You are on page 1of 41

Laporan Kasus

Hidronefrosis Dekstra et causa Ureterolithiasis Dekstra

Oleh:
Vanadia Nurul Meta, S.Ked
04114705002

Pembimbing:
dr. Arizal Agus, SpU

DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2013
2

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul

Hidronefrosis dekstra et causa ureterolithiasis dekstra

Oleh:
Vanadia Nurul Meta
04114705002

Telah dilaksanakan dan disetujui pada bulan Oktober 2013 sebagai salah satu
persyaratan guna mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian/Departemen Ilmu Bedah FK Unsri/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Periode 23 September – 30 November 2013.

Palembang, Oktober 2013


Pembimbing,

dr. Arizal Agus, SpU


3

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTIFIKASI
a. Nama : Tn. supriadi
b. Usia : 53 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Kebangsaan : Indonesia
e. Suku : Palembang
f. Status Pernikahan : Menikah
g. Pekerjaan : Wiraswasta
h. Agama : Islam
i. Alamat : Rt 03 Rw 11 Kelurahan 11 ulu
Kecamatan Seberang Ulu II Palembang
j. MRS : 30 September 2013
k. No. Rekam Medis : 741583

1.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2013)
Keluhan Utama:
Sakit pinggang sebelah kanan sejak 2 bulan yang lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 6 bulan yang lalu penderita mengeluh sakit pinggang kanan, sakit
dirasakan hilangg timbul, sakit tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan
perubahan posisi. Rasa sakit saat BAK tidak ada, alirannya lancar,sakit
setelah BAK tidak ada, Riwayat kencing bercampur darah tidak ada, riwayat
kencing berpasir tidak ada, kencing mengelurkan batu tidak ada,kencing tidak
lampias ada. BAB tidak ada keluhan, untuk mengurangi rasa sakit, penderita
biasanya menggunakan balsem, namun keluhan tidak berkurang.
Sejak 3 bulan yang lalu penderita masih mengeluh sakit pinggang sebelah
kanan semakin bertambah menjalar kepunggung
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 86x/menit
4

Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,8 °C
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-)
Pupil : isokor/refleks cahaya (+)
Dada : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status lokalis
Genitalia : Lihat status lokalis
Anal : Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising Usul (+) normal

Regio CVA
Kanan Kiri
Inspeksi : Bulging (-) (-)
Palpasi : Massa (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-) (-)

Regio supra pubis


 Inspeksi : Bulging (-)
 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)

Regio Genitalia Eksterna


 Inspeksi : Bloody discharge (-),urin lancar dan jernih.tak
tampak pembesaran skrotum.
 Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)
Regio inguinal
 Inspeksi : tak ada benjolan

Rectal Toucher :
 TSA baik
 Prostat teraba membesar
5

 Konsistensi kenyal, permukaan rata, simetris, nodul (-), nyeri tekan


(-)

I.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Tanggal: 9 September 2013
Darah Rutin :
- Hb : 9,7 g/dl (N: 14-18 g/dl)
- Ht : 29 vol% (N: 40-48 vol%)
- Leukosit : 9.000/mm3 (5.000-10.000/mm3)
- Trombosit : 284.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
- LED : 120 mm/jam
- Diff. Count : 0/14/0/45/33/8
Kimia Klinik :
- BSS : 99 mg/dl (N: <200 mg/dl)
- Ureum : 39 mg/dl (N: 15-39 mg/dl)
- Creatinin : 1,04 mg/dl (N: 0,9-1,3 mg/dl)
- Asam urat : 8,1 mg/dl (N: <8,4)
- Na : 140 mmol/l (N: 135-155 mmol/l)
- K : 4,3 mmol/l (N: 3,5-4,5 mmol/l)
Urinalisa :
 Sel epitel : (+)
 Leukosit : 20-25/LBP (N: 0-5/LBP)
 Eritrosit : 80-100/LBP (N: 0-1/LBP)
 Silinder (-), Kristal (-)

b. BNO
6

 Terdapat gambaran radio opak multipel pada cavum pelvis dengan


ukuran diameter bervariasi antara 1,5 cm – 2,1 cm
 Kesan : vesikolitiasis multiple

c. USG
7

 Prostat tampak membesar ukuran


50 x 54 mm
 Tampak multiple acoustik shadow
pada buli-buli

Kesan
BPH
Batu buli-buli multiple

I.5 Diagnosis Kerja


Susp. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) + Vesicolithiasis multipel

I.6 Diagnosis Banding


 Ca Prostat + vesicolithiasis multiple
 Ca Buli + vesicolithiasis multiple

I.7 Penatalaksanaan
 TURP
 Vesikolitotomi terbuka

I.8 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Kepala


Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai
dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap
komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme
yang terjadi.
Secara umum otak dilindungi oleh:
1. Kulit kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling
melekat dan bergerak sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
 Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar
sebacea.
 Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan
lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari
m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh
darah besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang
supratrokhlear dan supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah
depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-temporal superfisial,
aurikuler posterior, dan oksipital disebelah posterior dan lateral.
Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan
subkutis sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut. Apabila
pembuluh ini robek, maka pembuluh ini sukar mengadakan
vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
 Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan
fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu
menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot
frontalis dan otot occipitalis.
9

 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,


menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.
emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan
sinus venosus intracranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat
membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam
tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala
harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak.
 Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan
tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui
sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan
endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).

2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis
cranii (bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi
di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras
yang tidak memungkinkan terjadinya perluasan isi intracranial.
Tulang tengkorak terdapat tiga lapisan, yaitu tabula eksterna,
diploe, dan tabula interna. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan
dinding bagian dalam disebut tabula interna. Tabula interna
mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media dan
posterior.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fosa anterior
yang merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang merupakan
tempat lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian
bawah batang otak dan cerebellum.
10

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu:
 Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
durameter dan arakhnoid yang kaya akan pembuluh vena, sehingga
apabila terjadi robekan pada dura, terjadi perdarahan yang akan
menumpuk pada ruangan ini yang dikenal sebagai perdarahan
subdural.
 Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan
tembus pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal
sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan
LCS.
 Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada
permukaan korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh
darah halus, dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang
masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

