You are on page 1of 17

BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

PROBLEM
1. Asmini, 35 tahun
2. Sesak napas sejak 2 hari lalu
3. Batuk
4. Menggigil
5. Demam ringan
6. Nyeri dada

1. Hipotesis yang dapat diberikan


-­­ asthma bronchiale
-­­ chronice obstructive pulmonary disease
-­­ bronchitis
-­­ pneumonia
-­­ congestive heart failure (edema cardiogenic = asma cardiogenic)

2. Bagaimana struktur dari sistem respirasi


a. Upper respiratory tract
-­­ hidung dan cavum nasi
-­­ cavum paranasal
-­­ pharynx
b. Lower respiratory tract
-­­ larynx
-­­ trache
-­­ bronchial tree (bronkus primarius, bronchus lobaris, bronchi
segmentalis, bronhus-­­ bronchus kecil)
-­­ bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan
alveoli.

3. Otot-­­otot yang ada di dinding dada


a. lapisan luar
-­­ m. intercostalis externa
-­­ levator costarum
b. lapisan tengah
-­­ m. intercostalis interna
c. lapisan dalam
-­­ m. intercostalis interna
-­­ m. subcostalis

1
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR
-­­ m. transversus thoracis

4. Bagaimana histologi dari tracheobronchial tree?


Hampir seluruh bagian konduksi dilapisi oleh epitel berlapis silindris bersilia
yang mengandung banyak sel goblet yang dikenal sebagai respiratory
epithelium. Epitel respiratori terdiri dari lima tipe sel (seperti yang
terlihat pada mikroskop elektron). Epitel silindris merupakan jenis yang
paling banyak. Tiap sel memiliki 300 cilia pada permukaan apikalnya,
selain itu juga ada banyak mitokondria yang mensuplai ATP yang terletak
dibawah cilia dan berfungsi untuk pergerakan cilia itu sendiri.
Jenis terbanyak kedua pada epitel respiratori adalah sel mukus goblet. Bagian
apical dari sel-­­sel ini mengandung droplet mukus yang terdiri dari
glikoprotein. Sel silindris lain yang ada dalam epitel respiratori adalah brush
cell, yang memiliki banyak microvilli pada permukaan apikalnya. Brush cell ini
memiliki akhiran saraf eferen pada permukaan basalnya dan dapat menjadi
reseptor sensoris. Selain itu, juga ada sel basal (short) yang merupakan sel
bulat yang kecil yang terletak pada lamina basalis, tetapi tidak sasmpai ke
permukaan luminal dari epitelium. Sel-­­sel ini dipercaya dapat menjadi sel
induk yang mengalami mitosis untuk berdiferensiasi menjadi tipe sel lain
secara subsekuen. Tipe sel yang terakhir merupakan sel granul kecil, yang
mirip dengan sel basal, namun ia memiliki banyak granula berdiameter 100­300
mm yang berpori. Penelitian histokimiawi telah membuktikan bahwa sel­sel ini
banyak terdapat pada sistem neuroendokrin.
Semua sel epitel silindris bersilia menyentuh basement membrane.

2
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

5. Bagaimana histologi dari trakea


Trakea dilapisi oleh mukosa respiratoria yang uum. Lamina proprianya terdiri
dari kartilago berbentuk C sebanyak 16-­­20 yang membuat lumen trakea tetap
terbuka dan banyak kelenjar seromuku yang memproduksi mukus. Pembukkan
dari cincin kartilago tersebut terletak di bagian posterior trakea. Ligamen
fibroelatik dan otot polos terikat pada perikondrium dan bagian yang terbuka dari
kartilago berbentuk-­­C ini.
6. Bagaimana histologi dari bronkus?
Setiap bronkus primaries bercabang secara dikotomus sebanyak 9-12 kali, dengan tiap
cabangnya semakin lama menjadi semakin kecil hingga diameternya hanya 5mm.
Kecuali pada organisasi kartilago dan otot polos, mukosa bronkus secara
structural mirip dengan mukosa trakea. Kartilago bronkus bentuknya lebih irregular
daripada yang ditemukan di trakea; pada bronkus yang lebih besar, cincin kartilagonya
mengelilingi seluruh lumen. Tetapi seiring dengan mengecilnya diameter, kartilagonya
tergantikan oleh pulau-pulau kartilago hyaline. Dibawah epitelium, pada lamia propia
bronchi, ada lapisan otot polos yang saling bersilangan secara spiral, yang semakin
prominen didekat zona respiratoria. Setelah seseorang meninggal, otot polos ini akan
berkontraksi sehingga bentuknya menjadi seperti lipatan-lipatan. Lamina propia
bronkus kaya akan sabut elastis dan mengandung banyak mucus dan kelenjar serous
yang duktusnya membuka ke lumen bronchial. Banyak limfosit yang ditemukan dalam
lamina propia dan di sel-sel epithelial. Nodulus limfatikus juga didapati pada
percabangan-percabangan bronchial tree.

