Professional Documents
Culture Documents
ILUSTRASI KASUS
1.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada Senin, 1 Januari 2018 pukul 09.00 WIB
1
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ibu paien memiliki riwayat Hipertensi 6 tahun yang lalu. Asma, alergi, DM,
dan penyakit jantung.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien memiliki kebiasaan sering jalan-jalan santai dan masih aktif
mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Merokok dan konsumsi alcohol
disangkal.
2
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
6. MCV 80 Fl 80 – 100
7. MCH 28 Pg 26 – 34
Kimia
Imunologi
3
Hematologi
6. MCV 81 Fl 80 – 100
7. MCH 28 Pg 26 – 34
1.5 DIAGNOSIS
Pasien dengan Abortus Imminens
Hipertensi
Diabetes Mellitus
1.6 KESIMPULAN
Status fisik pasien : ASA II (Hipertensi dan DM)
Perencanaan anastesi :Pada pasien ini akan dilakukan tindakan pengeluaran
hasil konsepsi dengan cara kuretase + MOW
1.7 OPERATIF
1.7.1 PRE-OPERATIF
Diagnosa pre operasi : Sisa konsepsi + PEB
Tindakan operasi : Kuretase + MOW
Cek Informed consent (+)
4
Diberikan: Amlodipin 1 x 10mg, Valsartan 1x 160mg, Bisoprolol 1 x
5mg, Humalog 3 x 15 unit sc
Pasien dipuasakan selama 12 jam pre-operatif
IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infuse NaCL
Persiapan obat dan alat anestesi regional
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan komponen STATICS:
Scope Stetoskop, Laringoskop
Tubes ETT cuffed no. 7,0
Airway Gudel
Tape Plester
Introducer
Connector
Suction
o Menyiapkan obat anestesi spinal yang diperlukan: Regivell®
(Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg
o Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine,
aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.
o Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac,
ondansentron, efedrin, dan lain-lain.
o Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan EKG
o Menyiapkan alat-alat anestesi regional: Spuit, Handscoon,
Antiseptic, Kassa, Jarum spinal (Spinocain).
Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : Sakit sedang
Tanda vital :
o Tekanan darah : 127/82 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 82x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,7 ° C
5
1.7.2 INTRA OPERATIF
Tindakan anestesi
Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi. Kemudian
di posisikan di atas meja operasi, dipakaikan topi operasi, dan dipasang alat
monitoring.
Pasien diminta duduk tegak dengan kepala menunduk, lalu dilakukan tindakan
aseptic dan antiseptic dengan betadine dan kasa steril secara melingkar dari
sentral ke perifer.
Tentukan lokasi penyuntikan yaitu pada L4-L5, tepat pada perpotongan garis
antar crista iliaca dextra dan sinistra.
Kemudian dilakukan penyuntikan dengan menggunakan jarum spinal no 25 G
menuju ke ruang subarachnoid, tunggu sampai LCS mengalir keluar pada jarum
spinal, lalu pasang spuit yang berisi Bupivacaine. Lakukan aspirasi untuk
memastikan LCS mengalir, lalu injeksikan Bupivacaine 20 mg secara perlahan,
kemudian aspirasi kembali untuk memastikan LCS mengalir dan posisi jarum
tetap di subarachnoid.
Setelah semua obat habis di injeksi, cabut jarum spinal perlahan, Selanjutnya
posisikan pasien berbaring pada meja operasi.
Kemudian, dipasang juga nasal kanul oksigen 2 L/menit
6
Keadaan Akhir Bedah :
o TD : 120/80 mmhg
o N : 80 x/menit
o Saturasi O2: 99%
o Kesadaran : Compos mentis
Kronologis Anestesi
Saturas
Tek. Darah Nadi
Jam Tindakan i O2
(mmHg) (x/menit)
(%)
Pasien masuk ruang operasi, 127/82 82 100
14.00
ditidurkan telentang diatas meja
operasi, dipasangkan manset
tekanan darah di tangan kanan,
dan pulse oksimeter di tangan
kiri. Pasien sudah terpasang infus
Assering 500 cc pada tangan kiri.
7
ondancentron 4 mg
Dimasukkan Ephedrin HCL 95/63 80 100
14.30
bolus iv 30mg
Dimasukkan Metilergometrin 90/54 80 100
14.45
bolus iv 0,2 g
8
Selesai operasi pasien dalam kondisi sadar lalu dipindahkan ke ruang
pemulihan, melanjutkan pemberian cairan dan di observasi pernafasan, tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit.
