You are on page 1of 15

Learning Objective!

1. diagnosis dan DD pada scenario


2. penatalaksanaan pada kasus I dan II
3. etiologi dan faktor resiko dari kasus I dan II
4. Manifestasi Klinis dari kasus I dan II
5. Patomekanisme dari kasus I dan II
6. cara melakukan pemeriksaan tanda homan dan interpretasinya
7. Hubungan antara keluhan dan riwayat merokok dan kolesterol
8. Sistem merujuk pada kasus emergency sesuai scenario!
9. Prognosis dari kasus I dan II
10. Epidemiologi dari kasus I dan II

Jawaban !

1. Diagnosis
a. ACS (Acute Coronary Syndrome) STEMI
 Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri
di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa
lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia
lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia
 Pemeriksaan fisik
 Pasien cemas dan tidak bisa beristirahat
 Ekstremitas pucat disertai keringat dingin
 Infark anterior : hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan/
hipotensi)
 Infark inferior : hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/
hipotensi)
 Murmur midsistolik atau late sistolik apical yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan
pericardial friction rub
 Peningkatan suhu sampai 38 derajat celcius dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI
 Elektrokardiogram
 Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI
 Pemeriksaan harus dilakukan dalam10 menit sejak
kedatangan di IGD.
 Cardiac Marker
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB
dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan
secara serial
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal
dalam 2-4 hari.
 cTn: ada 2 jenis cTn T dan I. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan cTn T masing dapat di deteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :
 myoglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam
 CK : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal
dalam 3-4 hari.
 LDH : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14
hari.
b. deep vein thrombosis (DVT)
Diagnosis trombosis vena dalam berdasarkan gejala linis saja kurang
sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena yang
besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan
perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala.
Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan
diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:
 Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar
untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif
sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis
baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke
dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran
sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke v
iliaca.
 Flestimografi impendant
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume
darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis
vena femrlis dan iliaca dibandingkan vena di betis
 Ultra sonografi (USG) Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,
sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG,
terutama USG Doppler.
Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity
93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus
trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara
objektif lain.
Referensi : Sudoyo, dkk. 2014. Buku Ajar penyakit dalam. Edisi 6.
Volume II. Interna publishing; Jakarta
PERKI. 2015. Pedoman Penatalaksanaan Sindroma Koroner
Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia; Jakarta
Majalah Kedokteran Andalas. 2010. Deep Vein Trombosis.
No.2. Vol.25. Jakarta

2. penatalaksanaan :
a. ACS (STEMI)
 Tatalaksana umum
- oksigen, diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. STEMI tanpa komplikasi bisa diberikan dalam 6 jam
pertama
- Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit
- Morfin, untuk mengurangi nyeri dada, diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin, absorbsi secara bukkal dengan dosis 160-235 mg
diruang emergensi
- Tindakan reperfusi (mekanik atau farmakologik)
diindikasikan pada pasien dengan nyeri dada infark dengan
durasi kurang atau sama dengan 12 jam pada pasien dengan
elevasi segmen ST lebih dari 0.1mV di dua atau lebih lead
yang berdekatan atau LBBB baru atau diduga baru. Kandidat
reperfusi harus diiden- tifikasi oleh dokter gawat darurat atau
oleh petugas emerjensi untuk menghemat waktu.
b. DVT
Pemberian Heparin standar
 Heparin 5000 ini bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan
drips konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drips
selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa
APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150
iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

 Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1


tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena
biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai
target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
 Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan
dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan,
2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3
bulan.
 Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum
rencana penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif
sesudah 48 jam.

Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)


Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak
memerlukan pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif
mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang tersedia di
Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin
Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa
terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced
Thormbocytopenia (HIT).

