You are on page 1of 44

HUKUM ACARA PERDATA

Disampaikan dalam kegiatan Diklat Pejabat Lelang


Oleh :

HARI SANTOSA, SH, MH


Kepala Seksi Bantuan Hukum II

DIREKTORAT
HUKUM DAN HUBUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA

MASYARAKAT
HUKUM ACARA PERDATA
Hukum Acara : Hukum paraoses : Hukum formil
Hukum Acara : hukum yang mengatur
caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata material dengan perantara
paraof.Dr. Sudikno Mertokusumo, hakim agar memperoleh perlindungan
SH hukum untuk mencegah tindakan
Hukum Acara Perdata adalah menghakimi sendiri (eigenrichting)
kumpulan aturan-aturan hukum
yang mengatur bagaimana cara
menjamin ditaatinya hukum
perdata materil dengan
perantara hakim
HUKUM ACARA PERDATA MENGATUR ........
 Bagaimana cara pihak yang dirugikan mengajukan perkaranya ke pengadilan
 Bagaimana cara pihak yang diserang mempertahankan hak nya
 Bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara
 Bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara
 Bagaimana melaksanakan putusan hakim (eksekusi)

Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana


Hukum Acara Perdata ........ orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan
dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak, untuk
melaksanakan peraturan hukum perdata materill
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
 HIR (Herziene Indonesische Reglement) di dalam Stb.1941 : 44 Pasal 118-245, berlaku
bagi Gol. Bumiputera daerah Jawa & Madura
 RBg (Rechtsreglement voor de Buitenwesten) di dalam Stb.1927 : 227 Pasal 142-314,
berlaku bagi Gol. Bumiputera daerah luar Jawa & Madura
 UU Kekuasaan Kehakiman, 48 tahun 2009
 UU Mahkamah Agung, 5 tahun 2004
 UU No.2 tahun 1986 ttg Peradilan Umum jo UU No.8 tahun 2004 jo UU No.49 tahun 2009
tentang Perubahan kedua UU No.2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
 SEMA
 Yurispurdensi
 Perjanjian Internasional
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Peradilan dilakukan “demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa”.
Pada kepala Putusan hakim.
 Fungsinya : memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim.
 Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan apa yang
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat negara.
 Peradilan dilakukan dengan :
“sederhana”, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
“cepat”, tidak banyak formalitas
“biaya ringan”, terjangkau oleh rakyat.
 Hakim bersifat menunggu
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak, pembuktian diserahkan sepenuhnya
kepada pihak yang berkepentingan
LANJUTAN ......
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Hakim bersifat Pasif
• Ruang lingkup atau luasnya pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak yang berperkara, bukan
hakim
• Ultra Petita Partium, Hakim hanya mengadili apa yang dituntut, dilarang
memvonis atas perkara yang tidak dituntut atau menjatuhkan vonis lebih dari
yang dituntut
• Pembuktian diserahkan kepada para pihak, pihak yang berperkara bebas
mengajukan upaya hukum
LANJUTAN ......
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Asas Hakim Majelis, sekurang-kurangnya 3 orang hakim.
Maksud & tujuannya untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektif nya dan
memberikan perlindungan HAM di bidang peradilan
Namun dalam paraakteknya dapat ditemui pemeriksaan dengan hakim tunggal
(Unus Judex) untuk mempercepat jalannya paraoses. Contoh : putusan declaratoir,
pelanggaran lalu lintas.

 Hakim harus mendengarkan kedua pihak (Audi et Alteram Partem)


Hakim tidak memihak, para pihak diperlakukan sama.
LANJUTAN ......
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang
Artinya setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan.
Tujuan asas ini adalah menjamin objektifitas peradilan, sebagai social control oleh
masyarakat. Akan tetapi pada pembacaan putusan harus dalam sidang yang terbuka untuk
umum, apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum
berarti putusan tersebut tidak sah, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengakibatkan
batalnya putusan menurut hukum
 Putusan Hakim harus disertai dengan alasan-alasan.
Tujuan dicantumakaan alasan-alasan tersebut sebagai pertanggungjawaban hakim dan
objektifitas atas putusan kepada masyarakat. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
pertimbangan (Onvoldoende Gemotiveerd) merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan
harus dibatalkan.
Alasan-alasan hakim dalam penjatuhan keputusan :
Perundang-undangan
Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat
Jurisparaudensi, doktrin dll
BERACARA DIKENAKAN BIAYA PERKARA
 Beracara atau berperkara memerlukan biaya yang meliputi :
Biaya kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak dan bea materai
 Biaya perkara dibebankan kepada :
 Pihak Penggugat, karena ia mengajukan gugatan
 Jika gugatan dikabulkan, maka biaya perkara dibebankan kepada pihak yang
kalah (tergugat)
 Jika gugatan ditolak, biaya dibebankan kepada Penggugat (Penggugat kalah)
 Apabila para pihak tidak mampu, maka beracara secara gratis (paraodeo), biaya
dibebankan kepada negara (Pasal 237 HIR atau 273 RBg)
KEWENANGAN MUTLAK dan KEWENANGAN RELATIF

