You are on page 1of 86

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah dari

jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sampai jenjang pendidikan sekolah

menengah atas (SMA). Pada tingkat SMA sejarah diberikan untuk mendorong

siswa berpikir kritis dan analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa

lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang. Namun

dalam prakteknya sejarah menjadi mata pelajaran yang kurang diminati oleh

siswa. Pada umumnya siswa kurang tertarik untuk belajar sejarah. Ada beberapa

faktor yang melatar-belakangi siswa kurang berminat terhadap pelajaran sejarah,

yaitu:

1. Adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa pelajaran IPA

(Ilmu Pengetahuan Alam) lebih penting daripada IPS (Ilmu Pengetahuan

Sosial), termasuk sejarah. Siswa yang masuk kelas IPA dianggap sebagai

anak rajin dan pandai, sedangkan siswa yang masuk kelas IPS dianggap

serba bodoh dan malas. Hal tersebut terkait karena materi IPA lebih sulit

dan rumit bila dibandingkan dengan materi IPS yang lebih lunak.

2. Siswa kurang berminat karena Sejarah bukan termasuk dalam mata

pelajaran yang akan di uji negarakan. Selain itu secara umum siswa

beranggapan pelajaran sejarah kurang mendukung masa depan.


2

3. Buku-buku sejarah yang ada selama ini lebih banyak bercerita tentang

proses terjadinya suatu peristiwa sejarah yang didalamnya tertulis nama

tokoh, tanggal, bulan, tahun dan tempat kejadian. Tidak banyak buku-

buku sejarah yang menampilkan gambar ilustrasi atau foto-foto sejarah,

hal tersebut tentu saja menjadi momok bagi siswa karena selain harus

membaca materi yang banyak, juga terbebani karena harus menghapal

semua yang tertulis di dalam buku.

4. Pada umumnya guru-guru kurang memahami metode dan penggunaan

media, sehingga dalam penyampaikan materi sejarah kurang menarik bagi

peserta didik.

5. Tidak banyak guru sejarah yang mengajak siswanya belajar ke luar kelas,

seperti berkunjung ke museum ataupun tempat-tempat bersejarah lainnya

(Soewarso, 2000:25).

Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, kurangnya kemampuan guru

dalam merancang metode pembelajaran yang menarik dan efektif juga menjadi

salah satu faktor penting yang membuat siswa kurang berminat belajar Sejarah.

Hal tersebut diketahui ketika peneliti melakukan observasi awal di Sekolah

Persamaan SMA Jakarta–Utara, kelas XII pada tahun ajaran 2010/2011, Peneliti

melihat kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,

ceramah menjadi pilihan utama metode pembelajaran. Pada dasarnya penggunaan

metode ceramah oleh guru dalam menyampaikan materi sejarah sudah tepat,

karena melalui ceramah guru dapat mengatur pokok-pokok materi apa saja yang
3

perlu ditekankan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Namun

metode ceramah juga memiliki kelemahan yaitu partisipasi siswa di dalam

pembelajaran sangat kurang. Siswa cenderung pasif karena komunikasi hanya

satu arah.

Kondisi itulah yang terjadi di kelas XII, pada saat proses pembelajaran

berlangsung guru memulai pelajaran yang bercerita atau membacakan kembali

materi yang telah ada di buku sumber. Akibatnya, ketika guru sedang menjelaskan

materi banyak siswa yang mengobrol dengan teman sebangku, bermain hand

phone atau mengerjakan tugas yang tidak berkaitan dengan pelajaran sejarah.

Selain itu sedikit siswa siswa yang bertanya maupun menjawab pertanyaan yang

diajukan guru mengenai materi yang sedang dipelajari, siswa menganggap apa

yang dijelaskan guru sudah tertulis didalam buku sumber. Pada akhirnya

pengetahuan yang didapat siswa terbatas hanya pada buku sumber saja. Hal ini

tentu berdampak pada tingkat pemahaman siswa terhadap materi sejarah dan

untuk selanjutnya berpengaruh pada hasil belajar.

Uraian tersebut diatas diduga menjadi salah satu penyebab hasil belajar siswa

pada mata pelajaran Sejarah di Sekolah Persamaan SMA Jakarta-Utara cenderung

rendah. Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari guru bidang studi

Sejarah diketahui bahwa nilai rata-rata ujian periode pertama pada mata pelajaran

Sejarah yaitu 5,5. Sedangkan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang

ditetapkan di Sekolah Persamaan SMA Jakarta-Utara, pelajaran Sejarah tahun

ajaran 2010/2011 yaitu 7.0 (Wawancara dengan Bapak Moch. Luth, guru bidang

Studi Sejarah Kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta Utara).


4

Metode Pembelajaran kooperatif bisa dijadikan alternatif dari permasalahan

diatas. Metode pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang

menghadirkan adanya teman sebaya, kerjasama team untuk mencapai tujuan

bersama, sehingga dapat menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas,

selain itu dapat meningkatkan motivasi, produktivitas dan hasil belajar.

Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Setiap anggota

memilki peran, (b) Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) Setiap

anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman

kelompoknya, (d) Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan

interpersonal kelompok, dan (e) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat

diperlukan. (Isjoni, 2007:20).

Metode pembelajaran “resitasi” (recitation method) atau metode

pemberian tugas sebagai salah satu dari sekian banyak metode pembelajaran yang

dapat diterapkan menitik beratkan pada pemberian tugas kepada siswa, baik di

dalam sekolah maupun diluar sekolah. Dalam proses mengerjakan tugas siswa

dengan sendirinya akan memberikan perhatian terhadap mata pelajaran,

diharapkan dapat memicu minat belajar siswa yang nantinya akan meningkatkan

hasil belajar, (Jusuf Djajadisastra, 2006:46).

Deskripsi fenomena di atas adalah merupakan dasar pertimbangan akan

perlunya merancang desain penelitian yang dapat memberikan solusi untuk

peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah. Penentuan variabel

metode pembelajaran sebagai treatment (perlakuan) dalam penelitian ini,

berdasarkan asumsi bahwa penentu berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran.


5

Penelitian ini dikhususkan untuk membandingkan hasil belajar Sejarah

yang diperoleh siswa, antara yang mendapat perlakuan dengan metode kooperatif

dan resitasi. Dari kedua metode tersebut akan diuji dengan melihat metode

pembelajaran mana yang mempunyai pengaruh terbaik dalam peningkatan hasil

belajar sejarah, baik bagi siswa yang mempunyai minat belajar tinggi maupun

siswa yang mempunyai minat rendah.

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah terdapat pengaruh penerapan metode pembelajaran resitasi &

metode pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar pada mata pelajaran

Sejarah siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara?

2. Apakah terdapat pengaruh minat tinggi dan minat rendah terhadap hasil

belajar Sejarah siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara?

3. Apakah terdapat interaksi penerapan metode pembelajaran resitasi &

metode pembelajaran kooperatif dan minat belajar terhadap hasil belajar

Sejarah Siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta Utara?

4. Motode pembelajaran apakah yang tepat digunakan untuk proses

pembelajaran pada Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara?

5. Apakah yang menjadi ukuran terhadap keberhasilan belajar Sejarah yang

belajar menggunakan metode resitasi dan kooperatif?


6

6. Bagaimana metode pembelajaran ideal untuk meningkatkan minat belajar

guna pencapaian hasil belajar siswa secara maksimal terhadap mata

pelajaran Sejarah?

7. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diberi metode

pembelajaran kooperatif dan metode pembelajaran resitasi pada mata

pelajaran Sejarah?

8. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diberi metode

pembelajaran kooperatif dan metode pembelajaran resitasi pada mata

pelajaran Sejarah ditinjau dari minat belajar tinggi?

9. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang diberi metode

pembelajaran kooperatif dan metode pembelajaran resitasi pada mata

pelajaran Sejarah ditinjau dari minat belajar rendah?

10. Apakah terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan minat

belajar terhadap hasil belajar Sejarah?

C. Pembatasan Masalah

Mengacu kepada masalah-masalah yang teridentifikasi, pembatasan masalah

penelitian ini dapat dilihat dari dua segi yaitu:

1. Obyek penelitian, yaitu siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di PKBM

Negeri 03 Kelurahan Cilincing, Jakarta-Utara.


7

2. Penelitian dibatasi pada mata pelajaran Sejarah, kelas XII Sekolah persamaan

SMA di PKBM Negeri 03 Kelurahan Cilincing, Jakarta-Utara.

3. Permasalahannya dibatasi pada pengaruh penerapan metode pembelajaran

resitasi & metode pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar, pengaruh

minat terhadap hasil belajar dan interaksi antara penerapan metode

pembelajaran (resitasi & kooperatif) dan minat belajar terhadap hasil belajar

sejarah.

D. Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat pengaruh penerapan metode pembelajaran resitasi &

metode pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar pada mata

pelajaran Sejarah siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-

Utara?

2. Apakah terdapat pengaruh minat tinggi & minat rendah terhadap hasil

belajar Sejarah siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-

Utara?

3. Apakah terdapat interaksi antara penerapan metode pembelajaran resitasi

& metode pembelajaran kooperatif dan minat belajar terhadap hasil

belajar Sejarah Siswa kelas XII Siswa Sekolah Persamaan SMA di

Jakarta-Utara?
8

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh

metode pembelajaran dan minat belajar Sejarah siswa kelas XII Sekolah

Persamaan SMA di Jakarta-Utara. Secara operasional tujuan penelitian ini adalah

untuk:

1. Mengetahui pengaruh penerapan metode pembelajaran resitasi & metode

pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar pada mata pelajaran Sejarah

siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara.

2. Mengetahui pengaruh minat terhadap hasil belajar Sejarah siswa kelas XII

Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara.

3. Mengetahui apakah terdapat interaksi antara penerapan metode pembelajaran

resitasi & metode pembelajaran kooperatif dan minat belajar terhadap hasil

belajar Sejarah Siswa kelas XII Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan kepada siswa Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-

Utara dengan menggunakan rancangan eksperimen ini diharapkan dapat

memberikan manfaat dalam :

1. Mengungkapkan penyebab masalah rendahnya hasil belajar Sejarah yang

diperoleh siswa Sekolah Persamaan SMA di Jakarta-Utara khususnya dan

siswa Sekolah Persamaan SMA di kota Jakarta pada umumnya.


9

2. Menemukan metode pembelajaran alternatif untuk memecahkan masalah

belajar siswa yang ditinjau dari minat belajarnya.

3. Ikut membantu meningkatkan mutu pendidikan secara umum melalui

penelitian dan pengembangan metode pembelajaran secara sungguh-

sungguh.

4. Memberi masukan bagi semua pihak yang terkait dalam proses belajar

mengajar Sejarah pada lingkungan Sekolah Persamaan SMA, khususnya

bagi guru sebagai manager belajar dalam memilih metode pembelajaran

yang disesuaikan dengan kondisi internal siswa, terutama yang berkaitan

dengan minat belajar demi peningkatan hasil belajar.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi dalam 5 bab, dalam

penyusunan tesis ini akan disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Perumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
F. Manfaat Penelitian
G. Sistematika Penulisan
10

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS


A. Landasan Teori
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian
B. Metode Penelitian
C. Populasi dan Sampel
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Variabel Penelitian
F. Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN


A. Deskripsi Data
B. Pengujian Persyaratan Analisis Data
C. Pengujian Hipotesis
D. Pembahasan

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi
C. Saran
11

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Belajar dan Hasil Belajar

1.1 Belajar

Belajar dialami oleh setiap manusia sejalan dengan perkembangan usianya,

yaitu sejak ia dilahirkan sampai dengan akhir hayatnya. Pada mulanya ia belajar

dengan menggunakan inderanya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.

Seiring dengan perkembangan usianya, ia menggunakan akal dan indera yang

dimiliki dalam proses belajar. Belajar bagi setiap manusia merupakan kewajiban

yang harus dilakukan agar manusia bisa bertahan hidup. Melalui belajar ia dapat

memperoleh informasi yang tidak diketahuinya. Selanjutnya ia dapat atau

mampu memecahkan masalah, mampu menunjukkan perilaku yang sesuai

dengan norma-norma yang berlaku. Kemampuan-kemampuan itu merupakan

tingkah laku yang diperoleh sebagai akibat dari belajar.

Dari sudut pendidikan, belajar merupakan inti dari kegiatan pendidikan.

Untuk itu kegiatan belajar harus ditata dengan baik dan sungguh-sungguh oleh

lembaga penyelenggara pendidikan, karena kegagalan dalam mengelola kegiatan

belajar berarti pula ketidak berhasilan pendidikan dalam mewujudkan tujuan

pendidikan.
12

Belajar merupakan suatu proses seseorang untuk menambah pengetahuan

sehingga kehidupan yang dijalani akan senantiasa dinamis. Kata kunci dari

belajar adalah perubahan, yang diartikan sebagai proses internal untuk

mendapatkan pengetahuan atau modifikasi perilakunya, dimana proses tersebut

dapat diamati, (W. S. Winkell, 2004:45).

Sebagai proses perubahan, maka belajar merupakan proses aktif yang perlu

dirangsang dan dibimbing kearah hasil-hasil yang diinginkan. Stimulus dari luar

yang dapat mendorong peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar antara

lain meliputi pengaruh guru melalui pemberian tugas, pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan kepada peserta didik, bantuan visual yang digunakan, pemilihan

metode pembelajaran yang diterapkan dan semua proses yang dimanfaatkan

untuk membangkitkan minat dan kegiatan belajarnya. Selain itu faktor situasi dan

lingkungan belajar turut menentukan pula. Hal ini sebagai konsekwensi manusia

sebagai makhluk sosial (zoon poloticon) yang tidak dapat hidup seorang diri

tetapi membutuhkan orang lain, situasi maupun peristiwa yang memungkinkan

untuk hidup termasuk didalamnya proses belajar.

