You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


Definisi
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Diseases (GOLD) tahun 2001 dan di up-date tahun 2005,
Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) atau penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakteristikan oleh adanya
obstruksi saluran pernapasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran
udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Beberapa rumah
sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilh PPOM (Penyakit Paru Obstruktif
Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama.1,6
Menurut America Thoracic Society (ATS) yang tterbaru pada tahun 1995,
PPOK adalah penyakit dengan adanya obstruksi jalan napas karena bronchitis
kronik atau emfisema, dimana obstruksi jalan napas tersebut umumnya bersifat
progressive.1,6
Fergusson 1993 memberikan batasan bahwa PPOK adalah penyakit saluran
napas kronik yang disertai batuk-batuk, sputum produktif, sesak napas dan
terdapat perlambatan jalan udara pernapasan serta gagalnya pertukaran gas.1,2
Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronchitis kronis dan
emfisema. Bronkitis kronis adalah kondisi di mana terjadi sekresi mucus
berlebihan ke dalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai
batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam
setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-
paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai
keujung bronkiole yang abnormal dan permanen, disertai dengan kerusakan
dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan
salah satunya yang dominan.1,6

Epidemiologi
Di negara maju COPD menempati kedudukan tertinggi dalam hal kekerapan
dari penyakit-penyakit paru. Menempati kedudukan ke 2 setelah penyakit jantung
koroner dalam hal kompensasi yang harus diberikan pemerintah kepada penderita-
penderita di Amerika Serikat. 16,2 juta orang Amerika (bronchitis kronik dan
emfisema atau keduanya, dengan 112.584 kematian tahun 1998) Insiden COPD
meningkat 459% sejak tahun 1950 dan sekarang merupakan penyebab kematian
terbanyak keempat. COPD menyerang pria 2x lebih banyak daripada wanita
diperkirakan karena pria merupakan perokok berat.6
Menurut data surkenas tahun 2001, penyakit pernapfasan termasuk PPOK
merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK meningkat
dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada Negara-negara dimana merokok
merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor risiko
utama. Menurut WHO 80 juta penduduk dunia menderita COPD dari tingkat
moderate sampai berat.6

Etiologi dan Faktor Risiko,1,6


Beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya PPOK adalah :
a. Merokok. Merupakan faktor risiko terpenting. Yang perlu diketahui dari pasien
tentang merokok adalah usia mulai merokok, jumlah rokok, cara
menghisapnya, dan jenis rokok. Telah diketahui bahwa merokok dapat
mengurangi FEV1. Sekitar 80-90 % perokok akan memiliki risiko terkena
PPOK. Perokok aktif berat akan mengalami penurunan fungsi paru lebih cepat
dan berat dibandingkan dengan perokok pasif atau perokok ringan.
b. Polusi udara dan lingkungan. Polusi udara yang semakin meningkat terutama
di kota-kota besar dapat menurunkan FEV1 dan selanjutnya berujung pada
PPOK. Inhalan yang paling kuat dalam menyebabkan PPOK adalah Cadmium,
silica, dan debu. Semua inhalan ini akan memberikan efek toksin pada paru.
c. Faktor genetik. Faktor genetik yang berperan dalam terjadinya PPOK adalah
defisiensi alpha 1 anti tripsin ( AAT ), disfungsi AAT, dan nol AAT. AAT
merupakan suatu serum protein yang diproduksi oleh hati dan pada keadaan
normal terdapat di paru, gunanya untuk menghambat kerja enzim neutrofil
elastase yang bersifat destruktif pada jaringan paru. Enzim ini akan keluar
sebagai akibat dari inflamasi oleh rokok dan berbagai polutan. Kadar normal
AAT adalah 150-350 mg/dl.
Kecurigaan terhadap penderita PPOK yang bermasalah dengan AAT dapat
dilihat dari : bronkitis kronik pada bukan perokok, bronkiektasis tanpa faktor
risiko yang nyata, onset premature PPOK, berlanjutnya asma hingga usia < 50
tahun, riwayat keluarga menderita gangguan AAT, dan sirosis hati tanpa faktor
risiko yang jelas.
d. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetic berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian
ini hanya dialami < 1% pasien PPOK.
e. Jenis Kelamin
Laki-laki berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan
prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang
merokok.
f. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi.
Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi immunoglobulin A ( igA/ hypogamaglobulin ) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan
gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar
sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih
berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang
yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan
rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
g. Hiperresponsif jalan napas
Asma dan hiperresponsif jalan napas, diidentifikasi sebagai factor yang
berpengaruh pada perkembangan PPOK dan merupakan kelaiann yang
berhubungn dengan genetic dan lingkungan.
h. Perokok pasif
Perokok pasif juga merasakan dampak negative dari asap rokok
i. Status social ekonomi
PPOK ternyata banyak ditemuukan pada social ekonomi rendah. Pendidikan
dan social ekonomi rendah mempengaruhi pemeliharaan kesehatan dan pola
hidup serta pilihan berobat.
j. Infeksi
Riwayat infeksi pernapasan pada saat anak-anak akan mempengaruhi
pengurangan fungsi paru dan mempermudah gangguan pernapasaan pada
dewasa.
k. Faktor makanan
Factor makanan juga mempunyai pengaruh pada perkembangan PPOK. Asam
lemak omega 3, vitamin A dan vitamin C menurunkan risiko PPOK,
sedangkan alcohol dan asam linoleat meningkatkan risiko tersebut.

