You are on page 1of 12

MAKALAH TUGAS AKHIR MATA KULIAH

MASYARAKAT DAN POLITIK ASIA TENGGARA

PENGARUH MILITER DALAM PEMERINTAHAN DI NEGARA ASIA TENGGARA


STUDI PERBANDINGAN: MYANMAR DAN THAILAND
PERIODE 2010-2017

Disusun oleh:
Fadhilah Fitri Primandari
1606893815

Dosen Pengajar:
Prof. Burhan Djabir Magenda, M. A

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017

1
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kawasan Asia Tenggara mengalami banyak rintangan dalam perjalanannya menuju demokrasi.
Meski proliferasi demokrasi di Asia Tenggara mendapatkan momentum dengan berakhirnya Perang
Dingin, sistem pemerintahan otoriter masih mengakar kuat di beberapa negara dan demokratisasi masih
belum berjalan dengan sempurna di negara-negara yang telah mengambil langkah menuju demokrasi
(The Stanley Foundation, 2005: 2). Tidak sempurna maupun gagalnya demokratisasi di Asia Tenggara
sedikit-banyak dipengaruhi oleh peran militer dalam pemerintahan, meski tiap negara memiliki porsi
pengaruh militer yang berbeda-beda. Hal inilah yang menarik perhatian dan menimbulkan keinginan
penulis untuk menyusun karya tulis ilmiah mengenai peran militer dalam pemerintahan di Asia
Tenggara.
Dua negara di Asia Tenggara yang hingga kini masih mendapatkan pengaruh yang cukup
signifikan dari militer adalah Myanmar dan Thailand. Kedua negara tersebut telah mengambil langkah
menuju demokrasi di masa lalu—Myanmar pada tahun 2011 dan Thailand pada tahun 1932—namun
proses tersebut mengalami regress dan militer kembali mengambil peran sentral dalam pemerintahan.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah Myanmar tidak dapat melakukan resolusi mengenai
pembantaian Rohingya di Rakhine yang didukung oleh militer (Tarabay, 2017) meski mendapatkan
tekanan internasional dan bagaimana militer di Thailand masih memegang kendali pemerintahan
setekah melakukan kudeta pada 2014 (The Guardian, 2016). Mengingat bahwa pengaruh mereka masih
berlangsung hingga sekarang, penulis melihat topik ini sebagai topik yang relevan untuk dibahas. Hal
inilah yang melandasi pemilihan kedua negara tersebut untuk menjadi fokus studi perbandingan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Mengetahui bahwa militer memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam pemerintahan di
Myanmar dan Thailand, penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai peran militer dalam
pemerintahan di kedua negara tersebut. Penulis akan melakukan studi perbandingan untuk melihat apa
persamaan dan perbedaan antara pengaruh militer tarhadap pemerintahan dan Myanmar dan Thailand:
peran apa saja yang mereka ambil, dan dampak apa yang muncul dari pengaruh mereka dalam
pemerintahan di kedua negara tersebut dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2017. Pemilihan batasan
periode ini bertujuan untuk memastikan bahasan karya tulis ilmiah ini terarah dan fokus pada pengaruh
militer di kedua negara tersebut pada masa sekarang.

2
1.3 Pertanyaan Karya Tulis Ilmiah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, penulis mengajukan dua pertanyaan yang
akan penulis jawab melalui karya tulis ilmiah ini. Kedua pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut,
1. Apa persamaan yang terdapat antara pengaruh militer dalam pemerintahan di Myanmar dan
Thailand?
2. Apa perbedaan yang terdapat antara pengaruh militer dala pemerintahan di Myanmar dan
Thailand?

1.4 Tujuan Penulisan Karya Tulis Ilmiah


Penulisan karya tulis ilmiah ini memiliki dua tujuan utama, yakni memenuhi tuntutan tugas
akhir semester ganjil pra-UAS untuk mata kuliah Masyarakat dan Politik Asia Tenggara dan
mengetahui perbedaan dan persamaan antara pengaruh militer dalam pemerintahan di Myanmar dan
Thailand dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2017.