7. Bagaimana histologi dari bronchiolus?


Bronkiolus, merupakan jalan nafas intralobular dengan diameter 5 mm atau
kurang yang tidak memiliki kartilago maupun kelenjar mukosanya; hanya ada sel
goblet diantara epitelium pada segmen-segmen pentingnya. Pada bronkiolus yang
lebih besar, epitelnya adalah epitel berlapis silindris bersilia, yang berubah menjadi
epitel kubis bersilia pada bronkiolus terminalis. Epitelium pada bronkiolus terminalis
juga mengandung sel clara, yang memiliki granula sekretoris pada apexnya, dan juga
dapat mensekresi protein yang mengandung lapisan bronkiolar dari polutan oksidatif
dan inflamasi.

3
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR
Karakteristik Histologi dari Sistem Respirasi
Daerah Epitelium Sel Mukosa Glandula Kartilago Otot Polos Sabut Elastis
Epitel berderet
Cavum nasi Banyak Banyak Hyalin - -
silindris
Kompleks:
Epitel berderet
Larunx Banyak Banyak hyaline dan - Ada
silindris
elastic
Kartilago
Epitel berlapis
Trachea Banyak Ada hyaline Ada Ada
silindris
berbentuk – C
Epitel berderet Berbentuk
Bronchi kecil Sedikit Sedikit Spiral Ada
silindris pulau
epitel selapis
Bronkiolus
silindris rendah - - - Spiral Ada
terminalis
atau kubis, bersilia
Epitel selapis
Bronkiolus kubis, bersilia di
- - - Spiral Ada
respiratorius proksimal, tetapi
di distal tidak
Duktus Selapis pipih, tidak
- - - Ada Ada
alveolaris bersilia
Selapis pipih (tipe
Alveoli I) atau selapis - - - Ada Ada
kubis (tipe II)

8. Jelaskan mekanisme bernapas, sesak napas, dan batuk!


a. Bernapas, adalah inspirasi O2 dan ekspirasi CO2 dari hidung, pharynx, larynx,
trachea, bronchi, da sebagian besar bronchioles; mekanisme dari bernapas
terdiri atas inspirasi yang termasuk ventilasi dari paru-paru, pertukaran gas
dengan darah, dan penggunaan oksigen oleh jaringan.
b. Dyspnea adalah pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan bernapas
yang termasuk sensasi kualitatif nyata yang beragam intensitasnya. Pengalaman
ini diperoleh dari interaksi antara beberapa faktor fisiological, psychological,
social dan lingkungan, dan dapat memicu respon sekunder dari physiological
dan perilaku. “Dyspneu, sebuah symptom, harus dibedakan dari sign pada
meningkatnya usaha bernapas”.
Mekanisme dyspnea: sensasi respiratory adalah hasil dari interaksi antara
efferent, motor output dari otak ke otot ventilator dan afferent, sensory input
dari reseptor diseluruh tubuh (feedback), sama seperti proses integratif dari
informasi ini yang kita ambil harus terjadi di otak.
c. Batuk: batuk adalah ekspirasi eksplosif yang merupakan mekanisme protektif
normal untuk membersihkan tracheobronchial tree dari sekresi dan benda asing.
Mekanisme batuk: ( reflek batuk )
 Reseptor iritan :
Reseptor iritan nerve ending ditemukan terutama larynx, trachea, dan
bronchus primaries, khususnya di bifurcation trachea.

4
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

 Reseptor sensory : saluran napas atas, pleura, diafragma, dan


pericardium.

Bronchus dan trakea sangat sensitive pada sentuhan ringan dan sedikitbenda
asingatau penyebab lain dari iritasi memicu reflex batuk. Larynx dan carina
sangat sensitive dan bronchioles terminalis dan bahkan alveoli sensitive
terhadap bahan kimia korosif.
Batuk mungkin dapat memicu volunteer atau reflek. Sebagai reflex defensive, ia
memiliki kedua jalur efferent dan afferent.
- Afferent limb termasuk reseptor didalam distribusi dari nervus trigeminal.
Glossopharyngeal, laryngeal sup. ,dan vagus.
- Efferent limb termasuk nervus laryngeal recurrent dan nervus spinal.