Belajar merupakan suatu proses yang meliputi berbagai kompetensi, dari

berbagai pengetahuan yang mudah dan sederhana hingga kepada keterampilan

yang membutuhkan kemampuan yang kompleks serta melibatkan berbagai

prosedur yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Belajar terkadang

membutuhkan usaha yang keras, namun pada saat-saat tertentu belajar

merupakan kegiatan yang mudah untuk dilakukan. Bower dan Hilgard

merumuskan definisi belajar adalah perubahan perilaku seseorang terhadap suatu


13

situasi tertentu yang diakibatkan oleh pengalamannya yang terjadi secara

berulang terhadap situasi tersebut, (Usman Effendi dan Juhaya S. Praja,

2006:103).

Perubahan ini bukan berdasarkan kecenderungan memberikan respon

alamiah, kematangan, atau kondisi sementara orang itu (misalnya karena lelah

atau pengaruh obat). Teori belajar yang bermuara kepada perubahan menurut

Bower dan Hilgard diperkuat oleh teori Winkell. Winkell mengartikan belajar

sebagai suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif

dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Perubahan tersebut relatif konstan dan

berbekas. Jadi, respon yang dirangsang oleh pengalaman berulang-ulang

merupakan hasil dari interaksi aktif dengan lingkungannya sehingga

mengakibatkan perubahan. Misalnya orang yang tidak dapat mengenal huruf

menjadi mampu mengenal huruf, orang yang tidak terampil menulis menjadi

terampil menulis, orang yang tidak mampu berpakaian rapi menjadi mampu

berpakaian rapih dan perubahan perilaku lainnya. Orang yang belajar mengalami

perubahan aspek perilaku kognitif, psikomotor dan afektif.

Dalam hal ini Effendi dan Praja (2006:103), mengemukakan definisi

belajar sebagai berikut: “Belajar adalah suatu proses usaha atau interaksi yang

dilakukan individu untuk memperoleh sesuatu yang baru dan perubahan

keseluruhan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman itu sendiri“. Perubahan-

perubahan mana akan tampak dalam penguasaan pola-pola respon yang baru
14

terhadap lingkungan yang berupa keterampilan, kebiasaan, perasaan, hubungan

sosial, jasmani dan etika atau budi pekerti.

Definisi belajar diatas mengungkapkan beberapa ciri belajar, yaitu :

1. Adanya suatu proses atau usaha; artinya belajar bukan suatu tujuan, tetapi

merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh individu dan diikuti

dengan berbagai usaha mencapai tujuan. Hal tersebut dapat dilihat dalam

proses penerimaan informasi oleh seseorang, informasi itu selanjutnya akan

diolah dan disimpan di dalam sistem syaraf otak untuk dapat digunakan

kembali pada situasi lain. Pada saat ini ia menerima, mengolah dan

menyimpan informasi, yang dilakukan berbagai usaha seperti membuat

simbol-simbol, latihan, menghafal, menulis ulang dan sebagainya. Sehingga ia

merefleksikan kembali informasi sesuai kebutuhan.

2. Adanya interaksi individu; artinya, belajar dapat terjadi bila individu

berinteraksi dengan lingkungannya, baik melalui pengalaman langsung

maupun pengalaman pengganti. Pengalaman langsung yaitu individu yang

belajar berpartisipasi dengan berbuat sesuatu. Misalnya agar seseorang

terampil melakukan gerak terapung di dalam air, maka ia harus mempelajari

gerakan tersebut di dalam kolam renang. Sedangkan pengalaman pengganti

yaitu individu yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya melalui

observasi, gambar, grafik, kata-kata atau simbol-simbol lainnya.

3. Adanya perubahan tingkah laku; Perubahan tingkah laku adalah tingkah laku

baru sebagai hasil dari sesuatu yang dipelajari. Misalnya sebelum kursus
15

seseorang tidak dapat mengetik 10 jari dan sekarang ia sudah lancar mengetik

10 jari karena ia telah belajar mengetik. Pandangan serupa dikemukkan

Skinner dalam Dimyati, yang menjelaskan bahwa belajar adalah suatu

perilaku. Pada saat orang belajar, responnya menjadi baik. Sebaliknya, bila ia

tidak belajar maka responnya menurun, (Dimyati dan Mujiono, 2000:20).

Apa yang dikemukakan Skinner dalam teori belajar tersebut dapat diterapkan

dalam pembelajaran IPS di sekolah. Guru dalam hal ini perlu memperhatikan dua

hal penting yakni: (1) Pemilihan stimulus yang diskriminatif, dan (2) Penggunaan

penguatan. Dalam teori Skinner tersebut nampaklah bahwa pemberian hadiah bagi

siswa dapat mendorong keberhasilan belajar dalam aspek kognitif, sedangkan

hukuman masuk dalam upaya peningkatan hasil belajar dalam ranah afektif.

Menurut pandangan Skinner, yang terkenal dengan teori kondisioning operan

(operant conditioning), belajar ialah perubahan perilaku. Ketika subjek belajar,

responnya meningkat dan bila terjadi kebalikannya, angka respon menurun.

Karena itu, belajar resminya didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam

memungkinkan atau peluang terjadinya respon. Peluang atau kemungkinannya

merespon itu sukar mengukurnya. Karenanya ia menyarankan agar belajar diukur

menurut angka atau frekuensi respon. Meskipun tidak persis sama dengan peluang

terjadinya perbuatan di waktu yang akan datang, hal itu merupakan langkah awal

dalam menganalisis perubahan tingkah laku, (Margaret, 2006:120).

Berbeda dengan Skinner, Gagne memandang belajar berupa keterampilan dan

kecakapan siswa berlangsung dalam periode waktu lama (Dimyati dan Mujiono,

2000:20). Jenis perubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya suatu perubahan


16

tingkah laku dan kecakapan. Menurut Gagne, kapabilitas akan tumbuh pada siswa

akibat: (1) Adanya stimuli yang berasal dari lingkungan dan (2) Proses kognitif

yang dilakukan oleh siswa (Margaret, 2006:125). Itulah sebabnya Gagne

mengemukakan bahwa belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah

stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas.

Selengkapnya baru proses pembentukan kapabilitas baru tersebut ditentukan oleh

tiga komponen penting yakni: (1) Kondisi internal, (2) Kondisi eksternal dan (3)

Hasil belajar dari lingkungan, (Margaret E. Bell Gredler:125).

Belajar merupakan interaksi antara keadaan internal dan proses kognitif

siswa dengan stimulus dari lingkungan dan proses kognitif tersebut menghasilkan

suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal,

keterampilan intelektual, keterampilan motorik, dan sikap.

Teori belajar Gagne lebih banyak menggarap aspek kognitif. Teori ini relevan

dengan pembahasan hasil belajar IPS yang lebih diarahkan kepada penguasaan

aspek kognitif.

1.2 Hasil Belajar Sejarah

Gagne menyebut hasil belajar dengan istilah kapabilitas. Selengkapnya di

menjelaskan bahwa, “penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar yang

memungkinkan kemampuan itu dimiliki dan disimpan tahan lama oleh peserta

belajar disebut kapabilitas” (Robert M. Gagne, Leslie J. Briggs dan Walter W.

Wagner, 1992:43), Sedangkan Nana Sudjana mengemukakan, “kemampuan-


17

kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar“,

disebut dengan istilah hasil belajar, (Nana Sudjana, 2006:22).

Hasil belajar ini memiliki 3 kategori dikenal dengan sebutan “taksonomi

Bloom” meliputi kawasan kognitif, kawasan afektif, dan kawasan psikomotor.

Ketiga kategori hasil belajar tersebut, masing-masing mempunyai

kemampuan/perilaku yang bisa diukur. Kemampuan-kemampuan itu adalah:

1. Kawasan kognitif, Kawasan ini mencakup hal-hal seperti mengingat dan

memecahkan masalah berdasarkan apa yang telah dipelajari siswa. Kawasan

ini meliputi aspek-aspek: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,

sintesis dan evaluasi.

2. Kawasan afektif, Kawasan ini menekankan pada aspek perasaan, emosi,

apresiasi, perimbangan, penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu hal.

3. Kawasan psikomotor, Kawasan ini mencakup keterampilan atau perilaku

yang melibatkan aktivitas otot dan gerak motorik.

Perkembangan selanjutnya taksonomi Bloom kemudian disempurnakan oleh

Anderson dan Krathwohl. Revisi taksonomi Bloom tersebut diuraikan sebagai

berikut (Jusuf, 1999:20):

1. Mengingat, Mendapatkan kembali pengetahuan relevan yang tersimpan

dalam memori. Mengingat terdiri atas: (a) Mengenal, yaitu dapat mengenal

data-data atau apa yang pernah dialami dalam kejadian-kejadian penting

(tertentu), (b) Mengingat, ingat terhadap apa yang pernah dialami disaat

ingatan itu dibutuhkan dalam kejadian-kejadian tertentu.


18

2. Pemahaman, Memahami gagasan atau konsepsi dari pesan-pesan pendidikan,

baik secara lisan, tulisan dan komunikasi yang jelas. Pemahaman dijabarkan

dalam: (a) Menafsirkan, (b) Memberi contoh, yaitu dapat mengambil ibarat

sendiri terhadap apa yang dipahami, (c) Menggolongkan atau

mengklasifikasi, (d) Meringkas, membuat ringkasan terhadap apa yang

dipahami, (e) Menyimpulkan, mengambil kesimpulan dari apa yang

dijelaskan baik secara lisan maupun tulisan, (f) Membandingkan dan (g)

Menjelaskan.

3. Penerapan, Kemampuan melaksanakan sesuai dengan prosedur dalam

menghadapi suatu keadaan. Kemampuan menerapkan ini terdiri atas: (a)

Kemampuan melaksanakan dan (b) Implementasi.

4. Analisis, Kemampuan membuat perbandingan antara konsep-konsep tertentu

dalam suatu analisa yang kritis untuk menghasilkan pengetahuan baru.

Kemampuan analisis terbagi atas: (a) Membedakan, (b) Mengorganisir dan

(c) Melengkapi.

5. Evaluasi, Kemampuan untuk menyatakan pendapat serta menilai yang

memiliki landasan pikir dengan criteria atau standar tertentu. Kemampuan

evaluasi terdiri atas: (a) Memeriksa dan (b) Mengkaji.

6. Menciptakan, Menemukan atau menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan

teori atau pengamatan terhadap sesuatu. Kemampuan menciptakan dijabarkan

ke dalam: (a) Membangkitkan atau melahirkan, misalnya dengan mengamati


19

suatu fenomena maka dilahirkan hipotesis terhadap fenomena tersebut, (b)

Merencanakan dan (c) Menghasilkan.

Sejarah sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang diberikan di sekolah

persamaan SMA. Berkaitan dengan pengertian dan definisi Sejarah Kuntowijiyo

berpendapat bahwa sejarah adalah kumpulan materi yang mengandung arti cerita

tentang kejadian yang berhubungan dengan manusia dan benar-benar terjadi pada

masa lampau, (Kuntowijoyo, 1995:17). Pembelajaran Sejarah dapat memberikan

pengetahuan kepada siswa mengenai kehidupan manusia yang telah terjadi di

masa lampau.

Melalui pembelajaran Sejarah diharapkan siswa dapat mengembangkan

kompetensi-kompetensinya. Kompetensi-kompetensinya yaitu untuk berpikir

secara kronologis, memiliki pengetahuan tentang manusia lampau, membangun

pengetahuan dan pemahaman untuk menghadapi masa yang akan datang.

Banyak teori yang telah membahas tentang pembelajaran Sejarah, hanya saja

kondisi pembelajaran di Sekolah Persamaan SMA dengan kurikulum Sejarah

yang alokasi waktunya dalam setiap minggu hanya 2 jam pelajaran. Maka harus

ada solusi alternatif yang dapat mengantisipasi masalah pembelajaran sejarah

tersebut. Subtansinya masalah yang diduga adalah keselarasan antara pencapaian

dalam hal kognitif, afektif dan psikomotor. Dengan alokasi waktu yang sangat

sedikit tersebut maka dibutuhkan representatif pencapaian. Dalam hal ini. Aspek

kognitif dianggap sebagai representatif dari kedua aspek lainnya.


20

Dari uraian berbagai teori di atas maka disimpulkan bahwa hasil belajar

Sejarah adalah hasil sebagai akibat yang diperoleh siswa dari proses belajar

Sejarah dimana siswa diharapkan mampu melakukan perubahan tingkah laku

pada dirinya yang didapat dari pembelajaran sehingga siswa mendapatkan

pengetahuan dan pemahaman akan masa lalunya sehingga bijaksana dalam

menghadapi masa kini dan masa depan. Dimana hasil belajar diukur dengan

merujuk taksonomi kognitif krathwhol yang merupakan revisi taksonomi

Bloom.

2. Metode Pembelajaran

a. Metode Pembelajaran

Metode (method) secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian umum,

diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan

dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:126). Pendapat yang sama dikemukakan

Pasaribu dan Simanjuntak, metode adalah cara sistematik yang digunakan untuk

mencapai tujuan (L. L Pasaribu dan Simanjuntak, 2005:14).

Surakhmad mengemukakan bahwa metode adalah cara yang didalam

fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan, (Winarno Surakhmad,

2007:75).

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, maka disimpulkan bahwa

sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode pembelajaran adalah cara yang berisi

prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, khususnya kegiatan


21

penyajian materi pelajaran kepada siswa, metode umumnya lebih berorientasi

pada tujuan. Makin baik metode, makin efektif pula pencapaian tujuan. Jadi

suasana pendidikan yang baik adalah yang mengikuti konsep pendidikan

berpusat pada siswa, oleh karena itu diperlukan pemilihan strategi dan metode

pembelajaran yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berkreasi dan

berkarya dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip pembelajaran bersama.

b. Metode Kooperatif

Metode pembelajaran kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang saat

ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar yang berpusat pada

siswa, terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam

mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerjasama dengan orang lain, siswa yang

agresif dan tidak peduli pada orang lain.

