You are on page 1of 11

Learning Objective!

1. Fisiologi Hepatobiler dan fungsi hati


2. Klasifikasi sirosis hati
3. Manifestasi klinis Hepatitis B
4. Mekanisme terjadinya asites
5. Penatalaksanaan pada sirosis hati (farmakologi dan non farmakologi)
6. Komplikasi sirosis hati dan prognosisnya
7. Insiden epidemiologi sirosis hati
8. Hubungan pemeriksaan penunjang pada scenario dengan sirosis hati
9. Hubungan alcohol dengan sirosis hati
10. Pemeriksaan penunjang pada asites

Jawaban

1. fungsi hati :
a. Metabolisme karbohidrat
 Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
 Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
 Gluconeogenesis
 Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara
metabolism karbohidrat
b. metablisme lemak
 oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh
yang lain
 sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
 mensistesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein
 Deasaminasi asam amino
 Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari tubuh
 Pembentukan protein plasma
 Interkonversi beragam asam amino dari sintesis senyawa lain
dari asam amino
d. sintesis garam empedu, garam empedu digunakan dalam usus halus
untuk emulsifikasi dan absorpsi lipid
e. ekskresi bilirubin, bilirubin adalah derivate dari heme dari eritrosit
yang suda tua, di absorbsi di liver dari darah dan disekresikan ke
kandung empedu. Kebanyakan bilirubin dalam empedu di metabolism
di usus halus oleh bakteri dan dieliminasi di feses
referensi : guyton & hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Elsevier. Singapore
Tortora, GJ. 2014. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 14.
Wiley. USA
2. Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis,
yaitu :
a. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3
mm.
b. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran >
3 mm.
c. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul
yang terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran >
3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas :
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya
stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya
gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.
Referensi : Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011
February 23rd]. Available from : http://repository.usu.ac.id/
Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta : Interna Publishing; 2014.
hal. 1978-1983.

3. Manifestasi klinis hepatitis B kronik :


a. hepatitis B kronik yang masih aktif. HBsAg positif dengan DNA
VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT yang
menetap atau intermiten. Pada pasie sering diadapatkan tanda-
tanda penyakit hati kronik. Pada biopsy hati didapatkan gambaran
peradangan yang aktif. Menurut status HBsAg pasien
dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBsAg positif dan
hepatitis B kronik HBsAg negative.
b. Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV carrier state). Pada kelompok
ini HBsAg positif dengan titer DNA HBV yang rendah yaitu
kurang dari 105 kopi/ml. pasien menujukkan kadar ALT normal
dan tidak didapatkan keluhan. Pada pemeriksaan histologik
terdapat kelainan jaringan yang minimal.
Referensi : Soemohardjo & Gunawan. Hepatitis B kronik. Dalam : Sudoyo
AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta :
Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2014. hal.
1963-1971.

4. mekanisme terjadinya asites :


Akumulasi cairan asites dalam rongga peritoneum menggambarkan
ketidakseimbangan pengeluaran air dan garam. Saat ini penyebabnya
belum diketahui dengan pasti, namun ada beberapa teori yang telah
dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme terbentuknya asites, yaitu:
a. Hipotesis underfilling
Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena sekuestrasi
cairan yang tidak memadai pada pembuluh darah splanknik akibat
peningkatan tekanan portal dan penurunan Effective Arterial Blood
Volume (EABV). Hal tersebut mengakibatkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron dan sistem persarafan simpatis
sehingga terjadi retensi air dan garam.
b. Hipotesis Overflow.
Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena ketidakmampuan
ginjal dalam mengatasi retensi garam dan air, yang berakibat tidak
adanya penurunan volume. Dasar teori ini adalah kondisi
hipervolemia intravaskular yang umum dijumpai pada pasien
dengan sirosis hati.
c. Hipotesis vasodilatasi arteri perifer
Hipotesis ini adalah hipotesis terbaru yang merupakan gabungan
dari kedua hipotesis sebelumnya. Hipertensi por- tal menyebabkan
vasodilatasi arteri perifer, dan berakibat penurunan EABV. Sesuai
dengan perjalanan alami penyakit, terdapat peningkatan eksitasi
neurohumoral, dan peningkatan retensi natrium oleh ginjal
sehingga volume plasma meningkat. Urutan kejadian antara
hipertensi portal dan retensi natrium ginjal belum jelas. Hipertensi
portal juga menye- babkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat
oksida merupakan mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada arteri
hepatika pasien asites lebih besar daripada pasien tanpa asites.
Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin, dan
hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam pembentukan
asites. Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma ke
rongga peritoneum. Dengan demikian, asites jarang terjadi
pada pasien sirosis tanpa hipertensi portal dan
hipoalbuminemia.
Referensi : Godong B. 2013. Patofisiologi dan Diagnosis Asites Pada
anak. Journal Indonesia Medical Association. Volume 63. Nomor 1. Pp
32-35. Viewed 25 Juni 2015. From <
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/125
1/1227>

5. Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk


mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk
mengurangi progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
 Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
 Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
 Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
 Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
 Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
 Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
 Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-
1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.

2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata


 Asites
 Tirah baring
 Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
 Diuretic : spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic
bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa
edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi
dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
 Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.
 Restriksi cairan, direkomendasikan jika natrium serum
kurang 120-125 mmol/L
 Peritonitis Bakterial Spontan
 Pasien asites dengan jumlah sel PMN >250/mm3 mendapat
profilaksis untuk mencegah PBS dengan sefotaksim dan
albumin.
 Albumin, diberikan 2 g IV tiap 8 jam, 1,5 g/kg IV dalam 6
jam, 1 g/kg IV hari ke 3.
 Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis
dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3
minggu.
 Trimethoprin/sulfamethoxazole, 1 tablet oral/hr untuk
profilaksis, 1 tablet oral 2kali/hari selama 7 hari untuk
perdarahan GI
 Varises Esofagus
 Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol) 40-80 mg oral 2kali/hr
 Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat
somatostatin atau okreotid, diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligasi endoskopi
 Ensefalopati Hepatik
 Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
 Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia
 Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang
 Sindrom Hepatorenal
Transjugural intrahepatic portosystemic shunt efektif menurunkan
hipertensi porta dan memperbaiki HRS, serta menurunkan
perdarahan GI. Bila terapi medis gagal dipertimbangkan untuk
transplantasi hati merupakan terapi definitife.
Referensi : Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta : Interna
Publishing; 2014. hal. 1978-1983.

6. komplikasi serosis hati :


a. hipertensi portal, adalah peningkatan hepatic Venous pressure
gradient (HVPG) lebih 5 mmHg. Hipertensi portal terjadi akibat
adanya :
 peningkatan resistensi intra hepatic terhadap aliran darah porta
akibat adanya nodul degenerative, dan
 peningkatan aliran darah splanchnic sekunder akbiat
vasodilatasi pada splanchnic vascularbed.
a. asites, penyebab asites paling banyak pada sirosis hati adalah
hipertensi porta, disamping adanya hipoalbuminemia dan
disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan di
peritoneum.
b. Varises Gastroesofagus (VE), merupakan kolateral
portosistemik yang paling penting. Pecahnya VE
mengakibatkan perdarahan varises berakibat fatal.
c. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS), merupakan komplikasi
berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan
infeksi spontan cairan asites tanpa adanya focus infeksi
intraabdominal.
d. Ensefalopati Hepatikum (EH), mekanisme terjadinya EH
adalah akibat hiperammonia, terjadi penurunan hepatic uptake
sebagai akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts dan/atau
penurunan sintesis urea dan glutamic.
e. Sindorom Hepatorenal, merupakan gangguan fungsi ginjal
tanpa kelainan organic ginjal, yang ditemukan pada sirosis hati
tahap lanjut.
Prognosis :
Tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang mendasari penyakit.
Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai tingakt keparahan
SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor
Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver disease I (MELD)
yang digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana tranplantasi hati.
Referensi : Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta : Interna
Publishing; 2014. hal. 1978-1983.