1.8 FOLLOW UP
1.8.1 Pre-Operasi
S : Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan atau obat, DM (+), HT (+), Asma
(-), Riwayat operasi sebelumnya (-), merokok (_), Alkohol (+), pasien puasa dari jam
12.00
O:
Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
Tanda vital :
o Tekanan darah : 127/82 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 82x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,7 ° C
Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-
/-)
- Paru : Suara napas vesikular +/+, rhonki -/- ,
wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (-)
- Abdomen : BU (+), nyeri tekan (-)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem
tungkai bawah (-)
o Laboratorium ; Leukosit = 16,69
A : ASA II
P:-
9
1.9.2 Post-Operasi
Recovery Room 02/1/2018
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal dilakukan dengan scoring
menggunakan bromage skor untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruang rawat atau masih perlu observasi lanjutan di recovery
room, berikut nilai serta cara penilaiannya:
Score Kriteria
1 Complete block (Tidak mampu menggerakan tungkai dan kaki)
2 Almost complete block (Hanya mampu menggerakan kaki saja)
3 Partial block (Hanya mampu menggerakan tungkai saja)
4 Fleksi penuh tungkai (ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha
dalam posisi supine)
5 Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi
Supine
10
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
A : ASA II
P:
Valsartan 1 x 1 pc
Bisoprolol 1 x 1
Terpasang IV line assering
BAB II
LANDASAN TEORI
11
2.1 Anestesi Regional
2.1.1 Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara reversible. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, akan tetapi pasien tetap sadar.(1)
2.1.2 Pembagian Obat Anestesi Regional / Lokal
Secara umum obat anestesi regional / lokal dibagi menjadi 2, yaitu
a. Blok sentral (blok neuroaksial)
Pada umunya blok ini meliputi blok spinal, epidural dan kaudal(1)
b. Blok perifer ( blok saraf)
Pada umumnya blok ini meluputi anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, blok saraf dan regional intravena.(1)
12
untuk golongan ester dalah prokain sedangkan untuk amide adalah lidokain dan
bupivakain.
13
Gambar 1. Anestesi Spinal
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. (9)
2.5.1 Indikasi(9)
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
14
8. Nyeri punggung kronik
15
point whitecare)
16
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
17
Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau
ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
18
Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm. (9)
Bupivakain (Markain)
19
0,5 % dalam dekstrosa 8,25 % 1.027 5-15 mg (1-3 ml)
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
20
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
21
2.6.2 Klasifikasi Hipertensi menurut
Joint National Committee 7
Hipertensi primer
Hipertensi primer disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan
95% dari kasus-kasus hipertensi.4,5,6
Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga
tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer
bertambah atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab
hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis
biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai. Pada
saat tersebut, beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah dimulai
sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan
jelas.4,5,6
22
Pada hipertensi yang baru dimulai, curah jantung biasanya normal atau sedikit
meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung
cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga
menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantarai
oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi,
sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadinya kenaikan darah.4,5,6
Hipertensi sekunder
23
Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140mmhg
atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan
diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan
padausia lanjut.
Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang
mengalamikenaikan tekanan darah2 tekanan sistolik terus meningkat
sampai usia 80 tahundan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-
60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun
drastis.
Dalam pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit
ginjal, penelitiantelah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80
mmHg harus dianggap sebagai faktor resiko dan sebaiknya diberikan
perawatan
24
urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal
kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan
adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler
akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme
arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan
menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan
kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.
25
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih
lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /
American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa
TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi
yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.
Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD
yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang
sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi
akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah
dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang
lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.
2.6.5 Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam.
Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai
26
jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi
intraoperatif
27
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid
storm.
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi
tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara
langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan
perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama
untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan
kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral
diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang
lain.
28
e. Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai
terapi atau pencegahan iskemia miokard.
f. Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
g. Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
29
morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun
nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan
dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien
yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya
diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker
yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi.
Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid
dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-
inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun
tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena
sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral
sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.
Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling
sering terjadi. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang
mendapat anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal,
mayoritas ( 16 % ) berupa hipotensi. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi
spinal sebesar 33 %.
Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik,
umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi.
Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah
arteri dan arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan
tahanan pembuluh darah perifer. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal
akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.
30
Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan
pemberian infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopressor. Banyak penelitian
telah dilakukan baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopressor
dengan berbagai macam cara atau metode dan jenis yang berbeda.
Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal sekitar 1/3 dari seluruh kasus.
Carpenter dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada
anestesi spinal biasanya juga mengalami komplikasi lain dan biasanya terjadi lebih
awal dengan insiden 33 %. Peneliti lain melaporkan dari sekitar 26 % pasien yang
mengalami komplikasi pada anestesi spinal, 16 % disertai dengan hipotensi.
Umur
o Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat
dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden
hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10%
menjadi 30% pada umur 80 tahun.
