You are on page 1of 15

2.

3 Konsep Depresi

2.3.1 Definisi Depresi

Depresi merupakan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan


kesedihan, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang
lain, gangguan tidur, nafsu makan menurun, anhedonia, kehilangan
minat dalam kehidupan sehari-hari, libido menurun, putus asa dan
keinginan bunuh diri (Davidson, Reickmann, & Rapp, 2005). Depresi
merupakan gangguan mental umum yang paling banyak ditemukan
pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (Hedayati et al.,
2009).

Prosedur dan pengobatan hemodialisis yang dilakukan 3 kali


dalam seminggu menyebabkan perubahan status dan kepribadian
pasien. Perubahan ini akibat dari situasi stres terus menerus yang dapat
menyebabkan perubahan pada personal, sosial dan lingkungan.
kebutuhan untuk mengubah kebiasaan gaya hidup, ketergantungan
prosedur hemodialisis dan staf medis, kehilangan pekerjaan dan posisi
sosial, status keuangan berkurang, rezim diet, disfungsi seksual,
masalah yang berhubungan akses dialisis, dan kekhawatiran terhadap
mortalitas, namun respon psikolosis pada pasien hemodialisis
tergantung pada kepribadian premorbit, dukungan sosial dari keluarga
dan penyakit penyerta lainnya (Kimmel, 2005).
2.3.2 Etiologi Depresi

Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu


faktor biologi, faktor genetik dan psikososial.

a) Faktor biologi

Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal


karena tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik
penyakit ginjal. Oleh karena itu, pada pasien yang menderita
penyakit gagal ginjal harus menjalani hemodialisis sepanjang
hidupnya (Smeltzer dan Bare, 2007). Pasien GGK dengan masalah
hemodialisis dapat membuat perubahan mood pada diri pasien.
Neurotransmiter amin biogenik tersering pada gangguan mood
adalah norepinefrin, serotonin dan dopamin. Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi. Pada terapi despiran mendukung teori
bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan,
2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi menurun. Hal
tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi
dopamin seperti reserpin dan penyakit dimana konsentrasi dopamin
menurun seperti pada PP yang disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin: tyrosin, amphetamine dan
bupropion dapat menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).

Pada keadaan depresi terjadi peningkatan aktivitas aksis HPA


yang ditandai dengan pelepasan Corticotropin Releasing Hormone
(CRH) dari hipotalamus. Pelepasan CRH dari hipotalamus
dirangsang oleh noradrenergik, serotonergik dan kolinergik, serta
dihambat oleh GABA dan α-adrenergik agonis. Peningkatan CRH
menyebabkan peningkatan rangsangan pada hipofisis anterior untuk
mensekresikan ACTH. Pelepasan ACTH -selain oleh CRH- juga
ditentukan oleh konsentrasi kortisol plasma, stres fisik atau
psikologis dan siklus tidur bangun. ACTH berperan merangsang
keluarnya kortisol dari korteks adrenal. Pada keadaan depresi terjadi
peningkatan ACTH. Hipersekresi ACTH yang berlangsung lama
dapat menimbulkan hiperaktivitas kelenjar adrenal sehingga dapat
terjadi penambahan volume dan berat kelenjar adrenal. Kortisol
dikeluarkan dari kelenjar adrenal dan masuk ke dalam sirkulasi
umum. Sekitar 95% kortisol yang ada dalam sirkulasi terikat
dengan α-globulin dan disebut transkortin atau corticosteroid-
binding globulin (CBG). Sebagian kecil kortisol bebas yang ada
dalam plasma berfungsi untuk memberikan efek umpan balik
negatif terhadap sekresi CRH dan ACTH. Ia berfungsi menghambat
sintesis dan pelepasan CRH dan ACTH. Pada pasien depresi terjadi
peningkatan kadar kortisol terutama pada malam hari atau sore hari,
sedangkan pada orang normal tidak terjadi peningkatan pada waktu-
waktu tersebut. Kortisol yang tinggi ini tidak mampu menginhibisi
sekresi CRH dan ACTH.