Pemberian Oral Anti koagulan oral


Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin
di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis
dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International
Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0
Referensi : Sudoyo, dkk. 2014. Buku Ajar penyakit dalam. Edisi 6.
Volume II. Interna publishing; Jakarta
PERKI. 2015. Pedoman Penatalaksanaan Sindroma Koroner
Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia; Jakarta
Majalah Kedokteran Andalas. 2010. Deep Vein Trombosis.
No.2. Vol.25. Jakarta

3. etiologi dan faktor resiko


Kasus 1 Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)

 Faktor resiko penyakit cardiovaskular :


a. yg dpt dimodifikasi
- hipertensi ( ↑ tekanan darah) → menyebabkan CVD
(cardiovascular desease) . Ex : stroke, CHD, HF, PAD (peripheral
arteri desease)
- tobacco use → merokok → atherosclerosis
- Diabetes (↑ glukosa darah) →pada orang DM tipe 2 dan resistensi
insulin menyebabkan kerusakan sel jantung.
- physical inactivity → kurangnya aktivitas apalagi jika tidak rajin
berolahraga akan mengakibatkan penumpukan lemak berlebihan,
- diet tidak sehat →konsumsi lemak, garam, dan kurang konsumsi
buah dan sayur

b. yg tdk dpt dimodifikasi


- age → pada orang tua relakasasi jantung berkurang sehingga dapat
sebabkan kekakuan
- gender → laki2 lebih beresiko daripada perempuan pre-
menopause, namun ketika sudah
menopause rasionya sama

(sumber : world Heart Federation . Risk Factor cardiovascular desease.


2012. From http://www.world-heart
federation.org/fileadmin/user_upload/documents/Fact_sheets/2012/PressB
ackgrounderApril2012RiskFactors.pdf )

 Etiologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi karena suplai
O2 yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak ditangani dengan
baik. Beberapa hal yang menimbulkan ganguan oksigenase tersebut
yaitu:
1. Berkurangnya suplai O2 ke miokard
 Faktor pmbuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah
sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal
yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah antara lain;
(1) Mengkomsumsiobat-obatan; (2) Stress; (3) terpapar suhu
dingin yang ekstrim.; (4) merokok
 Faktor sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah
dari jantung keseluruh tubuh sampai ke jantung kembali.
Sehingga hal ini tidak terlepas dari factor pemompaan dan
volume darah yang dipompakan.Kondisi yang menyebabkan
gangguan pada sirkulasi diantaranya hipotensi dan stenosis
yang menyebabkan menurunnya cardiac output.Penurunan
COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan
beberapa bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan baik,
termasuk otot jantng.
 Faktor darah
Darah merupakan pengangkut O2 menuju seluruh tubuh.
Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus apaupun jalan
dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup
membantu.
2. Meningkatnya kebutuhan O2 dalam tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan O2 mampu
di kompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung
untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah
terkena penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada
akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan O2
semakin meningkat, sedangkan suplai O2 tidak bertambah. Oleh
karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatya
kebutuhan O2 akan memicu terjadinya infark.
(Alwi, Idrus. 2014. BUku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta;
InternaPublishing)

Kasus 2 DEEP VEIN THROMBOSIS

- DVT terjadi bila terbentuk trombus dalam vena yang berjalan di


kompartemen subfascia
- Tromboflebitis sebagai respon inflamasi trombosis, pada vena
superfisial
- Dewasa (80%) di ekstremitas bawah, v. femoralis komunis, v.
iliaka, atau IVC

Patogenesis

- Trombus vena terdiri dari deposit intravaskuler dari fibrin, eritrosit,


platelet, dan komponen leukosit
- Triad Virchow  aktivasi faktor koagulasi, stasis vena, dan
abnormalitas dinding pembuluh darah

Faktor resiko

- Usia > 60 tahun


- Extensive surgery
- Riwayat VTE sebelumnya
- Immobilisasi
- Bedah ortopedi (panggul dan lutut)
- Fraktur pelvis, femur, atau tibia
- Bedah kanker
- Sepsis postoperatif
- Penyakit gagal jantung, inflammatory bowel disease, sepsis, infark
miokard
(Sumber : AHA Medical/Scientific Statement, Management of DVT and
PE, 1996)