Gambar 1. Tulang tengkorak dan meningen


11

II.1 Cidera Otak/ Cidera Kepala


Kejadian cidera otak (CO) dari waktu ke waktu tidak pernah
berkurang baik di negara yang sudah maju atau negara yang berkembang
terutama di Indonesia.
Faktor-faktor yang menyebabkan CO oleh karena :
1. Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana transportasi,
mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas baik darat,
laut dan udara.
2. Meningkatnya kuantitas dan kualitas industri menyebabkan bertambah
terjadinya kecelakaan kerja.
3. Faktor-faktor lain seperti kegiatan-kegiatan olahraga, penyaluran hobi
berburu dan sebagainya.
Di Amerika Serikat pada tahun 1990 hampir 148.500 orang meninggal
dunia akibat cidera akut dan diperkirakan 44% – 50% diantaranya disebabkan
oleh CO. Tingkat kematian bervariasi dari 14 hingga 30 per 10.000 populasi
per tahun. Biaya sosial yang diakibatkan CO ternyata sangat mengejutkan,
baik dari sosial maupun ekonomi. Hampir 100% COB dan 66% COS
menyebabkan kecacatan yang permanen dan tidak akan kembali ke tingkat
fungsi awal. Di USA biaya perawatan CO diperkirakan lebih dari $ 25
milyard ter tahun (FCA 1998, Shepard 2001).
Celakanya CO lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda
antara 15 - 30 tahun daripada anak-anak dan orang tua, dan lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada wanita hal ini dikarenakan usia dewasa muda
dan laki-laki lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan (Umar
Kasan 1999, M.Arifin 2002, Hafid B. 2000).
CO primer (COP) dapat terjadi langsung yakni kepala terbentur atau
terpukul di tengkuk atau jatuh terduduk dapat menimbulkan goncangan pada
kepala (Becker et al 1979, Gennarelli et al 1985, popp et al 1985). COP dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan anatomi sel otak. Pada CO
sebagian sel otak tetap normal, sebagian cidera (sakit) dan sebagian mati, sel
otak normal dan yang sudah mati tidak memerlukan penatalaksanaan secara
12

khusus, sedangkan sel-sel otak yang cidera memerlukan penatalaksanaan


yang baik dengan tujuan agar sel otak yang cidera menjadi sembuh atau
normal, dengan demikian dapat dicegah meluasnya proses yang
mengakibatkan terjadinya cidera otak sekunder (COS). Faktor utama
penyebab terjadinya COS adalah perdarahan otak dan edema otak.
Perdarahan otak yang cukup luas dan menimbulkan efek masa, bila
dimungkinkan dapat diintervensi secara operatif, sedangkan kecil dan tidak
menimbulkan efek masa cukup dirawat secara konvensional.
Pada edema otak terjadi peningkatan isi atau masa jaringan otak
(Rapport, 1979; marmarou et al 1976, 1980 & 1987 ; Kaplan 1988). Pada fase
awal, peningkatan edema otak diikuti dengan pengurangan atau penyusutan,
cairan serebro spinal (CSS), isi pembuluh darah serta jaringan penyangga.
Peningkatan edema otak belum menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang bermakna di mana tubuh akan mengadakan kompensasi
untuk mengurangi edema otak. Namun bila proses berlanjut, peningkatan
edema otak akan berlangsung terus, sedangkan mekanisme pengurangan masa
sudah maksimal, sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang
progresif dan terjadi pendesakan pada bagian otak yang vital.
Penyebab dan mekanisme terjadinya peningkatan edema otak masih
dalam penelitian dan banyak teori yang dikemukakan antara lain : teori
adanya aritrosit, neurotransmiter atau spasmogen, reaksi imflamasi, asidosis,
radikal bebas, opioid endogen dan gangguan hormonal serta teori gangguan
airway, breathing dan sirkulasi yang mengakibatkan gangguan oksigen di
otak (Hipoksemia) (Bullock, 1992; Mc Intosh 1998; Rapport 1979; Teasdale
1998; Yoshida 1991; Staub 1994; Sutton 1995).

II.1.2 Mekanisme Cedera Kepala


1. Secara Statis (Static Loading)
Cidera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon.
Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus
13

sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai kulit, tengkorak dan


jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.
2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cidera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon,
berbentuk impulsif dan / atau impak
a. Impulsif (Impulsif Loading)
Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi
pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala
berhenti mendadak, contoh : pukulan pada tengkuk atau
punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari
kepala yang bisa menyebabkan cidera otak.
b. Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat
menimbulkan 2 bentuk impak:
a. Kontak / benturan langsung (contact injury)
b. Inersial (inertial = acceleration dan deceleration)
c. Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat
menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura
dan coup kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan
fraktur di luar tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate
disebabkan oleh gelombang kejut (shock wave), dimana
gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh pukulan
akan diteruskan di dalam jaringan otak.
d. Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak
dengan tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua
jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang dapat menyebabkan
14

gegar otak, cidera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan


subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra coup dan
intermediate.

II.1.3 Patofisiologi Cedera Otak


Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak
langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan
kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor
seperti : edema serebri, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi imflamasi dan radikal
bebas (Gromek et al 1973; Miller 1973; Clubb et al 198; Rosner et al 1984;
Gennarelli et al 1985; Graham et al 1987; Hayes et al 1989; Povlishock
1989; Rosenblum 1989; Umar Kasan 1992).
Rambut kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi
jaringan otak terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian
tenaga benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut.
Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki
elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan
maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian
diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda.
Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak
dengan lekukak yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila leukak
melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami
fraktur. Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi /
depresi, diastase sutura atau fraktur multiple disertai fraktur dasar
tengkorak.
Mekanisme kerusakan otak pada CO dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang
tengkorak sehingga timbul lesi “coup” (cidera di tempat benturan)
15

b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi.
Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan CO berupa kompresi, peregangan
dan pemotongan. Benturan dari arah samping akan mengakibatkan
terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan otak dengan bagian
tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk
dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik
coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau
jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada
bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior,
sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah
postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak
bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya
coup dan contra coup
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses
pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa :
“Intermediate coup”, contra coup, cidera akson yang difus disertai
perdarahan intraserebral
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan
dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan.
Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif
di tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan
akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada
jaringan otak (lesi coup dan contra coup).
16

1. Impak (Impact Loading)

Impresi Fraktur
Coup Contusio
Epidural Hematom
Subdural Hematom

2. Inert = Impulsif

Coup Cont. Bridging Vein Rupture Contra Coup


ICH Tekanan Negatif ICH
(Buble Soap) SDH
SDH, Contra Coup, Cont.

