You are on page 1of 12

FARMASI FORENSIK

REVIEW JURNAL KASUS PENYALAHGUNAAN OBAT ANASTESI


KETAMIN

OLEH:
KELAS B1A

A.A. SAGUNG DEWI PRADNYA PRAMITA 162200002


NI NYOMAN SUARDANI 162200018
NI PUTU IRMA RIANA RAHMADEWI 162200023
SANTY DEWI KUMALASARI W. 162200025

JURUSAN S1 FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2018
I. GAMBARAN UMUM KASUS
Sebuah dugaan kasus bunuh diri terjadi di desa Nivaana, Distrik Jaipur, India
pada tanggal 13 September 2008, dimana empat anggota keluarga yang terdiri dari
seorang laki-laki, istri dan 2 orang anaknya ditemukan tewas di tempat tinggal
mereka. Berdasarkan pengamatan dan penyelidikan di tempat kejadian perkara
(TKP) secara menyeluruh oleh pakar forensik, ditemukan beberapa bukti sebagai
berikut:
1. Ketika dilakukan pemeriksaan terhadap tempat kejadian perkara, tidak
ditemukan adanya gangguan pada ornamen yang ada di dalam rumah. Pada
tubuh korban juga tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan
sehingga tidak mengarah pada motif pencurian/jarahan.
2. Tidak ditemukan adanya muntahan pada TKP maupun tubuh korban
sehingga tidak mengarah pada kasus keracunan oral.
3. Peralatan dapur ditemukan bersih dan tidak terpakai, beberapa peralatan
baja (stainless steel) ditemukan mengandung bahan makanan (Rabdee) dan
salah satunya berbau insektisida, namun tidak ditemukan adanya
pembungkus/wadah bahan beracun di TKP sehingga tidak mengarah pada
kasus bunuh diri massal.
4. Pada ruangan lain ditemukan sejumlah obat-obatan; botol injeksi yang
disegel, yaitu Reglan (metoclopramide) dan Amicin (amikacin); botol
dextrose beserta alat suntik yang masih terbungkus (belum terpakai). Hal ini
menunjukkan salah satu anggota keluarga merupakan seorang praktisi
medis, dimana hal ini diperkuat dengan keterangan polisi bahwa anak
sulung dari keluarga tersebut merupakan tenaga medis yang melakukan
praktik di desa lain dan tidak tinggal di desa tersebut semenjak hari kejadian.
Berdasarkan temuan tersebut dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium,
korban mengalami keracunan dari kombinasi obat-obatan, yaitu pentazocine
(analgetik dan pre-anestetik), phenargan dan ketamine (anestesi) serta insektisida
yaitu endosulfan. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan
kejahatan ini kemungkinan orang yang terlatih secara medis sehingga anak sulung
keluarga ini menjadi target kepolisian (Sharma et all, 2010).

2
II. PROFIL FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIKA
Ketamine merupakan obat yang digunakan sebagai anestesi pada pengobatan
hewan dan prosedur operasi pada manusia sejak 1961. Ketamine menghasilkan
reaksi post-hypnotic seperti halusinasi dan delirium (disorientasi/kebingungan
sementara) yang menyebabkan peningkatan penyalahgunaan seperti di Singapura
sehingga obat ini dikategorikan sebagai Class B Controlled Drug under the Misuse
of Drugs Act pada September 1999. Penyalahgunaan ketamine dapat terjadi melalui
rute inhalasi (dominan), oral atau injeksi, dimana mayoritas penggunanya adalah
remaja dan orang yang bekerja (Leong et. all, 2005).
Ketamine (2-(2-klorofenil)-2-(metilamino)-sikloheksanon) adalah
arilkloalkilamin yang secara struktural terkait dengan phencyclidine (PCP) yang
larut dalam air, berbentuk kristal putih dan memiliki pKa 7,5 (WHO, 2006).

