You are on page 1of 40

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


No. RM : 00-69-48-13
Nama : Ny. NN
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Perawat
Alamat : Dusun Bango, Jatisari, Cilebar
Pendidikan Terakhir : Sekolah keperawatan
Tanggal Masuk : 01-01-2018
Tinggi Badan : 162 cm
Berat Badan : 90 kg

1.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada Senin, 1 Januari 2018 pukul 09.00 WIB

Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan


Keluhan Tambahan : Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G2 P0 A1 datang ke RS dengan keluhan keluar darah dari kemaluan
sejak 3 jam SMRS. Darah yang keluar berwarna merah segar yang kemudian
diikuti dengan keluarnya gumpalan-gumpalan seperti daging. Selain itu, pasien
juga mengeluhan nyeri pada perut bagian bawah sejak ± 2 hari SMRS serta.
Pasien mengeluhkan sering nyeri kepala ± 1 tahun yang lalu . Tidak ada riwayat
trauma sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien memiliki riwayat hipertensi ± 1 tahun yang lalu. Asma, alergi, penyakit
jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, dan gangguan fungsi hati disangkal.

1
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ibu paien memiliki riwayat Hipertensi 6 tahun yang lalu. Asma, alergi, DM,
dan penyakit jantung.

Riwayat Kebiasaan:
Pasien memiliki kebiasaan sering jalan-jalan santai dan masih aktif
mengerjakan pekerjaan rumah tangga setiap hari. Merokok dan konsumsi alcohol
disangkal.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Normal
Tanda Vital
Tekanan Darah : 200/120 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Suhu : 36,7 °C
Pernapasan : 20 x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
eksoftalmus bilateral (-)
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), tonsil T1-T1
Leher : KGB leher tidak membesar, tiroid tidak teraba
Thorax : Paru : SNV (+/+) dikedua lapang paru, rhonki(-/-),
wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II Reguler, Murmur (-) Gallop (-),
ictus kordis tidak terlihat
Abdomen : Perut membesar, nyeri tekan (-), bising usus (+)
normal, hepar dan lien tidak dapat diraba.
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem ekstremitas bawah(-),
CRT <2 detik

2
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

01 Januari 2018 Pukul 13.01


Hematologi

No Pemeriksaan Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

1. Hemoglobin 13,8 g/dl 13,2 – 17,3

2. Eritrosit 4,99 x10^6/ul 4,5 - 5,9

3. Leukosit 15,89 x10^3/ul * 4,4 - 11,3

4. Trombosit 343 x10^3/ul 150 - 400

5. Hematokrit 40,2 % 40- 52

6. MCV 80 Fl 80 – 100

7. MCH 28 Pg 26 – 34

8. MCHC 35 g/dl 32-36

. RDW-CV 13,4 % 12,2 -15,3

Kimia

12. Gula Darah Sewaktu 373 mg/dl * 70 - 110

13. Ureum 8,7 mg/dl * 15,0 – 50,0

14. Creatinin 0,43 mg/dl * 0,60 - 1,10

15. SGOT 10,4 U/L s.d 31

16. SGPT 15,6 U/L 5,0 – 45,0

Imunologi

15. HBs Ag Rapid Non- Non-reaktif


reaktif

01 Januari 2018 Pukul 16.17

3
Hematologi

No Pemeriksaan Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

1. Hemoglobin 13,4 g/dl 13,2 – 17,3

2. Eritrosit 4,62 x10^6/ul 4,5 - 5,9

3. Leukosit 14,24 x10^3/ul * 4,4 - 11,3

4. Trombosit 340 x10^3/ul 150 - 400

5. Hematokrit 39,5 % 40- 52

6. MCV 81 Fl 80 – 100

7. MCH 28 Pg 26 – 34

8. MCHC 35 g/dl 32-36

9. RDW-CV 13,3 % 12,2 -15,3

1.5 DIAGNOSIS
 Pasien dengan Abortus Imminens
 Hipertensi
 Diabetes Mellitus

1.6 KESIMPULAN
Status fisik pasien : ASA II (Hipertensi dan DM)
Perencanaan anastesi :Pada pasien ini akan dilakukan tindakan pengeluaran
hasil konsepsi dengan cara kuretase + MOW

1.7 OPERATIF
1.7.1 PRE-OPERATIF
 Diagnosa pre operasi : Sisa konsepsi + PEB
 Tindakan operasi : Kuretase + MOW
 Cek Informed consent (+)