3. Gelombang kejut (Shock wave injury)

Intermediate Coup
17

II.1.4. Kelainan Fungsi dan Anatomi Otak Akibat Cedera


CO

Neurovascular Neuron
( Pembuluh Darah Otak ) ( Se lOtak )

COS

SEMBUH
1. Kerusakan sel otak
Pada CO terjadi proses fagositik (phagocytic process) dan akan terbentuk
gelembung lemak di dalam sel (fat granule cells) yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan sel otak.
2. Kerusakan pembuluh darah
Terjadi bendungan dan dilatasi kapiler dan vena ; bila berkelanjutan,
keadaan menjadi lebih berat, akan menimbulkan gangguan permeabilitas,
diikuti dengan degenerasi dan nekrosis dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah yang bersangkutan sehingga
terjadi perdarahan. Secara makro di daerah kontusio terlihat suatu area
perdarahan yang menyebar dan menembus korteks ke substansia alba,
bentuknya tidak teratur dan biasanya terlokalisasi di daerah mahkota girus
otak.
3. Lokasi kerusakan
Kerusakan pembuluh darah dan aliran darah berdasarkan lokasi kerusakan
jaringan otak pada CO adalah :
- coup, bila CO terjadi di tempat benturan
- contra coup, bila CO terjadi di tempat di sisi yang berlawanan atau jauh
dari tempat benturan
- intermediate coup, bila CO terjadi intraserebral di antara coup dan contra
coup
18

II.1.5. Glasgow Coma Scale (GCS)


Yang dimaksud disini adalah cara pengukuran tingkat kesadaran
secara kuantitatif, berdasarkan tiga variabel pemeriksaan neurologis, yaitu
reaksi bukaan mata, bicara dan motorik. Cara pengukuran ini ditemukan
oleh Brian Jennett (Tabel 1).
Glasgow Outcome Scale (GOS)
GOS adalah cara standar yang dipakai secara luas hingga kini untuk
mengukur hasil perawatan penderita cidera kepala secara umum. Cara
pengukuran ini diusulkan oleh Brian Jennett dan Bond pada tahun 1975
(Tabel 2).
Kelemahan GOS adalah ketidak-sensitifannya terhadap gangguan
neuropsikologi ringan yang dapat mempengaruhi kinerja dan kualitas
hidup penderita pada bidang tertentu, meskipun pada bidang lain dapat
pulih normal; selain itu sebagai sarana pengukur yang besifat umum, GOS
tidak dapat menunjuk mekanisme dasar penyebab kecacatan penderita
(Levin, 1996).
Tabel 1 : Glasgow coma scale. Diadaptasi dari Jennett B, 1981.
Gejala Skor
Bukaan mata (E)
Spontan 4
Dengan rangsangan suara 3
Dengan rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
Reaksi bicara (V)
Orientasi baik 5
Percakapan membingungkan 4
Kata-kata tidak sesuai 3
Suara yang tidak komprehensif 2
Tidak bersuara 1
Reaksi motorik terbaik (M)
Sesuai perintah 6
Melokalisir rangsangan 5
Menolak rangsangan 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
19

Tidak ada reaksi 1


Skor koma = E-V-M, dengan rentang 1-1-1 hingga
4-5-6.

Tabel 2 : Glasgow Outcome Scale. Diadaptasi dari Jennett, 1975.


Pemulihan baik Penderita kembali ke tingkat fungsi pra-trauma
Ketidakmampuan sedang Ada defisit neurologis, tetapi mampu merawat diri
sendiri. Dapat menggunakan sarana transportasi
umum. Bekerja dalam kapasitas yang berkurang
akibat sebagai akibat gejala sisa neurobehavioral
atau disfungsi psikososial.
Ketidakmampuan berat Tidak mampu merawat diri sendiri: tergantung pada
supervisi orang lain secara terus menerus karena
defisit neurobehavioral atau kemampuan fisik yang
berat.
Vegetatif Tidak memiliki fungsi luhur seperti komunikasi,
interaksi kognitif dengan lingkungan, meskipun
dapat membuka mata dan siklus tidur normal
Mati

II.1.6. Derajat gangguan kesadaran


Derajat gangguan kesadaran penderita CO dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Ringan
Bila skor Glasgow Coma Scale (GCS) berkisar antara 13 – 15
Terdapat perubahan anatomi dan gangguan fungsi otak minimal
2. Sedang
Bila skor GCS berkisar antara 9 – 12
Terdapat perubahan anatomi dan gangguan fungsi otak yang lebih berat
Klinis terdapat kelainan pada saraf dan pada pemeriksaan CT Scan terlihat
adanya kelainan
3. Berat
Bila skor GCS berkisar antara 3 – 8
Terdapat perubahan anatomi dan gangguan fungsi otak berat
20

II.1.7. Diagnostik
a. CT Scan kepala pada CO
Indikasi pemeriksaan CT-scan pada cedera kepala adalah :
1. GCS <15 atau dengan penurunan kesadaran > 1 point selama
observasi.
2. Cedera kepala ringan disertai dengan fraktur tengkorak.
3. Adanya tanda klinis fraktur basis cranii.
4. Desertai kejang
5. Adanya tanda neurologis fokal.
6. Sakit kepala yang menetap.
Pembacaan hasil CT-scan secara sistematis hendaknya diurut seccara
sentrifugal, meliputi :
1. tentukan tinggi pemotongan slice pada CT-scan dan enali struktur
anatomis yang berhubungan dengan potongan tersebut.
2. Lakukan penilaian terhadap pergeseran garis tengah (midline shift),
apakah terdapat pergeseran, jika ada apakah pergeseran > 5mm atau >
5mm.
3. Lakukan penilaian sistem ventrikel dan cisterna, perhatikan bentuk,
ukuranm adanya enekanan, periventrikuler edema, gambaran hiperdens
intraventrikuler (intraventrikular hemorage), atau adanya penebalan
dinding ventrikel (ventrikulitis). Jika gambaran cisterna ambiens
menghilang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
4. Lakukan penilaian terhadap parenkim otak, apakkah ada lesi hiperdens
(perdarahan) atau hipodens (iskeik atau edema).
5. Lakukan penilaian kontur girus, sulkus, fisura, apakah terdapat
gambaran jierdens (perdarahan) atau atropi serebral. Jika terdapat
gambaran hiperens, bagaimana bentuk lesi tersebut, apaka bikonveks,
crescent (bulan sabit), atau mengikuti kontur girus, sulkus, dan fissura.
Nilai juga isi volume lesi tersebut menggunakan:
Isi = (panjang x lebar x tinggi) / 2
6. Lakukan penilaian tulang-tulang, apakah terdapat fraktur, gambaran
dan lokasi fraktur, dll.
7. Lakukan penilaian jaringan lunak ekstrakranial, apakah terdapat
subgleal hematoma, cephal hematoma, dll.
21

