You are on page 1of 2

Agenda Setting dalam Politik Kebijakan Publik

Fadhilah Fitri Primandari

Agenda setting atau penyusunan agenda—yakni kumpulan isu atau masalah—merupakan tahap
pertama dan penting dalam pembuatan kebijakan publik. Tahap ini adalah proses di mana isu
didiskusikan dan mendapatkan—atau tidak mendapatkan—perhatian dari publik dan pejabat
pemerintah (Birkland, 2015: 168). Agenda setting adalah proses yang menentukan kebijakan publik
apa yang akan dirumuskan karena kebijakan publik dibuat berdasarkan suatu isu dan agenda setting-
lah yang akan menentukan isu apa yang akan menjadi landasan dibuatnya kebijakan publik. isu yang
dianggap penting dan mendapat perhatian publik yang lebih luas akan memiliki kesempatan lebih besar
untuk dijadikan landasan suatu kebijakan publik.

Meski terdapat banyak isu di masyarakat, tidak semua isu dimasukkan dalam agenda dan isu-
isu yang telah mencapai agenda belum tentu ditangani dengan cepat (Dunn, 2003: 24). Hal ini terjadi
karena aktor-aktor—baik aktor pemerintah maupun nonpemerintah—akan berlomba-lomba untuk
mengusulkan isu yang mereka anggap penting dan berusaha isu-isu lain tampak tidak sepenting masalah
mereka. Ketika isu yang diajukan telah mencapai agenda, aktor-aktor pun masih perlu berlomba-lomba
untuk menentukan inti atau pokok masalah dari isu tersebut. Aktor yang paling berhasil dalam
mendeskripsikan isu akan menjadi aktor yang dapat mendominasi atau mengatur solusi—melalui
kebijakan publik—atas isu tersebut (Birkland 2015: 169). Aktor yang dapat menguasai proses agenda
setting memiliki kesempatan lebih besar dalam menentukan bagaimana diskusi mengenai kebijakan
publik berjalan.

Terdapat beberapa tahap atau level yang terjadi dalam agenda setting, yakni agenda universe,
systemic agenda, institutional agenda, dan decision agenda (Birkland, 2015: 171). Agenda universe
adalah level yang mengandung atau menampung semua isu yang digagas atau diajukan oleh aktor-aktor.
Pada level ini, semua isu memiliki kesempatan untuk didiskusikan meski besarnya kesempatan yang
dimiliki oleh tiap isu—juga aktor—pada kenyataannya tidak sama. Dari diskusi yang terjadi pada level
agenda universe, isu-isu akan disaring dan isu-isu yang diterima akan memasuki systemic agenda.
Level systemic agenda memuat isu-isu yang secara umum dianggap penting oleh publik dan dapat
ditangani oleh pemerintah. Dengan kata lain, jika suatu isu berada di luar jangkauan yurisdiksi suatu
negara maka pemerintah negara tersebut tidak dapat memasukkan isu tersebut dalam systemic agenda
mereka. Isu-isu pada level ini akan didiskusikan dan disaring lebih lanjut. Level selanjutnya adalah
level institutional agenda, yakni level di mana isu-isu yang ditampung adalah isu-isu yang mendapat
pertimbangan serius dari para pembuat kebijakan. Berjalannya tahap ini juga tidak terlepas dari siapa
yang duduk di kursi pembuat kebijakan dan concern apa yang mereka miliki. Penyaringan isu akan
berlanjut hingga mencapai decision agenda, yakni level yang memuat isu-isu yang telah disepakati
untuk ditangani melalui kebijakan publik. Badan legislatif—terkadang badan eksekutif juga—akan
membuat bill atau proposal kebijakan yang kemudian akan disahkan dalam undang-undang atau bentuk
peraturan lainnya.

Aktor-aktor yang berada dalam proses agenda setting memiliki peran penting dalam bagaimana
agenda setting berjalan. Menurut Birkland (2015: 169) terdapat dua teori yang menjelaskan siapa yang
memegang kendali jalannya agenda setting, yakni teori pluralisme dan teori elite. Teori pluralisme
menjelaskan bahwa terdapat banyak kelompok yang berlomba-lomba untuk menentukan agenda dalam
sistem politik yang terbuka dan rasional dan kebijakan yang dibuat akan berdasar pada hasil kompetisi
ini. Teori elite menjelaskan bahwa proses pembuatan kebijakan didominasi, bahkan dimonopoli, oleh
aktor-aktor yang berpendidikan tinggi, memiliki kekayaan yang banyak, dan memiliki kekuatan sosial
dan politik di masyarakat. Aktor-aktor inilah yang menentukan isu apa yang akan ditangani melalui
kebijakan publik. Kita tidak dalam membuat asumsi dan memukul rata bahwa salah satu teori di atas
adalah yang paling benar, namun pada umumnya teori pluralisme hanya dapat terjadi di negara yang
memiliki sistem politik yang demokratis sehingga aspirasi rakyat juga akan turut diikutsertakan dalam
perdebatan politik. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah bagaimana penghapusan Medicaid
atau penghapusan DACA yang diprotes oleh publik dapat membuat pemerintah Amerika Serikat
memikirkan alternatif yang dapat memuaskan publik. Jika sistem politik yang berlaku di suatu negara
adalah sistem politik yang otoriter atau kekuasaan terpusat pada satu atau sedikit orang, maka proses
kebijakan publik pun hanya akan didominasi oleh golongan elite atau golongan yang memiliki akses ke
pemerintahan.

Daftar Pustaka

Birkland, Thomas A. 2015. An Introduction to the Policy Process. New York: Routledge.

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik – Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

You might also like