Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Disusun oleh:
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul “Anemia Hemolitik” ini dengan baik dan tepat
waktu, meskipun penyusun mengetahui masih banyak kekurangan di dalamnya.
Penyusun juga sangat berterima kasih kepada dosen mata kuliah sistem imun dan
hematologi yaitu Ibu Destiya Dwi Pangestika S.Kep., Ners., yang telah
memberikan tugas ini dan juga kepada semua pihak yang telah membantu
penyusun selama pembuatan makalah berlangsung sehingga terealisasikannya
makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.3. Etiologi Anemia Hemolitik
1.2.4. Klasifikasi Anemia Hemolitik
1.2.5. Patofisiologi Anemia Hemolitik
1.2.6. Pathway Anemia Hemolitik
1.2.7. Manifestasi Klinis Anemia Hemolitik
1.2.8. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik Anemia Hemolitik
1.2.9. Penatalaksanaan Anemia Hemolitik
1.2.10. Komplikasi Anemia Hemolitik
1.3. Tujuan
Mengetahui tentang definisi, anatomi dan fisiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, pathway, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang/diagnostik, penatalaksanaan, dan komplikasi dari anemia
hemolitik. Selain itu, sebagai media pembelajaran dan referensi bagi
pembaca mengenai pembahasan keseluruhan tentang anemia hemolitik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
1. Plasma darah, bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas komponen-
komponen berikut ini.
Eritrosit: sel darah merah (SDM-red blood cell).
Leukosit: sel darah putih ( SDP-white blood cell).
Trombosit: butir pembeku darah – platelet.
Dalam keadaan fisiologis, darah selalu berada dalam pembuluh
darah, sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai berikut.
1. Sebagai alat pengangkut yang meliputi hal-hal berikut ini.
Mengangkut gas karbondioksida (CO2) dari jaringan perifer
kemudian dikeluarkan melalui paru-paru untuk didistribusikan ke
jaringan yang memerlukan.
Mengangkut sisa-sisa/ampas dari hasil metabolisme jaringan
berupa urea, kreatinin, dan asam urat.
Mengangkut sari makanan yang diserap melalui usus untuk
disebarkan ke seluruh jaringan tubuh.
Mengangkut hasil-hasil metabolisme jaringan.
2. Mengatur keseimbangan cairan tubuh.
3. Mengatur panas tubuh.
4. Berperan serta dalam mengatur pH cairan tubuh.
5. Mempertahankan tubuh dari serangan penyakit infeksi.
6. Mencegah perdarahan.
Hematopoiesis merupakan proses pembentukan darah. Tempat
hematopoiesis pada manusia berpindah-pindah, sesuai dengan usianya.
1. Yolk sac : usia 0-3 bulan intrauteri
2. Hati dan lien : usia 3-6 bulan intrauteri
3. Sumsum tulang : usia 4 bulan intrauteria sampai dewasa
Pada orang dewasa, dalam keadaan fisiologis, semua hematopoiesis
terjadi pada sumsum tulang. Dalam keadaan patologis, hematopoiesis terjadi
di luar sumsum tulang, terutama di lien yang disebut sebagai hematopoiesis
4
ekstrameduler. Untuk kelangsungan hematopoiesis diperlukan beberapa hal
berikut ini.
1. Sel induk hematopoietik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hematopoietik ialah sel-sel yang akan
berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit), butir pembeku (trombosit),
dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel
induk yang paling primitif disebut sebagai pluripotent stem cell
yang mempunyai sifat mampu memperbarui diri sendiri, sehingga
tidak pernah habis meskipun terus membelah (self renewal),
mampu memperbanyak diri (proliferatif), dan mampu
mematangkan diri menjadi sel-sel dengan fungsi tertentu
(diferensiatif).
2. Lingkungan mikro (microenvirontment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang
memungkinkan sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen
lingkungan mikro ini meliputi hal-hal berikut ini.
Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
Sel-sel stroma (sel endotel, makrofag, dan sel retikulum).
Matriks ekstraseluler (fibronektin, hemonektin, laminin,
kolagen, dan proteoglikan).
Lingkungan mikro sangat penting dalam hematopoiesis, karena
berfungsi untuk melakukan hal-hal berikut ini.
Menyediakan nutrisi dan bahan hematopoiesis yang
dibawa oleh peredaran darah mikro dalam sumsum
tulang.
Komunikasi antar sel.
Menghasilkan zat yang mengatur hematopoiesis
(hematopoietic growth factor, cytokine).
3. Bahan-bahan pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah
5
adalah sebagai berikut.
Asam folat dan vitamin B12: bahan pokok pembentuk inti sel.
Besi: diperlukan untuk pembentukan hemoglobin.
Cobalt, magnesium, Cu, dan Zn.