b. CT Scan Diffuse Injury


Tabel 3 : Klasifikasi cidera kepala difus berdasarkan CT scan, diadaptasi dari
Diaz-Marchan, 1996.
Kategori Hasil CT scan
Diffuse injury I Tidak nampak patologi intrakranial
Diffuse injury II Sisterna terbuka, dengan MLS < 5 mm, tidak
nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran
> 25 cc, bisa termasuk fragmen tulang atau
benda asing.
Diffuse injury III (edema) Sisterna terjepit atau hilang, dengan MLS < 5
mm, tidak nampak lesi berdensitas tinggi atau
campuran > 25 cc
Diffuse injury IV (pergeseran) MLS > 5 mm, tidak nampak lesi berdensitas
tinggi atau campuran > 25 cc
Massa dengan indikasi operasi Terdapat lesi massa yang perlu dioperasi
Massa tanpa indikasi operasi Nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran
> 25 cc tetapi tidak ada indikasi operasi
MLS: midline shift

II.2. Aliran Darah Otak (ADO)


ADO normal : 50 – 160 ml/menit. Otak manusia mendapat aliran darah
dari pembuluh darah utama, yakni dari arteri karotis komunis kanan dan kiri,
dan arteri vertebralis. Kedua pembuluh darah tersebut berhubungan dengan
satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan. Bila terdapat
gangguan pada salah satu pembuluh darah, fungsinya dapat diganti atau
diambil alih oleh pembuluh darah yang lain sehingga kebutuhan darah otak
dapat dipenuhi, tetapi bila gangguan sangat berat, kompensasi aliran darah
tidak mencukupi sehingga terjadi gangguan fungsi dan kerusakan anatomi
otak.
ADO dapat diukur dengan berbagai cara, yakni dengan PET (Positron
Emission Tomography), NMR (Nuclear Magnetic Resonance), Xenon
Clearance and Hagen Poiseule).
22

Dalam jaringan otak normal terdapat suatu sistem yang mengatur aliran
darah dengan mengubah besar kecilnya diameter pembuluh darah sehingga
kebutuhan darah, oksigen dan glukose untuk otak dapat dipenuhi. Sistem ini
disebut autoregulasi pembuluh darah otak.
Energi dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi otak (lihat gambar).
Glukose CO2
CO2 Laktat, Pirufat

ARTERI VENA YUGULAR


ADO = 15% – 20% CURAH JANTUNG
CMRO2 = 20% – 25% KEBUTUHAN O2 TUBUH

ENERGI

TRANSPORT AKTIF BIOSINTESIS


MEMBRAN FLUK (Na+, K+) ENSIM
TRANSPORT INTRASELULER TRANSMITER
MEMBUNGKUS TRANSMITER KESATUAN BENTUK

Besarnya kebutuhan energi otak ini disebabkan oleh karena beberapa hal
yaitu :
- otak tidak mempunyai simpanan O2 atau hanya sangat minim. Bila suplai O 2
terhenti, otak hanya dapat bertahan selama 3 menit.
- otak memerlukan energi tinggi dan energi hanya didapat dari luar (bahan
eksogen), sehingga bila terjadi kekurangan sumber energi dari luar akan
berakibat terjadinya gangguan fungsi otak
- dalam keadaan istirahat (resting) semua kapiler pembuluh darah otak hampir
terbuka maksimal sehingga untuk penambahan isi dalam kenyataannya tidak
dimungkinkan lagi.
Gangguan ADO pada CO dapat berupa gangguan pada autoregulasi,
gangguan aliran akibat spasme/konstriksi, dan hipoksemia.

II.2.1. Autoregulasi Pembuluh Darah


Dengan autoregulasi dimaksud adanya kemampuan pembuluh darah
serebral untuk menyesuiakan lumennya pada ruang lingkup sedemikian rupa,
23

sehingga aliran darah ke otak tidak banyak berubah, walaupun tekanan darah
arteriil sistemik mengalami fluktuasi. Penurunan tekanan darah sistemik
sampai mencapai 50 mmHg masih dapat diatasi oleh fungsi autoregulasi
serebral ini, tanpa menimbulkan gangguan aliran darah regional.
Beberapa teori tentang dasar dari mekanisme autoregulasi adalah :
a. Teori Miogenik
Kenaikan tekanan darah arteriil sistemik akan mendorong
pembuluh darah untuk berkontraksi sehingga terjadi kenaikan resistensi
vaskuler, dan lebih lanjut mengakibatkan penurunan alirah darah
sampai ke batasa normal. Demikian pula sebaliknya, penurunan tekanan
darah arteriil sistemik akan mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh
darah serebral, sehingga terjadi penurunan resistensi vaskuler.
b. Teori Neurogenik
teori ini didasarkan adanya serabut-serabut saraf perivaskuler yang
menyertai pemuluh darah serebral. Pusat yang sensitif terhadap CO 2
terdapat di batang otak dan pengaturan resistensi pembuluh darah
serebral melalui mekanisme neurogenik.
c. Teori Metabolik
Dasar hipotesa adalah arteri mempunyai kemampuan sebagai
elektroda terhadap tekanan CO2 (PCO2).
Disamping itu : CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui membran
pembuluh darah, sedangkan ion Hidrogen dan Bikarbonat tidak. pH di
sekitar dan di dalam sel otot polos dipengaruhi oleh ion Bikarbonat
ekstravaskuler dan Karbondioksida intravaskuler.
Perubahan akut dari PCO2 arteri akan mengakibatkan perubahan
pH secara mencolok dan selanjutnya memacu penyesuaian dari aliran
darah otak. Apabila kondisi PCO2 ini tetap, pH cairan ekstravaskuler
lambat laun akan berubah ke arah normal melalui proses transport aktif
dari sel glia, sampai pH terkoreksi sesuai kondisi reseptor pH pembuluh
darah dan resistensi pembuluh serebral kembali normal.
24