3
BAB II
Pembahasan

2.1. Landasan Konseptual


Dalam menganalisis pengaruh militer dalam pemerintahan di Myanmar dan Thailand, penulis
akan menggunakan teori peran militer dalam transisi menuju demokrasi. Teori ini akan menjelaskan
mengapa dan bagaimana militer bereaksi ketika terjadi demokratisasi di suatu negara. Penulis memilih
teori ini karena dalam timeframe yang penulis pilih sebagai batasan dalam studi perbandingan ini, yakni
antara tahun 2010 hingga 2017, Myanmar dan Thailand mengalami revolusi dan langkah untuk
melakukan demokratisasi. Teori ini penulis harap dapat menjelaskan mengapa militer di kedua negara
tersebut masih memegang peran yang cukup signifikan dalam pemerintahan meski sesungguhnya kedua
negara tersebut tidak lagi secara de jure diperintah oleh rezim militer.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu memahami bahwa dalam teori ini—dan pada situasi
di Myanmar dan Thailand—militer telah memegang peran penting dalam pemerintahan sebelum
transisi menuju demokrasi dimulai. Model pemerintahan yang sebelumnya dipraktikkan adalah model
pemerintahan yang otoriter. Menurut Huntington (dalam Meijer, 2014: 14), dalam rezim otoriter tidak
ada kontrol sipil atas militer dan militer memegang peran yang lebih dari sekadar membela negara dari
ancaman luar; dalam pemerintahan yang otoriter, militer juga berperan sebagai aktor yang
mengonsolidasi dan menjaga rezim. Ketika rezim otoriter runtuh dan digantikan oleh demokrasi—atau
mengalami pergeseran menuju demokrasi—peran militer akan berubah. Militer memiliki peran krusial
dalam menentukan laju demokratisasi suatu negara; semakin cepat militer mundur dari politik, maka
semakin cepat pula demokratisasi terjadi.
Dalam banyak kasus, seperti yang terjadi di Myanmar dan Thailand, militer menolak untuk
melepaskan diri dari politik meski langkah untuk reformasi telah diambil. Resistensi atau mau-tidaknya
militer mundur dari peran di perpolitikan suatu negara tergantung pada seberapa kuat dan
berpengaruhnya mereka dalam rezim otoriter sebelum demokratisasi terjadi. Menurut O’Donnel dan
Schmitter (dalam Meijer, 2014: 19), jika militer memiliki peran yang koersif dan signifikan dalam
pemerintahan sebelumnya—seperti ikut serta dalam pembuatan kebijakan publik—maka transisi
menuju demokrasi akan sedikit banyak terhambat dan bersifat inkremental. Selain itu, kekuatan
masyarakat sipil juga menentukan sejauh apa militer akan tetap mengambil peran dalam pemerintahan
(Stepan, 1986; Droz-Vincent, 2013; dalam Meijer, 2014: 20). Jika pemerintahan sipil yang kemudian
terpilih dan masyarakat sipil yang mendukungnya lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk
merealisasikan interest mereka, militer akan tetap dapat melakukan assert of power dan membatasi
kebebasan sipil (Huntington, 1991; Droz-Vincent, 2013; Koonings & Kuijt, 2002; dalam Meijer, 2014:
19). Hal inilah yang terjadi pada Myanmar dan Thailand.