- Batuk diawali dengan inspirasi dalam diikuti penutupan glottis,


relaksasi dari diafragma, dan kontraksi otot melawan glottis yang
menutup. Hasilnya ditandai dengan tekanan positif intrathoracal yang
menyebabkan menyempitnya trakea. Setelah glottis membuka, tekanan
diferensial tinggi antara jalan napas dan atmosfer bergabung dengan
menyempitnya trakea memproduksi rapid flow melalui trakea. Penurunan
kekuatan yang menjadi bantuan pada eliminasi dari mucus dan benda asing.

9. Kemoreseptor pada medulla oblongata dan perifer pada aorta dan carotid
body
Control otomatis dari bernafas yang juga dipengaruhi oleh reseptor yang sensitif
terhadap perubahan komponen kimiawi dalam darah. Dua kelompok yang merespon
terhadap PCO2,PH,PO2 dalam darah :
 Kemoreseptor perifer
Yaitu meliputi aortic bodies, terletak di sekitar arcus aorta, dan carotid
bodies terletak disetiap arteri carotid pada bagian tengah ketika bercabang
menjadi arteri carotid internal dan eksternal. Kemoreseptor perifer mengontrol
system pernafasan secara langsung melalui sabut saraf sensoris menuju ke
medulla. Aortic bodies mengirim informasi dari saraf sensoris ke medulla
melalui nervus vagus (X); sedangkan carotid bodies menstimulasi sabut
sensoris pada nervus glossopharyngeal (IX). Aortic dan carotid bodies tidak
harus bingung dengan sinus aortic dan carotid yang terletak pada kedua
arteri. Sinus aortic dan carotid mengandung reseptor yang memonitor
tekanan darah. Arteri dan carotid bodies tidak distimulasi secara langsung oleh
CO2 dari darah. Melainkan, mereka distimulasi oleh kenaikan konsentrasi
H+ (penurunan pH) pada darah arteri, semua itu terjadi ketika CO2 dari
darah dan asam karbonat meningkat. Retensi dari CO2 selama hipoventilasi
dapat menstimulasi kemoreseptor pada medulla disertai dengan penurunan dari
pH cairan cerebrospinal dan dapat menstimulasi kemoreseptor perifer selama
terjadi penurunan pH darah.
 Kemoreseptor di medulla

5
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

Kemoreseptor paling sensitif terhadap perubahan PCO2 di arteri ini


terletak di daerah ventral dari medulla oblongata, dekat dengan nervus
cranial IX dan X. Neuron kemoreseptor ini secara anatomi terpisah, namun
secara synoptic berkomunikasi di control pada bagian central dari medulla.
Peningkatan PCO2 arteri menyebabkan peningkatan H+ dalam darah akibat dari
konsentrasi asam karbonat yang meningkat . Konsentrasi H+ pada darah tidak
bisa menembus BBB (Blood brain barrier) dan tidak bisa mempengaruhi
kemoreseptor medullary, CO2 dalam darah arteri dapat menurunkan
darah pda cairan cerebrospinal. CO2 pada darah arteri dapat menembus
BBB dan melalui susunan asam karbonat, dapat menurunkan pH pada
cairan cerebrospinal. Penuruan dari pH cairan serebrospinal dapat
menstimulasi secara langsung pada medulla ketika terjadi peningkatan dari
arteri PCO2. Kemoreseptor di medulla pada akhirnya bertanggung jawab pada
70-80% terjadinya peningkatan ventilasi yang terjadi sebagai akibat dari
penigkatan arterial PCO2. Respon trsebut memerlukan waktu beberapa
menit. Peningkatan ventilasi yang terjadi ketika PCO2 meningkat
merupakan akibat dari stimulasi pada kemoreseptor perifer.

10. Definisi Asma bronchiale


Penyakit heterogen, yang biasanya dikarakteristikkan oleh inflamasi
saluran nafas kronis. Ditandai dengan adanya riwayat gejala respirasi
berupa wheezing, nafas pendek, sesak, dan batuk yang bervariasi tiap
waktu dan intensitasnya, diikuti adanya batasan variable expiratory
airflow

11. Faktor resiko asma


Faktor yang mempengaruhi resiko asma dibagi berdasarkan penyebab
berkembangnya asma dan yang memicu gejala asma, beberapa dapat
menjadi keduanya. Lalu juga termasuk host factor (genetic) dan factor
lingkungan.