Apabila PCO2 kemmudian kembali ke nilai normal, aliran darah


akan berubah ke arah yang berlawanan sedemikian rupa sampai koreksi
ke arah kebalikan di atas selesai.
II.2.2 Gangguan autoregulasi
Pada CO terdapat perbedaan mengenai waktu terjadinya berat atau
besarnya gangguan autoregulasi. Banyaknya percobaan-percobaan yang
telah dilakukan tetapi hasilnya tidak sama, seperti terurai di bawah ini :
- waktu terjadinya gangguan autoregulasi dapat berlangsung dalam
beberapa detik, beberapa menit dan beberapa jam.
- beratnya gangguan autoregulasi tergantung dari beratnya CO. Pada CO
sedang terjadi kerusakan autoregulasi yang tidak seberapa sedangkan
pada CO berat (GCS < 8), besarnya kerusakan pada autoregulasi dapat
mencapai 31%.
II.2.3 Vasokonstriksi atau vasospasme
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan
vasospasme. Pada CO terjadi gangguan autoregulasi di mana keseimbangan
ini terganggu. Dikatakan bahwa pada fase awal terjadi spasme dan
kemudian disusul dengan vasodilatasi. Karena aktifitas saraf simpatis yang
membungkus pembuluh darah tidak mampu lagi mengambil adrenalin dan
konsekuensinya adalah terjadinya edema otak.
Bila terjadi hipoksemia maka produksi energi (ATP) berkurang dengan
akibat kenaikan ion Ca2+ dari luar sell atau dari simpanan Ca2+ didalam
mitokhondria dan retikulo endoplasmik Ca2+ dalam sell meningkat
menyebabkan aktivasi enzim miosin kenase sehingga miosin yang pasif
menjadi aktif (Myosin phosphate activation) dan miosin yang aktif akan
mengikat aktin sehingga timbul ikatan aktin-miosin (actin-myosin complex)
yang mengakibatkan pembuluh darah menyempit (vasospasm) kalau
hipoksia hilang dan aliran darah normal maka ATP kembali normal dan
ikatan aktin-miosin dibuka maka pembuluh darah akan melebar
(vasodilatasi).
25

II.2.4 Gangguan metabolisme otak


CO dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme otak seperti :
metabolisme anaerob, hipermetabolisme, hiperglikemia, hiperkatabolisme
dan gangguan metabolisme asam lemak.

II.3. Pengelolaan Cedera Kepala


II.3.1 Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-
kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

II.3.2 Pemeriksaan fisik


Tindakan terpenting yang pertama kali pada cedera kepala adalah survei
primer dengan menilai airway, breathing, circulation, baru setelah ABCD stabil
dilakukan pemeriksaan disability dengan menentukan GCS. ABC
26

menggambarkan status fungsi vital dan disability menggambarkan status


kesadaran pasien.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
ialah:
a. Jalan nafas airway dan Pernafasan breathing
Terhentinya pernapasan sementara dapat terjadi pada cedera otak
dan dapat mengakibatkan cedera otak sekunder. Jika penderita dapat
berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering
terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya
benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur
tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher.
Pemasangan pipa naso/orofaring dilakukan untuk menjaga patensi
jalan napas. Pada penderita koma, intubasi endotrakeal segera dilakukan.
Pemberian oksigen 100% dilakukan sampai diperoleh hasil analisis gas
darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang
menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif
atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.

b. Circulation
Hipotensi merupakan salah satu penyebab terjadinya perburukan
pada penderita cedera kepala. Bila terjadi hipotensi harus dilakukan
tindakan untuk menormalkan kembali tekanan darahnya. Hipotensi
biasanya tidak terjadi pada cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya syok,
27

terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thoraks,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala
awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematom epidural.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai
warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala,
tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat
digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut
arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari
70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis
maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan
eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi
yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intravena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

2. Status Kesadaran
Status kesadaran dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GCS dan
fungsi pupil setelah status vital dalam keadaan stabil.
Glasgow Coma Scale
28

Jenis pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (eye opening, E)
 spontan 4
 terhadap suara 3

 terhadap nyeri 2

 tidak ada 1
Respon motorik (M)
 ikut perintah 6
 melokalisir nyeri 5

 fleksi normal (menarik anggota yang 4

diregang)
 fleksi abnormal (dekortikasi) 3

 ekstensi abnormal (deserebrasi) 2


1
 tidak ada (flasid)
Respon verbal (V)
 berorientasi baik 5
 berbicara mengacau (bingung) 4

 kata-kata tidak teratur 3

 suara tidak jelas 2


1
 tidak ada

Tingkat beratnya cedera kepala berdasarkan skor GCS :


1. Cedera Kepala Ringan
Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
Riwayat:
 Nama, jenis kelamin, ras, pekerjaan.
 Mekanisme cedera.
 Waktu cedera.
 Tidak sadar segera setelah cedera.
 Tingkat kewaspadaan.
29

 Amnesia.
 Nyeri kepala.
Pengelolaan:
 Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik.
 Pemeriksaan neurologis terbatas.
 Radiografi tengkorak.
 Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi.
 Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik.
 CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria
rawat.
Kriteria Rawat:
 CT scan tidak ada.
 CT scan abnormal.
 Semua cedera tembus.
 Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).
 Nyeri kepala sedang hingga berat.
 Intoksikasi alkohol atau obat.
 Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea.
 Fraktur tengkorak.
 Cedera penyerta yang jelas.
 Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan.
 GCS <15.
 Defisit neurologis fokal yang jelas.3
Dipulangkan dari UGD:
 Pasien tidak memiliki kriteria rawat.
 Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang
'lembar peringatan'
 Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

2. Cedera Kepala Sedang


30

Definisi: Pasien mungkin confuse atau somnolen namun tetap mampu


untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan:
 Sama dengan untuk cedera kepala ringan.
 Pemeriksaan darah sederhana.
 CT scan kepala
 Rawat untuk pengamatan
Setelah dirawat:
 Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).
 CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis atau penderita akan pulang.
 Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala
berat .
Bila kondisi membaik:
 Pulang bila memungkinkan
 Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
bila perlu 1 tahun setelah cedera.
Bila kondisi memburuk:
 Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulangan dan penatalaksanaaan sesuai cedera
kepala berat.
 Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka
dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir
seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin
dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
 Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan stabilitas
kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai status neurologisnya.
Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol
dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT
scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan
bahkan bila CT scan normal.
31

3. Cedera Kepala Berat


Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti perintah bahkan perintah
sederhana karena gangguan kesadaran (GCS 8-3).
Pengelolaan:
 ABCDE
 Survie Primer dan resusitasi
 survei Sekunder dan riwayat AMPLE
 Reevaluasi neurologis: GCS dan Reaksi cahaya pupil
 Obat-obat Terapeutik:
 Manitol
 Hiperventilasi (PCO2<35 mmHg)
 Antikonvulsan
 Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)
 CT scan
 Ventrikulogram udara
 Angiogram

II.3.3 Terapi Medikamentosa untuk Cedera Otak


II.3.3.1 Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan dengan tujuan agar penderita dalam keadaan
normovolemia, jangan memberikan cairan hipotonik pada penderita dengan
cedera kepala. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium juga harus dipertahankan untuk
mencegah terjadinya edema otak.