Menurut Michaels (1977) seperti yang dikutip Eta bahwa pembelajaran

kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang membantu siswa dalam

mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata

dimasyarakat, sehingga dengan bekerjasama diantara sesama kelompok akan

meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar, (Etin Solihati dan

Raharjo, 2007:5).

Anita Lie menyebut cooperative learning dengan istilah gotong royong, yaitu

sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk

bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Dalam

sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator, (Anita Lie, 2005:12).


22

Dari beberapa definisi di atas maka yang dimaksud dengan pembelajaran

kooperatif adalah suatu pembelajaran yang menghadirkan adanya teman sebaya,

kerjasama team untuk mencapai tujuan bersama, sehingga dapat menyelesaikan

atau membahas suatu masalah atau tugas, selain itu dapat meningkatkan

motivasi, produktivitas dan perolehan belajar. Dalam penelitian ini pembelajaran

kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) Setiap anggota memilki peran,

(b) Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) Setiap anggota

kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman

kelompoknya, (d) Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan

interpersonal kelompok, dan (e) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat

diperlukan, (Isjoni, 2007:20).

Pelaksanaan pembelajaran kooperatif membutuhkan partisipasi dan

kerjasama dalam kelompok pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dapat

meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong

menolong dalam beberapa perilaku sosial. Diharapkan dengan metode

pembelajaram kooperatif pada siswa akan terbiasa memecahkan berbagai

masalah secara bersama. Tujuan utama dalam penerapan motode pembelajaran

kooperatif adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama,

teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan

kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya, dengan

menyampaikan pendapat secara berkelompok.

Motode pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan

pengetahuan, kemampuan dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar


23

yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai obyek pembelajaran,

namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.

Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dari metode pembelajaran

kooperatif yaitu: 1) Pembelajaran kooperatif mengajarkan nilai kerjasama.

Mengajarkan kepada siswa untuk saling membantu, mengembangkan sikap yang

lebih mementingkan kepentingan orang lain, dan juga kecenderungan perilaku

prososial secara spontan, 2) Pembelajaran kooperatif dapat membangun

komunitas di dalam kelas. Pembelajaran kooperatif membantu siswa untuk

mengetahui antara yang satu dengan yang lain, dan dapat mengurangi konflik

personel, 3) Pembelajaran kooperatif dapat mengajarkan keterampilan hidup

yang mendasar. Keterampilan-keterampilan yang berkembang melalui

pembelajaran kooperatif misalnya: belajar mendengarkan, menghargai

pandangan orang lain, berkomunikasi secara intensif, memecahkan konflik dan

kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, 4) Pembelajaran kooperatif dapat

meningkatkan prestasi akademik, kepercayaan diri dan sikap terhadap sekolah.

Baik bagi siswa yang memilki kemampuan rendah dan tinggi akan memperoleh

kemanfaatan dari pembelajaran kooperatif, dan 5) Pembelajaran kooperatif

potensial untuk mengurangi efek negatif dari persaingan.

Disamping keuntungan, pembelajaran kooperatif memiliki kekurangan yang

bersumber pada dua faktor yaitu: faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar

(eksternal). Faktor dari dalam yaitu: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran

secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan

waktu, 2) Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan


24

dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai, 3) Selama kegiatan

diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang

sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang

ditentukan, dan 4) Saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini

mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

Dari semua yang telah dijelaskan diatas, ada beberapa upaya yang dapat

dilakukan untuk memaksimalkan keberhasilan dalam pembelajaran kooperatif

yaitu: menjelaskan bahwa kerjasama adalah merupakan tujuan kelas yang

penting mengajarkan keterampilan khusus yang diperlukan untuk bekerjasama

(misalnya keterampilan sosial), menegakan aturan-aturan untuk bekerjasama,

menggunakan siswa dalam merefleksikan kerjasama, memberikan peran pada

anggota kelompok, memvariasikan strategi pembelajaran kooperatif.

Ketika pembelajaran kooperatif dilaksanakan, guru harus menanamkan dan

membina sikap berdemokrasi diantara para siswanya, maksudnya suasana kelas

harus diwujudkan sedemikan rupa sehingga dapat menumbuhkan kepribadian

siswa yang demokratis dan dapat diharapkan suasana yang terbuka dengan

kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama dalam memecahkan kesulitan-kesulitan

dalam melakukan kerja kelompok diharapkan siswa yang lain menerima

pendapat dari siswa lainnya, seperti siswa yang satu memberikan pendapat lalu

siswa yang lainnya mendengarkan. Di sini guru fasilitator dan juga sebagai

penengah, guru diharapkan dapat membangun dan membangkitkan minat dan

motivasi siswa agar bisa lebih aktif dan kreatif lagi.


25

Suasana belajar dan rasa kebersamaan yang tumbuh dan berkembang diantara

sesama anggota kelompok memungkinkan siswa untuk mengerti dan memahami

materi pelajaran yang lebih baik. Juga membantu mereka yang kurang berminat

menjadi lebih bergairah dalam belajar. Siswa yang kurang bergairah dalam

belajar akan dibantu oleh siswa lain yang mempunyai gairah lebih tinggi dan

memiliki kemampuan menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Suasana belajar

yang seperti itu, disamping proses belajarnya lebih efektif, juga akan terbina

nilai-nilai gotong royong, kepedulian sosial, saling percaya, kesediaan menerima

dan memberi serta tanggung jawab siswa, baik terhadap dirinya maupun terhadap

anggota kelompoknya. Dalam kelompok belajar tersebut sikap, nilai, dan moral

dikembangkan secara mendasar. Belajar secara kelompok dalam metode

pembelajaran ini merupakan miniatur masyarakat yang diterapkan dalam

kehidupan di kelas yang akan melatih siswa untuk mengembangkan dan melatih

mereka menjadi anggota masyarakat yang baik.

Sesuai dengan pendapat tersebut, maka dalam pelaksanaan metode

pembelajaran kooperatif dibutuhkan kemauan dan kemampuan serta kreativitas

guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan metode

ini guru bukannya bertambah pasif, tetapi harus aktif terutama saat menyusun

rencana pelaksanaan pembelajaran secara matang, peraturan kelas saat

pelaksanaan, dan membuat tugas untuk dikerjakkan siswa bersama dengan

kelompoknya.
26

Ada empat tipe yang biasa digunakan oleh guru dalam pembelajaran

kooperatif yaitu tipe STAD (Student Teams Achievement Division), jigsaw, GI

(Group Investigation) dan Think-Pair-Share, (Robert. E. Slavin, 1995:2).

Metode pembelajaran kooperatif tipe STAD pertama kali digunakan di John

Hopkins University. Ide dasar STAD adalah agar memotivasi siswa untuk saling

bekerjasama dan membantu satu sama lain, baik dalam memahami materi

maupun penyelesaian tugas dalam satu kelompok, (Robert. E. Slavin, 1995:2).

Pada proses pembelajarannya, model pembelajaran kooperatif tipe STAD

terdiri atas 5 tahapan yang meliputi: (1) penyajian materi, (2) kegiatan kelompok,

(3) tes individual, (4) skor peningkatan individu, dan (5) pemberian penghargaan

kelompok, (Robert. E. Slavin, 1995:3). Setiap tahapan memiliki bentuk maupun

macam kegiatan tersendiri yaitu:

a. Tahapan Penyajian Materi

Pada tahap ini guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus

dicapai, memotivasi siswa, memberikan persepsi terhadap materi agar siswa

menghubungkan materi yang akan disajikan dengan pengetahuan yang telah

dimiliki. Mengenai teknik penyajian materi, dan jumlah presentasi

disesuaikan dengan tingkat kesulitan materi yang akan dibahas.

b. Tahapan Kegiatan Kelompok

Pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan

dipelajari. Dalam kegiatan ini siswa saling berbagi tugas, saling membantu
27

memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami

materi yang dibahas, dan satu lembar hasil dikumpulkan sebagai hasil kerja

kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator

kegiatan tiap kelompok.

c. Tahapan Tes Individual

Pada tahap ini tes individual diadakan pada akhir pertemuan kedua atau

ketiga selama lebih 15 menit untuk mengetahui keberhasialan belajar yang

telah dipelajari secara individu selama bekerjasama dalam dalam kelompok.

Skor perolehan individu ini didata dan diarsipkan yang akan digunakan pada

perolehan skor.

d. Tahapan Skor Peningkatan Individu

Pada tahap ini guru memproses skor peningkatan individu berdasarkan, skor

awal, skor tes, dan skor peningkatan individu dimaksudkan agar siswa

terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya.

e. Tahapan Pemberian Penghargaan Kelompok

Pada tahap ini guru memproses penghitungan skor untuk pemberian

penghargaan kelompok dengan cara menjumlahkan hasil skor perkembangan

individu dari anggota kelompok dan hasilnya dibagi sesuai dengan jumlah

anggota kelompok.
28

c. Metode Pembelajaran Resitasi

Metode resitasi (recitation method) dapat disamakan dengan pemberian tugas.

Metode pemberian tugas adalah salah satu cara mengajar yang dicirikan atau

ditandai oleh adanya suatu persoalan atau problematika yang diberikan oleh guru

untuk diselesaikan atau dikuasi dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama

antara guru dan siswa, (Jusuf Djajadisastra, 2006:46). Metode waktu yang telah

disepakati bersama antara guru, siswa dalam suatu pembahasan. Metode resitasi

pada umumnya ditandai dengan adanya pertanyaan dan jawaban, dimana guru

mengajukan pertanyaan dan jawaban, dan para siswa mencari atau menemukan

sejumlah jawaban berdasarkan literatur yang ada atau penjelasan maupun

penyajian guru terhadap suatu materi sebelum pemberian tugas. Pemberian tugas

oleh guru dapat dikerjakan siswa baik dalam kelas maupun di luar kelas. Metode

resitasi dimaksudkan untuk mengevaluasi atau mengeksplorasikan kemampuan

belajar dan pemahaman siswa terhadap materi yang telah disajikan guru. Dengan

demikian metode ini bertitik tolak pada umpan baik siswa, baik secara pribadi

maupun berkelompok.

Metode resitasi tidak hanya sekedar memberikan latihan atau pekerjaan

rumah kepada siswa, tetapi pemberian tugas-tugas tersebut diharapkan akan dapat

membantu tercapainya tujuan pembelajaran, karena tugas-tugas tersebut berfungsi

untuk mengarahkan dan membimbing proses belajar siswa agar memperoleh hasil

belajar yang maksimal.

Pemberian tugas dalam metode resitasi menurut Surakhmad dapat memicu

siswa untuk lebih aktif, baik tugas yang dikerjakan di sekolah maupun di rumah.
29

Dengan demikian metode ini memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang

beraneka ragam, yaitu baik di kelas, perpustakan maupun di rumah. Metode ini

akan memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan aktivitas secara mandiri

untuk meningkatkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, (Winarno

Surakhmad, 2007:91).

Roestiyah menjelaskan metode resitasi biasanya digunakan dengan tujuan

agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan

latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam

mempelajari sesuatu lebih terintegrasikan. Hal itu terjadi disebabkan siswa

mendalami situasi atau pengalaman berbeda, waktu menghadapi masalah-masalah

baru. Sejalan dengan itu Ramayulis menjelaskan bahwa metode resitasi adalah

proses pembelajaran dimana seorang guru memberi tugas-tugas tertentu kepada

siswa yang akan dikerjakannya di luar jam sekolah dan kemudian tugas tersebut

akan dipertanggung jawabkan dihadapan guru, (Ramayulis, 2006:20).

Pemahaman umum tentang resitasi adalah pembebanan guru terhadap siswa

mengenai suatu kompetensi dasar (pelajaran) yang akan dievaluasi setelah batas

waktu penyelesaian tugas tersebut habis.

Surakhmad merumuskan tujuan dari metode resitasi adalah sebagai berikut:

a. Merangsang agar siswa berusaha lebih baik, memupuk inisiatif,

bertanggungjawab dan berdiri sendiri.

b. Membawa kegiatan-kegaiatan sekolah untuk membangkitkan minat siswa.


30

c. Memperkaya pengalaman siswa di sekolah dengan adanya kegiatan-

kegiatan.

d. Memperkuat hasil belajar siswa di sekolah dengan mengadakan latihan-

latihan yang diintegrasikan dengan pengalamannya. (Winarno Surakhmad,

2007:91).

Sudirman (2000), menguraikan ada 5 (lima) keuntungan dalam menggunakan


metode resitasi yaitu:

a. Anak-anak belajar membiasakan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam


segala tugas yang diberikan.

b. Mempertebal rasa tanggung-jawab, karena hasil yang dikerjakkan


dipertanggung-jawabankan dihadapan guru.

c. Membiasakan anak untuk mandiri dalam bekerja.

d. Dapat membentuk Long Time Memory, sebab hasil pelajaran merupakan


upaya sendiri.

e. Memperdalam pengertian dan menambah keaktifan serta kecakapan siswa.


(Sudirman, 2000:145).

Dalam penggunaan metode resitasi, disampingkan keaktifan siswa

dibutuhkan juga keaktifan serta keterlibatan guru dalam menganalisis tugas

dengan benar sehingga tercipta proses pembelajaran yang dapat memperkaya

pengalaman siswa untuk belajar serta dapat meningkatkan minat siswa dalam

menyelesaikan tugas sebagai salah satu proses belajarnya.


31

Penerapan metode resitasi akan memberikan hasil maksimal, apabila pada saat

guru memberikan tugas, guru memperhatikan berbagai syarat atau berbagai

prinsip pemberian tugas. Kepedulian guru terhadap syarat-syarat pemberian tugas,

juga harus didasarkan pada adanya perbedaan karakteristik siswa, karakteristik

bidang studi, dan karakteristik tujuan pembelajaran. Syarat-syarat pemberian

tugas adalah sebagai berikut: (1) kejelasan adan ketegasan tugas, (2) antara guru

dan siswa, (3) kesesuaian tugas dengan kemampuan dan minat siswa, dan (4)

kebermaknaan tugas bagi guru, (Ivor. K. Davies, Penerjemah Moedjiono dan

Moh. Dimyati,1992-1993:28).