6
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

Faktor-faktor yang mempengaruh Perkembangan dari Asma

HOST FACTORS
Contoh: genetik
- Gen yang menyebabkan atopi
- Gen yang menyebabkan hiperesponsivitas pada jalur nafas.
- obesitas
- sex
ENVIRONMENTAL FATORS
- Allergen
o Indoor : Domestic mites, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus),
kecoa, allergen, fungsi, mold, yeast
o Outdoor : pollen, fungi, molds, yeast
- Infeksi (biasanya virus)
- Pekerjaan
- Tobacco smoke (perokok aktif-pasif)
- Polusi udara outdoor-indoor
- Diet

12. Mekanisme inflamasi pada asma

Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernafasan, yang melibatkan


berbagai sel-sel inflammatory dan berbagai mediator yang berakibat pada
perubahan karakteristik patofisiologi.

Inflamasi saluran pernafasan pada asma


Spektrum klinis dari asma sendiri sangat bervariasi, dan memiliki pola seluler berbeda
yg telah diamati, namun keberadaan inflamasi saluran pernafasan merupakan
gambaran yang konsisten. Inflamasi sendiri mempengaruhi seluruh saluran nafas
termasuk pada kebanyakan pasien terjadi di saluran pernafasan atas dan hidung,
namun efek fisiologis paling sering di bronchi ukuran sedang.
A. Sel inflammatory
karakteristik dari inflamasi yang ditemukan pada penyakit alergi, ditemukan di
asma. Diikuti dengan aktivasi sel mast, meningkatnya jumlah eosinophil yang
teraktivasi, dan meningkatnya jumlah dari reseptor sel T, natural killer T sel, T-
helper 2 limfosit (TH2), dimana sel-sel tsb berperan dalam melepaskan mediator
kimia yang berakibat pada gejala yg muncul.

Sel2 inflamasi di saluran pernafasan asmatik:


1) Sel mast: sel mast yg teraktivasi melepaskan bronchoconstrictor
mediator (histamine, cysteinyl leukotrienes, prostaglandin D2)
2) Eosinophils: melepaskan protein basic yang dapat merusak sel epitel
saluran pernafasan.
3) T lymphocytes: melepaskan sitokin spesifik
4) Sel dendritic: sampel allergen dari permukaan saluran pernafasan dan
bermigrasi ke limfe nodi yang nantinya akan berinteraksi sel T regulatory
dan menstimulasi produksi dari TH2.

7
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR
5) Macrophages: Diaktivasi oleh allergen melalui reseptor IgE afinitas
rendah untuk melepaskan mediator inflamasi dan sitokin yang
memperkuat respon inflamasi.
6) Neutrofil: Jumlahnya meningkat di saluran nafas dan sputum pada pasien
dengan asma yang parah dan asma karena merokok (asthmatics smoking)

B. Mediator Inflamasi
1. Chemokines: Penting untuk menambah sel2 inflamasi ke saluran pernafasan
2. Cysteinyl leukotrienes: Bronchoconstrictor yang potent
3. Cytokines: seperti IL-1B, tnf-a, IL-4, IL-13
4. Histamin: dilepaskan oleh sel mast dan berperan terhadap
bronchoconstrictor serta respon inflamasi.
5. Nitric oxide (NO): Vasodilator potent
6. Prostaglandin D2: bronchoconstrictor yang terutama berasal dari sel mast

13. Patofisiologi Asma


Penyempitan saluran nafas merupakan jalur umum yang menyebabkan
terjadinya gejala dan perubahan fisiologis pada asma.

Faktor-faktor yang berperan terhadap meyempitnya saluran nafas saat


asma:
 Otot polos saluran nafas: Kontraksi karena merespon terhadap
multiple bronchoconstrictor mediator dan neurotransmitter yang
merupakan mekanisme utama penyempitan saluran nafas dan dapat
reversible oleh bronchodilator. Meningkatnya otot polos saluran nafas
bisa karena adanya hypertrophy dan hyperplasia, dan berkontribusi
terhadap penebalan dinding saluran nafas.
 Edema saluran nafas: Terjadi karena meningkatnya kebocoran
microvascular karena respon terhadap mediator inflamasi, dimana hal
tersebt berperan terutama pada exacerbasi akut. Pembuluh darah di
dinding saluran nafas berproliferasi karena pengaruh growth factor
seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan juga perberan
terhadap penebalan dinding saluran nafas.
 Penebalan saluran nafas: Subepithelial fibrosis karena terjadi
deposisi dari fibro kolagen dan proteoglikan dibawah basal
membrane dan terlihat pada pasien asma. Fibrosis terjadi di lapisan
dinding saluran nafas diikuti dengan deposisi kolagen dan proteoglikan.
Karena adanya perubahan struktur, biasa disebut”remodeling”.