Hal ini diduga karena plastisitas reseptor glukokortikoid


menurun pada depresi. Peningkatan kortisol yang lama dapat
menyebabkan toksik pada neuron sehingga bisa terjadi kematian
neuron terutama di hipokampus. Kerusakan pada hipokampus ini
menjadi predisposisi depresi. Simptom gangguan kognitif pada
depresi juga dikaitkan dengan gangguan hipokampus. (Amir N,
2005).

b) Faktor genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka


resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu
yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3
kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan
sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot. Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap
depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa
terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam
menghadapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.

c) Psikososial

Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu


pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian
dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului
episode gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres yang
menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan
fungsional neurotransmiter dan sistem pemberi tanda intra
neuronal yang akhirnya perubahan tersebut menyebabkan
seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita
gangguan mood selanjutnya (Sadock, 2010). Faktor kepribadian
premorbid menunjukkan tidak ada satu kepribadian atau bentuk
kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi.
Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami
depresi, walaupun tipe kepribadian seperti dependen, obsesi
kompulsif, histironik mempunyai risiko yang besar mengalami
depresi dibandingkan dengan lainnya (Sadock, 2010). Faktor
Psikoanalitik dan Psikodinamik menyatakan hubungan antara
kehilangan objek dan melankoli.
Dikatakan bahwa kemarahan pasien depresi ditujukan kepada
diri sendiri yang disebabkan karena objek yang hilang. Freud
percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang (Sadock, 2010).
Menurut penelitian dikatakan depresi sebagai suatu efek yang
dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam
dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak
hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan
mereka putus as. Faktor ketidakberdayaan pada penderita depresi,
dapat membuat penderita menyerah dan merasa putus asa (Sadock,
2010). Pada teori kognitif, menunjukkan gangguan kognitif pada
depresi. Tiga pola kognitif utama pada depresi yang disebut
sebagai “triadkognitif”, yaitu pandangan negatif terhadap masa
depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu
menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga,
dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup (Sadock, 2010).

2.3.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Depresi

a) Usia
Berdasarkan teori, individu berusia 25 sampai 44 tahun
dianggap rentan mengalami ansietas dan depresi dibandingkan
individu yang berusia lebih tua. Pada pasien GGK rentang usia 45 –
60 merupakan jumlah terbanyak mengalami depresi karena rentang
usia tersebut termasuk masa dewasa tengah, yaitu masa awal
terjadinya kemunduran kemampuan sensori, kesehatan, stamina dan
kekuatan, sehingga beresiko tinggi terhadap terjadinya depresi,
sedangkan pada usia >60 tahun, pasien dianggap sudah memiliki
pengalaman hidup lebih baik dibandingkan dengan pasien yang
lebih muda. Pengalaman hidup terkait dengan kondisi pasien dapat
membuat berkurangnya depresi pasien, sehingga akan menurunkan
resiko terjadinya depresi (Papalia et al 2014).
b) Jenis Kelamin
Menurut teori yang dikemukakan oleh Satvik (2008) bahwa
secara nyata perempuan menunjukkan kualitas hidup lebih rendah
dari laki – laki. Perempuan memiliki kualitas hidup yang lebih
rendah disebabkan karena secara studi menunujukkan bahwa
perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh depresi karena berbagai
alasan yang terjadi dalam kehidupannya seperti mengalami sakit
dan masalah gender yang mengarah pada kekurangan kesempatan
dalam semua aspek kehidupannya.
c) Pendidikan
Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan pengetahuan yang
dimiliki seseorang. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pasien
yang mengalami depresi memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Pasien yang memiliki tingkat pendidikan rendah berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan atau informasi yang diperoleh oleh
pasien. Pada penelitian yang dilakukan Astiti (2014), pasien
mengatakan jarang mendapatkan informasi kesehatan dari perawat
di unit hemodalisa (Astiti, 2014).
d) Pekerjaan
Tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur juga merupakan
faktor risiko terjadinya depresi. Suatu survai yang dilakukan
terhadap wanita dan pria dibawah 65 tahun yang tidak bekerja,
sekitar enam bulan mengalami depresi tiga kali lebih besar dari
pada yang bekerja (Nurmiati Amir, 2005).