4
2.2. Pengaruh Militer dalam Pemerintahan Myanmar
Secara de jure, sesungguhnya Myanmar tidak diperintah oleh rezim militer. Rezim militer
Myanmar—secara resmi—telah berakhir pada tahun 2011 ketika pemerintahan sipil Myanmar
mengambil alih pemerintahan. Peristiwa ini didahului oleh pemilihan umum pada November 2010, di
mana Union Solidarity and Development Party (USDP) menang (BBC, 2015). Pemilihan umum ini
diklaim sebagai tidak memiliki legitimasi karena USDP mendapatkan pengaruh yang kuat dari militer.
Pada tahun 2015, pemilihan umum diadakan kembali dan dimenangkan oleh National League for
Democracy (NLD)—dipimpin oleh Aung San Suu Kyi yang kemudian pada tahun 2016 diangkat
menjadi 1st State Counsellor of Myanmar—yang mendapatkan 43 dari 45 kursi di parlemen. Meski
demikian, militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw dalam bahasa Burma, masih memiliki
peran prominen dalam pemerintahan secara de facto.
Kuatnya pengaruh militer di pemerintahan Myanmar sedikit banyak disebabkan oleh konstitusi
yang dibuat pada tahun 2008—yang disusun oleh pemerintahan militer—masih berlaku. Konstitusi
yang dibuat pada 2008 tersebut menjamin paling sedikit 25% kursi di parlemen dan 3 jabatan
kementerian dipegang oleh militer (VOA, 2017). Sebagai konsekuensinya, progres menuju reformasi
turut dipengaruhi oleh suara militer. NLD dan Aung San Suu Kyi enggan mengantagoniskan militer—
mengenai kekerasan yang mereka lakukan di perbatasan dan pada etnis Rohingya—karena takut bahwa
hal tersebut akan menyebabkan agitasi militer dan menimbulkan kesulitan untuk melakukan transisi
lebih lanjut menuju demokrasi (CFR, 2017). Pada kenyataannya, tidak menentang militer dan
membiarkan militer tetap memegang pengaruh kuat dalam pemerintahan tidak membuat militer
melepaskan diri dari politik.

2.2.1 Pengaruh Militer Pasca 2011 dan Hambatan Demokratisasi


Progres menuju demokrasi yang ditandai oleh diadakannya pemilihan umum dan
terpilihnya NLD sebagai pemegang pemerintahan mengalami kemunduran ketika pemerintah
gagal membuat militer keluar dari politik. Beberapa langkah memang telah dilakukan untuk
memberikan rakyat kebebasan, seperti penghapusan Emergency Provisions Act yang
membolehkan penahanan tanpa proses pengadilan dan pelonggaran ekonomi (CFR, 2017), namun
kebebasan pers masih dibatasi dan propaganda untuk menghilangkan etnis-etnis tertentu—
khususnya Rohingya—masih marak (Fisher, 2017). Checks and balance tidak dilaksanakan
dengan benar dan militer, atas nama pemerintah, semakin opresif.
Model pemerintahan yang kini—per 2017—dipraktikkan di Myanmar disebut sebagai
democratic-authoritatian hybrid atau demokrasi illiberal. Bentuk pemerintahan ini adalah bentuk
pemerintahan yang mengatasnamakan mayoritas dan demokrasi untuk menyingkirkan golongan
minoritas dan membatasi kebebasan sipil (Fisher, 2017). Hal ini dapat dilihat dari pemerintahan
yang bersikap negligent atau abai terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh

5
militer dan kelompuk Buddhis ekstrem—mayoritas di Myanmar—terhadap etnis-etnis minoritas,
bagaimana konstitusi yang memberi kekuatan politik pada militer masih berlaku, dan bagaimana
kebebasan politik rakyat masih dibatasi (Bandow, 2016).
Hal-hal ini mengindikasikan bahwa demokratisasi di Myanmar mengalami hambatan
karena demokratisasi tidak akan dapat berjalan dengan lancar jika kebebasan sipil masih terus
ditekan dan hak-hak minoritas masih dilanggar. Selain itu, demokratisasi juga tidak dapat berjalan
dengan lancar jika militer memegang kekuatan politik. Hal ini dikarenakan militer memiliki
advantage untuk menggunakan kekerasan, sementara rakyat sipil tidak. Masuknya militer dalam
politik akan menyebabkan interaksi politik yang tidak seimbang dan koersif, sehingga
‘pemerintahan oleh rakyat’ yang diusung dalam demokrasi tidak akan terjadi.