8
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

 Hypersekresi mucus: Peningkatan jumlah sel goblet di epitel saluran


nafas dan peningkatan ukuran kelenjar submucosal, dapat
menyebabkan oklusi luminal (penyumbatan mucus/mucus plugging)
yang merupakan produk dari peningkatan sekresi mucus dan exudasi
inflamasi.

14. Reaksi Alergi tipe 1

 Diawali oleh partikel allergen yang menembus membrane mukosa


 Lalu dibawa melewati limfe nodi melalui pembuluh limfe
 Kemudian sel B mengenali allergen dengan bantuan sel T
 Lalu berproliferasi menjadi plasma sel
 Dimana plasma sel mensintesis IgE
 Selanjutnya IgE berikatan pada reseptor permukaan sel mast
 Lalu ketika ada paparan ulang, allergen tsb menjadi trigger (pemicu)
 Dimana allergen menempel pada sel mast
 Hal tersebut mengakibatkan terjadinya degranulasi sel mast, sehingga
melepaskan mediator kimia.
 Mediator kimia tersebut didisribusi secara sistemik melalui aliran darah
 Hasil akhirnya, muncul gejala pada berbagai organ
 Contoh seperti adanya urtikaria (hives), mata merah dan gatal, dsb

9
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

SECOND SEASON
PEMERIKSAAN FISIK
1. Kondisi Umum = Sadar, sesak napas, berbicara terpatah-patah, lebih memilih
duduk dan berbaring serta tidak gelisah.
2. BP = 140/80, RR = 30 kali permenit, HR=108 kali permenit, Temperature = 36,2
3. Kepala = Ditemukan nasal yang mengembang
4. Leher = trakea ada pada garis tengah, otot asesoris tidak digunakan\
5. Jantung = Normal
6. Abdomen = Normal
7. Ekstrimitas = Normal

PEMERIKSAAN PULMO
1. Inspeksi = pergerakan simetris, emfisema ringan
2. Palpasi = normal
3. Perkusi = Sonor pada kedua paru
4. Auskultasi = rales dan wheezing(ekspirasi) pada kedua paru

SPIROMETRY
1. PEFR dengan nilai prediksi 65%
2. Radiografi dada = Normals

1. DIAGNOSA KLINIS ASTHMA BRONKIALE


Diagnosis Asthma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Namun,
pengukuran fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas abnormalitas fungsi
paru, jua berkontribusi pada diagnosis.
a. Pola gejala respirasi yang merupakan cirri khas Asthma
Ciri Asthma tipikal, dan jika ada, meningkatkan kemungkinan seseorang
terkena Asthma:
a.1 Lebih dari 1 gejala (wheezing, shortness of breath, batuk,
dadak terasa sesak) terutama pada dewasa.
a.2 Gejala seringkali memburuk saat dini hari, bervariasi waktu dan
intensitasnya.
a.3 Gejal dipicu oleh infeksi virus (flu) , olahraga, paparan
allergen, perubahan cuaca, iritan seperti asap mobil, rokok,
bau-bau yang menyengat
b. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik pada orang yang terkena Asthma
seringkali normal
2. Abnormalitas yang paling sering biasanya expiratory
wheezing (ronchi) pada auskultasi, tapi hal ini bisa tidak
didapatkan / hanya dapat didengar saat ekspirasi paksa.

10
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR
Wheezing bisa juga tidak didengar saat terjadi Asthma
exsaserbasi yang parah, karena udara yang sangat kurang
(silent chest) , tetapi juga didapati tanda – tanda gagal
nafas.
3. Krepitasi dan wheezing inspiratory tidak terdapat pada
Asthma.
c. Tes diagnosis dan monitoring
Spirometry merupakan metode yang direkomendasikan untuk mengatur
keterbatasan airflow dan reversibilitas untuk mendiagnosis asthma.
c.1 Pengukuran fungsi paru
pengukuran fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas
abnormalitas fungsi paru, dapat menunjukkan keparahan dan
keterbatasan airflow, reversibilitas dan varabilitasnya serta
mengkonfirmasi diagnosis asthma.