2.3.4 Gejala Depresi

Gejala depresi meliputi trias depresi, yang terdiri dari: mood


adalah hilangnya minat dan kegembiraan, serta berkurangnya energi
yang ditandai dengan keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas
(Hawari, 2006).

Gejala tambahan lainnya meliputi :

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang


2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan dan perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganngu
7) Nafsu makan berkurang
Tingkat depresi yang muncul merupakan gambaran dari
banyaknya gejala trias depresi serta gejala tambahannya (Hawari,
2006).
a) Orang yang rentan terkena depresi menurut Hawari (2006) biasanya
mempunyai ciri-ciri:
1) Pemurung, sukar untuk bisa merasa bahagia
2) Pesimis menghadapi masa depan
3) Memandang diri rendah
4) Mudah merasa bersalah dan berdosa
5) Mudah mengalah
6) Enggan bicara
7) Mudah merasa haru, sedih, dan menangis
8) Gerakan lamban, Lemah, Lesu, Kurang energik
9) Keluhan psikosomatik
10) Mudah tegang, agitatif, gelisah
11) Serba cemas, khawatir, dan takut
12) Mudah tersinggung
13) Tidak ada percaya diri
14) Merasa tidak mampu, merasa tidak bergun
15) Merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan ataupun studi
16) Suka menarik diri, pemalu, dan pendiam
17) Lebih suka menyisih diri, tidak suka bergaul, pergaulan sosial
amat terbatas
18) Lebih suka menjaga jarak, menghindar keterlibatan dengan orang
19) Suka mencela, mengkritik, konvensional
20) Sulit mengambil keputusan
21) Tidak agresif, sikap oposisinya dalam bentuk pasif-agresif
22) Pengendalian diri terlampau kuat, menekan dorongan/impuls diri
23) Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan
24) Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik atau
konfrontasi
Ciri-ciri orang yang terkena depresi versi American
Psychology Association-APA (2005) :
1) Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari.
2) Dapat berupa mood yang mudah tersinggung.
3) Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam seluruh
aktivitasnya
4) Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan
(5% dari berat tubuh dalam sebulan) atau suatu peningkatan atau
penurunan selera makan yang drastis.
5) Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hamper
setiap hari.
6) Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari
7) Perasaan berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang
berlebihan hampir setiap hari
8) Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berfikir
jernih atau untuk membuat keputusan
9) Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri
Depresi sebagai suatu diagnosa gangguan jiwa adalah suatu
keadaan jiwa dengan ciri sedih, merasa sendirian, putus asa, rendah
diri, disertai perlambatan psikomotorik, atau kadang malah agitasi,
menarik diri dari hubungan sosial, dan terdapat gangguan vegetative
seperti anoreksia serta insomnia (Kaplan & Sadock, 1995).

Derajat beratnya depresi ditentukan sebagai berikut:

1) Depresi ringan
(1) Hambatan psikososial ringan dari kelompok
(2) Sedkit kesulitan dalam melanjutkan pekerjaan, hubungan
sosial kegiatan harian
2) Depresi sedang
(1) Hambatan psikososial sedang dari kelompok
(2) Sedikit kesulitan dalam melanjutkan pekerjaan hubungan
sosial, kegatan sehari-hari
3) Depresi Berat
(1) Sangat tidak mungkin mampu meneruskan kegiatan sosial
(2) Tidak Mampu melakukan pekerjaan atau urusan rumah
tangga