Manifestasi Klinis1,6
Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejal meliputi:
a. Batuk
b. produksi sputum
c. dispnea
d. riwayat paparan suatu faktor risiko
Beberapa ciri dari PPOK biasanya dialami oleh perokok berat, gejala muncul pada
usia 40-an, gejala semakin lama semakin bertambah buruk, gejala memburuk pada
musim hujan/dingin, dan tidak ada hubungannya dengan alergi.

Patogenesis dan Patofisiologi 1,3,6

Tiga faktor utama yang berpengaruh dalam patogenesis PPOK


1. Peradangan Paru
PPOK ditandai dengan adanya peningkatan jumlah netrofil, makrofag, dan T
limfosit (khususnya CD8+) di paru. Bisa juga terjadi peningkatan eosinofil pada
beberapa pasien terutama saat eksaserbasi. Peningkatan jumlah sel tersebut
melalui peningkatan rekruitmen sel peradangan, survival, dan atau aktivasi.
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan antara jumlah sel inflamasi di
paru dan berbagai derajat beratnya PPOK.
Peningkatan jumlah neutrofil ditemui dalam sputum dan cairan bilasan bronkus
pada pasien PPOK, walaupun peranan neutrofil dalam PPOK belum jelas.
Neutrofil juga bertambah pada perokok tanpa PPOK. Pada keadaan eksaserbasi
akut ditemukan adanya peningkatan neutrofil pada cairan bilasan bronkus. PPOK
dan aktivasi sel ini menghasilkan protease dan oksigen radikal bebas yang
merupakan hal penting dalam patogenesis PPOK. Beberapa penelitian
menemukan adanya hubungan antara IL-8, jumlah neutrofil dan derajat disfungsi
paru.
Peningkatan jumlah makofag dalam saluran napas kecil dan besar serta parenkim
paru pada pasien PPOK, dapat dilihat secara histopatologi dari cairan bilasan
bronkus, biopsi bronkus, dan sputum. Pada pasien dengan emfisema, makrofag
terlokalisir pada dinding alveolar yang rusak. Makrofag berperan pada inflamasi
PPOK melalui pelepasan mediator seperti TNF-α, IL-8, dan leukotrien B4 (LTB4),
yang memicu peningkatan netrofil. Histopatologi dari peningkatan bronkus pada
pasien PPOK memperlihatkan peningkatan T limfosit, terutama CD8+.
Peranannya dalam peradangan PPOK belum seluruhnya dimengerti. Juga
dilaporkan adanya peningkatan jumlah limfosit seperti natural killer cells pada
pasien dengan PPOK berat.
Keberadaan dan peranan eosinofil pada PPOK masih belum pasti. Beberapa
penelitian biopsi bronkus memperlihatkan eosinofil bertambah dalam saluran
napas pada pasien dengan PPOK irreversibel. Penelitian lain melaporkan tidak ada
penambahan eosinofil pada pasien PPOK.
Sel peradangan aktif pada PPOK menghasilkan berbagai mediator; termasuk
proteinase, oksidan dan pepsida toksik. Beberapa mediator yang penting
keberadaannya dalam PPOK, antara lain LTB4, IL-8 dan TNF-α, yang mampu
merusak struktur paru dan atau membantu peradangan.

2. Ketidakseimbangan Proteinase-
antiproteinase
Berdasarkan beberapa observasi, terlihat jelas bahwa ketidakseimbangan
proteinase dan anti-proteinase dapat memicu pertambahan produksi atau aktivasi
proteinase, atau inaktivasi atau pengurangan produksi antiproteinase. Seringkali
ketidakseimbangan tersebut merupakan konsekuensi dari peradangan yang
disebabkan oeh inhalan. Ketidakseimbangan dapat juga disebabkan oleh
pengurangan aktivitas antiproteinase oleh stress oksidatif, rokok, dan faktor-faktor
risiko PPOK lainnya.
3. Stres Oksidatif
Ada suatu bukti bahwa pada PPOK terjadi ketidakseimbangan oksidan/anti
oksidan dalam paru yang disebut sebagai stres oksidatif. Stres oksidatif ini
diperkirakan memiliki peranan penting dalam patogenesis PPOK dengan berbagai
cara. Oksidan akan bereaksi dan menimbulkan kerusakan macam-macam biologi
molekuler sperti protein, lipid dan asam nukleat, dan hal ini dapat menimbulkan
disfungsi sel atau kematian sel. Juga stress oksidatif dapat menimbulkan
kerusakan secara langsung pada paru melalui ketidakseimbangan proteinase-anti
proteinase dengan cara penghambatan antiproteinase dan pengaktifan proteinase.

