Professional Documents
Culture Documents
A. Lini Pertama
Nama Data Dosis menurut
No. Formulasi
generik farmakokinetik umur.
< 4 minggu: 4
mg/kg/dosis,
2x/hari
(profilaksis)
minggu – 13
Zinovudin Tablet: tahun: 180 –
1. Semua umur
(NRTIs) 300mg 240
mg/m2/dosis,
2x/hari
dosis
maksimal: >13
tahun, 300
1
mg/dosis,
2x/hari.
< 30 hari< 2
mg/kg/dosis,
2x/hari
(profilaksis)
> 30 hari atau
Lamivudin Tablet: <60kg: 4
2. Semua umur
(NRTIs) 150 mg mg/kg/dosis.
2x/hari.
Dosis
maksimal: 150
mg/dosis,
2x/hari.
Dosis maksimal: <
Kombinasi Tablet:
13 tahun atau > 60
tetap 300 mg
Remaja dan kg: 1 tablet/dosis,
3. Zinovudin (AZT)
dewasa 2x/hari (tidak
plus plus 150
untuk berat badan
Lamivudin mg (3TC)
30 kg)
< 8 tahun: 200
mg/m2
Dua minggu
pertama
1x/hari.
Selanjutnya
Nevirapin Tablet: 2x/hari.
4. Semua umur
(NNRTIs) 200 mg > 8 tahun: 120-
150 mg/m2,
Dua minggu
pertama,
1x/hari
Selanjutnya
2x/hari.
10-15 kg: 200
Hanya untuk
mg 1x/sehari.
Efavirenz anak >3 tahun
5. 600mg 15 - <20 kg:
(NNRTIs) dan berat >10
250 mg
kg
1x/sehari.
2
20 - <25 kg:
300 mg 1x/hari
25 - <33 kg:
350 mg 1x/hari
33 - <40 kg:
400 mg 1x/hari
Dosis
maksimal: > 40
kg: 600 mg
1x/hari
< 30 kg: 1
mg/kg/dosis,
Stavudin, 2x/hari
6 d4T 30 mg Semua umur 30 kg atau
(NRTIs) lebih : 30
mg/dosis,
2x/hari
< 16 tahun atau
< 37.5 kg: 8
mg/kg.dosis,
2x/hari
Abacavir Dosis
7. 300 mg Umur > 3 bulan
(NRTIs) maksimal: >16
tahun atau >
37.5 kg
300 mg/dosis,
2x/hari
Diberikan setiap
Tenofovir 24 jam. Interaksi
disoproxil Tablet: obat dengan ddl,
8.
fumarat 300 mg tidak lagi
(NRTIs) dipadukan dengan
ddl.
tablet 200
Tenofovir +
9. mg/ 300
emtricitabin
mg
Tabel 1. Pengobatan Lini Pertama.1,2
3
B. Lini Kedua
Nama Data
No. Formulasi Dosis
generik farmakokinetik
400 mg/100 mg
setiap 12 jam
untuk pasien
naïf baik
dengan atau
tanpa
kombinasi EFV
atau NVP.
600 mg/ 150
mg setiap 12
Tablet
jam bila
tahan suhu
dikombinasi
Lopinavir/ panas, 200
dengan EFV
1. ritonavir mg 6 bulan
atau NVP
(PI) Lopinavir
untum pasien
+ 50 mg
yag pernah
ritonavir
mendapat terapi
ARV
2 minggu- 6
bulan: 16 mg/4
mg/kg BB,
2x/hari
6 bulan – 18
bulan: 10
mg/lgBB/dosis
lopinavir
Diberikan setiap 24
Tenofovir
jam interaksi obat
disoproxil Tablet:
2. dengan ddl, tidak
fumarat 300 mg
lagi dipadukan
(NRTIs)
dengan ddl.
Tabel 2. Pengobatan Lini Kedua.1,2
‘
4
C. Regimen ARV Kombinasi Untuk Anak-Anak
Stavudinr Nevirapine
Singkatan
(D4T) Lamivudine(3TC) (NVP)
FDC menurut
Dosis/tablet Dosis/tablet (mg) Dosis/tablet
WHO
(mg) (mg)
Paediatric
12 60 -
FDC 12 dual
Paediatric
12 60 100
FDC 12 tripel
Tabel 3. Regimen ARV Kombinasi Untuk Anak-Anak.1,2
5
20- 200 mg
24.9 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 plus
kg 2x50 mg
25- 200 mg
29.9 2 2 2 2 2 2 plus
kg 3x50 mg
Tabel 4. Dosis Kombinasi Terapi ARV Untuk Anak.1,2
6
3. Bila pasien tersebut memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan
adalah TDF=3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T_3TC selama 6-12
bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT+3TC atau TDF+3TC.
4. Lopanavir/ritonavir digunakan sebagai lini kedua.
7
H. Rekomendasi Waktu Memulai ARV Pada Anak
Jangka waktu Stadium klinis Status imunologis
<24 bulan Semua diobati -
Stadium 4 (setelah
-
stabilisasi IO)
Stadium 3 (setelah
-
stabilisai (OI)
>24 bulan Stadium 2 Yang diobati adalah CD4
kurang dari ambang batas
menurut umur, bila tidak
Stadium 1
ada pemeriksaan CD4
tidak usah diobati.