Spirometry  untuk mengetahui pengukuran FEV 1 ( dalam satu detik ),


Force Vital Capacity (FVC), Peak Expiratory Flow (PEF).
 Reversibilitas dan variabilitas
Perubahan gejala yang diikuti dengan perubahan keterbatasan
airflow yang terjadi secara / respon terhadap treatment.
a. Reversibilitas
Perbaikan atau peningkatan cepat pada FEV 1 ( PEF ), yang
diukur dalam beberapa menit setelah inhalasi bronkodilator
rapid – acting. Derajat reversibilitas dari FEV 1 yang
mengindikasikan diagnosis asthma biasanya ≥ 12% dan
≥200 ml dari nilai pre-bronkodilator.

b. Variabilitas
untuk meningkatkan atau deterioration pada gejala dan
fungsi paru yang terjadi . perbaikan gejala dan fungsi paru
yang biasa dirasakan sehari (diurnal variability) dari hari ke
hari, bulan ke bulan/ musiman. Melihat riwayat variabilitas
merupakan komponen esensial dalam mendiagnosis asthma.
 PEF (Peak Expiratory Flow)

Diukur saat pagi hari sebelum menjalani pengobatan, biasanya


saat pagi hari nilainya lebih renda sedangkan malam hari lebih
tinggi. Variabilitas PEF diurnal diukur dari amplitude (perbedaan
antara nilai maximum dan minimum pda hari itu)
Untuk mengkorfimasi diagnosis Asthma (PEF)
1. Peningkatan 60L/min (or 20% or more of pre-
bronkodilator PEF) setelah inhalasi bronkodilator atau
2. Variasi diurnal PEF lebih dari 20% ( yang dibaca 2x sehari
lebih dari 0% ) menandakan adanya asthma.

11
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

c.2 Pengukuran responsiveness airway


pengukuran responsiveness airway melalui inhalasi langsung
dari methacoline dan histamine bisa membantu diagnosis
asthma. Hasil test biasanya dituliskan sebagai konsentrasi
provokatif (dosis) dari diagnosis yang menyebabkan penurunan
(seringkali 20%) pada PEV 1.
c.3 Marker non-invasive inflamasi saluran nafas
selain itu, level dari exhaled nitric oxide (FeNO) dan karbon
monoksida (FeCO) dapat menjadi marker non-invasive dari
inflamasi saluran nafas pada asthma.
c.4 Pengukuran status alergi
karena ada hubungan yang kuat antara athma dan rhinitis alergi,
adanya alergi dan penyakit – penyakit yang berhubungan dengan
aleergi maka dapat meingkatkan kemungkinan diagnosis asthma
dari pasien dengan gejala alergi saluran pernafasan (yang
diidentifikasi dengan pengukuran IgE spesifik pada serum) bisa
membantu mengidentifikasi factor resiko yang menyebabkan
gejala asthma pada pasien. Skin test dengan menggunakan
allergen menjadi alat diagnostic prier dalam mendeteksi adanya
alergi.

2. Jelaskan tentang “fenotipe dari asma”


Asma adalah penyakit heterogen dengan dasar proses penyakit yang berbeda.
Demografis dan/atau klinik karakteristik patofisiologis sering disebut “asthma
phenotype”. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui fungsi klinis
dari klasifikasi fenotipe asma. Banyak fenotipe yang sudah teridentifikasi.
Diantaranya adalah :
a) Allergic asthma : merupakan fenotipe yang paling sering dijumpai, yang
sering kali terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan riwayat
keluarga dan penyakit alergi seperti eczema, rhinitis allergy, alergi
makanan, ataupun alergi obat.
b) Non-allergic asthma : beberapa orang memiliki asma yang tidak
berhubungan dengan alergi. Profil seluler dari sputum pasien ini bisa
neutrofil, eosinofil, atau hanya memiliki sedikit sel inflamasi
(paucigranulocytic)
c) Late-onset asthma : beberapa pasien, terutama wanita, mengalami
serangan asma untuk yang pertama kalinya pada saat dewasa. Pasien-
pasien ini biasanya non-alergic dan seringkali membutuhkan dosis ICS
yang lebih tinggi atau pengobatan corticosteroid
d) Asthma dengan airflow limitation yang menetap : beberapa pasien
dengan asma yang sudah lama mengalami limitasi airflow yang menetap
karena remodelling dinding airway.

12
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR
e) Asthma dengan obesitas : beberapa pasien obesitas memiliki gejala
respiratori prominen dan inflamasi airway eosinofilik yang kecil.

3. Definisi dan gejala eksaserbasi asma


Eksaserbasi asma (serangan asma / asma akut) adalah episode dimana gejala
meningkat secara progresif, yaitu :
a. Napas pendek
b. Batuk
c. Wheezing, atau
d. Sesak dada, atau beberapa kombinasi dari gejala ini
e. Penurunan fungsi paru secara progresif
Eksaserbasi yang parah sering kali mengancam nyawa, dan pengobatannya
memerlukan supervisi yang ketat.