2.3.5 Tipe Depresi

Kategorisasi depresi menurut Durand & Barlow (2003) berdasarkan


berat tidaknya gangguan ada dua yaitu:

1) Depresi berat disebut episode depresi mayor


Ini adalah depresi yang paling sering didiagnosis dan paling berat.
Mengindikasikan keadaan suasana ekstrem yang berlangsung
paling tidak salama 2 minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif
(perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang
terganggu (seperti perubahan pola tidur, perubahan pola makan,
dan berat badan yang signifikan atau kehilangan banyak energi).
Episode ini biasanya disertai dengan hilangnya interes secara
umum terhadap berbagai hal dan ketidakmampuan mengalami
kesenangan apapun dalam hidup.
2) Mania
Periode kegirangan atau eforia eksesif yang tidak normal yang
berhubungan pada beberapa gangguan suasana perasaan.
3) Hypomanic Episode Versi
Episode hipomanik yang tidak begitu berat yang tidak
menyebabkan terjadinya hendaya berat pada fungsi sosial atau
okupasional. Episode manik tidak selalu bersifat problematik,
tetapi memberikan kontribusi pada penetapan beberapa gangguan
suasana perasaan
4) Episode Manik Campuran
Suatu kondisi di mana individu mengalami kegirangan dan depresi
atau kecemasan di waktu yang sama. Juga dikenal dengan sebutan
episode manik disforfik.

2.3.6 Depresi Pada Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

Menurut penelitian Andrade dan Sesso (2012) mengatakan


bahwa persentase depresi terjadi lebih tinggi pada pasien yang
menjalani hemodialisis juga menunjukkan bahwa pada pasien
hemodialisis yang mengalami depresi memiliki penyakit penyerta
lebih tinggi dan hasil laboratorium berubah lebih besar dari pada
pasien gagal ginjal kronik dibawah pengobatan konservatif, depresi
dapat berhubungan dengan pendapatan, pengangguran, penyakit
penyerta (jantung) dan kemampuan fungsional.

Penelitian Araujo et al. (2008) juga Menunjukkan bahwa


19,3% pasien yang menjalani hemodialisis mengalami gejala depresi
sebagian besar adalah perempuan, pengangguran, penyakit penyerta
(diabetes, hipoalbuminemia, gagal jantung , pruritus), dan kualitas
tidur yang buruk semua faktor terkait dengan gejala depresi.

Menurut Rai, Rustagi, Rustagi, dan Kohli1 (2011) mengatakan


bahwa tingginya prevalensi depresi pada pasien yang menjalani
hemodialisis yaitu 47,8%, dalam penelitian ini juga mengatakan ada
hubungan antara depresi dengan gangguan tidur, insomnia 60,9%,
resiko sleep apnea 24,6%, depresi lebih tinggi pada pasien yang
berusia tua, pendapatan rendah, pengangguran dan depresi lebih tinggi
pd pasien yg menjalani hemodialisis lebih dari 1 tahun. Dalam studi
ini juga mengatakan tidak ada perbedaan gender dengan depresi.

2.3.7 Dampak Depresi Pada Pasien Hemodialisis

Depresi dapat menyebabkan perubahan emosional, kesehatan


mental, dan berdampak pada status kesehatan dan kualitas hidup
pasien yang lebih rendah juga menunjukkan bahwa kondisi depresi
dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari sehingga berdampak terhadap penurunan kesehatan fisik
dan mental yang akan memperberat penyakitnya dan meningkatkan
kematian. Depresi merupakan kondisi yang umum pada pasien yang
menjalani hemodialisis, prevalensi untuk diagnosis depresi berkisar
antara 15-27%, gejala depresi 17-65%, depresi dapat berdampak pada
emosional, kesehatan mental, fungsi sosial yang dapat memperburuk
kondisi kesehatan pasien bahkan berdampak pada kualitas hidup yang
lebih rendah.