Pada dasarnya PPOK dibagi menjadi dua jenis yang masing-masing memiliki
patogenesis yang berbeda, yaitu bronkitis kronik dan emfisema.
Faktor pencetus dari bronkitis kronik adalah suatu iritasi kronik yang
disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan
gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l0-14 radikal bebas yaitu radikal
hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim
paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya
modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini ter-ganggu, sehingga timbul
kerusakan jaringan intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara
terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga
menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang,
sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang
kelenjar mukosa. Keadaan ini dit dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala
batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya
infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas
terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain
itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel.
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang
permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema
sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan
dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini
menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran
napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer
acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran
napas perifer.

Terdapat 3 hipotesis utama patogenesis PPOK, yaitu :


a. Hipotesis Dutch
Hipotesis ini menyatakan bahwa penyebab PPOK adalah hipereaktif bronkus
yang diinduksi oleh rokok dan inhalan lainnya. Pasien dengan hipereaktivitas
lebih besar akan lebih cepat mengalami penurunan FEV1.
b. Hipotesis British
Hipotesis ini beranggapan bahwa penyebab PPOK adalah hipersekresi mukus
sehingga dapat mempersempit jalan napas dan merupakan predisposisi
terjadinya infeksi dan inflamasi.
c. Hipotesis protease/ antiprotease
Iritasi jalan napas akan mengawali masuknya sel radang ke paru. Kemudian
sel-sel ini mengeluarkan berbagai jenis protease, seperti neutrofil elastase,
tripsin, dan katepsin. Enzim-enzim ini kemudian akan merusak parenkim paru.

Tahapan perkembangan PPOK :


Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2006, PPOK dibagi atas 4 derajat:
a. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, atau terkadang disertai batuk kronik dan
produksi sputum, faal paru VEP1/KVP < 70%; VEP1 80% prediksi.
b. PPOK Sedang: perburukan pembatasan aliran udara, dengan sesak napas yang
diinduksi oleh kegiatan, faal paru VEP1/KVP < 70%, atau 50% ≤ VEP1 < 80%
prediksi. Pada derajat ini pasien datang dengan gejala respirasi atau
eksaserbasi penyakit.
c. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi, sesak yang
lebih berat, penurunan kapasitas latihan, dan eksaserbasi berulang yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
d. PPOK Sangat Berat: VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau VEP1<50%
disertai gagal napas kronik. Pasien mungkin telah menderita PPOK berat
(derajat IV) walaupun VEP1 > 30% prediksi, saat komplikasi terjadi.

Perubahan Patologi Anatomi 2


Terdapat berbagai macam variasi bronchitis, baik engenai jumlah atau luasnya
bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit :
- Tempat predisposisi bronchitis
Bagian paru yang sering terkena dan merupakan predisposisi bronchitis
adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingua paru kiri lobus atas, segmen
basal pada lobus bawah kedua paru.
- Bronkus yang terkena
Bronkus yang terkena umumnya yang berukuran sedang, bronkus yang
terkena dapat hanya satu segmen paru saja maupun difus mengenai bronki
kedua paru.
- Perubahan morfologis bronkus yang terkena
1. Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa
proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan irreversibel. Jaringan
bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga
elemen-elemen elastis.
2. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa,. Apabila terjadi
eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan,
ulserasi.
3. Jaringan paru peribronchiale
Pada keadaan yang hebat, jaringan paru distal akan diganti jaringan
fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.
- Variasi kelainan anatomis bronchialis
Telah dikenal 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronchitis, yaitu :
1. Bentuk tabung
Bentuk ini sering ditemukan pada bronchitis yang menyertai bronchitis
kronik.
2. Bentuk kantong
Ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang
`bersifat irregular. Bentuk ini berbentuk kista.
3. Bentuk antara bentuk tabung dan kantong

- Pseudobronchitis
Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan
bentuknya silindris. Bentuk ini merupakan komplikasi dari pneumonia.