4
 Diberikan: Amlodipin 1 x 10mg, Valsartan 1x 160mg, Bisoprolol 1 x
5mg, Humalog 3 x 15 unit sc
 Pasien dipuasakan selama 12 jam pre-operatif
 IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infuse NaCL
 Persiapan obat dan alat anestesi regional
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan komponen STATICS:
 Scope  Stetoskop, Laringoskop
 Tubes  ETT cuffed no. 7,0
 Airway  Gudel
 Tape  Plester
 Introducer
 Connector
 Suction
o Menyiapkan obat anestesi spinal yang diperlukan: Regivell®
(Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg
o Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine,
aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.
o Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac,
ondansentron, efedrin, dan lain-lain.
o Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan EKG
o Menyiapkan alat-alat anestesi regional: Spuit, Handscoon,
Antiseptic, Kassa, Jarum spinal (Spinocain).
 Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : Sakit sedang
 Tanda vital :
o Tekanan darah : 127/82 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 82x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,7 ° C

5
1.7.2 INTRA OPERATIF
Tindakan anestesi
 Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi. Kemudian
di posisikan di atas meja operasi, dipakaikan topi operasi, dan dipasang alat
monitoring.
 Pasien diminta duduk tegak dengan kepala menunduk, lalu dilakukan tindakan
aseptic dan antiseptic dengan betadine dan kasa steril secara melingkar dari
sentral ke perifer.
 Tentukan lokasi penyuntikan yaitu pada L4-L5, tepat pada perpotongan garis
antar crista iliaca dextra dan sinistra.
 Kemudian dilakukan penyuntikan dengan menggunakan jarum spinal no 25 G
menuju ke ruang subarachnoid, tunggu sampai LCS mengalir keluar pada jarum
spinal, lalu pasang spuit yang berisi Bupivacaine. Lakukan aspirasi untuk
memastikan LCS mengalir, lalu injeksikan Bupivacaine 20 mg secara perlahan,
kemudian aspirasi kembali untuk memastikan LCS mengalir dan posisi jarum
tetap di subarachnoid.
 Setelah semua obat habis di injeksi, cabut jarum spinal perlahan, Selanjutnya
posisikan pasien berbaring pada meja operasi.
 Kemudian, dipasang juga nasal kanul oksigen 2 L/menit

Keadaan Intra operasi


Jenis Anestesi : Anestesi regional ( Spinal )
Jenis Operasi : Kuretase + MOW
Lama Anestesi : 14.15 – 16.15 ( 2 jam)
Lama Operasi : 14.30 – 15.00 ( 1 Jam 30 menit )
Teknik anestesi : Spinal pada L3-L4
Respirasi : Spontan
O2 : 2 LPM
Posisi : Lithotomi
Infus : Asering di tangan kiri dengan abocath no.20G
Medikasi : Regivell® (Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg
Ondancetron 4 mg
Jumlah cairan : Asering 500 cc 2 kolf

6
Keadaan Akhir Bedah :
o TD : 120/80 mmhg
o N : 80 x/menit
o Saturasi O2: 99%
o Kesadaran : Compos mentis

Kronologis Anestesi
Saturas
Tek. Darah Nadi
Jam Tindakan i O2
(mmHg) (x/menit)
(%)
Pasien masuk ruang operasi, 127/82 82 100
14.00
ditidurkan telentang diatas meja
operasi, dipasangkan manset
tekanan darah di tangan kanan,
dan pulse oksimeter di tangan
kiri. Pasien sudah terpasang infus
Assering 500 cc pada tangan kiri.

Pasien diminta duduk tegak 100/70 75 99


14.15
dengan kepala menunduk dan
dilakukan desinfeksi lokal lokasi
suntikan anestesi spinal
- Pada posisi pasien duduk
dilakukan tindakan anestesi
spinal menggunakan jarum
spinal no 25G diantara L3-L4
dengan Bupivacaine 20 mg, LCS
(+), darah (-)
Dipasang kanul oksigen nasal 2
LPM
Operasi dimulai 110/70 75 99
14.30
Dimasukkan dengan bolus iv 95/62 80 100
14.30

7
ondancentron 4 mg
Dimasukkan Ephedrin HCL 95/63 80 100
14.30
bolus iv 30mg
Dimasukkan Metilergometrin 90/54 80 100
14.45
bolus iv 0,2 g

Dimasukan analgetik bolus iv 100/60 75 99


15.45
ketorolac 30 mg dan drip
tramadol HCL 100 mg
Operasi selesai, pasien dibawa 100/68 80 99
16.15
keruang pemulihan