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 2 macam kewenangan :


1. Kewenangan Mutlak (Absolute Competentie)  menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht)
2. Kewenangan relatif (Relative Competentie)  mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal
tergugat  Ps. 118 HIR
3. Azas “Actor Sequitur Forum Rei”  yang berwenang adalah PN tempat tinggal
tergugat
PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN
Penggugat mengajukan Didaftar Penetapan & Penunjukann
gugatan & melunasi Kepaniteraan PN Majelis Hakim oleh Ketua PN
biaya perkara

Majelis Hakim :
Penyerahan Surat Panggilan Sidang 1. Menetapkan tgl. Hari sidang;
& Salinan Surat Gugatan 2. Memanggil para pihak pd
kepada Para Pihak oleh Juru Sita. hari sidang dengan membawa
saksi-saksi & bukti-bukti.

Juru Sita menyerahkan


PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Risalah (Relaas)
DI PERSIDANGAN
Panggilan kepada Majelis Hakim.
PERDAMAIAN
 Apabila pada hari sidang pertama kedua belah pihak hadir, maka hakim harus
berusaha mendamaikan mereka (Ps. 130 HIR; Ps. 154 Rbg)
 Demi perdamaian ini, hakim akan mengundur sidang, & pada hari sidang
berikutnya apabila terjadi perdamaian, maka harus dinyatakan dalam surat
perjanjian dibawah tangan yang ditulis di atas kertas bermeterai. Demikian
sebagai dasar bagi hakim menjatuhkan putusan, yang isinya menghukum kedua
belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat diantara para
pihak.
 Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dimungkinkan untuk dilaksanakan
banding.
 Usaha perdamaian terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
JAWABAN
 Ps. 121 ayat 2 HIR; Ps. 145 ayat 2 Rbg : tergugat dapat menjawab baik secara tertulis
maupun lisan.
 Bentuk Jawaban :
1. Pengakuan  membenarkan isi gugatan penggugat, baik sebagian maupun
seluruhnya.
2. Bantahan (verweer)  pada hakekatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak.
 Bantahan ada 2 macam :
a. Tangkisan/Eksepsi  suatu sanggahan/bantahan dari pihak tergugat terhadap
gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan
batalnya gugatan.
b. Sangkalan  sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara.
 Akibat hukum dari adanya jawaban : penggugat tidak diperkenankan mencabut
gugatannya, kecuali dengan persetujuan tergugat.
PEMBUKTIAN
 “Membuktikan” mengandung beberapa pengertian :
 Dalam arti logis  memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku
bagi setiap orang & tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
 Dalam arti konvensionil  memberi kepastian yang bersifat nisbi/relatif, baik
berdasarkan perasaan belaka maupun pertimbangan akal.
 Dalam hukum acara perdata mempunyai arti yuridis :
 memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
 hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh
hak dari mereka
 tidak menuju kepada kebenaran mutlak
 merupakan pembuktian historis
BEBAN PEMBUKTIAN
 Hakim membebani para pihak dengan pembuktian (bewijs last, burden of
paraoof)
 Asas pembagian beban pembuktian ; “barang siapa yang mengaku mempunyai
hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu
atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu” (Ps. 163 HIR (Ps. 283 Rbg, Ps. 1865 BW))
 Artinya : baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian,
terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang
tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya.
ALAT BUKTI
Macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata (Ps. 164 HIR, 284 Rbg, 1866
BW), a.l. :
 Alat Bukti Tertulis
 Saksi-saksi
 Persangkaan
 Pengakuan (Bekentenis Confession)
 Sumpah

Alat bukti lain :


