You are on page 1of 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya kehamilan normal berakhir dengan lahirnya bayi yang cukup bulan
dan sempurna secara fisik. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian, sebagian
kehamilan mengalami kegagalan, tergantung pada tahap dan jenis gangguan yang terjadi.
Kehamilan tersebut dapat berakhir dengan abortus, kehamilan ektopik, prematuritas,
kematian janin dalam rahim atau bayi lahir dengan cacat bawaan. Salah satu bentuk
kegagalan kehamilan yang berkembang tidak normal yaitu mola hidatidosa, kehamilan
ini tidak disertai janin namun hanya berupa gelembung-gelembung seperti buah anggur
berasal dari vili korialis dengan sel-sel trofoblasnya.
Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa dapat berubah
menjadi ganas dan dikenal dengan tumor trofoblas gestasional. Jadi yang dimaksud
dengan penyakit trofoblas gestasional adalah mola hidatidosa yang jinak dan tumor
trofoblas gestasional yang ganas. Penyakit trofoblas adalah suatu istilah umum yang
digunakan bagi sekumpulan penyakit yang ditandai dengan adanya proliferasi dengan
adanya proliferasi berlebihan dari sel-sel trofoblas. Penyakit ini dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan asalnya, yaitu :
1. Penyakit trofoblas gestasional yang berasal dari jaringan trofoblas kehamilan
2. Penyakit trofoblas non gestasional yang berasal dari jaringan embrional
Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan dengan
vili korialis, terutama sel trofoblasnya dan berasal dari suatu kehamilan, terdiri dari mola
hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial yang bersifat jinak dan mola invasif,
koriokarsinoma, placental site trophoblastic tumor yang bersifat ganas.
Hingga saat ini penyakit trofoblas gestasional masih merupakan masalah obstetri
yang cukup serius, karena menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Morbiditas yang dapat timbul dari penyakit ini umumnya karena penyulit yang
menyertainya, seperti perdarahan, preeklamsi berat dan tiroktosikosis dan bila terlambat
ditangani dapat menyebabkan kematian. Selain itu bila koriokarsinoma atau mola invasif
terjadi pada pasien usia muda yang masih memerlukan fungsi reproduksi, upaya

1
2

pengobatannya dapat menyebabkan pasien tersebut kehilangan fungsi reproduksinya


karena tindakan histerektomi. Hal ini berarti PTG selain merupakan masalah karena
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi angka mortalitas dan morbiditas ibu, juga
menjadi masalah bagi kesehatan reproduksi. Dengan demikian diperlukan upaya yang
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan untuk menurunkan insidensi penyakit ini,
mulai dari upaya prefensi, deteksi dini dan pengobatan yang rasional, termasuk registrasi
dan pemantauan kasus yang cermat.

2
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa suatu istilah umum untuk dua bentuk yang berbeda yaitu mola
hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial. Merupakan suatu kegagalan
reproduksi yang secara histopatologis merupakan hiperplasia jaringan trofoblas yang
sebagian atau seluruh jaringan ikat vilinya menunjukan degenerasi hidropik.
Persamaan keduanya adalah gambaran hidropik pada sebagian atau seluruh vili
korialis dan adanya hyperplasia trofoblas. Perbedaannya, pada mola hidatidosa
komplit tidak didapatkan janin, sedangkan pada mola hidatidosa parsial terdapat
janin yang cenderung mati secara dini. Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar, tidak ditemukan embrio dan hampir seluruh vili korialisnya
mengalami perubahan hidropik. Keadaan ini disebut sebagai mola hidatidosa
komplit (complete mole/true mole/complete mole). Bila diantara gelembung mola
ditemukan embrio disebut mola hidatidosa parsialis (transtitional mole/incomplete
mole).
Kelainan yang sudah dikenal sejak abad keenam ini telah mengalami berbagai
perkembangan, baik dalam pengertian teori, istilah, klasifikasi, maupun cara
penanggulangannya. Namun, masih banyak aspek yang belum terungkap secara jelas
ataupun kontroversial, seperti perbedaan insidensi secara geografis, etiologi,
patogenesis dan faktor resiko.
Pritchard dan Fukushima menganggapnya sebagai suatu neoplasma jinak dari
trofoblas, sedangkan sarjana-sarjana lain ada yang menganggap sebagai degenerasi,
displasi atau hiperplasia. Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat
sembuh spontan, namun bila diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita
dapat meninggal karena perdarahan, infeksi maupun akibat tumor trofoblas
gestasional pasca mola hidatidosa.
Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa
bagian yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan

3
4

ke dalam mola hidatidosa, tetapi disebut sub molaire. Mola hidatidosa terdiri dari
dua jenis
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
2. Mola hidatidosa parsialis (MHP)

2.2 Mola Hidatidosa Komplit (MHK)


Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak
ditemukan unsur janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa
vaskularisasi disertai hyperplasia dari kedua lapisan trofoblas.
Kadang – kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y
(dispermi) sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi
tetap androgenetik dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar
dizigotik yang terdiri dari satu bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk
kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm,
berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau
edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau
besar tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu
MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada endometerium.
Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila tangkainya putus terjadilah
perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut diliputi oleh darah
merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG, MHK dapat
mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.

2.2.1 Etiologi
Walaupun MH sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang masih
belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya, oleh karena itu pengetahuan tentang
faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindarkan terjadinya MH, seperti tidak
hamil pada usia yang ekstrim dan memperbaiki gizi.

4
5

2.2.2 Faktor Risiko


MH dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi. Di samping umur,
faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH. MH adalah suatu
kehamilan patologis, sedangkan faktor yang menyebabkan ovum patologis ini adalah
defisiensi protein kualitas tinggi (highclass protein). Di Asia banyak sekali ditemukan
MH, yang penduduknya sebagian termasuk golongan sosioekonomi rendah yang
kurang mengkonsumsi protein.
Bila wanita hamil, terutama antara hari ke-13 dan ke-21, mengalami asam folat
dan histidine akan mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan
bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian
embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan mengalami perubahan
hidropik.
WHO Scientific Group, 1983 berkesimpulan bahwa selain usia dan gizi, riwayat
obstetri juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian MH dan kehamilan kembar
tetapi multiparitas tidak merupakan faktor resiko. Laporan dari Amerika Serikat
(1970 – 1977) mengatakan bahwa insidensi MH pada kulit hitam hanya setengahnya
dari wanita kulit lainnya.
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian
menunjuakn bahwa pada kasus MH lebih banyak ditemukan kelainan Balance
translocation dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada
kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak
mengalami gangguan proses meosis berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak
terjadi ovum yang kosong atau yang intinya tidak aktif.

2.2.3 Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain
teori hertig dan teori park.
Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah
akibat matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed abortion), sehinggga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista – kista yang

5
6

makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi.
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk
yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan
pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio.
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong)
atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23
X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan
duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan
berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut diploid
androgenetik

6
7

Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novak’s Gynecology)

Ovum 23 X endoreduplikasi 46 XX
Kosong

Homozigot

23 X
Ovum
46 XX
Kosong

23 X Heterozigot

23 X
46 XY
Ovum
Kosong 23 Y

46 YY

Nonviable

7
8

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang
akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk
membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada
hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong. Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses
meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi
peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46
XX. Pada MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain
terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma
sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu
haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi
dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya
berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang
kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX
heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan
dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable)

2.2.4 Gambaran Klinis


MHK adalah suatu kehamilan, walaupun bentuknya patologis. Oleh karena itu,
pada bulan-bulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa,
yaitu dimulai dengan amenorea, mual dan muntah. Ada beberapa laporan yang
mengatakan bahwa MHK, lebih sering terjadi hiperemesis, dan keluhannya lebih
hebat dari kehamilan biasa. Kemudian perkembangannya mulai berbeda. Pada
kehamilan biasa pembesaran uterus terdai melalui dua fase, yaitu fase aktif, sebagia
akibat pengaruh hormonal, dan fase pasif, akibat hasil pembesaran kehamilan. Pada
MHK tidak demikian, vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik, berkembang