1.7.3 POST OPERASI


Operasi berakhir pada pukul 16.15 WIB tanggal 2 Januari 2018. Diagnosa post
operasi adalah MOW dan Kuretase. Tindakan pembedahan Kuretase + MOW.
Adapun instruksi post operasi sebagai berikut :
 Observasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan per jam
 Ampicilin sulbactam 4x1,5 gr iv
 Metronidazole 3x500 mg iv
 Doxicyclin 3x200 mg iv
 Ketorolac 3x30 mg iv
 Hemobron 2x360 mg po
 Ranitidin 2x50 mg iv
 Amlodipin 1x10 mg po
 Valsatran 1x160 mg po
 Bisoprolol 1x5 mg po
 Humalog 3x15 unit
 Diet TKTP
 Mobilisasi bertahap
 Aff DC 1x24 jam

8
Selesai operasi pasien dalam kondisi sadar lalu dipindahkan ke ruang
pemulihan, melanjutkan pemberian cairan dan di observasi pernafasan, tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit.

1.8 FOLLOW UP
1.8.1 Pre-Operasi

S : Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan atau obat, DM (+), HT (+), Asma
(-), Riwayat operasi sebelumnya (-), merokok (_), Alkohol (+), pasien puasa dari jam
12.00
O:
Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
Tanda vital :
o Tekanan darah : 127/82 mmHg
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 82x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,7 ° C

Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-
/-)
- Paru : Suara napas vesikular +/+, rhonki -/- ,
wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (-)
- Abdomen : BU (+), nyeri tekan (-)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem
tungkai bawah (-)
o Laboratorium ; Leukosit = 16,69

A : ASA II

P:-

9
1.9.2 Post-Operasi
 Recovery Room 02/1/2018
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal dilakukan dengan scoring
menggunakan bromage skor untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruang rawat atau masih perlu observasi lanjutan di recovery
room, berikut nilai serta cara penilaiannya:

Score Kriteria
1 Complete block (Tidak mampu menggerakan tungkai dan kaki)
2 Almost complete block (Hanya mampu menggerakan kaki saja)
3 Partial block (Hanya mampu menggerakan tungkai saja)
4 Fleksi penuh tungkai (ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha
dalam posisi supine)
5 Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi
Supine

6 Mampu melakukan menekuk lutut parsial

Pasien dapat dipindahkan ke bangsal jika skor bromage ≥ 2


Pada pasien ini Bromage skor menunjukkan nilai >2 sehingga bisa
dipindahkan ke ruang rawat inap.
Ruangan Rawat inap 03/01/2018
S : nyeri luka operasi (+), sesak (-), batuk (-)
O:
o Keadaan Umum : Compos mentis, tampak sakit sedang
o Tanda vital :
- Tekanan Darah : 120/75mmHg
- Nadi : 70 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36,8 °C
o Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik(-/-)
- Paru : Suara napas vesikular +/+, rhonki -/- ,
wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (-)
- Abdomen : Supel, BU (+)

10
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
A : ASA II
P:
 Valsartan 1 x 1 pc
 Bisoprolol 1 x 1
 Terpasang IV line assering

BAB II

LANDASAN TEORI

11
2.1 Anestesi Regional
2.1.1 Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara reversible. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, akan tetapi pasien tetap sadar.(1)
2.1.2 Pembagian Obat Anestesi Regional / Lokal
Secara umum obat anestesi regional / lokal dibagi menjadi 2, yaitu
a. Blok sentral (blok neuroaksial)
Pada umunya blok ini meliputi blok spinal, epidural dan kaudal(1)
b. Blok perifer ( blok saraf)
Pada umumnya blok ini meluputi anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, blok saraf dan regional intravena.(1)

2.2 Obat Anestesi Regional / Lokal


Secara kimiawi obat anestesi local dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam
perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama di metabolisme
oleh enzim pseudo – kolinesterase diplasma sedangkan golongan amide terutama
melalui degradasi enzimatis di hati. (4,5,6,7)
Perbedaan ini juga berkaitan dengan besasrnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari p – amino benzoic acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar. (3)

Untuk kepentingan klinis, anestesi local dibedakan berdasarkan potensi dan


lama kerjanya menjadi 3 grup. Group I meliputi prokain dan klorprokain yang
memiliki potensi lemah dengan kerja singkat. Group II meliputi lidokain,
mepivakain, dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group
III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat
dengan lama kerja panjang. (5,6)

Anestesi local juga dibedakan berdasarkan pada mula kerjanya. Klorprokain,


lidokain, mepivakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja relative cepat.
Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tertrakain
(6)
bermula kerja lambat. Obat anestesi local yang lazim dipakai dinegara kita

12
untuk golongan ester dalah prokain sedangkan untuk amide adalah lidokain dan
bupivakain.