2.2.2 Dampak dari Pengaruh Militer di Masa Sekarang


Pengaruh militer dalam pemerintahan di Myanmar berdampak pada impunity dan
imunitas hukum terhadap militer dan golongan yang mereka dukung, yakni kelompok-kelompok
Buddhis di Myanmar. Pemerintah tidak dapat mengendalikan militer akibat adanya power-sharing
dalam pemerintahan. Pelanggaran-pelanggaran hukum dan HAM yang mereka lakukan terhadap
masyarakat sipil tidak tersentuh hukum.
Kasus yang relevan dan hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah kasus pembersihan
etnis Rohingya di Rakhine, yang menurut estimasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah memakan
korban sebanyak 1.000 jiwa per 1 September 2017 (The Guardian, 2017). Pembantaian yang
dilakukan terhadap etnis Rohingya dimulai ketika militan Rohingya, yang mayoritas bergerak atas
nama Arakan Rohingya Solidarty Army (ARSA), melakukan penyerangan kepada pemerintah
sebagai bentuk pengungkapan rasa kecewa atas diskriminasi dan pengucilan yang mereka terima
selama bertahun-tahun. Etnis Rohingya merupakan etnis yang dipandang sebagai imigran ilegal
yang datang dari Bangladesh sejak 1982 dan diperlakukan sebagai kelompok yang stateless atau
tanpa status warga negara. Diskriminasi terhadap mereka mengalami eskalasi sejak 2015—reaksi
militer dan kelompok Buddhis terhadap penyerangan oleh ARSA—dan lebih dari 500.000 orang
terpaksa meninggalkan rumah mereka (Gibbens, 2017).
Bersama dengan para ekstremis Buddhis, militer melakukan pembakaran rumah-
rumah penduduk Rohingya, membantai etnis Rohingya secara indiscriminate, dan memperkosa
wanita-wanita Rohingya (Reuters dalam The Guardian, 2017). Bantuan kemanusiaan untuk para
korban dibatasi penyalurannya—suatu hal yang melanggar Artikel 55-56 Konvensi Jenewa IV
(Rajan, 2017). Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut peristiwa ini sebagai pembersihan etnis atau
genosida dan Aung San Suu Kyi telah mendapat banyak dorongan untuk menindak pelanggaran
HAM yang berlangsung di bawah pemerintahannya. Militer Myanmar menyangkal telah
melakukan kejahatan-kejahatan yang dituduhkan pada mereka. Aung San Suu Kyi, setelah
mendapat banyak kritik, pada bulan Oktober 2017 mengemukakan rencananya untuk bekerja sama

6
dengan badan-badan internasional untuk mengembalikan Rohingya ke Rakhine (Wintour, 2017),
namun hingga saat ini belum ada laporan progres yang berarti untuk me-resettle dan memberikan
kompensasi pada etnis Rohingya dan belum terdapat kabar yang jelas mengenai penegakan hukum
terhadap militer Myanmar.

2.3. Pengaruh Militer dalam Pemerintahan Thailand


Langkah menuju demokrasi yang diambil oleh Thailand pada tahun 1932—beralih ke
monarki konstitusional dari pemerintahan kerajaan yang absolut—mengalami regresi ketika militer
melakukan kudeta terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra pada tahun 2014. Dalam kurun waktu
1932 hingga 2014, Thailand telah mengadakan sebanyak 19 perubahan konstitusi dan sebanyak 25
pemilihan umum namun pemerintahan-pemerintahan yang terpilih cukup tidak stabil. Militer Thailand
telah melakukan sebanyak 19 kudeta sejak tahun 1932 (Tanakasempipat dan Themgumpanat, 2017),
dengan 12 di antaranya sukses menggulingkan pemerintahan (Brown, 2014).
Alasan militer masih sering turun tangan dalam perpolitikan di Thailand adalah
keadaan politik Thailand yang tidak stabil; politisi dan kelompok-kelompok kepentingan seringkali
tidak menyukai hasil pemilihan umum dan protes-protes kerap dilakukan sebagai bentuk pengungkapan
rasa kecewa. Hal inilah yang menyebabkan militer membatasi kebebasan masyarakat dan mengubah-
ubah konstitusi (Brown, 2014). Upaya untuk melakukan stabilisasi berakibat pada hambatan dalam
demokratisasi.