Lima jenis syarat-syarat pemberian tugas tersebut dimaksudkan untuk

meningkatkan hasil guna penerapan metode resitasi.

Selanjutnya yang penting diketahui setelah syarat-syarat pemberian metode

resitasi adalah langkah-langkah dalam pelaksanaannya. Moedjiono dan Dimyati,

mengemukakan langkah-langkah umum yang dapat dijadikan acauan dalam

pelaksanaan metode resitasi adalah sebagai berikut:

1. Persiapan penggunaan metode pembelajaran resitasi yang mencakup: membuat

rancangan pemberian tugas, mengkomunikasikan tugas dengan para siswa,

membuat lembaran kerja (jika perlu) dan menyediakan sumber-sumber belajar

yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.

2. Pelaksanaan metode resitasi dengan cakupan: menjelaskan tujuan dan manfaat

tugas yang diberikan kepada siswa, memberikan penjelasan tentang tugas

(terutama mengenai kesulitan yang mungkin akan dihadapi dan alternatif


32

pemecahannya), membantu pembentukkan kelompok (jika perlu), memberikan

tugas secara lisan atau tertulis, memonitor (mengamati) pelaksanaan atau

penyelesaian tugas serta membahas bersama siswa hasil dari pelaksanaan tugas.

3. Tindak lanjut pelaksanaan metode resitasi, mencakup: melaksanakan penilaian

hasil pelaksanaan tugas, menyimpulkan penilaian proses dan hasil pelaksanaan

serta membahas atau mereview kesulitan yang tidak dapat diselesaikan oleh

para siswa selama pelaksanaan tugas, (Dimyati dan Mujiono, 1992-1993:28).

3. Minat Belajar

Crow dan Crow berpendapat bahwa minat erat hubungannya dengan daya

gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan

kegiatan itu sendiri. Dengan kata lain minat dapat menjadi sebab kegiatan dan

sebab partisipasi kegiatan itu, (Dimyati dan Mujiono, 1992-1993:37).

Skinner berpendapat bahwa minat sebagai motif yang menunjukkan arah

perhatian individu terhadap obyek yang menarik atau menyenangkannya.

Apabila individu memperhatikan suatu obyek yang menyenangkan, maka ia

cenderung akan berusaha aktif dengan obyek tersebut, (Dimyati dan Mujiono,

1992-1993:37).

Dari dua pendapat yang disebutkan di atas, maka di dalam minat terkandung

unsur motif atau dorongan dari dalam diri manusia yang merupakan daya tarik

untuk melakukan aktivitas sesuai dengan tujuannya.


33

Hurlock berpendapat bahwa minat merupakan sumber motivasi yang

mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas

memilih, (Elizabeth B. Hurlock, 1997:114).

Lebih lanjut disebutkan pula bahwa minat memainkan peranan yang penting

dalam kehidupan seseorang dan mempunyai dampak yang besar atas perilaku dan

sikap seseorang, (Anne Anastasi, 2002:23).

Pendapat yang sejalan juga diungkapkan oleh Anastasi yang menyatakan

bahwa hakikat dan kekuatan minat dan sikap seseorang adalah merupakan aspek

penting dari kepribadian, dimana karakteristik ini secara materil mempengaruhi

prestasi pendidikan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kesenangan yang

didapatkan dari aktivitas waktu luang dan fase-fase lainnya dari kehidupan

sehari-hari, (Anne Anastasi, 2002:23).

Jones mendefinisikan minat sebagai perasaan suka yang berhubungan dengan

reaksi terhadap suatu hal yang khusus atau situasi tertentu. Di sisi lain Garret

menjelaskan sebagai aktivitas yang menyertai seseorang melalui nilai-nilai,

perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang disukainya, (Henry E.

Garret,1965:187), Thorndike merumuskan sebagai kecenderungan yang

berkenaan dengan partisipasi dan mencari pilihan yang disukai dalam

aktivitasnya, (Arthur S.Jones, 1968:95).

Dengan demikian minat belajar merupakan sumber motif (energi) dari dalam

diri siswa yang dapat mendorong untuk melaksanakan kegiatan dalam memenuhi

kebutuhannya. Dalam hal ini minat dapat terlihat pada pemilihan suka dan tidak
34

suka akan suatu obyek, memberi perhatian dan berperan dalam kegiatan yang

terkait dengan belajar.

Skinner mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran ada beberapa hal yang

dapat mempengaruhi minat belajar dan untuk dapat membangkitkan minat siswa

maka seseorang pendidik harus dapat merubah proses belajar yang membosankan

menjadi pengalaman belajar yang menggairahkan.

Caranya antara lain adalah sebagai berikut, (Dimyati dan Mujiono, 2000:40):
a. Materi yang dipelajari haruslah menjadi menarik dan menimbulkan suasana
yang baru. Misalnya dalam bentuk permainan, diskusi atau pemberian tugas
diluar sekolah sebagai variasi kegiatan belajar.

b. Materi pelajaran menjadi lebih menarik apabila siswa mengetahui tujuan dari
pelajaran itu.

c. Minat siswa terhadap pelajaran dapat dibangkitkan dengan variasi metode


yang digunakan.

d. Minat siswa juga dapat dibangkitkan kalau mereka mengetahui manfaat atau
kegunaan dari pelajaran itu bagi dirinya.

Faktor yang mungkin terpenting dalam membangkitkan minat adalah

pemberian kesempatan bagi siswa untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan

belajar. Seiring dengan pengalaman belajar yang menimbulkan kebahagian,

minat anak akan terus tumbuh. Apabila anak memperoleh keterikatan kepada

kegaiatan-kegiatan dari pelajaran yang dialaminya, ia akan merasa senang. Oleh

karena itu minat terhadap pelajaran harus ditimbulkan didalam diri anak,

sehingga anak terdorong untuk mempelajari berbagai ilmu yang ada di kurikulum

sekolah.
35

Menurut Gagne, anak dengan minat dalam suatu mata pelajaran cenderung

untuk memberikan perhatiannya. Mereka merasakan adanya perbedaan antara

pelajaran satu dengan pelajaran lainnya. Perbedaan yang dirasakan adalah belajar

dengan penuh kesadaran, belajar dengan keras dan memperoleh kepuasan tinggi,

(Margaret E. Bell Gredler, 2006:187).

Pendapat senada juga dikemukakan Crow dan Crow. Menurut mereka minat

yang telah disadari terhadap bidang pelajaran mungkin sekali akan menjaga

pikiran anak sehingga dapat menguasai pelajaran. Pada gilirannya prestasi yang

dicapai akan menambah minatnya yang bisa berlanjut sepanjang hayatnya, (Ivor.

K. Davies, 1992-1993:40).

Berdasarkan uraian ketiga pendapat ketiga pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa minat anak terhadap mata pelajaran memperbesar peluang

hasil belajarnya. Selain itu dengan minatnya anak akan lebih menyukai bidang

pelajaran di sekolah. Dengan demikian minat belajar siswa terhadap mata

pelajaran Sejarah adalah suatu kesukaan terhadap kegiatan-kegiatan dari suatu

bidang pelajaran di sekolah.

Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang disarikan dari berbagai ahli, maka

untuk kepentingan minat belajar siswa terhadap mata pelajaran Sejarah dapat

disimpulkan bahwa minat merupakan suatu faktor yang berasal dari dalam diri

manusia dan berfungsi sebagai pendorong dalam berbuat sesuatu yang akan

terlihat pada indikator “dorongan dari dalam”, “rasa senang”, “memberi

perhatian” dan “berperan serta dalam kegiatan”.


36

D. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh metode resitasi & metode kooperatif terhadap hasil belajar

Pada metode pembelajaran kooperatif siswa ditempatkan pada kelompok-

kelompok kecil yang memiliki sifat pembawaan yang berbeda-beda karena

perbedaan yang memungkinkan mereka untuk saling berinteraksi. Interaksi ini

dapat dalam bentuk diskusi dan saling membantu dan memahami materi

pelajaran sedangkan bagi siswa yang sudah mengerti akan lebih menguasainya.

Pembelajaran kooperatif dapat menjadi metode pembelajaran yang efektif akan

tetapi metode ini tidak dikonstruksikan dengan baik akan menimbulkan efek

yaitu suatu kondisi dimana beberapa anggota kelompok mengerjakan semua atau

sebagian pekerja dalam pembelajaran sedangkan yang lainnya jalan terus, tidak

melakukan aktifitas. Artinya, aktifitas belajar hanya dilakukan untuk sebagian

anggota kelompok saja. Kondisi ini dapat mengurangi hasil maksimal dari

pembelajaran kooperatif. Akan tetapi, kondisi tersebut dapat diminimalisir jika

guru dapat meyakinkan siswa bahwa mereka masing-masing memiliki tanggung

jawab individu selama pembelajaran berlangsung.

Sedangkan metode resitasi adalah proses pembelajaran dimana seorang guru

memberikan tugas-tugas tertentu kepada siswa yang akan dikerjakannya di dalam

maupun di luar jam sekolah dan kemudian tugas tersebut akan

dipertanggungjawab dihadapan guru. Kelebihan metode resitasi adalah dapat

mengintegrasikan hasil belajar siswa dengan pengalaman belajar, sehingga

terbentuk pemahaman belajar dalam kategori Long time memory. Di samping


37

berbagai kelebihannya, metode resitasi juga memiliki beberapa kekurangan salah

satu yang menonjol adalah sulitnya untuk melakukan kontrol terhadap siswa

terutama untuk tugas yang dikerjakan di rumah. Dimana kenyataan bahwa siswa

menyelesaikan tugasnya secara mandiri atau dengan bisa dimaksimalkan jika

hubungan komunikasi antara guru dan orang tua terjalin baik.

Jika menelusuri kedua metode pembelajaran di atas, baik sisi kelebihan

maupun kelemahan masing-masing maka perbandingan akan lebih

mengunggulkan metode kooperatif daripada metode resitasi. Asumsi ini

didasarkan kepada argumen bahwa pada metode kooperatif tipe STAD ada

penghargaan bagi kelompok yang didapat dari usaha individu setiap anggota

kelompok. Agar kelompoknya mendapat prestasi terbaik. Masing-masing

individu anggota kelompok akan termotivasi untuk memahami materi pada

kegiatan belajar kelompok agar pada saat mengerjakan tes individu mereka tidak

menemui kesulitan dan mendapat nilai yang optimal. Nilai ini akan dijadikan

bagian dari nilai kelompok mereka. Sehingga dalam metode kooperatif tipe

STAD ini siswa memiliki tanggung jawab individu sekaligus tanggung jawab

kelompok untuk mendapatkan nilai maksimal. Sehingga dalam tes akan

mengukur hasil belajar, siswa yang melalui proses metode kooperatif

mendapatkan hasil yang lebih baik secara rata-rata dibandingkan dengan siswa

yang mendapatkan perlakuan dengan metode resitasi.


38

2. Pengaruh antara pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi

dan metode kooperatif bagi siswa yang memiliki minat belajar tinggi

terhadap hasil belajar sejarah

Bagi siswa yang memiliki minat tinggi cenderung lebih bersifat berani

menghadapi guru dalam hal materi dan tes sehingga mereka lebih kreatif dan

inovatif. Mereka lebih agresif untuk menunjukkan kompetensinya dengan

memperlihatkan kemampuan untuk menerapkan keterampilan kompetensinya

diri. Intensitas minat siswa yang tinggi mengakibatkan siswa senantiasa dinamis

dalam berpikir.

Pada metode pembelajaran kooperatif siswa ditempatkan pada kelompok-

kelompok kecil yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi. Interaksi ini

dapat dalam diskusi dan saling membantu dan memahami materi pelajaran

sedangkan bagi yang sudah mengerti akan lebih menguasainya. Metode

kooperatif tipe STAD ada penghargaan bagi kelompok yang didapat dari usaha

individu setiap anggota kelompok. Agar kelompoknya mendapat prestasi terbaik.

Masing-masing individu anggota kelompok akan termotivasi untuk memahami

materi pada kegiatan belajar kelompok agar pada saat mengerjakan tes individu

mereka tidak menemui kesulitan dan mendapat nilai yang optimal. Nilai ini akan

dijadikan bagian dari nilai kelompok mereka. Sehingga dalam metode kooperatif

tipe STAD ini siswa memiliki tanggung jawab individu sekaligus tanggung

jawab kelompok untuk mendapatkan nilai maksimal. Sehingga dalam tes akan

mengukur hasil belajar, siswa yang melalui proses metode kooperatif

mendapatkan hasil yang lebih baik.


39

Metode resitasi adalah proses pembelajaran dimana guru memberikan tugas

kepada siswa untuk diselesaikan di luar jam sekolah, yang kemudian untuk

dipertanggung-jawabkan dihadapan guru. Dalam metode resitasi tidak

diharuskan untuk merespon masalah secara cepat, diberikan interval waktu dalam

menyelesaikan tugas tersebut. Kelebihan metode resitasi yaitu tersedianya waktu

untuk pemecahan masalah sehingga lebih mematangkan hasil yang dicapai.

Jika melihat perbedaan pengaruh antara metode kooperatif dengan metode

resitasi bagi siswa yang memiliki minat belajar tinggi terhadap pencapaian hasil

belajar sejarah maka diduga bahwa hasil belajar sejarah siswa yang mempunyai

minat belajar tinggi apabila diberikan pembelajaran dengan metode kooperatif

kelompok akan lebih dibandingkan dengan metode resitasi. Asumsi ini

berdasarkan argumen bahwa siswa berminat tinggi yang cenderung kreatif dan

dinamis akan senang dengan metode kooperatif karena siswa tidak harus

mengalami pengalaman belajar yang membosankan dan merasa jenuh. Metode

kooperatif memiliki beberapa tahapan belajar pada setiap materi pelajaran. Mulai

dari mendengarkan penjelasan guru, mendiskusikan pekerjaan kelompok

kemudian mengerjakan tes individu. Dengan tahapan ini siswa aktif setiap saat

sehingga kejenuhan hilang dan timbul motivasi untuk belajar semangat.