II.3.3.2 Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan PCO2 yang akan
menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah otak. Selain itu, hiperventilasi
dilakukan dengan tujuan menekan metabolisme anaerob sehingga menekan
32

terjadinya asidosis. Hiperventilasi yang terlalu lama akan menyebabkan iskemia


otak karena adanya vasokonstriksi yang berat sehingga menimbulkan gangguan
perfusi ke otak. Oleh karena itu, hiperventilasi dilakukan secara moderat dan
hanya dalam waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mmHg atau
sedikit diatas.

II.3.3.3 Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat dimana
manitol bekerja dengan cara "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang
intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Indikasi pemberian
manitol adalah deteriorisasi neurologis akut seperti terjadi dilatasi pupil,
hemiparesis, atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Sediaan yang
tersedia biasanya berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dosis yang biasanya
digunakan adalah 1 gram/kgBB yang diberikan secara bolus intravena. Dosis
tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan
memperberat hipovolemia.

II.3.3.4 Furosemid
Furosemid biasanya diberikan bersama dengan manitol untuk menurunkan
TIK. Dosis yang biasanya digunakan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus
intravena. Dosis tinggi furosemid tidak boleh diberikan pada penderita dengan
hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.

II.3.3.5 Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obatan lain. Barbiturat bekerja dengan cara mem"bius" pasien
sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu,
obat ini tidak diberikan pada fase akut resusitasi.

II.3.3.6 Antikonvulsan
33

Ada 3 faktor utama yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma,
yaitu kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial,
fraktur depresif. Pada beberapa penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan
bermanfaat untuk menghindari kejang dalam minggu pertama setelah cedera
kepala tapi tidak setelah itu.

II.4. Edema Otak


Edema otak adalah akumulasi air yang berlebihan di dalam jaringan otak, baik
intra- dan / atau ekstraselular.
Pada edema otak terlihat penyempitan sulkus dan pendataran girus, hilangnya
batas substansia alba dan grisea, dan tampak pendesakan atau dorongan struktur
melampaui garis tengah.

II.4.1 Klasifikasi Edema serebri


Edema serebri diklasifikasikan menjadi :
a. Edema otak vasogenik : edema otak yang disebabkan oleh kerusakan Sawar
Darah Otak (SDO) atau peningkatan permeabilitas SDO yang mengakibatkan
terjadinya penimbunan cairan di ruang ekstraseluler dan ekstraseluler.
b. Edema otak sitotoksik : edema otak yang disebabkan oleh adanya gangguan
metabolisme sel otak, terjadi retensi air dan Na di dalam sel otak.
Edema vasogenik disebabkan oleh kebocoran SDO dengan letak edema
ekstraselular. Biasa desebabkan oleh cedera otak, stroke, infeksi. Sedangkan paa
edema sitotoksik edema disebabkan oleh gangguan metabolisme atau gangguan
energi dengan letak edema pada intraselular.
Secara normal kandungan air dalam korteks serebri sebesar 80% dan di
substansia alba 70%. Pada edema, kandungan air di korteks serebri meningkat
menjadi 82% dan di substansi alba 77%. Selama ini untuk mengetahui
patofisiologi dan perubahan biokimia yang berhubungan dengan edema otak
banyak diperoleh dari hewan percobaan. Kondisi yang tercipta pada berbagai
model percobaan tidak serupa benar dengan kondisi yang sebenarnya terjadi pada
penderita. Hal ini disebabkan karena perbedaan volume isi otak, perbandingan
34

yang tidak sama dari substansia alba dan grisea pada berbagai spesies, dan variasi
sistem kolateral pembuluh darah otak. Pada percobaan edema otak oleh suatu
trauma, terjadi pengumpulan cairan yang berlebihan terutama di rongga
ekstraseluler, dan ini bisa dibuktikan dengan cara :
- pemberian bahan yang mengandung Evens blue, dimana terlihat
pengumpulan bahan kontras di rongga ekstraseluler
- pengecatan dengan Massons trichrome stain untuk melihat adanya
kandungan protein di dalam rongga ekstraseluler dan intraseluler.
Pada CO belum dapat diketahui dengan jelas berbagai hal terutama yang
menyangkut patofisiologi terjadinya edema serta lamanya edema berlangsung. Hal
ini menyulitkan penatalaksanaan yang bertujuan mengurangi edema otak. Waktu
terjadinya dan lamanya edema otak berlangsung, sangat bervariasi, berkisar antara
beberapa detik, beberpa menit hingga beberapa jam – 24 jam, edema otak akan
mencapai puncak dalam 24 jam, dan berangsur-angsur berkurang hingga reda
dalam beberapa hari. Tetapi ada percobaan yang menunjukkan bahwa edema otak
berlanjut dan mencapai puncak pada minggu ke II (hari ke 7 – 10) dan baru reda
dalam waktu 21 hari. Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi perluasan edema
otak akibat COS karena pengaruh vasospasme, yang dapat dibuktikan dengan
pemeriksaan CT Scan kepala dan angiografi pembuluh darah otak.