4. manifestasi klinis
Kasus 1 :
- Penderita mengeluh nyeri dada yang beragam bentuk dan
lokasinya.
- Nyeri berawal sebagai rasa terhimpit, rasa terjepit atau rasa
terbakar yang menyebar ke lengan kiri bagian dalam dan kadang
sampai ke pundak, bahu dan leher kiri, bahkan dapat sampai ke
kelingking kiri.
- Perasaan ini dapat pula menyebar ke pinggang, tenggorokan rahang
gigi dan ada juga yang sampaikan ke lengan kanan
- Rasa tidak enak dapat juga dirasakan di ulu hati, tetapi jarang
terasa di daerah apeks kordis.
- Rasa nyeri dapat disertai beberapan atau salah satu gejala berikut
ini : berkeringat dingin, mual dan muntah, rasa lemas, berdebar dan
rasa akan pingsan (fainting).
- Biasanya angina timbul saat melakukan kegiatan fisik (angina
stabil).
- Serangan ini akan hilang bila penderita menghentikan kegiatan
fisik tersebut dan beristirahat.
- Serangan berlangsung hanya beberapa menit (1 – 5 menit) tetapi
bisa sampai lebih dari 20 menit.
- Nyeri angina sifatnya konstan. Bila terjadi perubahan misalnya
lama serangan bertambah, nyeri lebih hebat, ambang timbulnya
serangan menurun atau serangan datang saat bangun tidur, maka
gangguan ini perlu diwaspadai. Perubahan ini mungkin merupakan
tanda prainfark (angina tidak stabil).
- Suatu bentuk ubahan (variant) yang disebut angina Prinzmetal
biasanya timbul saat penderita sedang istirahat.
- Angina dikatakan bertambah berat apabila serangan berikutnya
terjadi sesudah kerja fisik yang lebih ringan, misalnya sesudah
makan. Ini tergolong juga angina tidak stabil.
- Pemeriksaan fisik diluar serangan umumnya tidak menunjukkan
kelainan yang berarti. Pada waktu serangan, denyut jantung
bertambah, tekanan darah meningkat dan di daerah prekordium
pukulan jantung terasa keras.
- Pada auskultasi, suara jantung terdengar jauh, bising sistolik
terdengar pada pertengahan atau akhir sistol dan terdengar bunyi
keempat.
- Biasanya didapatkan faktor risiko: hipertensi, obesitas atau diabetes
mellitus

Kasus 2 :

 Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali.


 Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan
aliran darah, otot betis akan membengkak dan bisa timbul rasa
nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba hangat.
 Pergelangan kaki, kaki atau paha juga bisa membengkak,
tergantung kepada vena mana yang terkena.

 Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi


jaringan parut, yang bisa merusak katup dalam vena. Sebagai
akibatnya terjadi pengumpulan cairan (edema) yang menyebabkan
pembengkakan pada pergelangan kaki.
 Jika penyumbatannya tinggi, edema bisa menjalar ke tungkai dan
bahkan sampai ke paha.
 Pagi sampai sore hari edema akan memburuk karena efek dari gaya
gravitasi ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam edema akan
menghilang karena jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka
pengosongan vena akan berlangsung dengan baik.

 Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat pada kulit,


biasanya diatas pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh
keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang ke dalam kulit.
 Kulit yang berubah warnanya ini sangat peka, cedera ringanpun
(misalnya garukan atau benturan), bisa merobek kulit dan
menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus, borok).

Sumber : www.medicastore.com
www.Depkes.RI.com//pedoman-pengobatan-dasar-di-
puskesmas.org.

5. Patofisiologi :
Kasus I

Pada infark miokard dengan ST elevasi terjadi oklusi di arteri koroner


yang mendadak akibar thrombus. Aki- batnya daerah miokard yang
didarahi oleh pembuluh tadi akan mengalami iskemia, sehingga
menimbulkan nyeri dada dan perubahan EKG. Nekrosis kemudian akan
terjadi mulai di daerah endokardial sampai ke permukaan epikardial.
Proses ini jika berlangsung terus akan menimbulkan infark transmural.
Percobaan pada binatang menunjukkan hubungan yang kuat antara
lamanya oklusi dengan luasnya nekrosis. Kematian sel dimulai setelah 20
menit oklusi dan mencapai puncaknya setelah 6 jam. Proses ini
dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor seperti ada atau tidaknya reperfusi
intermiten, kolateral dan iskemia prekondisioning.Mortalitas dan
morbiditas tergantung pada luasnya daerah infark, sehingga semakin cepat
pemulihan aliran darah arteri koroner maka diharapkan akan memperbaiki
fungsi ventrikel kiri dan harapan hidup penderita.