Hasil penelitian Keskin dan Engin (2011) menunjukkan bahwa


ada korelasi positif antara depresi dengan perilaku bunuh diri, antara
usia pasien dan depresi, depresi dan bunuh diri meningkat pada status
pendidikan yang lebih rendah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
pasien yang menjalani hemodialisis sering mengalami depresi,
keinginan bunuh diri meningkat apabila mengalami tingkat depresi
yang parah dan bertambahnya usia pada pasien gagal ginjal kronis,
oleh karena itu dipandang perlu untuk pasien dialisis berada dibawah
evaluasi psikiatri dan hal ini peran perawat dialisis sangat penting
mengevaluasi kondisi psikososial pasien gagal ginjal yang menjalani
terapi hemodialisi untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan, untuk keberhasilan perawat harus melakukan perawatan
yang holistik sehingga perawat mampu menilai depresi dan strategi
mengatasi bunuh diri. Pasien gagal ginjal tahap akhir kehilangan
kemampuan fisik dan kognitif yang akhirnya membawa pasien pada
kesedihan dan keputusasaan sehingga menyebabkan pemutusan
dialisis, perilaku ini dianggap sebagai pemikiran bunuh diri, bunuh diri
dipicu akibat kegagalan mengatasi stres dialysis juga menunjukkan
bahwa pasien depresi memiliki tingkat kelelahan dan kecemasan yang
lebih tinggi, kualitas hidup yang lebih buruk, dan keinginan bunuh diri
yang lebih besar.

Dampak depresi pada pasien gagal ginjal yang menjalani


hemodialisis adalah Gangguan tidur. Penduduk USA yang mengalami
cronic kidney disease (CKD) menderita gangguan tidur sangat tinggi
sampai 80% dapat menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan
pasien. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
mengalami berbagai macam stressor fisik, psikis, maupun sosial
sehingga rentan terhadap munculnya gejala depresi, gejala depresi dan
berbagai kondisi yang terkait terapi hemodialisis dapat menyebabkan
terjadinya gangguan tidur yang mempengaruhi kondisi kesehatan
pasien juga mengatakan bahwa depresi dapat menyebabkan insomnia
dan anemia pada pasien yang menjalani hemodialisis sehingga akan
memperburuk kondisi kesehatan pasien. Tidur merupakan komponen
yang penting bagi kesehatan, juga sangat esensial bagi fisik dan
mental. Tidur menjadi suatu masalah apabila kualitas tidur tidak
tercukupi yang berakibat pada fisik dan mentalnya. Jika tidur kurang
dari 3 jam dalam 24 jam, manusia akan mudah marah dan cakupan
perhatian berkurang. Kurang tidur dalam waktu yang lama
menyebabkankesulitan berkonsentrasi, kemunduran performa umum,
fisik terasa lemah, kehilangan mood, penurunan libido, menjadi lebih
peka terhadap sesuatu yang mengganggu suasan hati, halusinasi,
paranoid dan bangkitan kejang. Menonjolnya efek psikologis
mengisyaratkan bahwa tidur secara spesifik memperbaiki fungsi otak
(Puri, 2011).