8
9

dengan cepat mengisi kavum uteri. Akibatnya uterus ikut membesar pula, sehingga
ukuran uterus lebih besar dari tuanya kehamilan atau lamanya amenorea.
Pada kehamilan biasa, segmen bawah rahim (SBR baru terbentuk pada
kehamilan yang sudah besar (semester tiga). Pada MHK, karena pengisian kavum
uteri oleh gelembung mola berlangsung cepat, maka pembentukan SBR, sudah terjadi
pada kehamilan yang lebih muda (24 minggu). Kemudian karena kehamilan ini
abnormal badan akan berusaha untuk mengeluarkannya, terjadilah perdarahan
pervaginam. Bedanya dengan abortus biasa adalah pada abortus biasa besarnya
uterus sama dengan lamanya amenorea. Perdarahan pada MHK dapat berupa bercak –
bercak sedikit intermiten atau sekaligus banyak, sehingga dapat menyebabkan syok
hipovolemik. Adakalanya perdarahan disertai dengan gelembung mola sehingga
mempermudah diagnosis
Di samping uterus yang lebih besar, pada MHK ditemukan peningkatan kadar
hCG (human choriogonadotrophin). Pada kehamilan biasa kadarnya naik terus sampai
usia kehamilan 60-80 hari, kemudian turun lagi setelah mencapai umur 85 hari. Pada
MHK seluruh kavum uteri diisi oleh jaringan trofoblas. Oleh karena itu, berbeda
dengan kehamilan biasa, pada MHK tidak ada penurunan kadar hCG. Selama ada
pertumbuhan trofoblas atau sebelum gelembung mola keluar atau dikeluarkan, hCG
akan terus meningkat, sampai bisa mencapai di atas 5.000.000 mIU/ml
Sudah lama diketahui bahwa MHK kadang-kadang ditemukan perubahan pada
kelenjar tiroid, baik anatomis maupun fungsional. Walaupun ada peningkatan kadar
plasma tiroksin, tetapi gejala klinik yang ditimbulkan tidak selalu disertai dengan
tiroktosikosis.
Pada kehamilan normal, plasenta membentuk Thyroid Stimulating Peptide yang
disebut Human Chorionic Thyrotropin (hCT). Pada trimester pertama, T4 meningkat
antara 7 – 12 ng/100 ml, sedangkan T3 peningkatannya tidak terlalu banyak. Karena
pengaruh estrogen, terjadi peningkatan kadar TBG sehingga tidak terjadi
tirotoksikosis.
Pada mola hidatidosa terjadi perubahan kadar hormon tiroid. Kadar T4 dalam
serum biasanya melebihi 12 ng/100 ml, tetapi TBG sendiri rendah, akibatnya T4 dan
T3 bebas lebih tinggi. Karena itu pada mola terjadi tirotoksikosis.

9
10

Pada mola, kadar hCG (human chorionic gonadotropin) dalam darah sangat tinggi
yang dan ini mempunyai efek stimulasi terhadap tiroid. Pada kehamilan biasa puncak
hCG biasanya tidak melebihi 100.000 mUI/ml yang tercapai antara minggu 8-12 dan
kemudian menurun kembali dan bertahan sekitar 10.000-20.000 mIU/ml sampai
waktu melahirkan. Pada mola hidatidosa kadar hCG, sebagian besar diatas
300.000mIU/ml bahkan dapat mencapai kadar diatas 12.000.000 mIU/ml. Berbagai
penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antar kadar hCG dan tingginya fungsi
tiroid.
Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa terjadinya hiperfungsi tiroid terjadi
akibat adanya stimulator yang dibentuk dalam jaringan trofoblas. Hershman
menyebutnya sebagai molar thyrotropin. Yang masih kontroversial adalah substansi
zat tersebut. Yang jelas ada korelasi positif antara tingginya kadar hCG dengan
meningkatnya kadar T3 dan T4. Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar hCG akan
menurun secara drastis. Hali ini diikuti dengan turunnya T4 dan T3 sampai kembali
ke kadar normal.
Sehubungan dengan fenomena ini banyak pakar yang menganggap bahwa
stimulator itu adalah hCG sendiri. Molar thyrotropin secara imunologis berbeda dari
TSH, hCT dan LATS
Adanya Aktivitas Stimulasi Tiroid (AST) dari hCG serta ciri-ciri
stimulatornya telah dibuktikan melalui penelitian invitro maupun in vivo. Dikatakan
bahwa struktur dan reseptor hCG dan TSH adalah homolog, sedangkan derajat AST-
nya dipengaruhi metabolisme hCG sendiri. Yang lebih poten adalah hCG varian yang
kehilangan gugusan beta CTP-nya yang merupakan hasil proses deglikosiasi atau
desialisasi.
Hasil penelitian di atas dapat menerangkan mengapa pada kehamilan biasa
tidak terjadi tirotoksikosis. Pada kehamilan biasa kadar hCG yang rendah akan
meningkatkan sedikit T4 dan menekan TSH, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan
tirotoksikosis.
Diagnosis tiroktosikosis pada MHK dipersulit karena sering disertai adanya
penyuli-penyulit, seperti preeklamsi, payah jantung, emboli paru dan anemia yang
masing-masing dapat memberikan gejala seperti tiroktosikosis

