-5 ) melakukan perubahan pada
1602100 : mendorong pengalaman yang sama
dukungan sosial untuk promosi - Hindari penolakan atau
kesehatan ( 1-5 ) meremehkan terhadap usaha
160219 : menghindari pasien dalam perubahan perilaku
penggunaan tembakau ( 1-5 ) - Dorong pasien untuk merubah
perilaku dari hal kecil
- Gunakan periode waktu spesifik

40
ketika mengukur berapa banyak
batang rokok yang digunakan per
hari
- Dorong pasien untuk berpartisipasi
dalam memantau dan mencatat
perilaku

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1
ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga
Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

41
DAFTAR PUSTAKA

Frisch, Noreen Cavan and Frisch, Lawrence E. 2006. Psychiatric Mental Health
Nursing Third Edition. Canada : Thomson Delmar Learning

Margaret, Jordan halter. 2014. Canadian Psychiatric Mental Health Nursing. A


Clinical approach. Canada : Elsevier

Marry Jo Clark. 1999. Nursing In The Community. Amerika : Appleton a Lange..

Handoyo, Patri., 2010. Menunaikan Hak Pelayanan Kesehatan Napi dan Tahanan.
Jakarta

Marry A Nies. 2001. Community Health Nursing. Saunders company : Lipincolt

Stuart, Gail W. & Laraia, Michele T. 2005. Principle and Practice of Psychiatric
Nursing Eighth Edition. St. Louis : Mosby.Inc

Videbeck, Sheila L. 2004. Psychiatric Mental Health Nursing Second Nursing.


Philadephia : Lippincott Williams & Wilkins

42

You might also like