7. epidemiologi :
sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita
yang berusia 45-46 tahun. Penderita SH lebih banyak lakilaki, jika
dibandingkan dengan wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur rata-rata
penderitan terbanyak golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya
sekitar 40-49 tahun. Penyebab SH sebagian besar adalah penyakit hati
alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis C. angka
kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara 21,2-46,9%
dan hepatitis C berkisar 38,7-73,9%.
Referensi : Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta : Interna
Publishing; 2014. hal. 1978-1983.

8. Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis


hepatis antara lain :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau
ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi.
AST lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini normal,
tidak mengeyampingkan adanya sirosis
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya
meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang
selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Referensi : Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid 2. Jakarta : Interna
Publishing; 2014. hal. 1978-1983.

9. Hubungan alcohol dengan sirosis hati :


Penyalahgunaan alkohol dengan kejadian sirosis hati sangat erat
hubungannya. Etanol merupakan hepatotoksin yang mengarah pada
perkembangan fatty liver, hepatitis alkoholik dan pada akhirnya dapat
menimbulkan sirosis. Patogenesis yang terjadi mungkin berbeda
tergantung pada penyebab dari penyakit hati. Secara umum, ada
peradangan kronis baik karena racun (alkohol dan obat), infeksi (virus
hepatitis, parasit), autoimun (hepatitis kronis aktif, sirosis bilier primer),
atau obstruksi bilier (batu saluran empedu), kemudian akan berkembang
menjadi fibrosis difus dan sirosis.
Referensi: jurnal Universitas Diponegoro
(http://eprints.undip.ac.id/44847/3/pdf )

10. pemeriksaan penunjang


berupa pemeriksaan radiologi, dan laboratorium. Pemeriksaan radiologi
yang dapatdilakukan meliputi pemeriksaan rontgen toraks dan abdomen,
USG, CT-Scan dan MRI abdomen.
a. Rontgen toraks dan abdomen
Asites masif mengakibatkan elevasi difragma dengan atau tanpa
adanya efusi pleura. Pada foto polos abdomen asites ditandai
dengan adanya kesuraman yang merata, batas organ jaringan lunak
yang tidak jelas, seperti: otot psoas, liver dan limpa. Udara usus
juga terlihat mengumpul di tengah (menjauhi garis lemak
preperitoneal), dan bulging flanks.
b. USG
USG adalah cara paling mudah dan sangat sensitif, karena dapat
mendeteksi asites walaupun dalam jumlah yang masih sedikit (kira
kira 5-10ml). Apabila jumlah asites sangat sedikit, maka umumnya
akan terkumpul di Morison Pouch, dan di sekitar hati tampak
seperti pita yang sonolusen. Asites yang banyak akan
menimbulkan gambaran usus halus seperti lollipop. Pemeriksaan
USG juga dapat menemukan gambaran infeksi, keganasan dan/atau
peradangan sebagai penyebab asites. Asites yang tidak mengalami
komplikasi gambaran USG umumnya anekoik homogen, dan usus
tampak bergerak bebas. 9 Asites yang disertai keganasan atau
infeksi akan memperlihatkan gambaran ekostruktur cairan
heterogen, dan tampak debris internal. Usus akan terlihat
menempel sepanjang dinding perut belakang; pada hati atau organ
lain; atau dikelilingi cairan.
Namun demikian, USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi
asites pada pasien obesitas, dan asites yang terlokalisir karena
gelombang ultrasound dapat terhalang oleh jaringan lemak dan gas
di dalam lumen.
c. CT Scan
CT Scan memberikan gambaran yang jelas untuk asites. Asites
dalam jumlah yang sedikit akan tampak terlokalisasir pada area
perhepatik kanan, subhepatik bawah, dan pada kavum douglas.9
Densitas dari gambaran CT Scan dapat memberi arahan tentang
penyebab dari asites,
d. MRI
MRI adalah pemeriksaan yang sangat baik digunakan dalam
mendeteksi cairan di rongga peritoneum. Pada anak- anak
pemeriksaan MRI ini lebih disukai karena waktu pemeriksaan yang
lebih singkat.1
Referensi : Godong B. 2013. Patofisiologi dan Diagnosis Asites Pada
anak. Journal Indonesia Medical Association. Volume 63. Nomor 1. Pp
32-35. Viewed 25 Juni 2015. From <
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/125
1/1227>

You might also like