THIRD SEASON

1. Apa tujuan management asthma


Walaupun tidak ada penyembuhan untuk asma, management yg tepat termasuk
hubungan baik antara dokter dan pasien seringkali bisa mengontrol asma.
Tujuan management asthma adalah untuk :
a. Mencapai dan mempertahankan kontrol gejala
b. Mempertahankan level aktivitas normal, termasuk olahraga
c. Mempetahankan fungsi paru senormal mungkin
d. Mencegah eksaserbasi asma
e. Mencegah efek samping dari pengobatan asma
f. Mencegah mortalitas

2. Jelaskan kategori pengobatan asthma pada dewasa


Ketika dibandingkan dengan pengobatan yang digunakan pada penyakit kronis
lainnya, sebagian besar pengobatan yang digunakan untuk asma memiliki rasio
terapeutik yang baik.
Pilihan farmakologis untuk pengobatan jangka panjang terbagi menjadi tiga
kategori utama :
a. Controller medication : biasanya digunakan untuk pengobatan
pemeliharaan rutin. Obat-obatan ini mengurangi inflamasi saluran nafas,
mengontrol gejala, dan mengurangi resiko eksaserbasi dan penurunan fungsi
paru.(inhaled glukokortikosteroid, long acting inhaled beta-2 agonist)
b. Reliever (rescue) medication : ini diberikan pada semua pasien yang
membutuhkan untuk mengurangi gejala, termasuk ketika gejala
memburuk atau eksaserbasi. Biasanya direkomendasikan untuk prevensi

13
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

asma jangka pendek-bornkokonstriksi karena olahraga (rapid acting


inhaled beta-2 agnosit)
c. Terapi tambahan untuk pasien dengan asma parah : bisa digunakan
ketika pasien memiliki gejala presisten dan/atau eksaserbasi, biasanya
pasien diberi obat pengontrol dosis tinggi (biasanya ICS dosis tinggi dan
LABA) serta pengobatan untuk memodifikasi factor-faktor resiko.

3. Rute Administrasi obat pada Asthma


Untuk dewasa dan anak bisa diberikan melalui beberapa jalan, seperti inhalasi,
oral, dan parenteral (subkutan, intra muscular, atau injeksi intravena)

4. Keuntungan Terapi Secara Inhalasi?


1. Obat langsung masuk ke dalam jalur nafas.
2. Memproduksi konsentrasi lokal yang lebih tinggi.
3. Efek samping sistemik lebih rendah.

5. Kontrol Asthma
Kontrol Asthma dapat dilakukan dalam berbagai cara. Dalam jangka umum,
kontrol mungkin mengindikasi pencegahan penyakit atau bahkan penyembuhan.
Tujuan pengobatan harus mencapai & mempertahankan kontrol dalam jangka
panjang.

6. Manajemen
asma eksaserbasi
pada fasilitas
kesehatan tingkat
pertama (semisal :
puskesmas, tempat
praktek dokter
umum, dll)

14
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

7. Pada jalur pemberian apa Adrenoceptor agonis diberikan ? Berikan


alasannya !
Adrenoceptor agonis paling baik diberikan melalui inhalasi karena dapat
memberikan efek lokal terbaik pada saluran nafas otot polos dengan toksisitas
sistemik paling sedikit. Desposisi aerosol tergantung pada ukuran partikel, cara
bernafas dan bentuk dari saluran nafas. Partikel pada ukuran optimal sekitar 2-5 µm
, 80-90% dari dosis total aerosol akan diendapkan pada mulut atau faring.
Partikel dengan ukuran di bawah 1-2 µm mungkin akan ditahan dan dikeluarkan dari
saluran pernafasan.
Deposisi brokial pada aerosol akan meningkat oleh inhalasi lambat dari hampir
pernafasn penuh dan pada saat menahan nafas lebih dari 5 detik pada akhir inhalasi.

8. Jelaskan sifat farmakologi obat beta 2 selektif


Albuterol, terbutaline, metaproterenol, dan pirbuterol tersedia dalam
inhaler dosis meteran (?). diberikan dengan inhalasi, agen-agen ini menyebabkan
bronkodilators yang setara dengan mereka yang dihasilkan oleh isoproterenol.
Bronkodilatasi maksimal antara 15-30 menit dan berlanjut 3-4 jam. Administrasi
semuanya dapat diencerkan dalam larutan saline pada hand-held nebulizer. Karena
partikel yang dihasilkan dari nebulizer lebih besar daripada metered-dose inhaler,
diberikan dengan dosis yang lebih tinggi (2,5-5,0 mg versus 100-400 mcg) tapi tidak
lebih efektif. Oleh karena itu, Terapi nebulizer harusnya diberikan pada pasien yang
tidak mampu untuk mengkoordinasi inhalasi dari metered-dose inhaler.
Kebanyakan buatan obat beta-2 selektif adalah campuran dari isomer R dan S.
Hanya R isomer yang mengaktivasi reseptor beta. Mengingat isomer S
memungkinkan inflamasi, isomer R yg telah dimurnikan dari albuterol sudah
dikembangkan (levalbuterol). Apakah ini sebenarnya membawa keuntungan yang
signifikan pada penggunaan klinis masih belum dibuktikan.
Albuterol dan terbutaline juga didapatkan dalam bentuk tablet. 1 tablet 2-3 kali
sehari adalah aturan yang biasanya digunakan. Adverse effects yang utama dari
skeletal muscle tremor, nervousness,dan kelemahan yang tak berkala (kadang-