2.3.1 Kembalinya Pengaruh Militer Pasca Revolusi: Hybrid Monarki Konstitusional dan Militer
Kudeta pada Mei 2014 terjadi setelah masyarakat Thailand memrotes pemerintahan
Perdana Menteri Yingluck Shinawatra—yang telah terbukti menyalahgunakan kekuasaannya oleh
pengadilan—selama berbulan-bulan. Militer membekukan konstitusi yang berlaku pada saat itu,
memberlakukan hukum darurat militer dan jam malam, melarang siaran televisi dan perkumpulan
yang dilakukan atas dasar politik (BBC, 2014). Jenderal Prayuth Chan-ocha mengatakan bahwa
sangat krusial bagi National Council for Peace and Order—mencakup militer dan polisi—untuk
menerapkan langkah-langkah tersebut dan mengambil alih pemerintahan demi mengembalikan
kestabilan politik (Hodal, 2014).
Alih-alih menjaga kestabilan agar demokrasi dapat diberlakukan kembali, militer
semakin menanamkan pengaruhnya di pemerintahan. Pemerintahan memang tidak sepenuhnya
dikendalikan oleh militer; secara de jure Thailand tidak berada di bawah kendali rezim militer dan
monarki masih berkuasa, namun militer masih memegang peran politik yang penting. Model
pemerintahan ini disebut sebagai rezim hybrid oleh Economist Intelligence Unit (Maierbrugger,
2017), di mana dua bentuk pemerintahan—monarki konstitusional dan militer—berlangsung
secara beriringan. Thailand memiliki parlemen, namun militer menduduki 143 kursi dari total 250

7
kursi. Militer juga menduduki lebih dari 50 persen kursi di Privy Council, badan penasihat Raja
Maha Vajiralongkorn (Tanakasempipat dan Themgumpanat, 2017). Militer dekat dengan kerajaan
dan memiliki pengaruh dalam parlemen, sehingga meskipun secara de jure militer tidak
sepenuhnya berkuasa di Thailand dan masih dapat dikendalikan oleh monarki, praktik politik
sebagian besar dikendalikan oleh militer atas restu kerajaan.