Gambar 1. Struktur Kimia Ketamine (WHO, 2006)

1. Profil Farmakokinetika Ketamine


Absorpsi Ketamine cepat diserap saat diberikan melalui
intramuskular (Tmax 5-15 menit), nasal (Tmax 20
menit) atau rute oral (sebagai larutan) (Tmax 30
menit). Ketersediaan hayati rendah saat ketamine
diberikan secara oral (17%) atau rektal (25%) yang
disebabkan oleh terjadinya first pass metabolism di
hati dan usus. Ketersediaan hayati setelah
pemberian nasal sekitar 50% (Malinovsky et al.,
1996 dalam WHO, 2006). Hal ini sebagian
disebabkan oleh penimbunan deposit intranasal
yang cukup besar.
Distribusi Ketamin memiliki kelarutan lipida yang tinggi dan
ikatan protein plasma yang rendah (12%) sehingga
memudahkan transfer secara cepat melintasi sawar
3
darah otak. Awalnya didistribusikan ke jaringan
yang perfusinya tinggi termasuk otak, (untuk
mencapai 4-5 kali lipat pada plasma dengan waktu
paruh distribusi setelah i.v. 24 detik). Setelah efek
SSP mereda, diikuti dengan redistribusi ke jaringan
yang perfusinya kurang sempurna (waktu paruh
redistribusi adalah 2,7 menit).
Metabolisme Biotransformasi terutama terjadi di hati, dimana
jalur yang paling penting adalah N-demethylation ke
norketamine. Bila diberikan secara oral atau rektal,
konsentrasi plasma norketamine awal lebih tinggi
daripada ketamine, namun Area Under Curve
(AUC) norketamine serupa untuk semua rute
pemberian. Norketamine memiliki sepertiga potensi
anestesi dari ketamin dan memiliki efek analgesik.
Norketamine dimetabolisme melalui beberapa jalur,
namun sebagian besar mengalami hidroksilasi dan
selanjutnya terkonjugasi.
Ekskresi Rute utama eliminasi adalah dengan metabolisme
hati. Tingkat ekstraksi tinggi (0,9) membuat klirens
ketamine rentan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran darah. Metabolit hidroksi
terkonjugasi terutama diekskresikan melalui ginjal.
Waktu paruh eliminasi berkisar 100-200 menit.
(WHO, 2006)

2. Profil Farmakodinamika Ketamine


Ketamine terikat pada PCP binding site dari kompleks reseptor N-metil-D-
aspartate (NMDA) yang berada di dalam saluran ion sehingga menghalangi
fluks ion transmembran. Hal ini membuat ketamine menjadi antagonis reseptor
NMDA non-kompetitif. Reseptor NMDA adalah reseptor calcium-gated
channel, dimana agonis endogen dari reseptor ini terdiri dari asam amino seperti
asam glutamat, asam aspartat dan glisin. Hasil dari aktivasi reseptor adalah
pembukaan saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA terlibat
dalam masukan sensorik pada tingkat spinal (tulang belakang), thalamus
(fungsi sensorik dan motorik pada otak), limbic (struktur otak yang
berhubungan dengan emosi) dan cortical (tulang bagian luar). Ketamin
diharapkan bisa menghalangi atau mengganggu input sensorik ke pusat SSP

4
yang lebih tinggi dengan respons emosional terhadap rangsangan (Bergman,
1999 dalam WHO, 2006).
3. Dosis dan Toksisitas Ketamine
Dosis i.v Dosis berkisar 1-4,5 mg/kg (setara dengan 2 mg ketamine/kg
BB) diberikan selama 60 detik untuk menghasilkan anestesi
bedah dalam 30 detik yang berlangsung selama 5-10 menit.
Dosis i.m Dosis berkisar 6,5-13 mg/kg (setara dengan 10 mg
ketamine/kg BB) yang menghasilkan anestesi bedah dalam
waktu 3-4 menit yang berlangsung selama 12-25 menit
(WHO, 2006; Medscape, 2018)