2.3.9 Peran Perawat di Unit Hemodialisis

Merujuk pada definisi sehat yang dikeluarkan oleh WHO,


maka dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis,
pelayanan kesehatan dituntut untuk dapat memfasilitasi pasien agar
mendapatkan kondisi kesehatan yang optimal. Perawat sebagai bagian
yang integral dari tim pelayanan kesehatan sangat berperan dalam
mengupayakan terwujudnya kondisi kesehatan yang optimal bagi
pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dengan cara
memberikan asuhan keperawatan yang bersifat komprehensif dan
holistik yang meliputi bio-psiko-sosio dan spiritual, artinya dalam
upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien, perawat tidak
hanya berfokus pada penanganan masalah fisik saja namun juga
berperan dalam mencegah dan menangani masalah psikososial
khususnya depresi yang menjadi masalah terbesar pada pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis yang dapat
menurunkan kondisi kesehatan pasien. Peran perawat dalam
mengurangi beban psikis seorang penderita gagal ginjal kronis yang
menjalani terapi hemodialisis sangatlah besar diantaranya mengkaji
adanya tanda dan gejala depresi, mengkaji dan mengefektifkansumber-
sumber pendukung, melakukan pendampingan dan mempertahankan
hubungan yang sering dengan pasien sehingga pasien tidak merasa
sendiri dan ditelantarkan, menunjukkan rasa menghargai dan
menerima pasien tersebut, memberikan pujian pada setiap hal yang
positif yang dilakukan pasien dalam menjalani perawatan. Perawat
juga dapat melakukan tindakan kolaborasi dengan memberi rujukan
untuk konseling psikiatri (Doenges, Townsend, & Moorhouse, 2006).

Selain itu, perawat berada dalam posisi kunci untuk


menciptakan suasana penerimaan dan pemahaman keluarga terhadap
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
(Smeltzer & Bare, 2002). Perawat dapat melakukan intervensi dengan
cara memberdayakan orang-orang terdekat pasien dalam hal ini
keluarga untuk menjadi support system yang efektif agar dapat
senantiasa memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan oleh
pasien sehingga dapat meningkatkan kondisi kesehatannya. Ketika
pasien masih berada di tatanan rumah sakit dapat dilakukan konseling
kesehatan mengenai dukungan keluarga yang dibutuhkan oleh pasien
serta hal-hal yang perlu diketahui keluarga terkait penyakit yang
diderita pasien seperti perjalanan penyakit, tanda dan gejala, dan
perawatan atau pengobatan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
kondisi kesehatan pasien. Selain itu, perlu juga untuk melibatkan
keluarga dalam manajemen pengobatan dan perawatan pasien
sehingga keluarga dapat memberikan dukungan secara efektif pada
pasien.

2.3.10 Pengukuran Depresi


Untuk membantu mengungkapkan tingkat depresi seseorang
dapat menggunakan skala depresi beck yang disebut BDI (The Beck
Depression Inventory). skala BDI (The Beck Depression Inventory),
terdiri dari 21 kelompok aitem yang menggambarkan 21 kategori
sikap dan gejala depresi, yaitu: sedih, pesimis, merasa gagal, merasa
tidak puas, merasa bersalah, merasa dihukum, perasaan benci pada diri
sendiri, menyalahkan diri sendiri, kecenderungan bunuh diri,
menangis, mudah tersinggung, menarik diri dari hubungan social,
tidak mampu mengambil keputusan, merasa dirinya tidak menarik
secara fisik, tidak mampu melaksanakan aktivitas, gangguan tidur
merasa lelah, kehilangan selera makan, penurunan berat badan,
preokupasi somatic dan kehilangan libido sex. Masing-masing
kelompok aitem terdiri dari 4-6 pertanyaan yang menggambarkan dari
tidak adanya gejala yang paling berat (Sukmandari, 2010:54).

Skor berkisar antara 0-3. Pertanyaan yang menunjukan tidak


adanya gejala depresi diberi skor 0, skor 1 untuk pertanyaan yang
menggambarkan adanya gejala depresi ringan, skor 2 untuk pertanyaan
yang menggambarkan adanya gejala depresi sedang, skor 3 untuk
pertanyaan yang menggambarkan adanya gejala depresi berat. Skor
yang dipakai untuk masing-masing 3 kelompok aitem adalah
pertanyaan dengan skor tertinggi. Skor total berkisar antara 0-63.
Indikasinya jumlah nilai 0-9 dianggap normal, jumlah nilai 10-16
depresi ringan, 17-29 depresi sedang, dan jumlah 30-63 depresi berat
(Smarr, 2003:135).

You might also like