2.3.2 Dampak Pengaruh Militer di Masa Sekarang


Kuatnya pengaruh militer menyebabkan kebebasan sipil untuk mengemukakan
pendapat, khususnya mengenai politik, dibatasi. Sejak kudeta pada Mei 2014, militer Thailand
melakukan sensor terhadap media dan mencegah perkumpulan yang diadakan oleh lebih dari lima
orang (Human Rights Watch, 2016). Contoh kasus mengenai hal ini adalah referendum yang
diadakan pada tanggal 7 Agustus 2016. Referendum ini diadakan untuk menentukan apakah draft
konstitusi yang baru—yang disusun oleh militer—akan dilegalisasi untuk menggantikan konstitusi
yang lama, yang dibekukan oleh militer dalam kudeta tahun 2014. Draft konstitusi yang baru
memuat pernyataan yang menegaskan dan memperkuat peran militer dalam pemerintahan untuk
menjaga stabilitas negara dan memberi wewenang pada senator yang dipilih oleh militer untuk ikut
memilih perdana menteri. Dalam waktu menjelang referendum, militer melakukan crack down
terhadap pihak-pihak yang menentang draft konstitusi yang baru. Militer mengartikan penentangan
terhadap isi draft konstitusi sebagai perlawanan terhadap keamanan negara dan menahan paling
sedikit 120 politisi, aktivis, jurnalis, dan pendukung gerakan-gerakan yang mengritik isi draft
tersebut (Human Rights Watch, 2016). Intimidasi-intimidasi yang dilakukan militer memiliki
dampak terhadap hasil referendum. Sebesar 61 persen dari voter memilih untuk melegalisasi draft
konstitusi, meski voter turnout hanya sebesar 55 persen dari warga negara yang eligible (BBC,
2016). Militer, yang sebelumnya telah mendapatkan hak atas sebanyak 250 kursi di senat (Human
Rights Watch, 2016), akan mendapatkan pengaruh lebih besar terhadap pemerintahan daribat dari
hasil referendum karena tidak hanya mereka dapat mengendalikan masyarakat sipil, namun mereka
juga dapat menanamkan kendali pada parlemen.
Pengaruh militer yang menguat juga memengaruhi hubungan antara militer dengan
kerajaan. Selama enam dekade militer Thailand memiliki loyalitas yang tinggi terhadap keluarga
istana (Chambers, 2016). Setelah kematian Raja Adulyadej pada 2016, pengaruh militer
meningkat. Dengan alasan menjaga stabilisasi pada transisi kekuasaan dan penyerahan tahta pada
Pangeran Vajiralongkorn—kini Raja Thailand—militer melakukan assert of power yang lebih
banyak. Monarki yang sekarang, yang dipimpin oleh raja Vajiralongkorn, memiliki interest untuk
mengontrol informasi yang beredar. Pembatasan hak berekspresi ditingkatkan dan menjadi lebih
opresif ; defamasi terhadap kerajaan dapat dibalas dengan hukuman penjara hingga 15 tahun dan
mengritik militer dapat mengakibatkan tujuh tahun hukuman penjara (Chandran, 2017). Akibat

8
sejalannya kehendak kerajaan dengan militer, loyalitas militer terhadap kerajaan meningkat
sehingga represi militer terhadap rakyat turut meningkat.

2.4 Analisis Komparatif


Dari uraian yang telah penulis paparkan, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa persamaan
dan perbedaan antara pengaruh militer dalam pemerintahan di Myanmar dan Thailand. Persamaan
antara keduanya terletak pada model pemerintahan yang mereka anut secara de jure. Myanmar dan
Thailand sama-sama berada dalam kategori model pemerintahan hybrid—Myanmar menggunakan
model democratic-authoritarian hybrid dan Thailand menggunakan model hybrid monarki
konstitusional-militer. Kedua negara tersebut sama-sama telah melakukan langkah menuju demokrasi,
yang kemudian sama-sama terhambat oleh militer yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Militer
di kedua negara tersebut juga sama-sama opresif, meski sasaran opresi yang dilakukan berbeda. Di
Myanmar, militer cenderung lebih opresif terhadap golongan minoritas, yakni etnis Rohingya;
sementara di Thailand, militer melakukan pengekangan kebebasan terhadap seluruh masyarakat sipil.
Perbedaan yang jelas antara pengaruh militer dalam pemerintahan Myanmar dan Thailand
terletak pada pola hubungan militer dengan pemerintahan yang berkuasa. Berdasarkan uraian yang telah
penulis paparkan, kita dapat melihat bahwa militer di Myanmar memiliki kendali yang lebih besar
dibandingkan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Aung San Suu Kyi tidak dapat menindak
militer yang melakukan pelanggaran HAM terhadap Rohingya karena takut menyebabkan agitasi pada
militer yang akan mengancam kedudukannya. Pemerintah dan militer seakan distinct—jauh—dan
memiliki hubungan yang asimetri meski sama-sama berkuasa.
Di Thailand, militer memiliki hubungan lebih baik dengan hybrid-nya, yakni monarki. Militer
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap monarki dan masih dapat dikendalikan olehnya—tidak seperti
yang terjadi di Myanmar. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ketika kudeta terjadi dan konstitusi
dibekukan, militer melakukan pengecualian pada bagian konstitusi yang menjelaskan posisi dan
legitimasi kerajaan. Ini menunjukkan bahwa militer menghormati posisi dan wewenang kerajaan—
tidak seperti militer Myanmar yang cenderung ‘di atas’ pemerintahan sipil.