 Pemeriksaan setempat (descente)
 Keterangan Ahli (Expertise)
ALAT BUKTI TERTULIS
 Dasar hukum :
Ps. 138, 165, 167 HIR; Ps. 164, 285 – 305 Rbg; S 1867 no. 29; Ps. 1867 – 1894
KUHPerdata; Ps. 138 – 147 Rv.
Alat bukti tertulis : surat

AKTA OTENTIK
AKTA
AKTA
DIBAWAH TANGAN
SURAT

BUKAN AKTA
SAKSI-SAKSI
Dasar Hukum : Ps. 139-152, 168-172 HIR; Ps. 165-179 Rbg; Ps. 1895, 1902-1912 BW

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan & paraibadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dlm perkara, yang dipanggil di persidangan

Ps. 139 HIR, 165 Rbg, 1909 BW : “setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat bertindak
sebagai saksi, kecuali :
I. segolongan orang yang dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi :
a. tidak mampu secara mutlak (absolut)
1. keluarga sedarah & keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak ( Ps. 145 (1) sub 1 HIR, 172 (1) Sub 1 Rbg, 1910 alinea 1 BW)
2. suami/istri salah 1 pihak, meski sudah cerai (Ps. 145 (1) sub 2 HIR, 172 (1) Sub 3 Rbg,
1910 alinea 1 BW)
LANJUTAN .....
SAKSI - SAKSI
b. tidak mampu secara nisbi (relatif)
1. anak-anak dibawah 15 th (Ps. 145 (1) sub 3 jo. (4) HIR, 172 (1) Sub 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW
2. orang gila (Ps. 145 (1) sub 4 HIR, 172 (1) Sub 5 Rbg, 1912 BW)

II. Segolongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan memberi kesaksian. Hak ingkar (verschoningsrecht) (
Ps. 146 HIR, 174 Rbg, 1909 alinea 2 BW) :
1. saudara laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
2. keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah
satu pihak;
3. semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia;
tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya.

(azas “unus testis nullus testis” ; satu saksi bukan saksi )

Ps. 171 (2) HIR, 308 (2) Rbg, 1907 BW ( keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang
dialaminya sendiri.
Kewajiban seorang saksi : menghadap, bersumpah, memberi keterangan
Sifat kesaksian sebagai alat bukti : tidak memaksa
PERSANGKAAN
Dasar Hukum : Ps. 164, 173 HIR; Ps. 284, 310 Rbg; Ps. 1866, 1915 - 1922
KUHPerdata.

Pasal 1915 KUHPerdata : Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang


atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum. Ada dua persangkaan, yaitu persangkaan
yang berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan
undang-undang.
Ps. 173 HIR (Ps. 310 Rbg) : hanya mengatur persangkaan yang didasarkan atas
kenyataan atau paraaesumptiones facti (feitelijke atau rechterlijke vermoedens).
PENGAKUAN (BEKENTENIS CONFESSION)
Dasar hukum : HIR (Ps. 174, 175, 176), Rbg (Ps. 311, 312, 313), BW (Ps. 1923 – 1928).

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.

Ps. 1923 BW membedakan antara pengakuan yang diberikan di muka hakim di persidangan (Ps. 174 HIR, 311 Rbg, 1925
& 1926 BW) & pengakuan yang diberikan di luar persidangan (Ps. 175 HIR, 312 Rbg, 1927 & 1928 BW).
Ps. 176 HIR, Ps. 313 Rbg, Ps. 1924 BW : pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitersebutare aveu).

Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 :


1. Pengakuan murni (aveu pur et-simple), ialah pengakuan yang sifatnya sederhana & sesuai sepenuhnya dengan tuntutan
pihak lawan.
2. Pengakuan dengan kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie), ialah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dr tuntutan.
3. Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe), ialah suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.

Pengakuan dengan kualifikasi maupun dengan klausula harus diterima dengan bulat & tidak boleh dipisah-pisahkan dari
keterangan tambahannya.
LANJUTAN … PENGAKUAN :
PENGAKUAN YANG DIBERIKAN DI MUKA HAKIM DI PERSIDANGAN
 Pengakuan yang diberikan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke
bekentenis), merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas
& dinyatakan oleh salah 1 pihak dalam perkara di persidangan, yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan
lebih lanjut oleh hakim menjadi tidak diperlukan.