II.4.2 Patofisiologi terjadinya edema otak


CO menyebabkan kerusakan “Endothel Tight Junction” sehingga SDO
terganggu integritasnya dan terjadi penerobosan zat-zat bermolekul besar atau
plasma dan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan. Edema akan berlanjut
selama masih ada kebocoran kapiler dan perbedaan tekanan jaringan. Kecepatan
dan penyebaran edema tergantung dari besarnya perbedaan tekanan dan adanya
bahan-bahan biokimia yang dibebaskan oleh jaringan yang rusak sebagai
penyebab meningkatnya permeabilitas dari SDO yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya COS.
35

Trauma

COP
Baik

Proses berlanjut Resusitasi Sembuh


+ Eritrosit
Jelek
+ Neurotransmiter /
Bahan-bahan spasmogen Gangguan
+ Reaksi inflamasi Sirkulasi + Pernafasan
+ Asidosis
+ Opioid endogen O2 menurun
+ Radikal bebas ADO menurun
+ Hormonal

Metabolisme Anaerob
Edema vasogenik
+
Sitotoksik Edema sitotoksik

COS
BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki usia 12 tahun, alamat di Banyuasin masuk rumah sakit


dengan keluhan utama penurunan kesadaran setelah kecelakaan terjatuh dari
sepeda motor. Dari anamnesis lebih lanjut didapatkan bahwa ± 10 jam SMRS os
terjatuh saat sedang mengendarai sepeda motor ke sekolah. Os terpental dengan
kepala bagian depan terbentur ke aspal tanpa mengenakan helm. Os pingsan ± 1
jam, saat sadar os sering muntah dan os mengalami penurunan kesadaran,
perdarahan THT (-).
Gambaran klinis dari riwayat perjalanan penyakit penderita di atas
memberi gambaran bahwa kepala penderita mengalami benturan frontal terhadap
aspal. Benturan terjadi secara tiba-tiba menyebabkan suatu trauma langsung pada
kepala. Trauma yang dialami secara tiba-tiba pada kepala tersebut mengakibatkan
36

penekanan yang sangat kuat sehingga menimbulkan muntah yang merupakan efek
dari peningkatan tekanan intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik survey primer didapatkan airway baik, breathing
dan circulation dalam batas normal. Penilaian airway dalam keadaan baik
didasarkan pada tidak terdapat tanda obstruksi jalan nafas dimana pasien dapat
berbicara dengan lancar. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas yaitu pada
look, dimana penderita tidak gelisah yang menunjukkan kesan bahwa pasien tidak
mengalami hipoksia, tidak mengalami sianosis pada daerah kuku dan sekitar
mulut, dan tidak bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada
paradoks. Sedangkan pada listen tidak ditemukan suara berkumur (gurgling) yang
menunjukkan adanya lendir, muntahan, darah, dan lain-lain di dalam mulut), tidak
ditemukan snoring (suara mendegkur – menunjukkan adanya sumbatan jalan
nafas atas dimana lidah jatuh ke posterior pharynx), crowing atau stridor (bersiul
– menunjukkan adanya sumbatan di saluran nafas bawah terutama pada bronkus
akibat adanya benda asing), hoarness (suara parau – menunjukkan sumbatan pada
laring yang biasa terjadi akibat edema laring). Pada airway juga diperhatikan
stabilitas tulang leher dan segera dilakukan pemberian oksigen dengan sungkup
muka atau kantung nafas. Pada penilaian Breathing dilakukan pemeriksaan berupa
look yaitu tidak ditemukan tanda-tanda seperti sianosis, luka tembus dada, fail
chest, gerakan otot nafas tambahan, pada feel tidak terlihat pergeseran letak
trakea, patah tulang iga, emfiema kulit, dan dengan perkusi tidak ditemukan
hemotoraks dan atau pneumotoraks, sedangkan pada listen tidak didapatkan suara
nafas tambahan, suara nafas menurun, dan dinilai frekuensi pernapasan yang
berada dalam batas normal (RR normal pada orang dewasa: 16-20 kali/menit).
Pada Circulation dinilai tekanan darah dan frekuensi nadi yang dalam batas
normal. Setelah ABC dalam keadaan stabil, maka dilakukan penilaian Disability
berupa penilaian menurut Glasgow Coma Scale (GCS) didapatkan nilai Eye = 3,
nilai Motorik = 6, dan nilai Verbal = 4 sehingga jumlanya 13, pemeriksaan fungsi
pupil meliputi simetrisitas dan reaksi pupil terhadap cahaya untuk menilai masih
utuhnya fungsi otak tengah dan N.III, didapatkan pupil isokor dan refleks cahaya
+/+, berarti fungsi pupil penderita masih baik.
37

Pada survey sekunder, ditemukan hematoma ukuran 3 cm di regio frontal


yang terjadi akibat adanya benturan langsung kepala bagian samping kanan ke
aspal. Selain itu, ditemukan pula hematoma ukuran 3 cm di regio temporoparietal
dextra yang terjadi akibat dahi bagian kanan penderita membentur aspal, dan
hematoma ukuran 5 cm di regio zygomatica dextra.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain CT-scan, didapatkan
gambaran vertrikel dan sisterna menyempit yang menandakan edema serebri tanpa
disertai fraktur. Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil dalam batas
normal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus
ini dapat didiagnosis dengan Trauma Kapitis sedang tertutup GCS 13 dengan
edema serebri.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah, pertama dengan
memberikan O2 sungkup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam darah menuju
ke otak sehingga mencegah hipoksia pada otak, juga menghidari hipercapnia yang
dapat menyebabkan peniingkatan tekanan intrakranial. Pemberian IVFD ditujukan
untuk membuka jalur intravena, sehingga dapat dengan mudah memasukkan obat
melalui parenteral. Analgetika diberikan untuk mengurangi nyeri yang timbul
akibat benturan. Pemberian antibiotik dilakukan untuk mengatasi infeksi terutama
karena adanya hematoma di regio frontal, temporoparietal, dan zigomatik. Head
up 30o bertujuan untuk mengoptimalkan aliran balik vena dari kepala, sehingga
akan mengurangi TTIK.
Prognosis penderita ini adalah Quo ad vitam dan Quo ad functionam dubia
ad bonam. Quo ad vitam penderita ini dubia ad bonam, artinya jika penderita ini
tidak mendapat penanganan yang tepat dan cepat maka keadaan penderita dapat
semakin memburuk yang akan meningkatkan kemungkinan mortalitasnya akibat
cedera otak sekunder, tetapi sebaliknya jika penderita mendapat tindakan life
saving yang cepat dan tepat maka kemungkinan mortalitasnya dapat ditekan.
Sedangkan Quo ad functionam penderita ini adalah dubia ad bonam, artinya jika
penderita ini tidak mendapat penanganan dini cepat maka kemungkinan
pemulihan fungsi akan menurun akibat sequele pasca trauma kepala, sedangkan
38

jika penanganannya cepat maka sequele pasca trauma kepala dapat ditekan
seminimal mungkin.
39