Dibandingkan dengan metode resitasi, metode kooperatif mampu mengimbangi

kondisi jiwa siswa dengan minat tinggi.

Metode resitasi tidak berarti tidak baik untuk siswa yang memiliki minat

belajar tinggi. Hanya saja dari segi efektivitas pencapaian Long Time Memory

serta singkronisasi kecenderungan karakter dengan perlakuan metode


40

pembelajaran, kooperatif lebih tepat dari daripada resitasi. Siswa dengan minat

tinggi cenderung dinamis akan lebih senang dengan metode kooperatif dan

menghendaki pengalaman belajar yang bisa memotivasi belajar ketimbang

metode resitasi yang memberikan waktu yang lama.

3. Pengaruh antara pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi

dan metode kooperatif bagi siswa yang memiliki minat belajar rendah

terhadap hasil belajar sejarah

Siswa yang mempunyai minat rendah dalam melakukan kegiatan belajarnya

akan cenderung lebih bersifat menunggu, tidak inovatif, tidak partisipatif serta

kurang member perhatian. Mereka lebih bersifat pasif dan tidak menunjukkan

kemampuannya. Oleh karena itu siswa tersebut perlu diberikan rangsangan untuk

membangkitkan minatnya.

Desain pembelajaran yang menjadi rangsangan bagi siswa yang memiliki

minat belajar rendah harus mempertimbangkan kondisi psikis siswa tersebut.

Metode kooperatif sebagi salah satu metode dengan berbagai kelebihan dan

kelemahan yang dimiliki merupakan metode alternatif yang dapat memicu

semangat belajar siswa. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa

tuntutan kecepatan menyerap pelajaran akan sulit diikuti oleh siswa yang

berminat rendah. Sehingga, hanya siswa tertentu saja yang bersemangat tinggi

mengikuti metode tersebut. Untuk itu diperlukan metode alternatif yang lebih

cocok bagi siswa berminat rendah.


41

Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan

pembebanan terhadap siswa yang disertai dengan pemberian waktu yang cukup.

Dalam proses pembelajaran resitasi, dapat kita lihat adanya pembebanan guru

terhadap siswa untuk meminta mengerjakkan sesuatu dengan sebuah

konsekwensi. Pembebanan yang dimaksud bukan untuk mempengaruhi tingkat

kecemasan siswa, melainkan ditujukan untuk menumbuhkan perhatian, sehingga

diharapkan dapat merangsang minat belajar siswa. Dengan demikian maka

diduga bahwa hasil belajar rendah apabila diberikan pembelajaran dengan

metode resitasi akan lebih baik dibandingkan dengan metode kooperatif.

4. Pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan minat belajar

siswa terhadap hasil belajar sejarah

Untuk meningkatkan hasil belajar sejarah diperlukan metode pembelajaran

yang cocok sehingga terjadi suatu interaksi antara guru dengan siswa. Siswa

yang mempunyai minat belajar tinggi akan lebih memberikan perhatian terhadap

belajar dan senantiasa akan berpratisipasi dalam setiap kesempatan interaksi

sehingga lebih kreatif dan inovatif. Mereka sangat agresif dalam nenunjukkan

kemampuannya. Daya kompetitif yang dimiliki sangat tinggi, sehingga

dinamisasi belajar terjadi dengan cepat. Kemampuan mereka yang terpicu oleh

minat belajar tersebut tidak akan terpola dengan baik jika perlakuan

pembelajaran menggunakan metode yang ritme belajarnya lambat.


42

Sedangkan bagi siswa yang memiliki minat belajar rendah selalu merasa

tidak senang untuk belajar, kurang memberikan perhatian serta tidak partisipatif

dalam setiap kesempatan interaksi sehingga cenderung untuk bersifat statis dan

tidak inovatif. Mereka akan senantiasa pasif dan hampir tidak menunjukkan

kemampuannya. Kebanyakan aktivitas dilakukan dengan tidak sepenuh hati serta

dengan perasaan terpaksa. Jika kegiatan itu tidak memberikan pengaruh maupun

beban secara langsung, mereka akan memilih tidak untuk tidak melakukannya.

oleh sebab itu dibutuhkan beban riil yang secara langsung dirasakan mereka

dengan penyediaan waktu yang cukup untuk menumbuhkan rasa senang atau

menarik perhatian mereka untuk belajar

Kedua metode pembelajaran yang menjadi perlakuan dalam penelitian ini

pada dasarnya merupakan metode yang sangat baik, meskipun keduanya

memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka dari itu dapat

disimpulkan bahwa tidak satu metode pembelajaran pun yang cocok diterapkan

dalam segala situasi, atau dengan kata lain bahwa tidak ada metode pembelajaran

yang terbaik dari sekian banyak metode pembelajaran yang ada. Keberhasilan

suatu metode pembelajaran tidak terlepas dari karakteristik siswa yang dikenai

perlakuan. Salah satu karakter siswa yang sangat mempengaruhi siswa dalam

pencapaian hasil belajar adalah minat terhadap mata pelajaran.

Bagi siswa yang memiliki minat belajar tinggi diduga akan lebih baik

pengaruhnya apabila metode pembelajaran kooperatif dibandingkan dengan

metode resitasi dalam meningkatkan hasil belajar sejarah. Sedangkan bagi siswa

yang mempunyai minat belajar rendah diduga akan lebih terpengaruhnya


43

terhadap hasil belajar sejarah apabila perlakuan dengan metode resitasi

dibandingkan dengan tidak menggunakan metode resitasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diduga terdapat interaksi antara

metode pembelajaran dan minat belajar terhadap hasil belajar sejarah.

E. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh metode pembelajaran resitasi & metode kooperatif

terhadap hasil belajar sejarah.

2. Terdapat pengaruh minat belajar tinggi & minat rendah belajar terhadap

hasil belajar sejarah.

3. Terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan minat belajar terhadap

hasil belajar sejarah.


44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada siswa kelas XII Sekolah Persamaan

SMA PKBM Negeri 03 Kelurahan Cilincing Jakarta Utara. Hal ini

didasarkan atas pertimbangan bahwa fenomena hasil belajar sejarah pada

siswa sekolah persamaan SMA Jakarta Utara sangat rendah.

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, tahap pertama dilakukan

penelitian pendahuluan yaitu mengumpulkan data terkait dengan jumlah

populasi dan jumlah sampel yang akan dijadikan obyek penelitian.

Tahap kedua, melakukan uji eksperimen metode pembelajaran

Resitasi dan uji coba instrumen dan tahap ketiga, pengambilan data secara

keseluruhan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan Januari 2011

sampai dengan bulan Juli 2011.

Rencana kegiatan penelitian yang terdiri dari (1). Kegiatan

persiapan antara lain mengurus ijin, menyususn proposal, bimbingan

proposal, penyusunan instrument, (2). Pelaksanaan yaitu pengujian

instrument, pengumpulan data, analisi data, (3). Penyelesaian yaitu

penulisan laporan, bimbingan tesis, revisi & editing, siding tesis. Uraian

perencanaan kegiatan dapat dilihat pada tablel 3.1


45

Tabel 3.1 Perencanaan Kegiatan Penelitian


Waktu Pelaksanaan Tahun 2011
No. Kegiatan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt

Persiapan Penelitian

1.1. Mengurus Ijin

1 1.2. Penyusunan Proposal

1.3. Bimbingan Proposal

1.4. Penyusunan Instrumen

Pelaksanaan Penelitian

2.1. Pengujian Instrumen


2
2.2. Pengumpulan Data

2.3. Analisis Data

Penyelesaian Penelitian

3.1. Penulisan Laporan

3 3.2. Bimbingan Tesis

3.3. Revisi / Editing

3.4. Sidang Tesis

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode eksperimen

kausal dengan mencari korelasi antar variabel. Teknik ini dipilih karena penelitian

ini berusaha mencari hubungan sebab akibat antar variabel yang kemungkinan

terjadi. Menurut Kerlinger (2004:664), penelitian eksperimen mengkaji populasi

yang besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang

diambil dari populasi, sehingga ditemukan insidensi, distribusi dan interelasi

relatif dari variabel-variabel sosiologis maupun psikologis. Sedangkan

Sukmadinata (2005:82), menyatakan bahwa eksperimen digunakan untuk


46

mengumpulkan data atau informasi tentang populasi yang besar dengan

menggunakan sampel yang relatif kecil. Eksperimen digunakan untuk mengetahui

gambaran yang umum tentang karakteristik populasi.

Dalam penelitian ini ada tiga variabel yang dijadikan objek penelitian

antara lain variabel eksogenus yaitu metode pembelajaran dengan

(resitasi/kooperatif) dan minat siswa terhadap sejarah dan variabel endogenus

yaitu hasil belajar Sejarah.

Rancangan Eksperimen Faktorial 2X2

Metode Metode Metode


Pembelajaran (A) Resitasi (A1) Kooperatif (A2)
Minat
Belajar Tinggi (B)

Minat Belajar Tinggi


A1B1 A2B1
(B1)

Minat Belajar Rendah


A1B2 A2B2
(B2)
Tabel 3.2 Rancangan factorial objek penelitian eksperimen

Keterangan:
A = Metode Pembelajaran

A1 = Metode Pembelajaran Resitasi

A2 = Metode Pembelajaran Kooperatif

B = Minat Belajar

B1 = Minat Belajar Tinggi

B2 = Minat Belajar Rendah


47

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

a. Populasi Target

Menurut Nazir (1988:325), populasi adalah kumpulan dari individu

dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan dan menjadi perhatian

dalam ruangan dan waktu yang ditentukan. Menurut Singarimbun

(2004:108), Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang

ciri-cirinya akan diduga. Dari beberapa teori di atas maka yang dimaksud

dengan populasi adalah jumlah atau kesatuan individu yang memiliki

karakteristik tertentu yang dijadikan obyek kajian penelitian, sedangkan

sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jadi dalam

penelitian ini yang menjadi populasi target adalah seluruh siswa kelas XII

Sekolah Persamaan SMA PKBM Negeri 03 Kelurahan Cilincing Jakarta

Utara.

b. Sampel

Berdasarkan kutipan dari Arikunto (1998:115), Sampel merupakan

sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Dari hal tersebut maka

peneliti memilih sampel dari kelas XII Sekolah Persamaan SMA PKBM

Negeri 03 Kelurahan Cilincing Jakarta Utara, yang terdiri dari 2 kelas

sampel, satu kelas diajar dengan Resitasi, dan satu kelas diajar dengan

Kooperatif, dari resitasi diambil 20 siswa berminat positif, dan 20 siswa


48

berminat negatif, dan demikian pula untuk Metode pengajaran Kooperatif,

diambil 20 berminat positif dan 20 berminat negatif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara

Multistage Random Sampling (sampel bertahap ganda), menurut

Singarimbun yaitu "Pengambilan sampel dilakukan melalui tahap-tahap

tertentu”.

Untuk menentukan jumlah sampel tidak ada ketentuan yang baku,

tetapi ada beberapa rujukan yang dapat dijadikan masukan seperti yang

dikemukakan Arikunto (2004:120), Menurutnya sebagai acuan, bila

subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga

penelitianya merupakan penelitian populasi, selanjutnya bila jumlah

subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih”

Langkah-langkah dalam pengambilan sampel :

a. Mencatat Jumlah seluruh siswa XII Sekolah Persamaan SMA PKBM

Negeri 03 Kelurahan Cilincing Jakarta Utara.

b. Menentukan kelas penelitian yaitu 2 kelas, yakni terpilih kelas XIIc

dan XIId.

c. Menentukan kelas uji coba instrumen untuk dipakai mencari validitas

dan reabilitas instrument dengan kelas eksternal.


49

d. Memilah sampel untuk siswa yang diajar resistasi masing-masing 20

siswa berminat positif dan 20 berminat negatif, demikian juga dengan

pengajaran kooperatif.

Semua siswa yang terpilih sebagai kelas penelitian diberikan kuesioner untuk

diukur minat mereka terhadap pelajaran Sejarah dengan menggunakan skala

Likert.

Tabel 3.3 Langkah – Langkah Pengambilan Sampel

NO KELAS LANGKAH 1 LANGKAH II JUMLAH


MENGAMBIL 4 KELAS (TWO SAMPEL
(ONE STAGE) STAGE)

01 Kelas XIII.a 19 1 20

02 Kelas XIII.b 18 2 20

03 Kelas XIII.c 20 0 20

04 Kelas XIII.d 20 0 20

Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka terdapat empat


kelompok yang terdiri dari:

1. Kelompok siswa dengan metode resitasi dan berminat positif terhadap

Sejarah diambil 20 siswa.

2. Kelompok siswa dengan resitasi dan berminat negatif terhadap Sejarah

diambil 20 siswa.

3. Kelompok siswa dengan kooperatif dan berminat positif terhadap

Sejarah diambil 20 siswa.


50

4. Kelompok siswa dengan kooperatif dan berminat negatif terhadap

Sejarah diambil 20 siswa.

E. Variabel Penelitian

Variabel yang ada pada penelitian ini terdiri dari satu variabel diskrit, yaitu

metode pembelajaran resitasi dan kooperatif, dua variabel interval (minat dan

hasil belajar Sejarah). Selanjutnya untuk variabel interval untuk minat diubah

menjadi variabel diskrit yaitu positif dan negatif.

Sedangkan jika dilihat dari cara pengambilan datanya maka variabel tersebut

dibagi menjadi dua yaitu :

1. Variabel Bebas : Minat dan Metode pembelajaran.

2. Variabel Terikat : Hasil belajar Sejarah siswa.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian memegang peranan yang penting dalam suatu

penelitian. Instrumen penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian.