Jenis Kelamin
o Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini
mungkin berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada
wanita meskipun jumlah anestesi lokal yang diberikan sama.
Perbandingan insiden komplikasi spinal antara wanita dan pria adalah
32% dan 20%.
Berat Badan
31
o Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal
lebih besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI )lebih
dari 30%.
Kondisi fisik
o Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis
hingga pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi
atau hanya hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau
hipovolemia atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar
abdomen (hamil, tumor abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan
terjadi hipotensi berat.
Jenis obat anestesi lokal
o Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata
– rata timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering.
Bupivakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama,
sedangkan bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit
pertama.
Tingkat penghambatan sensorik
o Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal sangat tergantung
dan berhubungan erat dengan tingginya blok. Pada tingkat T 1 – T 5 25
% pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai
tingkat servikal 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi.
Posisi pasien
o Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal
pada operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah
vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.
Manipulasi operasi
o Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang
terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi.
32
2.7.2 Terapi Hipotensi Pada Anestesi Spinal
Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal :
33
o Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan
dan membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan
mengganggu transport oksigen.
o Pada penderita normovolemik penurunan tekanan darah arteri tidak
dapat dipertahankan hanya dengan infus iv larutan kristaloid, tetapi
harus dikombinasi dengan posisi head down dan penggunaan
vasopresor.
Terapi vasopressor.
o Obat vasopressor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung
pada otot arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat
vasomotor, stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan
meningkatkan curah jantung dan venous return.
o Obat-obat vasopressor yang biasa digunakan pada hipotensi selama
anestesi spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin,
metaraminol, dopamin dan dobutamin.
34
BAB III
ANALISA KASUS
35
Pada pasien ini dilakukan pembiusan anestesi regional dengan teknik spinal.
Pertimbangan dalam pemilihan teknik bergantung pada situasi klinis seperti
kesesuaian pasien, kondisi fisiologis, maupun prosedur pembedahan itu sendiri.
Teknik anestesia spinal mampu menurunkan kehilangan darah intraoperative,
menurunkan kejadian tromboemboli pascabedah serta dapat menurunkan mortalitas
dan morbiditas pada pasien berisiko tinggi.
Pada saat akan dilakukan pembiusan, pasien dalam keadaan posisi duduk
tegak dengan kepala menunduk, selanjutnya dilakukan desinfeksi lokal lokasi
suntikan anestesi spinal untuk mencegah terjadinya infeksi pada lokasi penyuntikkan
tersebut. Pemilihan posisi juga cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan
anestesi. Pada posisi duduk, anatomi tulang belakang menjadi lebih mudah dipalpasi
dibandingkan dengan posisi lainnya seperti posisi lateral decubitus. Penyuntikkan
obat anestesi local ini menggunakan jarum spinal nomor 25G diantara L3-L4, hal
ini bertujuan untuk menghindari trauma medulla spinalis akibat jarum spinal, karena
medulla spinalis pada orang dewasa normalnya berakhir setinggi L1.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivacaine 20 mg.
Bupivacain adalah obat anestesi local jenis amida yang memiliki onset yang cepat dan
durasi kerja yang panjang. Durasi analgesianya pada segmen T10 – T12 adalah 2-3
jam. Bupivakain akan menyebabkan relaksasi otot pada ekstremitas bawah yang
berlangsung selama 2-2,5 jam. Bupivakain seperti anestesi lokal lainnya
menyebabkan blockade yang bersifat reversibel pada perambatan impuls sepanjang
serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion- ion Natrium masuk ke dalam sel
yang melalui membran sel. Dosis bupivakain untuk anestesi spinal 1,5-3 ml.
Bupivacaine dimetabolisme di hati dan diekskresikan di urin. Pasien ini aman
menggunakan Bupivacaine karena tidak ada gangguan pada fungsi hati dan ginjalnya.
Selain diberikan obat anestesi spinal, digunakan pula obat- obatan analgesik
dan obat pelengkap anestesi lainnya seperti obat antagonis reseptor 5-HT3
(Hidroksitriptamin). Obat analgesik yang diberikan pada pasien ini adalah obat-
obatan analgesic golongan non opioid seperti tramadol dan ketorolac. Tramadol
bekerja secara sentral pada penghambatan pengambilan kembali noradenergik dan
serotonin neurotransmission. Pada awal penggunaannya, tramadol akan memberikan
efek berupa pusing, mual, sedasi, mulut kering serta berkeringat. Untuk mengatasi
nyeri setalah operasi, dosis awal 100 mg kemudian dilanjutkan 50 mg tiap 10 sampai
20 menit jika dibutuhkan (dosis maksimal 250 mg untuk 1 jam pertama). Sehingga
pada pasien ini diberikan tramadol 100 mg. Obat ini dimetabolisasi oleh liver dan
diekskresi melalui ginjal.