Toksisitas akut dosis tunggal menunjukkan LD50 antara 140 mg/kg BB


(secara intraperitoneal pada tikus neonatal) dan 616 mg/kg BB secara oral pada
tikus. Pada mencit dewasa dan tikus, kadar LD50 masing-masing adalah 224 ±
4 mg/kg dan 229±5 mg/kg, namun rute pemberian tidak diketahui. Dosis ≥ 25
mg/kg i.v pada monyet tupai menyebabkan efek anestesi, dimana konsentrasi
tertinggi yang diuji yaitu 350 mg/kg menyebabkan 4 dari 5 monyet mati. Pada
manusia, dosis i.v terendah yang direkomendasikan untuk menginduksi anestesi
adalah 1 mg/kg. Menerapkan rasio dosis minimal anestesi yang sama terhadap
dosis non-letal tertinggi kepada manusia menyiratkan bahwa dosis di atas 11,3
mg/kg i.v mungkin mematikan pada manusia. Untuk seseorang dengan BB 60
kg, dosis intravenanya setara dengan 680 mg atau lebih. Perkiraan ini
didasarkan pada percobaan dengan jumlah hewan yang rendah serta
kemungkinan adanya perbedaan antarindividu dan interspesies.
Dosis intravena harian 2,5; 5 atau 10 mg/kg BB selama 6 minggu memicu
sedikit penurunan asupan makanan dan depresi berat badan sedang pada tikus.
Dalam studi toksikologi toksisitas berulang pada anjing, diberikan dosis i.m
harian yaitu 4, 20 atau 40 mg/kg BB selama 6 minggu, dimana 3 kelompok dari
4 hewan pada semua tingkat dosis terjadi penurunan berat badan dan anoreksia
(WHO, 2006).

5
III. DATA-DATA LABORATORIUM
Berdasarkan kasus tersebut, disebutkan bahwa telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium, dengan jenis pemeriksaan dan data yang didapat yaitu sebagai
berikut:
1. Pemeriksaaan luar jenazah (visum luar): tidak ada tanda kekerasan dari
tubuh luar korban
2. Pemeriksaan toksikologi: untuk mendeteksi adanya racun pada tubuh
korban yang dapat menyebabkan kematian. Dari hasil laboratorium yang di
lakukan pada organ tubuh dalam pasien dan darah, bahan makanan, wadah,
pembukusnya, bahan kimia, dan jarum suntikyang di temukan di tempat
kejadian perkara ditemukan adanya endosulfan, pentazokin, phenargan, dan
ketamine pada organ tubuh psemua korban. Endosulfan juga terdeteksi pada
urin Bapak Chitarmal, bahan makanan, dan pada jarum suntik, serta adanya
ketamine yang terdeteksi pada jarum suntik lain.
3. Pemeriksaan patologi: untuk mengetahui dampak dari zat yang di temukan
terhadap organ dalam
Pemeriksaan pendukung yang diperlukan berdasarkan kasus tersebut:
1. Perlu adanya tes psikologi pada pelaku untuk mengetahui ada tidaknya
gangguang mental mata pelaku, sebab pelaku secara sadis melakukan
pembunuhan terhadap keluarga sendiri.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan kondisi otak, selain pemeriksaan organ
visceral.
IV. INTERPRETASI KASUS
Pada kasus ini, dugaan awal kematian para korban adalah disebabkan bunuh diri
dengan meminum insektisida. Namun dalam penyelidikan ditemukan beberapa
obat-obatan yang jarang dijumpai oleh masyarakat awam, seperti obat anastesi
ketamin. Pemeriksaan pada alat suntik yang ditemukan di rumah korban
mengandung endosulfan, pentazokin, phenargan, dan ketamine. Ketika ditemukan
obat-obatan tersebut pada peralatan di rumah korban, sebagai seorang toksikologi
forensik atau farmakologi forensik, akan muncul beberapa pertanyaan terkait kasus
dan pemeriksaannya.