Tabel 7. Rekomendasi Waktu Mulai ARV Pada Anak.1
I. MONITORING PASIEN
I. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor
perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan seklai.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal
termausk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala
klinis perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini
digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada
setiap kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai memenuhi
syarta untuk terapi profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV.
Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika
mulai mendekato ambang dan syarta memulai terapi ARV.1,2
II. Pasien dalam terapi ARV
Monitoring klinis, frekuensi monitoring klinis tergantung dari
respons dari terapi ARV. Monitoring klinis perlu dilakukan pada
minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak memulai terapi ARV.1,2
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan
gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi
bacterial, kandidiansis dan atau infeksi oportunistik lainya) ditambah
8
konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan
dukungan kepatuhannya.1,2
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien
dalam terapi ARV.1,2
Tahap terapi Tes yang
Tes yang dianjurkan
ARV direkomendasikan
Pada saat
CD4 HbsAG
diagnosis HIV
Sebelum memulai
CD4
ARV
Hb untuk AZT,
Pada saat memulai keratinin klirens untuk
CD4
ARV TDF, SGPT untuk
NVP
Hb untuk AZT,
Pada saat keratinin klirens untuk
CD4
menjalani ARV TDF, SGPT untuk
NVP
Pada saat
CD4 Viral load
kegagalan klinis
Pada saat
kegagalan Viral load
imunologis
Wanita yang
menjalani PMTCT Viral load enam
dengan NVP dosis bulan setelah
tunggal dengan memulai terapi
lanjutan dalam 12 ARV
bulan
Tabel 8. Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien dalam
terapi ARV.1,2
Adapun monitoring lain, monitoring jumlah CD4+ secara rutin
setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit
total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk
digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat
digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.1,2
9
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang
kritis dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi
perkembangan klinis dan imonologi kea rah yang lebih baik, akan
tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain
itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana pasien
sepertinya mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan
suatu keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai
menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan).1,2
10
buang angin, insufisiensi (atau d4t jika tiada
ginjal, sindroma fanconi pilihan)
Osteomalasia Jika digunakan pada
Penurunan densittas tulang lini kedua,
Hepatitis eksaserbasi akut Secara pendekatan
berat pada pasein HIV kesehatan
dengan koinfeksi masyarakat, makan
Hepatitis B yang tidak ada pilihan lain
menghentikan TDF jika pasien telah
gagal
AZT/d4t pada terapi
lini pertama,
Jika kemungkinan
dipertimbangkan
merujik ke tingkat
perawatan yang lebih
tinggi dimana terapi
individual tersedia.
Emtricitabine Ditoleransi dengan baik -
EFV
Reaksi hipersensitivitas
Bpi jika tidak
Sindroma steven-johnson
toleransi terhadap
Nevarapin Ruam
kedua NNRTI
Toksisitas hepar
Tiga NNRTI jika
hiperlipidemia
tidak ada pilihan lain.
Jika digunakan pada
Ritonavir Hiperlipidemia
lini kedua.
Intoleransi
gastrointertinal, mual,
pancreatitis, Jika digunakna pada
Lopinavir
hiperglikemial, lini kedua.
pemindahan lemak dan
abnormalitas lipid
Reaksi hipersensitivitas
NVP
sindroma steven-johnson
Bpi jika tidak toleran
Ruam
Efavirenz terhadap kedia NRTI
Toksisitas hepar
Tiga NRTI jika tidak
Toksisitas sisterm saraf
ada pilihan lain.
pusat yang berat dan
11
persisten (depresi dan
pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-
laki)
Kemungkinan efek
teratogenik (pada
kehamilan trimester
pertama atau wanita yang
tidak mengganggu
kontrasepsi yang adekuat)
Tabel 9. Efek Samping ARV.1,2
J. TERAPI GEN
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya,
pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam
sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu
enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang
berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA
target.3
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses
transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus
(mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA
dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak
menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak
berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam
sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang
dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi
karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini
berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya
respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini,
dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen
hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem
12
harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak
mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi
syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV sebagai vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses
transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh
Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika.
Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi
gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of
Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National
Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan
menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial
untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil
menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme.3
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen
yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah
berhasil dibuat vector yang bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil
dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan
otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor
HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.3
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA
(siRNA) yang berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik.
Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik
dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah
digunakan.3
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los
Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell
dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-
receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem
pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk
pengobatan AIDS di seluruh dunia.3
13
K. PENATALAKSANAAN STADIUM LANJUT
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun
dan banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik
yang mengancam jiwa penderita.3
Zidovudin (ZDV), pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak
memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang berat dosis ZDV
diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan syaraf pusat
(SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis
awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000mg,
dalam 4-5 kali pemberian.3
Pengobatan infeksi oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis
yang kompleks sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para
spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung lainnya.
Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi
maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan.
Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul
keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan
oleh sebuah tim.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional
pelayanan kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
2. HIV Discussion. HIV webstudy. Available at:
http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html.
3. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
14