Pada 15% pasien yang infark miokard dengan ST Elevasi yang dilakukan
angiografi, ternyata menunjukkan anatomi yang paten, diduga karena
adanya fibrinolisis spontan. Prognosis pasien ini biasanya lebih baik dari
pada kelompok yang terganggu aliran koronernya.

Hal lain yang harus diperhatikan pada saat reperfusi adalah cedera
miokardial ( myocardial injury ).

Cedera miokardial terkadang menyebabkan kematian sel miokard sehingga


meskipun reperfusi berhasil, lu- ran klinis pasien tetap tidak baik.
Beberapa zat yang bersifat kardioprotektif telah dibuktikan memberikan
hasil yang baik dalam mencegah cedera reperfusi dalam percobaan hewan,
tetapi belum terlihat dalam percobaan klinis pada pasien. Preconditioning
dan postconditioning terbukti mencegah cedera repefusi baik di hewan
maupun manusia. Mekanismenya belumlah begitu jelas diduga berkaitan
dengan jalur RISK (reperfusion injury salvage kinase) dan penghambatan
pembukaan PTP (permeability transition pore) di mitochondria

Kasus II

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan


dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu
kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah.
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari
fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan
lekosit.
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.

Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis


vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi
statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami
immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis
lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme
pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah.
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan
trombosis vena, melalui :
b. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
c. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan
sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel


endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena
sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan
trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.(6)
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub
endotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem
pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis
dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan
adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan
terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah
meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan
aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper
koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen
Referensi : PERKI. 2015. Pedoman Penatalaksanaan Sindroma
Koroner Akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia; Jakarta
Majalah Kedokteran Andalas. 2010. Deep Vein Trombosis. No.2.
Vol.25. Jakarta
6. Adanya tanda Homan,caranya dengan meletakkan 1 tangan pada lutut dan
di lakukan tekanan ringan agar lutut tetap lurus.Bila merasakan nyeri pada
betis dengan tindakan tersebut,tanda Homan (+).

Referensi : Majalah Kedokteran Andalas. 2010. Deep Vein Trombosis.