 Ps. 1926 BW  pengakuan yang diberikan di muka hakim di persidangan tidak


dapat ditarik kembali, kecuali apabila terbukti bahwa pengakuan itu adalah
akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan.
LANJUTAN … PENGAKUAN :
PENGAKUAN YANG DIBERIKAN DI LUAR PERSIDANGAN
 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan adalah keterangan yang
diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh
lawannya.
 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan :
 Lisan (kekuatan pembuktian diserahkan pd pertimbangan hakim) bukan
merupakan alat bukti) masih harus dibuktikan di persidangan.
 Tertulis (kekuatan pembuktiannya bebas) merupakan alat bukti disamping alat
bukti tertulis.
 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan dapat ditarik kembali.
SUMPAH
Dasar hukum : HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg (Ps.182-185, 314), BW (Ps. 1929 -1945)
HIR mengenal 3 macam sumpah sebagai alat bukti :
1. Sumpah penambah/pelengkap (suppletoir)
2. Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed)
3. Sumpah pemutus (decisoir)
LANJUTAN … SUMPAH :
SUMPAH PENAMBAH/PELENGKAP (SUPPLETOIR)
 Dasar hukum : Ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW
 Sumpah penambah/pelengkap (suppletoir) adalah sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi
pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
 Syarat : harus ada pembuktian permulaan yang lengkap terlebih dahulu.
 Kekuatan pembuktian : bersifat sempurna & masih memungkinkan pembuktian
lawan.
 Tujuan : untuk menyelesaikan perkara, sehingga dengan telah dilakukannya
sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai & hakim tinggal
menjatuhkan putusannya
LANJUTAN … SUMPAH : SUMPAH PENAKSIRAN
(AESTIMATOIR, SCHATTINGSEED)
 Dasar hukum : Ps. 155 HIR, Ps. 182 Rbg, Ps. 1940 BW
 Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed) adalah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang ganti kerugian, demikian apabila penggugat telah
dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum
pasti & tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersebut
kecuali dengan taksiran.
 Kekuatan pembuktian : bersifat sempurna & masih memungkinkan pembuktian
lawan.
LANJUTAN … SUMPAH :
SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR)
 Dasar hukum : Ps. 156 HIR, Ps. 183 Rbg, Ps. 1930 BW
 Sumpah pemutus (decisoir) adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya untuk memutuskan persoalan, menentukan
siapa yang harus dikalahkan & siapa yang harus dimenangkan
 Tidak memerlukan pembuktian permulaan terlebih dahulu, sehingga dapat
dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan
 Tujuan : untuk menyelesaikan perkara, sehingga dengan telah dilakukannya
sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai & hakim tinggal
menjatuhkan putusannya
PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
 Pemeriksaan setempat (descente) adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh
hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan
pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.
 Yang diperiksa adalah barang tetap, karena tidak bisa dibawa/diajukan di
persidangan yang berlangsung di gedung pengadilan, misal : pemeriksaan letak
gedung, batas tanah
 Dasar hukum : Ps. 153 HIR
 Kekuatan pembuktian diserahkan kepada pertimbangan hakim.
KETERANGAN AHLI (EXPERTISE)
 Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk
membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.
 Dasar hukum : Ps. 154 HIR (Ps. 181 Rbg, 215 Rv)
 Ps. 154 HIR tidak menegaskan apa & siapa ahli itu.
 Ahli diangkat oleh hakim selama pemeriksaan berlangsung.
 Ahli wajib disumpah untuk menjamin obyektivitas keterangannya.
 Ahli dapat menunjuk ahli lain sebagai gantinya atau hakim dapat mengangkat seorang
ahli secara ex officio.
 Seorang ahli yang telah disumpah untuk memberikan pendapatnya kmd tidak memenuhi
kewajibannya dapat dihukum untuk mengganti kerugian.
LANJUTAN … KETERANGAN AHLI (EXPERTISE)
Perbedaan antara saksi dengan ahli :
PUTUSAN
Definisi :
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan & bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
(Sudikno Mertokusumo)