Karena data yang dikumpulkan melalui instrumen yang akan digunakan dalam

menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian.

Djaali dan Muljono (2004:7), menyatakan bahwa dalam bidang penelitian

instrumen diartikan sebagai alat dalam mengumpulkan data mengenai variabel-

variabel penelitian untuk kebutuhan penelitian. Sedangkan dalam bidang

pendidikan, instrumen digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, faktor-


51

faktor yang diduga mempunyai hubungan atau pengaruh terhadap hasil belajar,

perkembangan hasil belajar siswa, keberhasilan proses pembelajaran di sekolah

dan keberhasilan pencapaian suatu program.

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari instrumen hasil belajar sejarah

Bentuk instrumen hasil belajar sejarah adalah tes sedangkan instrumen Metode

pembelajaran dilakukan oleh peneliti dan teman. Adapun untuk instrumen minat

dipakai angket atau kuisioner.

1. Instrumen Hasil Belajar Sejarah

Instrumen yang digunakan dalam menjaring data hasil belajar Sejarah

dalam bentuk pilihan ganda dengan 5 (lima) pilihan jawaban. Dalam penelitian

ini, peneliti membatasi pokok pembahasan materi mata pelajaran Sejarah yang

diujikan pada tahun sebelumnya.

a. Definisi Konseptual

Hasil belajar Sejarah adalah perubahan dalam kognitif peserta didik yang

ditunjukkan melalui skor atau nilai yang diperoleh dari tes pada mata pelajaran

sejarah. Tes yang diberikan dalam mengukur hasil belajar ranah kognitif peserta

didik dalam penelitian ini hanya mengukur aspek pengetahuan (knowledge),

pemahaman (comprehension) dan aplikasi (application).


52

b. Definisi Opersional

Hasil belajar Sejarah adalah skor total yang diperoleh peserta didik dari

pengukuran atau tes pada mata pelajaran sejarah. Tes ini hanya mengukur aspek

pengetahuan (C1), pemahaman (C2) dan aplikasi (C3).

2. Instrumen Metode Pembelajaran

a. Definisi Konseptual

Metode pembelajaran adalah tata cara guru dalam menyampaikan materi

pelajaran sejarah didalam kelas, dilihat dari suasana kelas.

b. Definisi Opersional

Metode pembelajaran adalah runtutan langkah-langkah yang diambil oleh

guru dalam menyampaikan metode yang dipilih. Dalam hal ini metode resitasi

ditekankan pada pemberian tugas, sedangkan metode kooperatif yaitu metode

dengan menghadirkan tutorial teman sebaya.

3. Instrumen Minat Siswa Terhadap Sejarah

a. Definisi Konseptual

Minat Terhadap Sejarah adalah keyakinan, perasaan, dan kecenderungan

siswa untuk bertindak yang menghasilkan penilaian dan perasaan baik positif
53

maupun negatif setelah mengikuti atau menerima materi pembelajaran dalam

proses belajar mengajar.

b. Definisi Operasional

Minat Terhadap Sejarah adalah skor total yang diperoleh siswa dalam

menjawab pertanyaan butir soal dari pengembangan kisi-kisi minat

terhadap Sejarah yang dapat diukur melalui :

(1) Tujuan mempelajari Sejarah.

(2) Manfaat Sejarah dalam kehidupan sehari-hari.

(3) Perhatian terhadap pelajaran Sejarah.

(4) Kebutuhan akan pengetahuan Sejarah.

(5) Keingintahuan tentang Sejarah.

(6) Aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan Sejarah.

c. Skala pengukuran

Adalah interval kemudian diubah menjadi skala nominal dengan

dua kategori yaitu minat positif dan negatif, siswa yang memperoleh skor

di atas atau sama dengan mean termasuk dalam kategori positif, sedangkan

siswa yang memperoleh skor di bawah mean termasuk dalam kategori

negatif.
54

d. Kisi-kisi Instrumen dan Skala Penilaian Minat terhadap Sejarah

Pernyataan-pernyataan dalam mengukur minat terhadap Sejarah yang

diberikan kepada siswa menggunakan skala likert dengan alternatif pilihan

dan skala penilaian untuk pernyataan positif sebagai berikut :

SS (Sangat Setuju) = 5

S (Setuju) = 4

R (Ragu-ragu) = 3

TS (Tidak Setuju) = 2

STS (Sangat Tidak Setuju) = 1

Sebaliknya untuk pernyataan negatif adalah :

SS (Sangat Setuju) = 1

S (Setuju) = 2

R (Ragu-ragu) = 3

TS (Tidak Setuju) = 4

STS (Sangat Tidak Setuju) = 5


55

Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Minat terhadap Sejarah

No. Butir Pernyataan


Dimensi Indikator
+ - Σ

Pengetahuan Dasar tentang sejarah 1 3 2

Kebutuhan Terhadap pengetahuan sejarah 2 5 2


Kognisi
Pengetahuan Manfaat sejarah 4 6 2

Adanya tujuan yang ingin dicapai dalam belajar sejarah 10 11 2

Keinginan untuk sukses 13 14 2

Afeksi Senang berkompetisi 7 8 2

Umpan balik atas aktifitas yang dilakukan 20 19 2

Kesungguhan dalam belajar 9 12 2

Konasi Keuletan dalam menghadapi kesulitan belajar 15 16 2

Kepatuhan dalam melaksanakan tugas 12 17 2

10 10 20

4. Kalibrasi Instrumen

a. Kalibrasi Hasil Belajar Sejarah

Uji coba tes hasil belajar Sejarah dilakukan pada populasi melalui

pelaksanaan ulangan harian terhadap sejumlah 80 responden. Uji coba

dilaksanakan pada semester ganjil yaitu pada tanggal 2 Desember 2010 secara

serentak. Pengambilan sampel uji coba dilakukan secara acak dengan tidak

memperhatikan nama atau kelas, tetapi hanya mengambil sejumlah 80 lembar


56

jawaban dari sekolah tempat penelitian. Waktu pelaksanaan uji coba 120 menit,

jumlah tes 50 butir dan bentuk tes pilihan ganda. Penentuan waktu 120 menit

adalah hasil diskusi dengan para guru di sekolah yang terpilih dan sesuai dengan

lazimnya waktu ujian atau ulangan umum bersama.

Pengujian instrumen untuk Variabel Hasil Belajar Sejarah menggunakan

korelasi Point biserial untuk mengukur Validitas dari masing-masing butir,

sedangkan untuk mengukur reliabilitasnya digunakan korelasi Product Moment.

Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengukur apa yang

hendak diukur. Instrumen yang valid apabila memiliki koefisien validitas yang

tinggi, sebaliknya instrumen yang tidak atau kurang valid memiliki koefisien

validitas yang rendah. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian validitas hanya

pada validitas isi (content validity).

Validitas isi berkenaan dengan seberapa jauh suatu tes mengukur tingkat

penguasaan materi tertentu yang seharusnya dikuasai sesuai dengan tujuan

pembelajaran.

Menurut Surapranata (2004:52), validitas isi sering pula dinamakan

validitas kurikulum yang mengandung pengertian bahwa suatu alat ukur

dipandang valid apabila sesuai dengan isi kurikulum yang hendak diukur. Salah

satu cara untuk memperoleh validitas isi dengan melihat soal-soal yang

membentuk tes itu. Menurut Guin seperti dikutip Surapranata, validitas isi hanya

dapat ditentukan berdasarkan rational judgment. Prosedur yang dapat digunakan

antara lain:
57

1) Mendefinisikan domain yang hendak diukur.

2) Menentukan domain yang akan diukur oleh masing-masing soal.

3) Membandingkan masing-masing domain soal dengan domain yang sudah

ditetapkan.

Validitas konstruksi berkenaan dengan seberapa jauh item-item tes dapat

mengukur apa yang benar-benar diukur sesuai dengan konstruk atau konsep

khusus atau definisi konseptual yang telah ditetapkan.

Validitas konstruk biasa digunakan untuk instrument-instrumen yang

dimaksud untuk mengukur variabel konsep seperti: minat, konsep diri, lokus

control, gaya kepemimpinan, motivasi berprestasi dan sebagainya. Untuk

menentukan validitas ini dengan melakukan telaah teoritis terhadap suatu konsep

dari variabel yang akan diukur, dimulai dari perumusan konstruk, penentuan

dimensi dan indikator sampai dengan penjabaran dan penulisan item-item

instrument. Pengujian validitas ini dilakukan melalui justifikasi pakar atau yang

menguasai substansi dari variabel yang akan diukur.

Sedangkan validitas empiris suatu intrumen atau tes ditentukan

berdasarkan data hasil ukur instrumen yang bersangkutan, baik melalui uji coba

atau melalui tes yang sesungguhnya. Validitas ini diartikan sebagai validitas yang

ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria internal maupun kriteria eksternal.

Kriteria internal adalah tes atau instrumen itu sendiri yang menjadi kriteria.

Sedangkan kriteria eksternal hasil ukur instrument atau tes lain diluar tes itu yang

menjadi kriteria. Dalam penelitian ini menggunakan kriteria internal, yaitu skor
58

total instrumen itu sendiri yang dijadikan kriteria dengan mengkorelasikan setiap

item yang dicari koefisien validitasnya dengan skor totalnya.

Dalam penelitian ini, pengujian validitas isi dilakukan untuk instrumen

hasil belajar sejarah. Sedangkan pengujian validitas konstruk dilakukan untuk

intrumen minat siswa. Adapun penelaah atau justifikasi dalam pengujian validitas

isi dan konstruk dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing tesis yaitu DR. H.

Suparman, IA, M.Sc dan Drs. Taufik, M.Hum.

Sedangkan pengujian validitas empiris untuk instrumen hasil belajar

Sejarah dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment. Adapun rumus itu

sebagai berikut:

n.  xy   x.  y
rxy 
n  x 2

 ( x) 2 n  y 2  ( y ) 2 

Keterangan:

rxy = Koefisien Product Moment

X = Nilai siswa uji coba

Y = Nilai prediksi

Reliabilitas merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukan sejauh mana

suatu hasil pengukuran relatif konsisten bila alat ukur digunakan berulang kali.

Dalam arti instrumen atau alat ukur tersebut jika digunakan untuk mengukur

obyek yang sama secara berulang-ulang akan menghasilkan data yang sama.

Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dengan internal consistency, yaitu


59

pengujian reliabilitas dengan cara mencobakan instrumen hanya sekali saja,

kemudian data dianalisis dengan teknik tertentu.

Sedangkan pengujian reliabilitas untuk instrumen hasil belajar Sejarah dan

Minat siswa terhadap Sejarah. Menggunakan rumus Flanagan yaitu:

K   Si 
2

R11   1  
K  1  S t2 

Keterangan:

R11 = Koefisien reliabilitas instrumen

K = Banyaknya item

S i2 = Varian Item

S t2 = Varian skor total

Analisis tingkat kesukaran soal bertujuan untuk mengetahui apakah item

termasuk dalam kategori susah, sedang atau mudah. Indeks kesukaran item

merupakan rasio antara penjawab item dengan benar dan banyaknya penjawab

item. (Saifudin Azwar, 2005:134). Dengan adanya analisa soal akan memberikan

informasi tentang kejelekan sebuah item dan petunjuk untuk mengadakan

perbaikan. Item yang baik adalah item yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu

sukar. Item yang terlalu mudah tidak memberikan rangsangan bagi seseorang

untuk mempertinggi dalam usaha memecahkannya, dan sebaliknya item yang

terlalu susah akan menyebabkan keputus-asaan dan tidak memiliki semangat

seseorang untuk mencoba mengerjakan kembali karena soal yang ada di luar
60

jangkauannya. (Suharsini Arikunto, 1993:21), Soal yang baik memiliki tiga

variasi taraf kesukaran yaitu: soal mudah sebesar 25 %, soal sedang 50% dan soal

sukar 25% dengan perbandingannya:

mudah : sedang : sukar = 1 : 2 : 1

Indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 3.5 Kategori kesukaran soal

Nilai P Kategori

P < 0,3 Sukar

0,3 < P < 0,7 Sedang

P > 0,7 Mudah

Adapun formula atau rumus untuk menghitung indeks kesukaran item

X
sebagai berikut : P
N

Keterangan:
P = Indeks kesukaran item
X = Jumlah responden yang menjawab benar
N = Jumlah keseluruhan responden yang mengikuti tes

Daya pembeda item (indeks diskriminasi) merupakan kemampuan sesuatu soal

untuk dapat membedakan seseorang yang berkemampuan tinggi atau pandai

dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah atau di bawah normal atau tidak

pandai. Indeks diskriminasi atau angka yang menunjukan besarnya daya pembeda
61

item berkisar antara 0,00 sampai dengan 1,00. Adapun kriteria suatu item di

terima atau di tolak berdasarkan indeks pembeda item.

Diskriminasi negatif tidak terpakai. Untuk menghitung daya pembeda item,

pertama tama nilai peserta atau seluruh pengikut tes dikelompokkan menjadi dua

kelompok yaitu kelompok pandai atau kelompok atas yang memiliki nilai tes

tinggi dan kelompok tidak pandai atau kelompok bawah yang memiliki nilai

rendah. Karena dalam penelitian ini peserta tes berjumlah lebih dari 100, maka

dari kelompok testee yang digunakan data, yaitu 27% kelompok atas dan 27%

kelompok bawah. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi

dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

BA BB
D =
JA JB

Keterangan:
- D = Indeks daya pembeda item
- JA = Banyaknya peserta kelompok atas
- JB = Banyaknya peserta kelompok bawah
- BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab item benar
- BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab item benar

Pola jawaban item merupakan distribusi testee dalam hal menentukan

pilihan jawaban pada item bentuk pilihan ganda atau multiple choice test. Pola

jawaban item ini dapat diperoleh dengan menghitung banyaknya testee yang

memilih pilihan jawaban a, b, c, d atau e yang tidak memilih pilihan manapun

yang disebut omit (O).