2.3 Keuntungan Anestesia Regional(8)


1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif
lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi
emergency,lambung penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
2.4 Kerugian Anestesia Regional(8)
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional
2.5 Anestesi Spinal(9)
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis  subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum 
Lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.

13
Gambar 1. Anestesi Spinal
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. (9)
2.5.1 Indikasi(9)
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

2.5.2 Kontraindikasi absolut(9)


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

2.5.3 Kontraindikasi relatif(9)


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan

14
8. Nyeri punggung kronik

2.5.4 Persiapan analgesia spinal(9)


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial
Thromboplastine Time).

2.5.5 Peralatan analgesia spinal(1,9)


1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil

15
point whitecare)

Gambar 2. Jarum Spinal

2.5.6 Anastetik lokal untuk analgesia spinal(1,9)


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut
isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain (Xylokain, Lignokain)
2 % plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5 % dalam dekstrosa 7,5 % 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
Bupivakain (Markain)
0,5 % dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0,5 % dalam dekstrosa 8,25 % 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3 ml)

2.5.7 Teknik analgesia spinal(1,9)


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan

16
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml

17
Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau
ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

18
Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm. (9)

2.5.8 Penyebaran anastetik lokal tergantung(9)


1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik local

Anestetik lokal Berat jenis Dosis

Lidokain (Xylokain, Lignokain)

2 % plain 1.006 20-100 mg (2-5 ml)

5 % dalam dekstrosa 7,5 % 1.033 20-50 mg (1-2 ml)

Bupivakain (Markain)

0,5 % dalam air 1.005 5-20 mg (1-4 ml)

19
0,5 % dalam dekstrosa 8,25 % 1.027 5-15 mg (1-3 ml)

2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal

2.5.9 Lama kerja anestetik lokal tergantung(1)


1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik local

2.5.10 Level ketinggian blokade spinal anestesi(1)

Level Prosedur pembedahan


T4-5 (nipple) Abdomen bagian atas
T6-8 (xiphoid) TUR, obstetrik-vaginal, panggul
T10 (umbilicus) Intestinal, pelvis-ginekologi, ureter, dan pelvis renalis
L1 (ligamen inguinal) TUR, paha, amputasi kaki bagian bawah, dll
L2-3 (lutut ke bawah) Kaki
S2-5 (perianal) Perianal, hemoroidektomi, dll

2.5.11 Komplikasi tindakan anestesi spinal (1,9)


1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

20
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

2.5.12 Komplikasi pasca tindakan(1,9)


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

2.6 Hipertensi dengan Anastesi Regional


2.6.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan
tekanandarah. Tekanan darahditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah
jantung dan resistensi perifer. Curah jantung adalahhasil kali denyut jantung
dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi
miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi
pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi
pembuluh darah ditentukanoleh tonus otot polos arteri dan arteriol
dan elastisitas dinding pembuluh darah
Manajemen pasien dengan hipertensi telah berubah dalam
beberapadekade terakhir.Hipertensi didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia sebagaitekanan diastolik diatas 95 mmHg dan tekanan sistolik lebih dari 160 mm
Hg.Hipertensi kronik dapat menyebabkan gagal ginjal, gagal jantung, stroke
daninfark miokard.Idealnya semua pasien dengan hipertensi harus dirawat
sebelumoperasi. Namun, ada sedikit bukti untuk hubungan antara tekanan
darah sistolik kurang dari 180 mmHg atau tekanan diastolik kurang dari 110
mmHg dankomplikasi perioperatif meskipun anestesi harus menyadari bahwa
pasienmungkin mengalami perubahan besar dalam tekanan darah. Tekanan
arteri intra-operasi harus dipertahankan pada 20% dari tekanan pre-operasi

21
2.6.2 Klasifikasi Hipertensi menurut
Joint National Committee 7

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD


dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi,
aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD. Kriteria
ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan
adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.1 Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi.
Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali berkembang
menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu.
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2
penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:

 Hipertensi primer

Hipertensi primer disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan
95% dari kasus-kasus hipertensi.4,5,6

Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga
tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer
bertambah atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab
hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis
biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah sana dimulai. Pada
saat tersebut, beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder telah dimulai
sehingga kelainan dasar curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan
jelas.4,5,6

22
Pada hipertensi yang baru dimulai, curah jantung biasanya normal atau sedikit
meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung
cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga
menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol, mungkin sebagian diperantarai
oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi,
sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadinya kenaikan darah.4,5,6

 Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder terjadi akibat masalah primer lain. Penyebab hipertensi


sekunder dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu:4,5,6

1. Hipertensi kardiovaskular, biasanya berkaitan dengan peningkatan kronik


resistensi perifer total yang disebabkan oleh aterosklerosis.
2. Hipertensi renal dapat terjadi akibat dua defek ginjal, yaitu oklusi parsial
arteri renalis atau penyakit jaringan ginjal itu sendiri.
3. Hipertensi endokrin terjadi akibat gangguan endokrin seperti
feokromositoma dan Sindrom Conn.
4. Hipertensi neurogenik yang terjadi akibat lesi saraf

23
Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140mmhg
atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan
diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan
padausia lanjut.
Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang
mengalamikenaikan tekanan darah2 tekanan sistolik terus meningkat
sampai usia 80 tahundan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-
60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun
drastis.
Dalam pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit
ginjal, penelitiantelah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80
mmHg harus dianggap sebagai faktor resiko dan sebaiknya diberikan
perawatan

2.6.2 Manajemen Perioperatif Penderita Hipertensi


Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani
prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:
1) Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
2) Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
3) Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
4) Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,
untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut
apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu
relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator).
Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu.
Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat
ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal,

24
urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal
kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan
adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler
akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme
arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan
menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan
kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.

2.6.3 Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk
dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang
menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil
keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.
Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan
TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana
perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan
patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih
besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan
hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan
bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko
terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji
klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka
kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka
kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya
untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada
pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.
Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga
kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek
samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan
penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila

25
ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih
lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /
American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa
TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi
yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting.
Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD
yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang
sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi
akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah
dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang
lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.

2.6.4 Perlengkapan Monitor


Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta
maksud dan tujuan penggunaanya:
a. EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
b. TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:
hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau
MCI berulang.
c. Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan
perifer.
d. Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
e. Suhu atau temperature.

2.6.5 Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam.
Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai

26
jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi
intraoperatif

2.6.6 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring


Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif.10
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi
dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah
terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi
akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal.
Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
a. Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
b. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
c. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
d. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang
(balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia
total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia re-
Manajemen Perioperatif pada Hipertensi gional dapat dipergunakan sebagai
teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap
obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus

27
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid
storm.
Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi
tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara
langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan
perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama
untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan
kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral
diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang
lain.

2.6.7 Hipertensi Intraoperatif


Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang
tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel
atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau
hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu. Pemilihan obat antihipertensi
tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline
ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan
juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari
pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar
pemilihan obat yang akan digunakan:
a. Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien
dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
b. Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
c. Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
d. Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.

28
e. Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai
terapi atau pencegahan iskemia miokard.
f. Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
g. Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

Tabel 3. Golongan dan efek obat-obat antihipertensi

2.6.8 Manajemen Postoperatif


Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard,
disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan
perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat
berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca
operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya
yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem
respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum
diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu factor yang
paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk
pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan

29
morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun
nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan
dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien
yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya
diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker
yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi.
Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid
dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-
inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun
tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena
sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral
sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

2.6.9 Hipotensi Akibat Anastesi Spinal

Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling
sering terjadi. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang
mendapat anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal,
mayoritas ( 16 % ) berupa hipotensi. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi
spinal sebesar 33 %.

Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik,
umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi.

Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis
preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah
arteri dan arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan
tahanan pembuluh darah perifer. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal
akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.

30
Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan
pemberian infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopressor. Banyak penelitian
telah dilakukan baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopressor
dengan berbagai macam cara atau metode dan jenis yang berbeda.

2.7.0. Hipotensi Pada Anestesi Spinal


Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul pada anestesi spinal sebagai
akibat blok simpatis. Untuk kepentingan klinis praktis, diagnosis hipotensi ditegakkan
bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah
sistolik semula atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.

Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal sekitar 1/3 dari seluruh kasus.
Carpenter dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada
anestesi spinal biasanya juga mengalami komplikasi lain dan biasanya terjadi lebih
awal dengan insiden 33 %. Peneliti lain melaporkan dari sekitar 26 % pasien yang
mengalami komplikasi pada anestesi spinal, 16 % disertai dengan hipotensi.