Vitamin: vitamin C, dan B kompleks.
4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah
dan kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang
matang dari sumsum tulang ke darah tepi, sehingga sumsum tulang
dapat merespon kebutuhan tubuh dengan cepat. Zat-zat yang
berpengaruh dalam mekanisme regulasi adalah sebagai berikut.
Faktor pertumbuhan hematopoiesis (hematopoietic growth
factor)
Granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-
CSF)
Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF)
Macrophage colony stimulating factor (M-CSF)
Thrombopoietin
Burst promoting activity (BPA)
Stem cell factor
Sitokinin: ada dua jenis sitokinin, yaitu sitokinin yang
merangsang pertumbuhan sel induk dan sitokinin yang
menekan pertumbuhan sel induk, dan keduanya harus
seimbang.
Hormon hemapoetik spesifik
Eritropoietin: hormon yang dibentuk di ginjal khusus
merangsang pertumbuhan precursor eritrosit.
Hormon non-spesifik:
Androgen: menstimulasi eritropoiesis
Estrogen: inhibisi eritropoiesis
6
Glukokortikoid
Hormon tiroid
Growth hormon
2.3. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia hemolitik ialah akibat penghancuran
(hemolisis) eritrosit yang berlebihan. Pada prinsipnya anemia hemolisis
dapat terjadi akibat:
1) Defek molekular hemoglobinopati atau enzimopati;
2) Abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3) Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau antibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan
menjadi (Anemia Hemolitik, 2015):
A. Anemia Hemolisis Herediter (Genetik/Keturunan)
Defek enzim/enzimopati
a. Defek jalur embden meyerhof
Defisiensi piruvat kinase
Defisiensi glukosa fosfat isomerase
Defisiensi fosfogliserat kinase
b. Defek jalur heksosa monofosfat
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
Defisiensi glutation reduktase
c. Hemoglobinopati
Thalassemia
Anemia sickle cell
Hemoglobinopati lain
d. Defek membrane (membranopati/sferositosis herediter)
B. Anemia Hemolisis yang Didapat
1. Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-
obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi.
7
2. Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura
(TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID)/Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
preeclampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
3. Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi
Clostridium.
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien,
anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:
1) Anemia hemolisis intrakorpuskular
Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi
darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel
normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien;
2) Anemia hemolisis ekstrakorpuskular
Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah
resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. (Anemia Hemolitik,
2015).
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada
kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi (Anemia
Hemolitik, 2015):
1. Anemia Hemolisis Imun
Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya
IgG atau IgM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (biasa
disebut autoantibodi).
2. Anemia Hemolisis Non Imun
Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi
karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor
lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme,
kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang
mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.
8
Anemia hemolitik dapat disebabkan antara lain oleh:
Anemia sel sabit;
Malaria;
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir; dan
Reaksi transfusi (Wiwik H dan Andi S.H, 2008).
2.4. Klasifikasi
Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua
golongan besar sebagai berikut:
1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri
(intrakorpuskular), yang sebagian besar bersifat herediter-familiar.
2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskular),
yang sebagian besar bersifat didapatkan (Wiwik H & Andi S.H,
2008).
2.5. Patofisiologi
Proses hemolisis akan menimbulkan beberapa gejala berikut ini (Wiwik H
& Andi S.H, 2008).
1. Penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia.
Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan, sehingga dapat diatasi oleh
mekanisme kompensasi tubuh, tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba,
sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin.
2. Peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh. Hemolisis
berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua.
Hemolisis ekstravaskular
Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikulo
endotelial (RES) terutama pada lien, hepar, dan sumsum
tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase.
Lisis terjadi karena kerusakan membran, presipitasi
hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas
eritrosit. Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin
9
yang akan dikembalikan ke protein pool, serta besi yang
dikembalikan ke makrofag selanjutnya akan digunakan
kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas CO
dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan
albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi
dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses
dan urobilinogen dalam urine.
Hemolisis intravaskular
Pemecahan eritrosit intravaskular menyebabkan lepasnya
hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini
akan diikat oleh hepatoglobin, sehingga kadar hepatoglobin
plasma akan menurun. Apabila kapasitas hepatoglobin
dilampaui, maka terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma
yang disebut sebagai hemoglobinemia. Hemoglobin bebas
akan mengalami oksidasi menjadi metamoglobin sehingga
terjadi metemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan keluar
melalui urine sehingga terjadi hemoglobinuria. Pemecahan
eritrosit intravaskular akan melepaskan banyak LDH yang
terdapat dalam eritrosit, sehingga serum LDH akan
meningkat.
3. Kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis.
Destruksi eritrosit dalam darah tepi akan merangsang mekanisme
bio-feedback sehingga sumsum tulang meningkatkan eritropoiesis.