9
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Penulis menyimpulkan bahwa pengaruh militer dalam pemerintahan yang terjadi di Myanmar
dan Thailand memiliki banyak persamaan, yakni bahwa militer di kedua negara tersebut sama-sama
opresif, sama-sama memiliki suara dalam parlemen, dan sama-sama berbagi kekuasaan dengan
pemerintah dalam model pemerintahan hybrid semenjak mereka mengambil langkah menuju
demokrasi—Myanmar pada 2011 dan Thailand pada 1932. Perbedaan antara pengaruh yang mereka
jalankan dalam pemerintahan terletak pada sasaran opresi mereka dan hubungan mereka dengan
pemerintah. Di Myanmar, militer cenderung melakukan lebih banyak opresi terhadap golongan
minoritas, seperti yang terjadi pada etnis Rohingya, dan mereka berada ‘di atas hukum’. Pemerintahan
Aung San Suu Kyi tidak dapat menindak militer yang melakukan pelanggaran HAM meski dirinya telah
dikecam oleh dunia internasional. Di Thailand, militer cenderung loyal terhadap monarki yang berkuasa
meski sering melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Kudeta-kudeta oleh militer dilakukan
dengan tetap menghormati posisi monarki.

10
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal, Hasil Riset, dan Karya Akademik Lainnya


Meijer, Rozetta. Juli 2014. The Role of the Military in Political Transitions – Egypt: A Case Study.
Master Thesis. Conflict and Cooperation, Msc Political Science, Leiden University.
The Stanley Foundation. Otober 2005. “Challenges to Democracy in Southeast Asia: Rethinking US
Policy.” Policy Dialogue Brief. 46th Strategy for Peace Conference. Muscatine: The Stanley
Foundation.

Situs Internet
Bandow, Doug. 31 Maret 2016. A Brighter Dawn in Burma: Myanmar Not Yet a Democracy but No
Longer a Dictatorship. Diakses pada 13 Desember 2017, 07:39 WIB. https://
www.forbes.com/sites/dougbandow/2016/03/31/a-brighter-dawn-in-burma-myanmar-not-
yet-a-democracy-but-no-longer-a-dictatorship/#76510bb12f0f
BBC. 7 Agustus 2016. Thai Refendum: Military-written Constitution Approved. Diakses pada 12
Desember 2017, 19: 31 WIB. http://www.bbc.com/news/world-asia-36972396
BBC. 8 Juli 2015. Timeline: Reforms in Myanmar. Diakses pada 10 Desember 2017, 22:01 WIB.
http://www.bbc.com/news/world-asia-16546688
BBC. 22 Mei 2014. Thailand Military Seizes Power in Coup. Diakses pada 13 Desember 2017, 14:38
WIB. http://www.bbc.com/news/world-asia-27517591
Brown, Patrick. 30 Mei 2014. Thailand’s 19th Coup Underscores Country’s Fatal Flaw. Diakses pada
13 Desember 2017, 14:30 WIB. http://www.cbc.ca/news/world/thailand-s-19th-coup-
underscores-country-s-fatal-flaw-1.2658846
Chambers, Paul. 30 Oktober 2016. Thailand’s Junta (Respectfully) Wants the Monarchy to Know Who’s
Boss. Diakses pada 12 Desember 2017, 20:33 WIB. http://foreignpolicy.com/
2016/10/30/thailands-junta-wants-the-monarchy-to-surrender-king-asia/
Chandran, Nyshka. 20 April 2017. Thailand Intensifies State Control under New Kings. Diakses pada
12 Desember 2017, 21:14 WIB. https://www.cnbc.com/2017/04/30/thailand-intensifies-
state-control-under-new-king.html
CFR. 2 Oktober 2017. How Myanmar’s Military Wields Power from the Shadows. Diakses pada 10
Desember 2017, 19:15 WIB. https://www.cfr.org/interview/how-myanmars-military-
wields-power-shadows
Fisher, Max. 19 Oktober 2017. Myanmar, Once a Hope for Democracy, is Now a Study in How it Fails.
Diakses pada 11 Desember 2017, 09:07 WIB. https://www.nytimes.com/2017/
10/19/world/asia/myanmar-democracy-rohingya.html
Gibbens, Sarah. 29 September 2017. Myanmar’s Rohingya are in Crisis – What You Need to Know.
Diakses pada 12 Desember 2017, 06:58 WIB. https://news.nationalgeographic.com/
2017/09/rohingya-refugee-crisis-myanmar-burma-spd/
Hodal, Kate. 22 Mei 2014. Thailand Army Chief Confirms Military Coup and Suspends Constitution.
Diakses pada 13 Desember 2017, 14:49 WIB. https://www.theguardian.com/
world/2014/may/22/thailand-army-chief-announces-military-coup