Obat analgesic non opioid lainnya yang digunakan adalah ketorolac. Obat ini
bekerja pada jalur siklooxygenase serta menghambat biosisntesis prostaglandin di
perifer. Seperti halnya tramadol, ketorolac juga dimetabolisme dalam liver dan
dibuang melalui ginjal, Dosis intravena awal adalah 15-30 mg, dimana pada pasien ini
diberikan 30 mg ketorolac.
Selain obat analgesic, juga diperlukan obat antagonin reseptor 5-HT3
(serotonin). Reseptor ini terdapat pada platelet, saluran cerna dan sistem saraf pusat
dan berkaitan dengan muntah. Obat ini digunakan untuk mengurangi efek mual dan
36
muntah akibat efek obat anestesi lainnya, selain itu obat ini juga tidak menghasilkan
efek samping yang serius walaupun diberikan beberapa kali lipat dari dosis yang
direkomendasikan, dimana dosis intravena yang direkomendasikan untuk
ondansentron sebagai pencegahan mual dan muntah perioperative adalah 4 mg yang
dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Sesuai dengan dosis
yang telah direkomendasikan, pada pasien ini diberikan ondansentron 4 mg.
Pada pasien ini juga diberikan cairan infus asering pada pre dan post operasi
dimana cairan infus asering merupakan cairan yang digunakan untuk membantu
mengatasi kebutuhan cairan dan elektrolit pada masa sebelum dan sesudah operasi.
Infus asering diindikasikan untuk untuk perawatan Darah dan kehilangan
cairan, Tingkat kalsium yang rendah, Hipokalsemia, Kekurangan kalium,
Ketidakseimbangan elektrolit, Inkonsistensi ph dan kondisi lainnya. Asering Infusion
mengandung komposisi aktif berikut: Calcium Chloride Anhydrous, Potassium
Chloride, Sodium Acetate and Sodium Chloride.
PEMBERIAN CAIRAN
Kebutuhan Cairan Basal (M) : 2cc/kgBB/jam
2 cc x 90 kg = 180
Kebutuhan Cairan Operasi (O) : Operasi sedang x Berat badan
6 x 90kg = 540 cc
Kebutuhan Cairan Puasa (P) : Lama jam puasa x Kebutuhan Cairan Basal
12 jam x 180 cc = 2160 cc
Pemberian Cairan Jam Pertama: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi + 50%
puasa
= 180 cc + 540 cc + 1080 cc = 1800 cc
Pemberian Cairan Jam Kedua: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi + 25%
puasa
= 540 cc + 540 cc = 1260 cc
Cairan yang masuk selama operasi = Assering 750cc + Assering 750 cc = 1050 cc
Jumlah darah keluar = 400 cc
Allowed Blood Loss (ABL) = 20 % x Estimated Blood Volume (EBV)
= 20% x (70 xBB)
37
= 20 % x (70 x 90kg)
= 20 % x 6300 = 1260 cc
Blood loss (%) = (400cc : 6300 cc) x 100 = 6,34 %
Perdarahan yang terjadi <20% EBV maka tidak perlu dilakukan transfusi darah.
Hanya perlu diberi cairan kristaloid saja.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi : edisi
2.Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI;2009.103-7.
2. Anjani R. Anestesi lokal dan regional. Available at :
http://www.academia.edu/18578222/52041655-REFERAT-
ANESTESI.Accessed September 7,2017.
3. Werth M. Pokok-pokok anestesi. Jakarta : EGC;2010.65-70.
4. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Semarang: Bagian
anestesiologi dan terapi intensif fakuktas kedokteran UNDIP; 2010.309-2.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesth
esiology. 4th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2006 : 151-52, 263-
75
6. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: McGraw-
Hill; 2002.p.388-395.
7. Pescod D. Preoperative Management of Cardiovascular Disease. Developing
Anaesthesia Text Book.v.1.6: 2007
8. Podgoreanu MV, Mathew JP. Genomic Basis of Perioperative Medicine.
Clinical Anesthesia. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2006.p.480.
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC,
2001; 256-60
10. Sylvia A.P, Lorraine M.W. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006 ; 530-6.
11. Kusmana D, Hipertensi: Definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan fisik,
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta,
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran mei-juni 2009 hal 161-167. Dikutip dari
www.kalbe.co.id.
39
12. Anggraini DA, dkk, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas
Bangkinang Periode Januari Sampai Juni 2008, Faculty of Medicine –
University of Riau Pekanbaru, Riau, 2009. Di kutip dari
(Http://yayanakhyar.wordpress.com
40