Putusan ≠ Penetapan
Putusan : penyelesaian perkara dalam peradilan contentius
Penetapan : penyelesaian perkara dalam peradilan voluntair
JENIS – JENIS PUTUSAN
Ps. 185 ayat 1 HIR (Ps. 196 ayat 1 Rbg), jenis – jenis putusan :
1. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara
dalam suatu tingkatan peradilan ttt.
2. Putusan yang bukan putusan akhir/putusan sela/putusan antara adalah putusan
yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara.
PUTUSAN AKHIR
Jenis – jenisnya :
1. Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi paraestasi.
2. Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu
kedaan hukum, misal : pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian
pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian, dsb.
3. Putusan Declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misal : putusan dalam sengketa mengenai anak sah.
Pd hakekatnya semua putusan baik condemnatoir maupun constitutif bersifat
declaratoir.
PUTUSAN YANG BUKAN PUTUSAN
AKHIR/PUTUSAN SELA/PUTUSAN ANTARA
Putusan sela tetap harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat secara
terpisah, tetapi ditulis dlm berita acara persidangan.
(Ps. 185 ayat 1 HIR; Ps. 196 ayat 1 Rbg)

Putusan sela hanya dapat dimintakan banding bersama-sama dengan permintaan


banding terhadap putusan akhir.
(Ps. 190 ayat 1 HIR; Ps. 201 ayat 1 Rbg)
LANJUTAN ….. PUTUSAN YANG BUKAN PUTUSAN
AKHIR/PUTUSAN SELA/PUTUSAN ANTARA
Jenis – jenis Putusan Sela/Putusan Antara :

Putusan paraaeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai
pengaruh adalah pokok perkara atau putusan akhir, misal : putusan untuk menggabungkan 2
perkara, putusan untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.
Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misal : putusan
ini dapat mempengaruhi putusan akhir, misal : putusan untuk dilaksanakannya pemeriksaan
saksi atau pemeriksaan setempat (rekonstruksi).
Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang
menghentikan paraosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok
perkara.
Putusan paraovisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan paraovisionil, yaitu permintaan
pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan
salah 1 pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
PELAKSANAAN PUTUSAN
Hakekat Pelaksanaan Putusan
 Pelaksanaan Putusan/Eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi kewajiban pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi paraestasi yang tercantum dalam putusan
tersebut.
 Putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat
negara.
 “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”
 Hanya putusan Condemnatoir saja yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh
pengadilan. Putusan declaratoir & constitutif tidak memerlukan sarana pemaksa
dalam melaksanakannya, karena tidak memuat hak atas suatu paraestasi.
JENIS – JENIS PELAKSANAAN PUTUSAN
1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.
(Ps. 196 HIR; Ps. 208 Rbg)
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Orang tidak
dapat dipaksakan untuk memenuhi paraestasi yang beberapa perbuatan. Akan tetapi
pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang akan
diperolehnya dinilai dengan uang. (Ps. 225 HIR; Ps. 259 Rbg)
3. Eksekusi Riil, merupakan pelaksanaan paraestasi yang dibebankan kepada debitur oleh
putusan hakim secara langsung. (Ps. 1033 RV; Ps. 200 ayat 11 HIR; Ps. 218 ayat 2 Rbg)
4. Eksekusi langsung (Parate Executie), terjadi apabila seorang kreditur menjual barang2 ttt
milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Ps. 1155. 1175 ayat 2 KUHPerdata)
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
Upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan
dlm suatu putusan.
BANDING
UU 48/2009 Ps. 26 (1) : Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
KASASI
UU 48/2009 Ps. 23 : Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain
PENINJAUAN KEMBALI /
REQUEST CIVIL
UU 48/2009 Ps. 24 ayat (1) : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihakpihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu
yang ditentukan dalam undangundang.

Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain
adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan
hakim dalam menerapkan hukumnya.
PERLAWANAN / VERZET
Dasar hukum : Ps. 125 ayat 3 jo. 129 HIR; Ps. 149 ayat 3 jo. 153 Rbg.
Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar
hadirnya tergugat (putusan verstek). Perlawanan pd asanya disediakan bagi pihak
tergugat yang umumnya dikalahkan
PERLAWANAN PIHAK KE-3 /
DERDENVERZET
Asas : Putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara & tidak mengikat pihak
ke-3 (Ps. 1917 KUHPerdata).
Apabila ada PPihak ke-3 yang hak2 nya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia
dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (Ps. 378 Rv).
Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu
dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa (Ps. 379 Rv).
Apabila derdenverzet dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki
sepanjang merugikan pihak ke-3 (Ps. 382 Rv).
Terima Kasih
Direktorat Hukum dan Hubungan Masyarkat
Direktorat Jendera Kekayaan Negara

You might also like