11
Human Rights Watch. 9 Agustus 2016. Thailand: New Charter Enshrines Military Rule. Diakses pada
12 Desember 2017, 19:32 WIB. https://www.hrw.org/news/2016/08/09/thailand-new-
charter-enshrines-military-rule
Maierbrugger, Arno. 1 Februari 2017. Democracy Index: Thailand Seen as ‘Hybrid’ Regime, US
Downgraded. Diakses pada 11 Desember 2017, 20:38 WIB. http://investvine.com/
democracy-index-thailand-seen-hybrid-regime-us-downgraded/
Rajan, Sanoj. 9 September 2017. Denial of Humanitarian Aid in Myanmar a Crime under International
Law? Diakses pada 13 Desember 2017, 14:03 WIB. http://moderndiplomacy.eu/
index.php?option=com_k2&view=item&id=2944:denial-of-humanitarian-aid-in-
myanmar-a-crime-under-international-law
Tanakasempipat, Patpicha dan Panarat Thepgumpanat. 21 Mei 2017. Three years after coup, junta is
deeply embedded in Thai life. Diakses pada 11 Desember 2017, 20:12 WIB.
https://www.reuters.com/article/us-thailand-military/three-years-after-coup-junta-is-deeply
-embedded-in-thai-life-idUSKCN18G0ZJ
Tarabay, Jamie. 6 Desember 2017. Myanmar’s Military: The Power Aung San Suu Kyi Can’t Control.
Diakses pada 10 Desember 2017, 13:14 WIB. http://edition.cnn.com/2017/09/21/
asia/myanmar-military-the-real-power/index.html
The Guardian. 11 September 2017. Who are the Rohingya and What is Happening in Myanmar?
Diakses pada 12 Desember 2017, 5: 32 WIB. https://www.theguardian.com/global-
development/2017/sep/06/who-are-the-rohingya-and-what-is-happening-in-myanmar
The Guardian. 12 Agustus 2016. The Guardian View of Thailand: The Military is in Control – but For
How Long? Diakses pada 10 Desember 2017, 14:20 WIB. https://www.theguardian.com/
commentisfree/2016/aug/12/the-guardian-view-on-thailand-the-military-is-in-control-but-
for-how-long
The Guardian. 14 November 2017. Myanmar Military Exonerates Itself in Report on Atrocities Against
Rohingya. Diakses pada 13 Desember 2017, 07:00 WIB. https://www.theguardian.com/
world/2017/nov/14/myanmar-military-exonerates-itself-in-report-on-atrocities-against-
rohingya
VOA. 11 Agustus 2017. Role of Military Myanmar Hangs over Forum on Democratic Transition.
Diakses pada 11 Desember 2017, 09:17 WIB. https://www.voanews.com/a/role-of-
myanmar-military-hangs-over-forum-democratic-transition/3981558.html
Wintour, Patrick. 13 Oktober 2017. Aung San Suu Kyi Unveils Relief Plans for Rohingya
Muslims.Diakses pada 13 Desember 2017, 07:11 WIB.
https://www.theguardian.com/world/2017/oct/13/aung-san-suu-kyi-unveils-relief-plans-for
-rohingya-muslims-myanmar

12

You might also like