2.7.1 Faktor yang Mempengaruhi Hipotensi pada Anastesi Spinal

 Umur

o Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat
dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden
hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10%
menjadi 30% pada umur 80 tahun.
 Jenis Kelamin
o Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini
mungkin berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada
wanita meskipun jumlah anestesi lokal yang diberikan sama.
Perbandingan insiden komplikasi spinal antara wanita dan pria adalah
32% dan 20%.
 Berat Badan

31
o Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal
lebih besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI )lebih
dari 30%.
 Kondisi fisik
o Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis
hingga pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi
atau hanya hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau
hipovolemia atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar
abdomen (hamil, tumor abdomen ), blok dengan tinggi yang sama akan
terjadi hipotensi berat.
 Jenis obat anestesi lokal
o Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata
– rata timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering.
Bupivakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama,
sedangkan bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit
pertama.
 Tingkat penghambatan sensorik
o Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal sangat tergantung
dan berhubungan erat dengan tingginya blok. Pada tingkat T 1 – T 5 25
% pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai
tingkat servikal 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi.
 Posisi pasien
o Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal
pada operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah
vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.
 Manipulasi operasi
o Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang
terjadi sehingga sukar untuk mengkompensasi.

Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan


hipoksia jaringan, yaitu berupa gelisah, ketakutan, tinitus, pusing dan sakit kepala,
biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk,
disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian

32
2.7.2 Terapi Hipotensi Pada Anestesi Spinal
Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal :

 Posisi head down/ Trendelenberg.


o Tindakan memposisikan pasien head down/ trendelenberg yaitu Kepala
pasien diturunkan sekitar 5 – 8 derajat merupakan tindakan yang
sederhana, mudah dan sangat bermanfaat. Adanya gravitasi dari posisi
tersebut akan meningkatkan venous return dan curah jantung sehingga
tekanan darah akan meningkat.
o Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70
mmHg menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini
telah dibuktikan oleh Gordh ( 1945 ).
o Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi
pada 15 menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya
penyebaran anestesi lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi.
 Pemberian oksigen.
o Tujuan pemberian oksigen selama hipotensi untuk meningkatkan
kandungan oksigen darah arteri sehinga dapat mengurangi hipoksia
sekaligus mual dan muntah.

 Pemberian cairan intra vena.


o Hipotensi selama anestesi spinal dapat juga diterapi dengan infus
cairan iv cepat dengan volume cairan yang relatif besar, biasanya 1 –
1,5 liter per 70 kgBB dalam waktu kurang dari 10 menit. Larutan yang
sering digunakan larutan seimbang elektrolit. Pemberian cairan ini
akan meningkatkan venous return dan curah jantung.

33
o Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan
dan membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan
mengganggu transport oksigen.
o Pada penderita normovolemik penurunan tekanan darah arteri tidak
dapat dipertahankan hanya dengan infus iv larutan kristaloid, tetapi
harus dikombinasi dengan posisi head down dan penggunaan
vasopresor.
 Terapi vasopressor.
o Obat vasopressor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung
pada otot arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat
vasomotor, stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan
meningkatkan curah jantung dan venous return.
o Obat-obat vasopressor yang biasa digunakan pada hipotensi selama
anestesi spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin,
metaraminol, dopamin dan dobutamin.

34
BAB III
ANALISA KASUS

Seorang perempuan berusia 38 tahun G2P0A1 dengan berat badan 90 kg datang


ke IGD RSUD Karawang dengan keadaan umum tampak sakit sedang, dengan
keluhan keluar perdarahan dari kemaluan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Darah yang keluar berwarna merah segar yang kemudian diikuti dengan
keluarnya gumpalan-gumpalan seperti daging. Selain itu, pasien juga mengeluhan
nyeri pada perut bagian bawah sejak ± 2 hari SMRS serta. Pasien mengeluhkan sering
nyeri kepala ± 1 tahun yang lalu . Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat hipertensi namun tidak berobat secara teratur , dan riwayat operasi
kuretase 1 tahun yang lalu. Pada keluarga pasien terdapat riwayat hipertensi pada ibu
pasien, namun tidak memiliki riwayat asma, alergi, maupun riwayat kencing manis.
Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, suhu
dan pernapasan. Pada pasien didapatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan napas serta
suhu yaitu 200/120 mmHg dengan nadi 70x/menit, napas 20x/menit dan suhu tubuh
36,6°C. Selanjutnya pada pasien dilakukan pemeriksaan status generalis dari kepala
sampai dengan ekstremitas yang menunjukkan dalam normal. Sementara pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan pada leukosit (leukositosis), dimana
kadar leukosit sebanyak 15,83 x10^3/ul, GDS 373, Ureum 8,7 dan Creatinin 4,3.
Pemeriksaan lainnya dalam batas normal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosa menderita abostus imminens + PEB , Abortus imminens merupakan
salah satu gangguan kehamilan yang ditandai dengan terjadinya pendarahan kecil
ketika kehamilan belum berumur 20 minggu. Keadaan ini berlangsung ketika hasil
konsepsi masih di dalam rahim dan tidak terjadi pelebaran leher rahim. Dengan kata
lain, flek bercak darah muncul ketika janin masih berada di dalam Rahim sedangkan
PEB adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4. Oleh
karena itu pasien dianjurkan untuk menjalani operasi kuretase pada tanggal 02
Januari 2018. Secara umum, kuretase adalah membuang jaringan abnormal dari
dinding suatu organ berongga, menggunakan suatu alat yang disebut dengan kuret.
Kuret merupakan suatu alat yang berbentuk seperti sendok panjang dan terbuat dari
logam. Jaringan tersebut bisa saja jaringan tumor, polip, jaringan parut, atau jaringan
abnormal lainnya. Tindakan ini telah disetujui oleh dokter spesialis penyakit dalam,
dokter spesialis anestesi, serta keluarga pasien.
Pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa pasien termasuk dalam kategori ASA
(American Society of Anesthesiologists) II yaitu pasien dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang, namun tidak mengganggu aktivitas, oleh karena ditemukannya
riwayat hipertensi serta DM yang tidak terkontrol kemudian dijumpai peningkatan
kadar leukosit, GDS pada hasil laboratorium pasien.