62

Dari pola jawaban item akan dapat ditentukan apakah pengecoh atau

distractor berfungsi dengan baik atau tidak. Pengecoh yang tidak dipilih sama

sekali oleh peserta tes atau testee berarti pengecoh tersebut jelek dan terlalu

menyolok dan menyesatkan.

Dalam pengembangan instrumen penelitian ini, untuk instrumen hasil

belajar Sejarah uji normalitasnya dianalisis dengan menggunakan program

komputer SPSS versi 18.

b. Kalibrasi Instrumen Minat Siswa Terhadap Sejarah

Proses pengembangan Instrumen minat siswa terhadap Sejarah dimulai

dengan penyusunan instrumen berbentuk skala likert sebanyak 25 butir mengacu

pada indikator-indikator dari variabel instrumen minat terhadap Sejarah. Proses

validasi dilakukan dengan menganalisa data hasil uji coba instrumen yaitu

validitas butir dengan menggunakan Product Moment dan reliabilitas dengan

menggunakan rumus Alpha Cronbach. Menurut Masrun dalam Sugiyono, syarat

minimum suatu butir dianggap valid bila nilai r ≥ 0.3 (nol koma tiga). Dari

kalibrasi yang diuji cobakan didapat 20 butir soal yang valid.


63

G. Teknik Analisis Data

Sebelum data mentah dianalisa dengan menggunakan kalkulator atau dengan

menggunakan perangkat komputer melalui program ITEMAN maka perlu

dijelaskan langkah atau tahap untuk mendapatkan data dari sampel sebagai

berikut.

1. Tahap Pembuatan Instrumen

Pada tahap ini dipersiapkan satu perangkat kuesioner (non tes) untuk

mendapatkan data mengenai variabel minat terhadap dan satu perangkat lagi

berupa tes hasil belajar yang mencakup materi sejarah.

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Data

Uji Validitas dan Relialibilitas data digunakan untuk mengetahui tingkat

valid dan reliabelnya suatu data sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan

sebagai data mentah yang selanjutnya dapat dianalisis dengan menggunakan

statistic inferensial, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis data sampel

dan hasilnya diberlakukan untuk populasi.

3. Teknik Analisa Deskriptif.

Untuk melakukan uji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan tahap-

tahap analisis deskriptif yaitu sebagai berikut: yang meliputi rentang, banyak

kelas Interval, panjang interval, daftar distribusi frekuensi perhitungan rata-rata,

median, modus, varians, standar deviasi, range, skor maksimun dan minimum,

pembuatan distribusi frekuensi, dan histogram dari setiap variabel. Hal-hal


64

tersebut dinamakan dengan analisis deskriptif. Adapun rumus untuk penghitungan

rata-rata adalah sebagai berikut:


x
 fx
f
Keterangan:

Xi = Nilai

fi = Jumlah frekuensi untuk seluruh nilai

Untuk menghitung median dengan cara mengurutkan data dari yang

terendah sampai terkecil dan mengambil nilai tengahnya. Sedangkan nilai modus

dengan melihat nilai yang banyak muncul. Untuk standar deviasi

penghitungannya menggunakan rumus berikut ini:

f (x  x)2
S td 
n

Sedangkan untuk mencari besarnya nilai variansi, merupakan kuadrat dari

standar deviasi. Untuk mencari nilai range (rentangan) dengan menghitung selisih

skor terbesar (maksimum) dengan skor terkecil (minimum).

4. Uji Persyaratan Analisis.

Sesudah analisis deskriftif dilanjutkan dengan uji persyaratan analisis yaitu

uji Normalitas dengan menggunakan (Lilifoers), uji Linieritas (Uji F).


65

a. Uji Normalitas .

Uji Normalitas, dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang dimaksud

berdistribusi normal atau tidak sedangkan pengujian normalitas dipakai adalah

dengan metode Lilifors. Menurut Nana Sudjana, uji normalitas data dilakukan

dengan menggunakan Uji Liliefors (Lo) dilakukan dengan langkah-langkah

berikut. Diawali Uji Normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data

dari masing-masing kelompok berdistribusi dengan penentuan taraf sigifikansi,

yaitu pada taraf signifikasi 5% (0.05) dengan hipotesis yang diajukan adalah

sebagai berikut :

H0 : Sampel berdistribusi normal

H1 : Sampel tidak berdistribusi normal

Dengan kriteria pengujian :

Jika Lhitung < Ltabel terima H0, dan

Jika Lhitung > Ltabel tolak H0

Untuk menerima atau menolak hipotesis nol (H0), dilakukan dengan cara

membandigkan L0 ini dengan nilai L kritis yang terdapat dalam tabel untuk taraf

nyata yang dipilih α = 5%. Untuk mempermudah perhitungan dibuat dalam

bentuk tabel.
66

b. Uji Homogenitas

Salah satu syarat agar data dapat diolah secara anava, ialah harga-harga

varian didalam kelompok bersifat homogen atau bersifat sejenis, teknik yang kami

pakai adalah mencari harga F yang dirumuskan :

Var.Tertinggi
Fmaks 
Var.Terendah

Dimana : Var 
X 2
 ( x ) 2 N
( N  1)

Dengan membandingkan Fmaks dari perhitungan dan F dari tabel maka

dapat ditentukan homogenitas dari data yang ada. Jika Fmaks > F maka data tidak

homogen dan jika F > Fmaks maka data homogen.

5. Hipotesa Statistika

a. Uji Anava Dua Jalur

Hipotesa

1). Ho :  A1   A2
H1 :  A1   A2

Ho : A x B = 0

H1 : A x B  0
67

2). Ho : B  B
1 2

H1 : B  B
1 1

3). Ho : A B  A B
x y x y

H1 : A B  A B
x y x y

Keterangan :

A1 dan A2 = Metode pembelajaran resitasi dan kooperatif.

B1 dan B2 = Minat positif dan negatif siswa terhadap mata pelajaran

Sejarah.

A1B1 = Kelompok siswa dengan resitasi dan berminat positif

terhadap mata pelajaran sejarah.

A1B2 = Kelompok siswa dengan resitasi dan berminat negatif

terhadap mata pelajaran sejarah.

A2B1 = Kelompok siswa dengan kooperatif dan berminat positif

terhadap mata pelajaran sejarah.

A2B2 = Kelompok siswa dengan kooperatif dan berminat negatif

terhadap mata pelajaran sejarah.


68

b. Hipotesa

1) Hasil belajar Sejarah dengan metode resitasi lebih tinggi dari pada

dengan metode kooperatif.

2) Hasil belajar Sejarah dengan siswa yang berminat positif lebih tinggi

dari siswa yang berminat negatif.

3) Hasil belajar Sejarah pada interaksi antara metode pengajaran resitasi

dan minat positif siswa secara interaksi lebih tinggi dari pada metode

kooperatif dan minat rendah.


69

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

1. Skor Hasil Belajar Sejarah Siswa Kelompok A1 (Kelompok Resitasi)

Pengukuran data hasil belajar sejarah menggunakan instrumen tes

objektif bentuk pilihan ganda dengan 5 opsi jawaban (a, b, c, d dan e)

sebanyak 50 butir soal. Masing-masing butir soal benar diberi skor 2 dan

yang salah diberi skor nol, sehingga rentang teoritik perolehan skor

responden adalah 0 sampai dengan 100.

Responden kelompok eksperiment sebanyak 40 siswa yang diajarkan

dengan metode resitasi ( A1 ), memperoleh skor empirik minimum 56 dan

skor maksimum adalah 98. Data kelompok eksperimen ini selengkapnya

disajikan dalam tabel distribusi frekwensi dan grafik histogram. Dengan

rentang skor 42, jumlah kelas 7 dan panjang interval 7 serta ujung bawah

kelas interval pertama sama dengan 56 (skor minimum), diperoleh tabel dan

grafik sebagai berikut:


70

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Sejarah
(Dengan Metode Resitasi)

No. Nilai Frek. Frek. Kum. F. Kum %

1 56 - 62 2 2 5 %

2 63 - 69 6 8 20 %

3 70 - 76 12 20 40 %

4 77 - 83 7 27 23.3 %

5 84 - 90 11 38 36.7 %

6 91 - 97 1 39 3.3 %

7 98 - 104 1 40 3.33 %

Jumlah 40 40

METODE RESITASI
14
12
10
FREKUENSI

8
6
4
2
0
56 - 62 63 - 69 70 - 76 77 - 83 84 - 90 91 - 97 98 - 104
NILAI

Gambar 4.1 Diagram Histogram Hasil Belajar Sejarah Siswa Dengan Resitasi
71

Hasil perhitungan ukuran pusat dan letak serta keragaman skor hasil

belajar Sejarah yang diajar dengan Metode resitasi (kelompok A1 ),

menggunakan Microsoft excel 2007 & SPSS versi 18, diperoleh mean skor

77.65; modus 90.00; median 77; varians 100.49; simpangan baku 10.02.

Berdasarkan data dan fakta tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa hasil

belajar Sejarah dengan metode resitasi dapat dikatagorikan cukup baik dan

variasinya relatif kecil (homogen).

2. Skor Hasil Belajar Sejarah Kelompok A2 (Kelompok Kooperatif).

Dari responden kelompok kooperatif ( A2 ) sebanyak 40 siswa, diperoleh

skor empirik minimum 52 dan skor maksimum adalah 94. Data kelompok

kooperatif ini selengkapnya disajikan dalam tabel distribusi frekwensi dan

grafik histogram. Dengan rentang skor 42, jumlah kelas 7 dan panjang interval

7 serta ujung bawah kelas interval pertama sama dengan 52 (skor minimum),

diperoleh tabel dan grafik sebagai berikut:


72

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Sejarah
(Dengan Metode Kooperatif)

No. Nilai Frek. Frek. Kum. F. Kum %

1 52 - 58 3 3 7.5 %

2 59 - 66 11 14 35 %

3 67 - 74 12 26 65 %

4 75 -82 7 33 82.5 %

5 83- 90 3 36 90 %

6 91 -98 4 40 100 %

Jumlah 40 40

METODE KOOPERATIF
14
12
10
FREKUENSI

8
6
4
2
0
52 - 58 59 - 66 67 - 74 75 -82 83- 90 91 -98
NILAI

Gambar 4.2 Grafik Histogram Hasil Belajar Sejarah Siswa Dengan Kooperatif
73

B. Pengujian Persyaratan Analisis Data

1. Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas terhadap data penelitian menggunakan Uji Liliefors

yang dilakukan secara komputerisasi melalui program Microsoft Excel 2007

& program SPSS versi 18, yang perhitungan dan hasilnya secara lengkap

dapat dilihat pada tabel 4.8 Uji Normalitas dilakukan untuk menguji hipotesis

sebagai berikut:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : Data tidak berasal dari polulasi berdistribusi normal

Kriteria pengujian hipotesis, yaitu:

Terima : H0 (tolak H1), jika Lo < Ltabel atau

Tolak : H0 (terima H1), jika Lo > Ltabel

Rangkuman hasil analisis uji Normalitas menggunakan uji Liliefors

dengan taraf signifikansi α = 0.05 untuk masing-masing kelompok data hasil

belajar Sejarah siswa ( A1 B1 , A1 B2 , A2 B1 dan A2 B2 ) disajikan dalam tabel

berikut :
74

Tabel 4.8 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Data dengan   0,05

No. Kelompok Data Harga Lo Harga Lt Kesimpulan

A1 B1 0,119 0,19 Data Berdistribusi Normal


1.

A1 B2 0,114 0,19 Data Berdistribusi Normal


2.

A2 B1 0,066 0,19 Data Berdistribusi Normal


3.

4.
A2 B2 0,106 0,19 Data Berdistribusi Normal

Keterangan:

A1 B1 = Hasil belajar sejarah siswa dengan metode resitasi minat positif

A1 B2 = Hasil belajar sejarah siswa dengan metode resitasi minat negatif

A2 B1 = Hasil belajar sejarah siswa dengan metode kooperatif minat positif

A2 B2 = Hasil belajar sejarah siswa dengan metode kooperatif minat negatif

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk semua kelompok diperoleh

nilai Lo lebih kecil dari Ltabel. Dengan demikian dapat disimpulkan seluruh

kelompok data berasal dari populasi berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas Data

Pengujian homogenitas data penelitian menggunakan Uji Barlett Uji F

yang dilakukan secara komputerisasi melalui program Microsoft Excel 2007 &

program SPSS versi 18. Hasil perhitungan dan analisis Uji Barlett secara

lengkap dapat dilihat tabel lampiran. Dimana dibagi menjadi 3 Uji Homogenitas

yaitu :
75

a. Hasil analisis homogenitas antara kelompok siswa dengan model

pembelajaran resitasi dan kooperatif adalah sebagai berikut ini, data sampel

tersebut menggunakan uji F dengan taraf signifikansi α = 0.05 diperoleh

bahwa harga Fh = 1.287 lebih kecil dari harga Ft = 2.08 pada n = 20.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data dari dua kelompok subjek

penelitian ( A1 dan A2 ) tersebut memiliki variansi yang homogen.

b. Hasil analisis homogenitas antara kelompok siswa dengan minat positif dan

negatif adalah sebagai berikut ini, data sampel tersebut dengan menggunakan

taraf signifikansi α = 0.05 diperoleh bahwa harga Fh = 1.59 lebih kecil dari

harga Ft = 2.08 pada n= 20. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

data dari dua kelompok subjek penelitian (B1 dan B2) tersebut memiliki

variansi yang homogen.

c. Hasil analisis homogenitas antara kelompok siswa dengan minat dan model

pembelajaran yang berbeda adalah sebagai berikut ini, data sampel tersebut

dengan menggunakan taraf signifikansi α = 0.05 diperoleh bahwa harga  h


2

= 1.36 lebih kecil dari harga  t = 7.81 pada n = 80. Dengan demikian dapat
2

disimpulkan bahwa data dari empat kelompok subjek penelitian (A1B1, A1B2,

A2B1 dan A2B2) tersebut memiliki variansi yang homogen.


