You are on page 1of 8

Learning Objective !

1. Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis pada epilepsy ?


2. Diagnosis banding ?

Jawaban !

1. Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.


Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan
terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk
akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa
mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon
terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi
adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi).

Prinsip-prinsip Terapi Obat Antiepilepsi :


a. Menentukan diagnosis yang tepat
b. Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang
terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita
epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang
berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat
antiepilepsi.
c. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
d. Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien
dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai
pengobatan. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah
kejang pertama, dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko
terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably
treat.
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko
di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang
mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi.
Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika
mengalami bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa
digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di
kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi
benigna dengan “spikes” sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-
waktu ujian

Pemberian OAE setelah Kejang >2 kali


Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Pada pasien yang mengalami kejang pertama
namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan
terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir
tahun kedua setelah kejang yang pertama. Risiko terjadinya kekambuhan
yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Kenaikan inhibisi GABA-
ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Adapun obat-obat
yang sesuai.

Obat-obat Anti Epilepsi


Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik
yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi.
Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah
terapi karena dapat ditoleransi.
Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat
tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan
secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang
dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini,
dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien.
Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan
menaikkan dosis yang lebih kecil.

Obat Dosis Dosis yang Dosis Frekuensi Efek samping


awal paling maintenan pemberian
(mg/hari) umum ce (kali/hari)
(mg/hari) (mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme,
hipertrofi
gusi, distres
lambung,
penglihatan
kabur,
vertigo,
hiperglikemia,
anemia
makrositik

Karbamaze 200 600 400-2000 2-4 Depresi


pin sumsum
tulang,
distress
lambung,
sedasi,
penglihatan
kabur,
konstipasi,
ruam kulit
Okskarbaze 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI,
pin sedasi,
diplopia,
hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik,
ruam,
sindrom
steven-
johnson, nyeri
kepala,
pusing,
penglihatan
kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen,
ataksia,
kelelahan,
anoreksia,
pusing, batu
ginjal,
leukopenia
Ethosuximi 500 1000 500-2000 1-2 Mual,
d muntah, BB
↓, konstipasi,
diare,
gangguan
tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB ↓ ,
anoreksia,
nyeri kepala,
insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis,
insomnia, BB
↓, konstipasi,
mulut kering,
sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk,
kebingungan,
nyeri kepala,
vertigo,
sinkop
Fenobarbita 60 120 60-240 1-2 Sedasi,
l distress
lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering,
pusing,
sedasi,
langkah
terhuyung,
nyeri kepala,
eksaserbasi
kejang
generalisata
Vigabatrin 500- 3000 2000-4000 1-2
1000
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,m
ulut kering,
penglihatan
kabur,
mialgia,
penambahan
berat,
kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual,
hepatotoksik
Levetiraceta 1000 2000-3000 1000-4000 2
m

Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
c. Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range
dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara
bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis
obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau
dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai
monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses
tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.

Politerapi
Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
mempunyai mekanisme aksi berbeda, efek samping relatif ringan, indeks
terapi lebar, dan interaksi obat terbatas atau negatif. Kombinasi obat hanya
dipakai apabila semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua
macam obat lini pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih
besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain
diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua.
Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik
obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila
ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus
tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit
disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada
kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy
refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi
lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang
mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus
minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi
otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan
korpus kalosum.
Epilepsi lobus temporal adalah jenis epilepsi fokal yang potensial untuk
resisten terhadap pengobatan. Epilepsi lobus temporal yang tidak merespons
obat dapat meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup dengan menjalani
operasi dari bagian lobus temporal dari otak, Meskipun obat anti-epilepsi
tersedia saat ini, 20 persen sampai 40 persen dari semua pasien dengan
epilepsi tidak memberikan respon terhadap manajemen medis.
Alternatif bentuk pengobatannya adalah lobus temporal resection
(prosedur dimana jaringan otak pada lobus temporal dipotong). Pasien
menjadi bebas kejang setelah dilakukan reseksi lobus temporal anterior
(reseksi ke arah depan) untuk mengurangi tingkat kematian terhadap pasien
terus mengalami kejang. Keuntungan reseksi anterior lobus temporal adalah
untuk meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup.
Untuk pasien dengan epilepsi lobus temporal pharmacoresistant, hasil ini
memberikan perspektif tambahan untuk membandingkan manfaat relatif dari
operasi epilepsi dengan manajemen medis lanjutan, waktu yang tepat untuk
dilakukannya operasi sangat penting, karena pada usia yang lebih tua
kemungkinan untuk bebas kejang lebih rendah. Setelah reseksi lobus anterior
temporal, Referral untuk program bedah epilepsi harus dipertimbangkan
apabila telah terjadi toleransi pada minimal 2 obat antiepilepsi yang telah
dicoba pada dosis maksimum. Kerugian pembedahan lobus tempoaral pada
epilepsi yaitu akan terjadi penurunan yang signifikan dalam memori verbal.
Jenis kehilangan memori dikaitkan dengan belajar dan mengingat.

2. Diagnosis banding
a. Sinkope, dapat bersifat kardiogenik, hipovolemik, hipotensi, dll. Sinkope
ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan
alirandarah ke dalam otak dan anoksia. Pada fase permulaan, penderita
menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan
mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan
darah rendah.
b. Hipoglikemia : Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi,
tremor, mulut kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
c. Histeria : Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita
7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir
karena ingin menarik perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh,
mengompol, atau perubahan pasca serangan seperti terdapat pada
epilepsy. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang
tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.
d. Keracunan : Keracunan alcohol, obat tidur, penenang, menyebabkan
kesadaran menurun.Pada keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung
lama yang mungkin pula di dapati pada epilepsy.
e. Transient Ischemic Attact : Serangan ini dibedakan dari kejang dengan
durasi lebih lama, kurangnya menyebar, dan gejala. Tingkat kesadaran,
yang tidak berubah, tidak membedakan mereka. Ada kehilangan motor
atau fungsi sensorik (misalnya, kelemahan atau mati rasa) dengan
serangan iskemik transien, sedangkan gejala positif (misalnya, kejang
atau parestesia menyentak) ciri kejang.
f. Imbalance Elektrolit : Manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit
pada susunan sarf pusat secara umum adalah gangguan fungsional otak,
dan tidak berhubungan dengan perubahan morfologik jaringan otak. Oleh
karena itu manifestasi neurologis pada gangguan elektrolit bersifat
reversibel. Kejang sering bersifat tonik klonik walaupun dapat berupa
bangkitan lain. Kejang biasanya terjadi pada pasien kelainan kadar
natrium, hipokalemia, hipomagnesium.
g. Viral encephalitis : suatu proses inflamasi akut pada otak. Proses ini
jarang terbatas pada otak saja sehingga sering digunakan istilah
meningoensefalitis. Tanda utamanya adalah demam, nyeri kepala, dan
perubahan tingkat kesadaran, tanda lainnya fotofobia, bingung, dan
kadang disertai kejang
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono et all. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta. PERDOSSI


(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). 2011.
2. Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto. Pengenalan dan penatalaksanaan
kasus-kasus neurologi. Jakarta : Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto,
2007. h. 63-71.

You might also like