35
Pada pasien ini dilakukan pembiusan anestesi regional dengan teknik spinal.
Pertimbangan dalam pemilihan teknik bergantung pada situasi klinis seperti
kesesuaian pasien, kondisi fisiologis, maupun prosedur pembedahan itu sendiri.
Teknik anestesia spinal mampu menurunkan kehilangan darah intraoperative,
menurunkan kejadian tromboemboli pascabedah serta dapat menurunkan mortalitas
dan morbiditas pada pasien berisiko tinggi.
Pada saat akan dilakukan pembiusan, pasien dalam keadaan posisi duduk
tegak dengan kepala menunduk, selanjutnya dilakukan desinfeksi lokal lokasi
suntikan anestesi spinal untuk mencegah terjadinya infeksi pada lokasi penyuntikkan
tersebut. Pemilihan posisi juga cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan
anestesi. Pada posisi duduk, anatomi tulang belakang menjadi lebih mudah dipalpasi
dibandingkan dengan posisi lainnya seperti posisi lateral decubitus. Penyuntikkan
obat anestesi local ini menggunakan jarum spinal nomor 25G diantara L3-L4, hal
ini bertujuan untuk menghindari trauma medulla spinalis akibat jarum spinal, karena
medulla spinalis pada orang dewasa normalnya berakhir setinggi L1.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivacaine 20 mg.
Bupivacain adalah obat anestesi local jenis amida yang memiliki onset yang cepat dan
durasi kerja yang panjang. Durasi analgesianya pada segmen T10 – T12 adalah 2-3
jam. Bupivakain akan menyebabkan relaksasi otot pada ekstremitas bawah yang
berlangsung selama 2-2,5 jam. Bupivakain seperti anestesi lokal lainnya
menyebabkan blockade yang bersifat reversibel pada perambatan impuls sepanjang
serabut saraf, dengan cara mencegah pergerakan ion- ion Natrium masuk ke dalam sel
yang melalui membran sel. Dosis bupivakain untuk anestesi spinal 1,5-3 ml.
Bupivacaine dimetabolisme di hati dan diekskresikan di urin. Pasien ini aman
menggunakan Bupivacaine karena tidak ada gangguan pada fungsi hati dan ginjalnya.
Selain diberikan obat anestesi spinal, digunakan pula obat- obatan analgesik
dan obat pelengkap anestesi lainnya seperti obat antagonis reseptor 5-HT3
(Hidroksitriptamin). Obat analgesik yang diberikan pada pasien ini adalah obat-
obatan analgesic golongan non opioid seperti tramadol dan ketorolac. Tramadol
bekerja secara sentral pada penghambatan pengambilan kembali noradenergik dan
serotonin neurotransmission. Pada awal penggunaannya, tramadol akan memberikan
efek berupa pusing, mual, sedasi, mulut kering serta berkeringat. Untuk mengatasi
nyeri setalah operasi, dosis awal 100 mg kemudian dilanjutkan 50 mg tiap 10 sampai
20 menit jika dibutuhkan (dosis maksimal 250 mg untuk 1 jam pertama). Sehingga
pada pasien ini diberikan tramadol 100 mg. Obat ini dimetabolisasi oleh liver dan
diekskresi melalui ginjal.
Obat analgesic non opioid lainnya yang digunakan adalah ketorolac. Obat ini
bekerja pada jalur siklooxygenase serta menghambat biosisntesis prostaglandin di
perifer. Seperti halnya tramadol, ketorolac juga dimetabolisme dalam liver dan
dibuang melalui ginjal, Dosis intravena awal adalah 15-30 mg, dimana pada pasien ini
diberikan 30 mg ketorolac.
Selain obat analgesic, juga diperlukan obat antagonin reseptor 5-HT3
(serotonin). Reseptor ini terdapat pada platelet, saluran cerna dan sistem saraf pusat
dan berkaitan dengan muntah. Obat ini digunakan untuk mengurangi efek mual dan