No.2. Vol.25. Jakarta

7. Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis
koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang
terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah,
sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso,
2005). Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid,
hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-
buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko
adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol
atau trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol
Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor
penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner
sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark
miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit
kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut
Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian
miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.
Jadi hubungan diagnosis pasien dengan riwayat penyakit kolesterol
dan merokok yaitu peningkatan kolesterol yang abnormal dan riwayat
merokok merupakan salah satu factor resiko yang dapat memicu
tercadinya infark miokard.
.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22069/4/Chapter%20II.p
df).
8. Prosedur rujukan
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung
jawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal
(komunikasi antara unit yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi
inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan
yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah
administrasi.
Tata laksana rujukan:
1. Internal antas-petugas di satu rumah
2. Antara puskesmas pembantu dan puskesmas
3. Antara masyarakat dan puskesmas
4. Antara satu puskesmas dan puskesmas lainnya
5. Antara puskesmas dan rumah sakit, laboratorium atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya
6. Internal antar-bagian/unit pelayanan di dalam satu rumah sakit
7. Antar rumah sakit, laboratoruim atau fasilitas pelayanan lain dari
rumah sakit
- Tujuan system rujukan
untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan
secara terpadu (Kebidanan Komunitas). Tujuan umum rujukan untuk
memberikan petunjuk kepada petugas puskesmas tentang pelaksanaan
rujukan medis dalam rangka menurunkan IMR dan AMR.
Tujuan khusus sistem rujukan adalah:
a. Meningkatkan kemampuan puskesmas dan peningkatannya dalam
rangka menangani rujukan kasus “resiko tinggi” dan gawat darurat
yang terkait dengan kematian ibu maternal dan bayi.
b. Menyeragamkan dan menyederhanakan prosedur rujukan di
wilayah kerja puskesmas.
 Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari: rujukan
internal dan rujukan eksternal.
a) Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar
unit pelayanan di dalam institusi tersebut. Misalnya dari
jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas
induk.
b) Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit
dalam jenjang pelayanan kesehatan, baik horizontal (dari
puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun
vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah).
 Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari: rujukan
medik dan rujukan kesehatan.
a) Rujukan Medik adalah rujukan pelayanan yang terutama
meliputi upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan
(rehabilitatif). Misalnya, merujuk pasien puskesmas dengan
penyakit kronis (jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus)
ke rumah sakit umum daerah. Jenis rujukan medik:
 Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk
keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan operatif
dan lain-lain.
 Transfer of specimen. Pengiriman bahan untuk
pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
 Transfer of knowledge/personel. Pengiriman tenaga
yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan
mutu layanan pengobatan setempat. Pengiriman
tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan
pengetahuan dan keterampilan melalui ceramah,
konsultasi penderita, diskusi kasus dan demonstrasi
operasi (transfer of knowledge). Pengiriman petugas
pelayanan kesehatan daerah untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan mereka ke rumah
sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit
pendidikan, juga dengan mengundang tenaga medis
dalam kegiatan ilmiah yang diselenggarakan tingkat
provinsi atau institusi pendidikan (transfer of
personel).
 Rujukan Kesehatan adalah hubungan dalam pengiriman dan
pemeriksaan bahan ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap.
Rujukan ini umumnya berkaitan dengan upaya peningkatan
promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif).
Contohnya, merujuk pasien dengan masalah gizi ke klinik
konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau pasien dengan masalah
kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas.

sumber : WHO. Rehabilitation of patients with cardiovascular disease.


Report of WHO Expert Committee. Geneva: WHO; 1964. Report No.:
270
9. Prognosis
 STEMI
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2
kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar
Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga
elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan


medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.
Sumber: Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta

 DVT
Menurut Baker, pada pasien dengan dugaan DVT, mula-mula
ditentukan clinical probability-nya berdasarkan sistem skoring yang
diajukan oleh Wells. Jika skor >3 dianggap clinical probability tinggi,
skor 1-3 dianggap clinical probability intermediate, dan jika skor ≤ 0
dianggap clincal probabililty rendah.

Sumber: Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi Vol. 1 Ed 7,


Jakarta: EGC,2004, hal 97-101.
10. epidemiologi
kasus I
Penyakit Kardiovaskular masih merupakan pembunuh nomor satu di
Indonesia maupun di dunia. Dari data di Amerika setiap tahun 1,2 juta
orang mengalami infark miokard dan kira-kira sepertiganya merupakan
infark miokard dengan ST elevasi.

Kasus II

DVT diperkirakan dialami oleh 900.000 orang di Amerika Serikat setiap


tahun dan menyebabkan ratusan ribu orang dirawat di rumah sakit serta
sekitar 300.000 orang meninggal dunia. Sekitar 2/3 memperlihatkan
manifestasi sebagai DVT dan 1/3 sebagai PE dengan atau tanpa DVT
sebelumnya.Pada pasien trauma, insiden DVT antara 10- 20% dan PE
sekitar 2-3%.

Referensi : megasafitri, dkk. 2012. Low-Molecular Weight Heparin


(Lmwh) Sebagai Profilaksis Deep Vein Thrombosis(Dvt) Pada Pasien
Trauma. Viewed oon 28 sept 2015. From (http://www.usu,ac.id

Majalah Kedokteran Andalas. 2010. Deep Vein Trombosis. No.2. Vol.25.


Jakarta

You might also like