Peningkatan eritropoiesis ditandai oleh peningkatan jumlah
eritroblast dalam sumsum tulang, sehingga terjadi hiperplasia
normoblastik.
10
2.6. Pathway
11
Gambar 2. Alur diagnostik pasien anemia hemolitik
(Sumber: Berman BW. Chapter 48. Pallor and Anemia. In: Kliegman RM,
Greenbaum LA, Lye PS. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and
Therapy. 2nd edition. Philadelphia; Saunders; 2004. p.873-894).
12
2.7. Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh fatig dan keluhan ini dapat terlihat bersama
dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik,
biasanya dapat ditemukan ikterus dan splenomegali. Apabila pasien
mempunyai penyakit dasar seperti LES atau leukemia limfositik kronik,
gambaran klinis penyakit tersebut dapat terlihat.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (Anemia Hemolitik, 2015):
Tampak pucat dan ikterus.
Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati.
Dapat ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Takikardia dan aliran murmur pada katup jantung.
Perlu juga dicari hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia
hemolisis tertentum. Misalnya ditemukan ulkus tungkai pada anemia sickle
cell.
Penyakit ini gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses yang
juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis (Anemia Hemolitik, 2015):
1. Kerusakan pada eritrosit
a. Fragmentasi dan kontraksi eritrosit pada hapusan darah tepi,
terutama nampak pada anemia hemolitik karena obat-obatan dan
anemia hemolitik mikroangiopatik.
b. Sferositosis
Mekanisme terjadinya sferositosis ialah karena adanya beberapa
eritrosit yang terikat pada sel-sel pelapis sinus-sinus yang telah
diaktifkan oleh IgG sehingga mengalami perubahan bentuk, akan
tetapi sel-sel tersebut lolos dari eritrofagositosis dan untuk
sementara tetap beredar. Oleh karena bentuknya yang abnormal
sferosit mudah tertangkap dalam trabekula limpa dan
dihancurkan.
2. Katabolisme HB yang meningkat
Indikator-indikator utama proses ini ialah:
a. Hiperbilirubinemia : Ikterus
13
b. Hemoglobinemia
c. Urobilinogenuria atau uribilinuri
d. Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
e. Hemosiderinuri
f. Haptoglobin menurun
3. Eritropoiesis yang meningkat karena kompensasi sumsum tulang
a. Darah tepi: retikulositosis, normoblastemia.
b. Sumsum tulang : hyperplasia eritroid, hyperplasia sumsum tulang.
c. Eritropoiesis ekstramedular.
d. Absorbsi Fe meningkat.
2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan
penyebabnya. Bila karena reaksi toksik-imunologik yang didapat diberikan
adalah kortikosteroid (prednisone, prednisolon), kalau perlu dilakukan
splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat
sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia
hemolitik autoimun diterapi dengan:
Kortikosteroid 1 - 1,5 mg/kgBB/hari
Splenektomi
Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
Danazol 600-800 mg/hari
Terapi transfuse
Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan
klasifikasi (Anemia Hemolitik, 2015).
14
a. Defisiensi G6PD
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu
terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada
hemolisis berat, yang biasa terjadi pada varian mediteranian,
mungkin diperlukan transfusi darah.
b. Defek Jalur Embden Meyerhof
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali
dengan hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari.
Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik.
c. Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan
melakukan eradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera,
sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat
asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya
ditunda sampai terbukti adanya besi.
2.10. Komplikasi
Anemia hemolitik dapat menimbulkan komplikasi yang berat
berupa gagal ginjal akut (GGA). Pada malaria yang berat dapat
menimbulkan komplikasi seperti: hiperpireksia, kolaps sirkulasi (renjatan),
hemoglobinuria (black water fever), hipoglikemia (gula darah <40 mg/dl).
15
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya.
Pada anemia hemolitik, terjadi kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari
umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari. Sehingga pada umumnya
ditemukan gejala anemia, anoksia, ikterus, serta splenomegali.
Anemia hemolitik dapat ditegakkan dengan anamnesis yang tepat
dan diperkuat dengan hasil laboratorium, sehingga dapat ditangani dengan
cepat dan tepat. Apabila tidak cepat ditangani maka dapat timbul komplikasi
yang berat berupa gagal ginjal akut (GGA), dan syok (seperti:sesak napas,
hipotensi, hiperkalemia). Anemia hemolitik merupakan anemia yang tidak
terlalu sering dijumpai, tetapi apabila dijumpai perlu pendekatan diagnostik
yang tepat dan harus segera ditangani sesuai penyebab yang mendasari
munculnya anemia hemolitik tersebut.
16
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Wiwik., dan Haribowo, Andi Sulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.
Jakarta: Salemba Medika.