36
muntah akibat efek obat anestesi lainnya, selain itu obat ini juga tidak menghasilkan
efek samping yang serius walaupun diberikan beberapa kali lipat dari dosis yang
direkomendasikan, dimana dosis intravena yang direkomendasikan untuk
ondansentron sebagai pencegahan mual dan muntah perioperative adalah 4 mg yang
dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Sesuai dengan dosis
yang telah direkomendasikan, pada pasien ini diberikan ondansentron 4 mg.

Pada pasien ini juga diberikan cairan infus asering pada pre dan post operasi
dimana cairan infus asering merupakan cairan yang digunakan untuk membantu
mengatasi kebutuhan cairan dan elektrolit pada masa sebelum dan sesudah operasi.
Infus asering diindikasikan untuk untuk perawatan Darah dan kehilangan
cairan, Tingkat kalsium yang rendah, Hipokalsemia, Kekurangan kalium,
Ketidakseimbangan elektrolit, Inkonsistensi ph dan kondisi lainnya. Asering Infusion
mengandung komposisi aktif berikut: Calcium Chloride Anhydrous, Potassium
Chloride, Sodium Acetate and Sodium Chloride.

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR (Recovery Room). Pemulihan


pasien pasca anestesi spinal ini dapat dinilai dengan penilaian Bromage score, apabila
skor mencapai 5 point maka pasien diperbolehkan kembali menuju ruangan
perawatan dengan bed rest minimal 12 jam dan tetap dilakukan pemantauan.

PEMBERIAN CAIRAN
Kebutuhan Cairan Basal (M) : 2cc/kgBB/jam
2 cc x 90 kg = 180
Kebutuhan Cairan Operasi (O) : Operasi sedang x Berat badan
6 x 90kg = 540 cc
Kebutuhan Cairan Puasa (P) : Lama jam puasa x Kebutuhan Cairan Basal
12 jam x 180 cc = 2160 cc
Pemberian Cairan Jam Pertama: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi + 50%
puasa
= 180 cc + 540 cc + 1080 cc = 1800 cc
Pemberian Cairan Jam Kedua: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi + 25%
puasa
= 540 cc + 540 cc = 1260 cc
 Cairan yang masuk selama operasi = Assering 750cc + Assering 750 cc = 1050 cc
 Jumlah darah keluar = 400 cc
 Allowed Blood Loss (ABL) = 20 % x Estimated Blood Volume (EBV)
= 20% x (70 xBB)

37
= 20 % x (70 x 90kg)
= 20 % x 6300 = 1260 cc
 Blood loss (%) = (400cc : 6300 cc) x 100 = 6,34 %

Perdarahan yang terjadi <20% EBV maka tidak perlu dilakukan transfusi darah.
Hanya perlu diberi cairan kristaloid saja.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi : edisi
2.Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI;2009.103-7.
2. Anjani R. Anestesi lokal dan regional. Available at :
http://www.academia.edu/18578222/52041655-REFERAT-
ANESTESI.Accessed September 7,2017.
3. Werth M. Pokok-pokok anestesi. Jakarta : EGC;2010.65-70.
4. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Semarang: Bagian
anestesiologi dan terapi intensif fakuktas kedokteran UNDIP; 2010.309-2.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesth
esiology. 4th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2006 : 151-52, 263-
75
6. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: McGraw-
Hill; 2002.p.388-395.
7. Pescod D. Preoperative Management of Cardiovascular Disease. Developing
Anaesthesia Text Book.v.1.6: 2007
8. Podgoreanu MV, Mathew JP. Genomic Basis of Perioperative Medicine.
Clinical Anesthesia. 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2006.p.480.
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC,
2001; 256-60
10. Sylvia A.P, Lorraine M.W. Fisiologi Sistem Kardiovaskular. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC,
2006 ; 530-6.
11. Kusmana D, Hipertensi: Definisi, prevalensi, farmakoterapi dan latihan fisik,
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia - Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta,
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran mei-juni 2009 hal 161-167. Dikutip dari
www.kalbe.co.id.

39
12. Anggraini DA, dkk, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas
Bangkinang Periode Januari Sampai Juni 2008, Faculty of Medicine –
University of Riau Pekanbaru, Riau, 2009. Di kutip dari
(Http://yayanakhyar.wordpress.com

40

You might also like