Penatalaksanaan1,6
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, mencegah dan memperbaiki penurunan faal paru, dan meningkatkan
kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan secara umum meliputi :
a. Edukasi. Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah perburukan fungsi paru. Tujuan dari edukasi adalah mengenal
perjalanan penyakit dan pengobatan, melakukan pengobatan yang maksimal,
mencapai aktivitas optimal, dan meningkatkan kualitas hidup. Edukasi
diberikan secara berkesinambungan dan dapat diberikan di poliklinik, ruang
gawat, UGD, dan di rumah. Edukasi disesuaikan dengan derajat beratnya
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural, dan kondisi ekonomi
penderita.
Yang harus diberikan pada edukasi adalah :
- pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat-obatan dan manfaatnya : macam obat, jenis, cara penggunaannya,
waktu penggunaannya, dosis. Penggunaan oksigen juga perlu dijelaskan.
- Cara menghindari perburukan penyakit
- Menghindari pencetus ( berhenti merokok )
- Penyesuaian aktivitas
- Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Beberapa tanda
eksaserbasi adalah batuk dan atau sesak bertambah, sputum bertambah,
dan sputum berubah warna. Mendeteksi dan menghindari eksaserbasi juga
perlu dijelaskan.
b. Obat-obatan.
1) Bronkodilator
Dapat diberikan dosis tunggal atau kombinasi. Pemilihan bentuk sediaan
obat diutamakan dalam bentuk inhalasi. Untuk penderita PPOK derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow acting ) atau long
acting.
Macam-macam bronkodilator yang dapat digunakan :
a) Golongan antikolinergik. Untuk mengobati derajat ringan sampai
berat. Dapat mengurangi sekresi mukus ( maksimal 4 kali sehari ).
b) Golongan agonis beta 2. Bentuk inhaler berguna untuk mengatasi
sesak napas. Bentuk nebuliser digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
akut, tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2. Kombinasi keduanya
akan memperkuat efek bronkodilator. Penggunaan obat kombinasi juga
mempermudah penderita.
d) Golongan xanthin. Digunakan untuk pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa dapat
digunakan untuk mengatasi sesak napas. Bentuk suntikan bolus atau
drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut. Jika digunakan
dalam jangka panjang diperlukan pengukuran kadar aminofilin dalam
darah.
2) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena. Dapat digunakan jenis metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang bila terbukti uji kortikosteroid
positif yaitu dengan perbaikan FEV1 pascabronkodilator meningkat > 20
% dan minimal 250 mg.
3) Antibiotika
Hanya diberikan bila terbukti terdapat infeksi. Antibiotika yang
digunakan :
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru
Untuk perawatan di rumah sakit : amoksisilin dan klavulanat,
sefalosporin generasi II dan III injeksi, kuinolon per oral. Ditambah
dengan antipseudomonas yaitu aminoglikosid per injeksi, kuinolon per
injeksi, dan sefalosporin generasi IV per injeksi.
4) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan
N-asetilsistein.
5) Mukolitik
Hanya diberikan pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum
viscous.
6) Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.

Terapi oksigen
Manfaat oksigen : mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi
hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup.
Indikasi : PaO2 < 60 mmHg atau sat O2 < 90 %

Pencegahan :
1. Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi ulang

Komplikasi1,6
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
a. Gagal napas
Gagal napas sebagai komplikasi dari PPOK terbagi menjadi 2 kondisi :
1) Gagal napas kronik. Jika hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan
PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal. Penatalaksanaannya dengan menjaga
keseimbangan PO2 dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen,
antioksidan, dan latihan pernapasan dengan mulut tidak terkatup rapat.
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik. Ditandai oleh : sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, dan
kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang.
Produksi sputum yang berlebih pada penderita PPOK menyebabkan mudah
terbentuknya koloni kuman sehingga memudahkan timbulnya infeksi
berulang.
c. Kor pulmonale
Ditandai oleh adanya P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai
gejala gagal jantung kanan.

Prognosis
60 % orang meninggal pada umur 20 tahun,dan 95 % meninggal pada umur 55
tahun CPOD tahap mild dan moderate dapat dikontrol dengan baik melalui
pengobatan dan rehabilita pulmonal sedangkan untuk yang tahap berat pengobatan
akan lebih sulit. Diagnosis dini dan berhenti merokok akan memberikan prognosis
yang jauh lebih baik . The American Thoracic Society (ATS) merekomendasikan
tingkat keparahan COPD berdasarkan fungsi paru. Semakin meningkat, maka
tingkat mortalitas makin tinggi.
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan
gejala klinisnya.
Pada eksaserbasi akut, prognosis vitam dapat baik dengan terapi yang tepat
dan adekuat. Namun, mengingat PPOK adalah penyakit yang progresif dan
ireversible, prognosis fungsionam meragukan. Pada pasien bronkitis kronik dan
emfisema lanjut dan VEP1 < 1 liter survival rate selama 5-10 tahun mencapai
40%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia
2. Suyono, Slamet ,dkk. 1996. Buku Ajar/Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi
ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI
3. Kumar, robbin, dkk. 2004. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol 1. Jakarta : EGC.
4. Price, Sylvia Anderson & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

You might also like