15
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

kadang) dapat dikurangi dimulai dari half- strength tablets untuk 2 minggu pertama
dari terapi. Rute administrasi menunjukan tidak adanya keuntungan dari treatment
inhalasi dan karena demikian jarang di resepkan.
Dari agen-agen ini, hanya terbutaline yang tersedia dalam injeksi subcutan
(0,25 mg). Indikasi pada rute ini mirip dengan subcutaneus epinephrine-severe asthma
yang membutuhkan pengobatan emergensi ketika terapi aerosol tidak tersedia atau
tidak efektif – tapi hal ini seharusnya diingat bahwa long duration of action dari
terbutaline berarti efek yang menumpuk dapat terlihat setelah injeksi yang berulang.
Generasi baru dari long-acting b2-selective agonist termasuk salmoterol dan
formoterol. Kedua obat ini berpotensi dalam selektif beta 2 agonis yang mencapai long
duration of action (12 jam atau lebih ) oleh karena itu lipid solubility meningkat.
Hal ini memungkinkan mereka untuk larut dalam otot polos membran sel dalam
konsentrasi yang tinggi atau, mungkin, melekat pada molekul “mooring” disekitar
adrenoceptor. Obat-obat ini berinteraksi dengan kortikosteroid untuk meningkatkan
kontrol asma. Karena mereka tidak memiliki aksi anti inflamasi, obat ini tidak
disarankan sebagai monoterapi dari asma. Tidak digunakan dalam pengobatan
bronkospasma akut.

9. toksisitas dari agen simpatomimetik


Penggunaan agen simpatomimetik secara inhalasi, pertama dapat
menyebabkan cardiac aritmia dan hypoksemia akut, takiphylaxis atau toleransi saat
diberikan berulang. Kemampuan vasodilatasi oleh pengobatan beta2 agonis dapat
meningkatkan perfusi dari unit paru-paru yang mengalami penurunan ventilasi, dan
menurunkan Pa02/tekanan oksigen arterial secara sementara. Efek ini sedikit, dan
mungkin terjadi dengan obat bronkodilator apa saja. Efek signifikan tergantung pada
PaO2 pasien. Administrasi dari oksigen suplemen dan rutin, adalah suatu pengobatan
untuk beberapa serangan asma akut, sehingga mengurangi kekhawatiran akan efeknya
Kekhawatiran lain, pengobatan dengan beta agonis dalam dosis
costumary (?) dapat menyebabkan letal cardiac aritmia , namun belum dibuktikan. Pada
pasien asma yang darurat, detak jantung yang ireguler meningkat diikuti peningkatan
pertukaran gas sebagai efek dari pengobatan bronkodilator dan administasi
oksigen

10. Komplikasi asma akut dan kronis


a. komplikasi akut
1. status asmatikus : exaserbasi akut dari asma yang tidak respon thdp pengobatan
brokodilator dan steroid
2. pneumonia
3. bronchitis
4. ateletaksis : kolapsnya alveoli sehingga menurunkan pertukaran gas
5. pneumotoraks : adanya udara pada cavum pleura yang mengganggu pernapasan
6. pneumomediastinum, emfisema cutis
7. kegagalan pernapasan (respiratory failure)

b. komplikasi kronis
1. COPD
2. cor pulmonale kronis

16
BLOK RESPI – CASE 1 FEMUR

3. remodeling saluran napas : terjadi perubahan struktur pada saluran napas,


meliputi metaplasia sel goblet, deposisi kolagen pada rongga subepitel, hiperplasi
otot polos pernapasan dan proliferasi kelenjar submukosa. Hasil dari perubahan-
perubahan ini adalah penebalan dinding saluran napas, dan terlibat dalam kartilaginous
(besar), dan membranous (kecil)

11. prognosis asma akut dan kronis


Prognosis nya bagus, kematian karena asma relative jarang, dan dapat
dicegah. Bagi penderita yang menjalani pengobatan dengan rutin, maka jarang
terjadi kematian

17

You might also like