76

C. Pengujian Hipotesis Penelitian

1. Rangkuman perhitungan data:

untuk keperluan diatas dipakai analisis varians (ANAVA) adalah :

Tabel 4.9 Analisis Varian (ANAVA)

Model Pembelajaran
Minat Terhadap
Jumlah
Pelajaran Sejarah
Resitasi ( A1 ) Kooperatif ( A2 )

n A1B1 = 20 n A2B1 =20 n B 1 = 40


Minat Positif
X A1B1 = 82.10 X A2B1 = 80.00 X B1 = 81.05
( B1 )
S A1B1 = 9.98 S A2B1 = 8.97 S B1 = 9.02

n A1B 2 = 20 n A2B 2 =20 nB 2 = 40

Minat Negatif
X B2 = 68.90
X A1B 2 = 73.20 X A2B 2 = 64.60
( B2 )
S A1B 2 = 8.06 S A2B 2 = 6.90 SB 2 = 7.48

n A1 = 40 n A2 = 40 nt = 80

X A1 = 77.65 X A2 =62.30 X t = 69.97


Jumlah
S A1 = 9.02 S A2 = 7.93 St = 8.46

Hipotesis Statistik

1. Ho :  A1   A2

H1 :  A1   A2

2. Ho : B  B
1 2

H1 : B  B
1 2
77

3. Ho : A B  A B
1 1 2 2

H1 : A B  A
1 1 2 B2

Keterangan :

A1 dan A2 = Metode Pembelajaran Resitasi dan Kooperatif.

B1 dan B2 = Minat Positif dan Negatif terhadap Mata Pelajaran Sejarah

A1 B1 = Kelompok siswa dengan metode resitasi dan minat positif

terhadap mata pelajaran Sejarah

A1 B2 = Kelompok siswa dengan metode resitasi dan minat negatif

terhadap mata pelajaran Sejarah

A2 B1 = Kelompok siswa dengan metode Kooperatif dan minat positif

terhadap mata pelajaran Sejarah

A2 B2 = Kelompok siswa dengan metode Kooperatif dan minat negatif

terhadap mata pelajaran Sejarah

2. Kriteria Pengujian
a. Jika Fh (Ak) > Ft (k) maka terdapat perbedaan antar kolom

b. Jika Fh (Ab) > Ft (b) maka terdapat perbedaan antar baris

c. Jika Fh (I) > Ft (I) maka terdapat Interaksi kolom dan baris
78

3. Tabel ANAVA
Tabel 4.10 Anava

Sumber Varian DB JK RJK Fh Ft

Antar kolom (AK) 1 572.45 572.45 7.82 3.96

Antar baris (AB) 1 2952.45 2952.45 40.35 3.96

Interaksi (I) 1 211.25 211.25 2.88 3.96

Antar kelompok (A) 3 3736.15 1245.383 17.02 3.96

Dalam Kel (D) 76 5559.8 73.15526 - 3.96

Total direduksi (TR) 79 9295.95 117.6703 - 3.96

Rerata/Koreksi '® 1 449700.1 449700.1 - 3.96

Total (T) 80 458996 5737.45 - 3.96

4. Pengujian

Berdasarkan hasil uji analisis varians (ANAVA) tersebut, maka

diperoleh:

a. Fh (Ak) = 7.82; Ft untuk = 0.05 sebesar 3.96 Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa Fh (7.82) > Ft (3.96) untuk  = 0.05 yang berarti


terdapat perbedaan yang signifikan atas metode pembelajaran, dengan

demikian Ho ditolak dan H1 diterima, dengan kata lain hasil belajar

Sejarah kelompok siswa dengan metode resitasi lebih tinggi dari pada

kelompok siswa dengan metode kooperatif.


79

b. Fh (Ab) = 40.35; Ft untuk = 0.05 sebesar 3.96 Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa Fh (40.35) > Ft (3.96) untuk  = 0.05 demikian

Ho ditolak dan H1 diterima, yang berarti terdapat perbedaan hasil

belajar yang signifikan atas minat positif dan negatif siswa terhadap

Sejarah.

c. Fh (I) = 2.88 ; Ft untuk = 0.05 sebesar 3.96 hasil perhitungan

menunjukkan bahwa Fh (2.88) < Ft (3.96) untuk = 0.05 dengan

demikian Ho diterima dan H1 ditolak, dengan kata lain tidak ada

perbedaan hasil belajar siswa yang signifikan (tidak berpengaruh) pada

interaksi antara metode pembelajaran dan minat siswa terhadap

Sejarah.
80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari analisa yang kami teliti maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini:

1. Dari kelompok siswa diajar dengan metode pembelajaran yang berbeda

didapat harga Fh = 7.82 yang mana lebih besar dari harga Ftabel = 3.96

pada tingkat signifikansi 5% dan rerata skor hasil belajar sejarah pada

siswa yang diajar dengan metode resitasi lebih besar dari pada yang

diajar dengan kooperatif dalam hal ini metode pembelajaran berpengaruh

pada hasil belajar siswa disamping faktor hal lainnya misalnya

kompetensi guru.

2. Pada kelompok siswa berminat positif dan negatif terdapat perbedaan

hasil belajar yang signifikan dimana ditunjukkan pada Fh = 40.35 yang

lebih besar daripada Ftabel = 3.96 pada taraf signifikan 0.05 dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa minat siswa sangat berpengaruh

terhadap hasil belajar siswa, makin positif minat siswa makin tinggi hasil

belajarnya.

3. Pada kelompok interaksi antara minat dan metode pembelajaran, didapat

Fh = 2.88 yang lebih kecil dari pada Ftabel = 3.96 pada taraf signifikan

0.05 maka secara interaksi tidak ada pengaruh antara minat dan metode
81

pembelajaran terhadap hasil belajar sejarah, dengan hasil yang

maksimum ditunjukan oleh kelompok siswa yang berminat positif, baik

yang diajar dengan metode resitasi dan metode kooperatif, sedangkan

untuk hasil yang minimum dihasilkan oleh kelompok siswa yang

berminat negatif dengan metode pengajaran kooperatif, dengan demikian

dari penelitian ini dapat disimpulkan metode resitasi lebih mampu

menumbuhkan minat positif siswa dari pada metode kooperatif, dimana

dapat ditunjukan dengan rata-rata hasil belajar siswa.

B. Implikasi

Hasil penelitian menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang

signifikan terdapat interaksi pengaruh metode pengajaran dan minat siswa

terhadap hasil belajar sejarah. Secara keseluruhan ditemukan bahwa hasil

belajar sejarah siswa yang diajar dengan metode resitasi lebih baik dari pada

metode kooperatif. Hal ini dikarenakan dalam proses belajar sejarah, metode

pengajaran resistasi tidak dapat menjamin hasil yang baik tanpa disertai

kompetensi guru dalam proses belajar mengajar, hal lain yang mendasari

juga dikarenakan metode tersebut dimungkinkan kurang memahami

kemampuan awal siswa dengan menganggap semua siswa memiliki

kemampuan yang baik, oleh karena itu dituntut kemampuan guru untuk

menggali segala potensi dan kreatifitas untuk mengkaitkan setiap materi

sejarah dengan fakta-fakta yang dapat dialami atau dipahami oleh siswa.
82

Sedangkan dilihat dari hasil belajar antar kelompok siswa yang

beminat positif ternyata lebih baik dari pada kelompok siswa yang berminat

negatif dalam hal ini menunjukan proses belajar mengajar faktor minat

sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Agar proses pembelajaran

sejarah dapat berlangsung efektif dan memperoleh hasil yang optimal

diperlukan kemampuan guru yang handal dan memilki kinerja yang baik.

sehingga dapat menumbuhkan minat positif pada siswa. Oleh karena itu

para guru pengajar mata pelajaran sejarah dituntut harus mampu berperan

sebagai pengajar sekaligus pendidik. Dalam rangka tugas sebagai pengajar,

maka seorang guru pengajar sejarah harus menguasai materi/bahan ajar

sejarah, mampu membuat perencanaan pembelajaran yang relevan dengan

kondisi objektif siswa maupun sarana pendukung yang ada, mampu

mengelola kelas secara baik selama proses pembelajaran berlangsung dan

mampu melakukan kegiatan evaluasi secara tepat dan cermat. Sementara

dalam kapasitasnya sebagai pendidik, seorang guru sejarah harus memahami

faktor-faktor kejiwaan peserta didik, mampu mensugesti dan

membangkitkan minat siswa untuk tertarik dan giat dalam belajar Sejarah

dan dapat bertindak sebagai orang-tua selama siswa berada di sekolah.

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, maka dalam

kapasitasnya sebagai seorang pendidik, guru sejarah harus mampu

memahami tingkat minat belajar dari masing-masing peserta didik agar

dapat dilakukan pemilahan dan pemberian perlakuan yang tepat dalam

kegiatan pembelajaran. Sementara dalam kapasitasnya sebagai pengajar,


83

maka seorang guru sejarah harus mampu mendisain rancangan kegiatan

pembelajaran dengan memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan

tingkat minat belajar siswa serta mengimplementasikannya dalam

pengelolaan kegiatan pembelajaran sejarah di dalam kelas. Hasil penelitian,

menunjukkan bahwa secara umum penggunaan pendekatan pembelajaran

sejarah resistasi memberikan konstribusi perolehan hasil belajar sejarah yang

lebih baik dari pada pendekatan pembelajaran kooperatif. Dengan demikian

maka dalam implikasi (keterkaitannya) dalam upaya peningkatan hasil

belajar sejarah.

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian, maka beberapa

saran terkait yang dapat penulis sampaikan pada penelitian ini adalah:

a. Guru diharapkan mampu membangkitkan minat positif siswa dalam

proses belajar mengajar didalam kelas, dalam hal ini dapat dilakukan

dengan bercerita tentang fakta-fakta dan penemuan-penemuan, atau

manfaat dari penemuan tersebut. Dengan demikian siswa dapat

termotivasi untuk berminat positif, adapun tentang ketakutan siswa

terhadap mata pelajaran sejarah dapat diyakinkan oleh guru bahwa

sejarah itu mudah.

b. Diperlukan kerjasama antar guru sejarah dalam mengoptimalkan

kemampuan siswanya dalam belajar sejarah. Kerjasama ini sebagai


84

sarana tukar pengalaman mengajar sesuai pendekatan pembelajaran dan

metode yang digunakan oleh masing-masing guru.

c. Pembekalan teori-teori, konsep-konsep dan aspek-aspek yang dimiliki

guru yang berhubungan dengan mata pelajaran sejarah, hendaknya

dikembangkan dan ditingkatkan. Hal tersebut juga perlu ditunjang

dengan proses pendidikan dan pelatihan secara terpadu dan

berkesinambungan khususnya yang berkaitan dengan aspek

pengembangan didaktik metodiknya.

d. Guru hendaknya dapat mengetahui tingkat minat belajar siswanya dalam

belajar sejarah sedini mungkin, sebagai langkah awal membina dan

meningkatkan hasil belajar mereka.

e. Kepala sekolah dan pengawas dapat meningkatkan kemampuan

profesional guru dalam mengajar dengan berbagai pendekatan dan

metode pembelajaran melalui supervisi klinis untuk kepentingan guru

secara individual atau institusi.

f. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang peran metode

pembelajaran dan tingkat minat belajar siswa, serta analisis terhadap

faktor-faktor psikologis lainnya yang diperkirakan sangat besar

pengaruhnya pada hasil belajar sejarah siswa untuk materi atau pokok

bahasan serta tingkat pendidikan lainnya.


85

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie, Cooperative Learning (Mempraktekan Cooperative Learning di


Ruang Kelas), (Jakarta: Gramedia Widisarana Indo, 2005).

Anne Anastasi, Psychological Testing, 7 th ed. Alih Bahasa oleh Robertus


Hariono, Jilid 2 (Jakarta: Prenhalindo, 2002).

Arthur S. Jones, Principles of Guidance, (New York: Mc Graw-Hill Book


Company, inc, 1968).

Arikunto, Suhartini, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia,


(Depdibud: Jakarta, 1996).

Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid 2 alih bahasa oleh Med


Meitasari Tjandrasa (Jakarta: Erlangga,1997).

Isjoni, Cooperative Learning (Efektivitas Pembelajaran Kelompok),


(Bandung: Pt. Alafabet, 2007).

Ivor. K. Davies, Strategi Belajar Mengajar, Penerjemah Moedjiono dan Moh.


Dimyati, (Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi,
1992/1993).

Jusuf Djajadisastra, Metode-metode Pengajaran, (Bandung: Angka, 1999)..

L. L Pasaribu dan Simanjuntak, Pendidikan Nasional; Tinjauan Pedagogik


Teoritis, (Bandung: Penerbit Tarsito, 2005).
L. R. Gay, Educational Research, (New York: Mac.Millan Publishing Company,
1992).

Margaret E. Bell Gredler, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: CV Rajawali,


2006).

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2006).
86

Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Kalam Mulia, Cet


VII, 2006).

Robert. E. Slavin, Cooperative Learning, (Massachussetts, A. Simon dan


Schuster Company, 1995).

Robert M. Gagne, Leslie J. Briggs dan Walter W. Wagner, Principles of


Instructional Design, (New York: Harcourt Brale Jovanovich College
Publiher, 1992).

Santoso M dan Nana K, Statistika Terapan: Metode Statistika, (Jakarta: PPs


UNJ, 2000).

Soewarso, Cara-cara Penyampaian Pendidikan Sejarah untuk


Mengembangkan Minat Peserta Didik Mempelajari Sejarah Bangsanya,
(Jakarta: Depniknas, 2000).

Sudirman, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000).

Sudjana, Metode Statistik, (Bandung: Tarsito, 2003).

Susharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:


Rineka Cipta, 1996).

Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa,


2006).

Winarno Surakhmad, Metode Pengajaran Nasional, (Bandung: Penerbit Tarsito,


2007).

W. S. Winkell, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT Grasindo, 2004).

You might also like