6
Adapun beberapa pertanyaan yang masih perlu digali informasinya, yaitu
sebagai berikut:
1. Apakah obat-obatan yang ditemukan dalam alat bukti juga ditemukan dalam
pemeriksaan pada tubuh korban?
2. Apakah obat-obatan ini diberikan pada korban melalui rute oral?
3. Jika benar diberikan dengan rute oral, apakah sampel pemeriksaan sudah
benar menggunakan sampel yang dapat mengetahui isi lambung korban,
atau dari hati korban, mengingat obat seperti ketamine diketahui mengalami
first pass metabolism di hati saat diberikan dengan rute oral. Ketamine yang
diberikan dengan rute oral, memiliki ketersediaan hayati rendah (17%),
sehingga jika benar ketamin diberikan melalui rute ini, tentunya diberikan
dalam dosis yang sangat besar sampai menyebabkan kematian korban.
4. Apakah ada kemungkinan pemberian melalui rute lain seperti injeksi
intravena?
5. Jika ada kemungkinan pemberian melalui rute intravena, tentunya sampel
yang diperiksa berbeda dengan pemberian oral.
6. Mengingat ketamine merupakan senyawa yang memiliki kelarutan lipida
yang tinggi dan ikatan protein plasma yang rendah (12%) sehingga
memudahkan transfer secara cepat melintasi sawar darah otak, perlu
diperiksa sampel dari otak korban. Dan berapa kadar yang diperoleh dari
pemeriksaan otak ini. Apakah kadar sekian, dapat menyebabkan kematian
korban, ataukah korban meninggal dikarenakan zat lain.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut menurut analisa kami, korban
meninggal bukan merupakan bunuh diri, tetapi sengaja dibunuh oleh pelaku. Hal
tersebut kami curigai karena mengingat ditemukannya ketamine yang bukan
merupakan zat yang mudah dijumpai orang awam. Selain itu, terdapat bekas
suntikan dari tubuh korban, sehingga kecil kemungkinan korban yang bukan tenaga
kesehatan, dapat melakukan suntikan. Ada kemungkinan bahwa pelaku merancang
alur kronologi agar menyerupai kasus bunuh diri. Pelaku menyuntikkan ketamine,
kemudian memberikan insektisida untuk memberikan kesan seolah-olah korban
bunuh diri. Ketamine dan pentazocine dapat berinteraksi yaitu meningkatkan efek

7
samping satu sama lain. Efek samping ketamine diketahui dapat menyebabkan
berbagai efek seperti halusinasi, arithmia, bahkan sampai depresi pernafasan.
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tentunya penyidik dan pihak ahli dari
kepolisian perlu lebih mendalami kasus tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan,
kemudian menemukan bukti lain, bahwa ada tanda bekas suntikan pada tubuh
korban. Selain itu, ditemukan bahwa ada anak sulung dari keluarga tersebut yang
merupakan tim medis. Setelah introgasi lebih lanjut, anak sulung korban mengaku
sebagai pelaku dengan motif ingin menjual rumah demi mendapat keuntungan
sendiri.
Pada kasus ini tidak dijelaskan metode yang digunakan untuk menganalisa
ketamin dalam spesimen organ korban. Akan tetapi, mengingat ditemukannya
berbagai zat dalam alat bukti di rumah korban, tentunya metode yang dipilih untuk
digunakan harus memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi. Salah satu cara
atau teknik analisa ketamin yang dapat digunakan adalah dengan Gas
Chromatography, dimana instrumen GC ini memiliki sensitivitas yang tinggi dan
telah banyak digunakan dalam analisis analisis ketamin. Kromatografi Gas-
Spektrometri Massa (GC-MS) merupakan salah satu tehnik yang paling umum
digunakan untuk identifikasi dan analisis kuantitatif sampel obat dalam bidang
forensik. GC-MS menyediakan data spektral yang sangat spesifik pada senyawa
individu dalam campuran kompleks.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Udayana yang bertujuan
membandingkan hasil analisa kandungan kimia dan drugs profiling antara
penggunaan instrumen HPTLC-Spektrofotodensitometri dengan GC-MS, didapat
hasil bahwa beberapa hasil analisis GC-MS tidak dapat ditemukan dengan
menggunakan HPTLC-Spektrofotodensitometer seperti sediaan MDMA pada
tablet dengan ID T2 dan T15, PMMA pada tablet dengan ID T1, T6, T13, T20 dan
T29, sedian ketamin pada tablet dengan ID T6, T11, T13, T25, T28 dan T30 dan
sediaan piperazin pada tablet dengan ID T8 dan T27. Adanya beberapa senyawa
aktif yang tidak terdeteksi disebabkan oleh sistem pemisahan pada HPTLC tidak
sebanding dengan pemisahan pada kolom GC-MS yang menggunakan kolom
kapiler yang panjang dan selektif. Selain itu juga adanya perbedaan limit deteksi

8
dan keterbatasan pustaka pembanding (library) pada HPTLC-
Spektrofotodensitometer. Secara keseluruhan dari 30 tablet yang dianalisis dengan
HTLC-Spektrofotodensitometer didapatkan kesesuian hasil analisis kandungan
kimia terhadap hasil GC-MS adalah 72 %.