10
11

2.2.5 Dasar Diagnosis


Adanya MHK bila ditemukan hal-hal seperti di bawah ini:
1. Anamnesis
Wanita mengeluh :
a. terlambat haid (amenorea)
b. adanya perdarahan pervaginam
c. perut merasa lebih besar dari lamanya amenorea
d. walaupun perut besar, tidak merasa adanya pergerakan anak
2. Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaaan ditemukan
a. uterus lebih besar dari tuanya kehamilan
b. tidak ditemukan tanda pasti kehamilan, seperti detak jantung anak,
balotemen atau gerakan anak.
3. Laboratorium
Kadar B-hCG lebih tinggi dari normal
4. USG
Tampak gambaran vesikuler di kavum uteri
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil pemeriksaan patologi anatomi.

2.2.6 Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up

Perbaikan Keadaan Umum


Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita
harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita
harus diberikan :
1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik

11
12

2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia. Obat anti


tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam

Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan
penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin
Ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum
Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan
dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase
berikutnya harus ada indikasi.
b. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak hidup
tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis tidak
selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena
jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak
sebagai stimulator.

Profilaksis
Ada dua cara :
1. histerektomi totalis
2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau
wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan.
Caranya :
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5
hari berturut-turut.
Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote
ataupun hepatoprotektor

12
13

2.2.6 Prognosis
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar
penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 – 20% yang mungkin akan
mengalami keganasan (TTG).
Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :
1. umur diatas 35 tahun
2. besar uterus di atas 20 minggu
3. kadar β-hCG di atas 105 mIU/ml
4. gambaran PA yang mencurigakan

2.3 Mola Hidatidosa Parsialis


MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang
mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis,
maupun gambaran PA-nya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung
kepada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat
bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang
melaporkan tentang kasus MHP yang janinnya hidup sampai aterm.
Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui
dengan tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana
penyebaran penyakitnya.

2.3.1 Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y
atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY.
Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu
dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu,
ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu

13
14

berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan
plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal
dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa
penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi
sangat dini.
Teori Diandro Triploid

23 X
Ovum 69 XXX
Kosong
23 X
Homozigot

23 X
Ovum
69 XXY
Kosong

23 Y Heterozigot

23 Y
69 XYY
Ovum
Kosong 23 Y

69 YY

Nonviable

14
15

2.3.2 Gejala Klinis


Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun
tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa.
Kalau ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan
MHP dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih
kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.
Gambaran USG tidak selalu khas tapi, MHP dapat didiagnosis bila ditemukan
hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang menyerupai
kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Kadar β-hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini
mungkin disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang
tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP
jarang sekali ditemukan kista lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai
penyulit seperti PEB, tiroktosikosis atau emboli paru.

2.3.3 Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat
diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat
ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas
di samping kantong janin, dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan
diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai
berikut.
1. vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropik, kavitasi, dan
hiperplasia trofoblas
2. scalloping yang berlebihan dari vili
3. inklusi stroma trofoblas yang menonjol
4. ditemukan jaringan embrionik atau janin

15
16

2.3.4 Terapi
Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya
evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa.
Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan.

2.3.5 Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%).
Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang
disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up sama
ketatnya seperti MHK.

16
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2006.
2. Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran :EGC
3. Cunningham FG. MC Donald PC et al. William Obstetric 21 st ed. Pecitce-Hall Inc.,
USA. 2001.
4. Pedoman Diagnosis Terapi Obstetri dan Ginekologi . RSUD Dr. Piringadi Medan.
Bagian/UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK-USU. Medan, 1993
5. Martaadisoebrata D, Wirakusumah F. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC, 2004
6. Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional.
Jakarta : EGC, 2005

17

You might also like