You are on page 1of 2

Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Warna langit yang tadinya berwarna biru cerah menjadi abu-abu.

Beberapa
kali guntur juga terdengar menambah kesan kelam suasana sore ini. Seseorang dibalik jendela salah satu kantor di Jakarta
lebih memilih memainkan ponselnya daripada mengamati keadaan luar jendela. Hujan disertai angin ini bukanlah
pemandangan yang menyenangkan bagi Veranda, ia adalah salah satu orang yang tidak menyukai hujan, lebih tepatnya ia
takut hujan. Maka dari itu, ia memilih untuk tetap berada di kantor dan menunda kepulangannya, berbeda dengan
teman-temannya yang memutuskan untuk pulang dalam keadaan hujan.

Hujan selalu identik dengan dingin, basah, gelap, sendu, belum lagi hujan bisa membuat kita terserang flu. Bukankah kelima
hal itu adalah termasuk kedalam hal yang tidak menyenangkan? Jadi sah-sah saja kan kalau Veranda takut hujan? Begitu
pikirnya.

Menunggu sekitar setengah jam, akhirnya hujan sedikit reda, Veranda memutuskan keluar dari kantor. Namun
tiba-tiba, Shania datang menghampirinya.

-Veranda POV-

“Ve, belum pulang?” tanya Shania padaku.


“Belum.”jawabku.
“Nunggu hujan reda ya?”
“Iya. Eh Shan, bajumu basah, habis hujan-hujanan ya?” tanyaku.
“Iya. Tadi aku hujan-hujanan hehe ,”jawab Shania
“Oh. Yaudah aku pulang dulu.”
“Hati-hati ya.”

Akupun meninggalkan Shania dan bergegas menuju halte untuk mencari bus yang akan mengantarku
pulang.

Di halte, hujan kembali deras. Tak banyak orang yang dapat kutemui sore ini. Orang-orang nampaknya lebih
memilih berdiam diri di rumah masing-masing, sedangkan orang-orang yang berada di perjalanan
akan memilih untuk berhenti sejenak, mencari tempat berteduh.

-Author’s POV-

Disaat yang sama, seorang perempuan muda dengan rambut sebahu datang dari arah barat dengan
mengendarai motornya, ia tengah mencari tempat berteduh. Akhirnya ia memutuskan mampir di halte untuk
mencari perlindungan dari derasnya air hujan.

Perempuan tersebut adalah orang yang terkenal bijaksana di kantornya dan sering dipanggil Kinal.
Pribadi yang santun dan akhlak yang baik membuatnya sangat dihargai di kantornya. Terlebih lagi
karismanya yang selalu memesona bagi siapapun yang melihatnya.

Sore itu, dengan jaket yang melekat di tubuhnya, cukup membuat Kinal terlindungi dari hawa dingin. Di halte, ia
memilih duduk di samping kanan tempat Veranda duduk. Hingga lima belas menit lamanya mereka
duduk berdua, Kinal mulai merasa sedikit terganggu dengan sikap Veranda yang menggigil
kedinginan. Melihat tubuh Veranda bergetar, membuat hati kinal tergerak untuk menolong Veranda. Tanpa
berpikir panjang, Kinal langsung melepaskan jaketnya dan memberikan jaket itu pada Veranda.
Dengan sikap yang bijaksana dan sopan Kinal menjulurkan jaketnya.
“Maaf mbak, kamu pakai jaket saya dulu aja, kamu terlihat begitu kedinginan.”

“Gak usah , maaf merepotkan.” Jawab Veranda.

Kinal tersenyum dan berkata “Gakpapa ambil aja, lagian saya perhatiin daritadi mbak sepertinya
kedinginan.”

Veranda dengan tangannya yang bergetar mencoba meraih jaket di tangan Kinal.

"Terima kasih." Ucapnya singkat.


Veranda sangat terbantu dengan jaket itu. Tubuhnya sudah mulai hangat. Hanya saja telapak
tangannya masih terasa dingin. Dia mengusap dan meniup tangannya yang kedinginan. Ia berharap
bus segera datang.

-Kinal POV-

Hujan mulai reda. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan memilih segera melajukan motorku untuk
pulang. Di tengah perjalanan, aku tersadar bahwa aku sama sekali belum memperkenalkan diri pada
perempuan yang aku pinjamkan jaketku. Aku bahkan tidak tau menahu soal siapa dia dan dimana dia tinggal,
lalu bagaimana nanti dia mengembalikan jaketku? Sambil menikmati sisa tetesan hujan yang ada
aku memelankan laju motorku dan berpikir, bagaimana dia pulang? Apakah bus segera datang? Apakah dia akan
pulang dengan selamat?

"Ah kenapa aku harus memikirkan gadis itu? Sudahlah biarlah itu jadi urusannya. Soal jaket, gampanglah nanti" Ujarku
sendirian. Aku pun kembali melesat dengan kecepatan tinggi.

You might also like