Gambar 2. Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Kimia 30 Tablet Ekstasi

Berdasarkan sumber yang telah disebutkan sebelumnya mengenai toksisitas


ketamine, dosis di atas 11,3 mg/kg i.v kemungkinan dapat mengakibatkan kematian
pada manusia. Untuk seseorang dengan BB 60 kg, dosis ketamine intravenanya
setara dengan 680 mg atau lebih, sehingga pada kasus ini bila memang kematian
disebabkan oleh obat ketamine, maka dosis yang diberikan yaitu melebihi dosis
tersebut. Untuk identifikasi lebih lanjut, perlu dipertimbangkan pemilihan sampel
dengan kriteria diantaranya: sampel mudah untuk dianalisis; sampel mudah
didapatkan, tidak invasif; pertimbangan apakah yang dicari obat induk atau

9
metabolitnya; waktu obat masih terdeteksi pada spesimen; volume sampel dan
ketersediaan referensi data.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan kasus yang terjadi di desa Nivaana, Distrik Jaipur, India pada
tanggal 13 September 2008, di mana empat anggota keluarga ditemukan tewas di
tempat tinggal mereka, diduga merupakan akibat dari ketamine (obat anastesi) yang
disalahgunakan untuk menghilangkan nyawa manusia. Ketamine diketahui dapat
menyebabkan halusinasi, arithmia, bahkan sampai depresi pernafasan. Berdasarkan
pemeriksaan dan bukti yang didapat, diduga bahwa penyalahgunaan obat tersebut
dilakukan oleh anak sulung keluarga tersebut, yang merupakan tim medis, untuk
kepentingan pribadinya. Diduga ketamine diberikan melalui injeksi intravena
dengan dugaan dosis diatas 680 mg untuk menyebabkan kematian pada manusia.
Namun diperlukan pemeriksaan dan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan
penyebab kematian keluarga tersebut mengingat obat yang ditemukan tidak hanya
ketamine. Terkait sifat farmakokinetik dan farmakodinamiknya, pemeriksaan yang
disarankan adalah pemeriksaan kondisi otak korban. Metode yang
direkomendasikan untuk identifikasi senyawa ketamine yaitu dengan kromatografi
gas detektor MS.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bergman S. A. 1999. Ketamine: Review of Its Pharmacology and Its Use in


Pediatric Anesthesia. Anesth Prog;46:10-20

Lalonde, BR., et. al. 2004. Postmortem Blood Ketamine Distribution in Two
Fatalities. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/14987429/

Leong H. S. et all. 2005. Evaluation of Ketamine Abuse Using Hair Analysis:


Concentration Trends in a Singapore Population. Journal of Analitical
Toxicology. Volume 29. Page 314

Malinovsky JM, Servin F, Cozia A, Lepage JY, Pinaud M. 1996. Ketamine and
Norketamine Plasma Concentrations After i.v., Nasal and Rectal
Administration in Children. Br J Anaesth;77:203-207.

Medscape.com. 2018. Ketamine. Online. Available at:


https://reference.medscape.com/drug/ketalar-ketamine-343099

Sharma, Mukesh et all. 2010. Trace Evidence Crack a Suicide Proved Homicide:
A Case Study. Journal of Forensic Research. Volume 1. Issue 1.

World Health Organization (WHO). 2006. Critical Review of Ketamine. WHO :


34th Expert Committee on Drug Dependence. Page : 3-4, 6-8, 13)

Online:http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-779-2078459778-
bab%20i%20-%20vi.pdf

11
LAMPIRAN

12

You might also like