DAFTAR PUSTAKA
1. Becker, D.P., Miller, J.D., Sweet, R.C., Young, H.F., Sullivan, H. And Griffith
(1979). Head injury management. In : Neural trauma. Editors : Popp, A.J.,
Gourke, R.S., Nelson, L.R. and Kimelberg, H.K. Raven press New York, pp
313-328.
2. Bullock, R. And Fujisawa, H. (1992). The Role of glutamate antagonists for
the treatment of CNS injury J.Neurotrauma, 9,443-462.
3. Clubb, R.J., Maxwell, R. and Chou, S. (1980). Experimental brain injury in
the dog : Pathophysiological correlation. In: Intracranial pressure IV. Editors:
Schulman, K., Marmarou, A., Miller, J.D., Becker, D.P., Hochwald, G.M. and
Brock, M. Springer-Verlag. Berlin, pp 66-69.
4. Diaz-Marchan PJ, Hayman LA, Carrier DA, Feldman DL (1996). Computed
tomography of closed head injury. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock
JT (eds). Neurotrauma. McGraw-Hill.New York. Pp. 137-149.
5. FCA (1998). Fact sheet: Traumatic brain injury: selected statistics.
http://www.caregiver.org/factsheets/tbi_statsC.html
6. Gennarelli, T.A. and Thibault, L.E.(1985). Biomechanics of head injury. In :
Neurosurgery volume II. Editors : Wilkins, R.H. and Rengachary, S.S., Mc
Graw Hill USA, pp 1531 - 1535
7. Graham, D.I., Adam, J.H. and Gennarelli, T.A. (1987). Pathology of brain
damage in head injury. In : Head injury second edition. Editors : Cooper, P.R.,
Williams and Wilkins, baltimore USA, pp 72-88.
8. Gromek, A., Dzajkowska, D., Dzernicki, Z., Jurkiewics, J. And Kunichi, A.
(1973). Biochemical disturbance in experimental brain edema. In: Advances in
9. Hafid, B. 2002. Kranioplasti Ototransplantasi Kalvarium. Perbandingan
Penyimpanan di Subgalea dan Penyimpanan Beku [Disertasi]. Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
10. Hayes, R.I. and Ellison, M.D. (1989). Animal models of concussion of head
injury. In : Textbook of head injury. Editors : Becker, D.P. and Gudermann,
S.K.., W.B. Sounders. Philadelphia, pp 426
40

11. Jennett, B., Teasdale, G.(1981). Management of head injuries. F.A. Davis Co,
Philadelphia pp 77 - 93
12. Kaplan, M.S. (1988) . Plasticity after brain lession : contemporary concepts
Arch phys med rehabil, 69, 984 - 991
13. Marmarou, A., Takagi, H., Haegens, C.W. and Shulman, K. (1980). Effects of
cerebral edema upon viscoelastic properties of brain tissue. In : Intracarnial
pressure IV. Editors : Shulman, K., Marmarou, A., Miller, J.D., Becker, D.P.,
Hochwald, G.M. and Brock, M. Springer - Verlag. Berlin, pp 97 - 101
14. Marmarou, A. And Tabaddor, K. (1987). Intracranial pressure. Physiology and
pathophysiology. In : Head injury second edition. Editors : Cooper, P.R.,
Williams and Wilkins, Baltimore USA, pp 159 - 176
15. Marmarou, A. (1992). Intracellular acidosis in human and experimental brain
injury. J.Neurotrauma, 9 551 - 526
16. McIntosh TK, Saatman KE, Raghupathi R, Graham DI, Smith DH, Lee VMY,
Trojanowski JQ. (1998). The molecular and cellular sequelae of experimental
traumatic brain injury: Pathogenetic mechanisms. Neuropathology and applied
Neurobiology 24,251-67.
17. Miller, D. (1973). Effect of hyperbaric oxygen on intracranial pressure in brain
edema. In : advances in neurosurgery I : Brain edema and cerebello pontine
angel tumors. Editors : Schurmann, K., Brock, M., Reulen, H.J. and Voth, D.
Springer - Verlag. Berlin, pp 150 - 157
18. Popp, A.J. and Bourke, R.S. (1985). Pathophysiology of head injury. In :
Neurosurgery volume II. Editors : Wilkins, R.H. and Rengachary, S.S., Mc
Graw Hill USA, pp 1536 - 1543
19. Povlishock, J.T. (1989). Experimental studies of head injury. In : Textbook of
head injury. Editors : Becker, D.P. and Gudemann, S.K., W.B. Sounders.
Philadelphia, pp 437 - 450
20. Rapoport, S.I. (1979). Roles of cerebro vascular permeability, brain
compliance and brain hydraulic conductivity in vasogenic brain edema. In :
Neural trauma. Editors : Popp, A.J., Bourke, R.S., Nelson, L.R. and
Kimelberg, H.K. Raven press New York, pp 51-62.
41

21. Rosenblum (1989). Pathology of human head injury. In : Textbook of head


injury. Editors : Becker, D.P. and Gudemann, S.K., W.B. Sounders.
Philadelphia, pp 525 - 538
22. Rosner, M.J. and Becker, D.P. (1984). Experimental brain injury : succesful
therapywith the wake base, tromethamine. J.Neurosurg, 60, 961 - 971
23. Shepard SC, Talavera F, Grosso MA, Zamboni P (2001). Head trauma.
EMedicine J 2(10). Http://www.emedicine.com/med/topic2820.htm
24. Staub F, Peters AW, Kempski O, Kachel V (1994). Swelling, acidosis, and
irreversible damage of glial cells form exposure to arachidonicacid in vitro. J
Cereb Blood Flow Metab 14, 1030-39.
25. Sutton LN, Wang Z, Duhaime AC, Costarino D (1995). Tissue lactate in
pediatric head trauma : a clinical study using H NMR Spectroscopy. Pediatr
Neurosurg 22, 81-7.
26. Teasdale GM, Graham DI (1998). Craniocerebral trauma: protection and
retrieval of the neuronal population after injury. Neurosurgery 43, 723-38.
27. Umar Kasan, Sajid, D and A. Hafid (1992). Patofisiologi cidera otak. Pada
kongres Nasional III Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia.
Surabaya, 15 September
28. Umar Kasan 1994. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak. Penelitian
Prospekstif Komparatif dengan dan tanpa penggunaan kortikosteroid, disertasi
1994
29. Sjamsuhidajat R. Dan Jong W. D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah (edisi ke-2).
EGC, Jakarta, Indonesia.
30. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (edisi ke-6).
Terjemahan oleh: Liliana Sugiharto, dkk. EGC, Jakarta, Indonesia.
31. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian
3.EGC.Jakarta : p: 250-255.

You might also like