You are on page 1of 9

Akulturasi Budaya Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di

Indonesia
Posisi geografis Indonesia memberikan peluang yang besar bagi masuknya kebudayaan
asing secara lebih mudah dan cepat. Keuntungan geografis ini pada melahirkan
keuntungan-keuntungan ekonomis, politis, sosial, dan kultural. Keadaan ini telah
berlangsung sejak awal masehi. Tak heran bila bentuk dan corak pratik kepercayaan
dan budaya yang ada di Indonesia cukup beragam dan pluralistik.

Jika kita melihat praktik dan bentuk kebudayaan, misalnya, Hindu atau Buddha di India,
takkan sama dengan yang ada di Indonesia. Atau bila melihat tradisi umat Islam di Arab
atau Timur Tengah lainnya akan sedikit (atau banyak) berbeda dengan apa yang
dipraktikan umat Islam di Indonesia. Ini terjadi karena setiap bangsa dan suku memiliki
caranya masing-masing dalam menerima, merespon, dan mengadaptasikan budaya
asing yang datang padanya. Selanjutnya, orang Indonesia, khususnya bagian timur,
mengenal pula agama Kristen yang dibawa orang Portugis (Katolik) dan Belanda
(Protestan).

Gambar: Masuknya Islam tidak serta-merta menghilangkan tradisi keagamaan dan


kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang di Nusantara. tampak para peziarah
makam Syekh Yusuf di Goa, Sulawesi Selatan, tengah memanjatkan doa seraya
bersemadi

Hasil interaksi antara budaya pribumi-lokal, dengan budaya Hindu-Buddha dan Islam
sebagai tradisi dan budaya "baru" dan sinkretis. Akan terlihat bagaimana masyarakat di
berbagai wilayah di Indonesia sesuai kearifan lokalnya masing-masing-menyatukan
ketiga tradisi tersebut secara damai dan bijak tanpa mempertentangkannya satu sama
lain.
Pengaruh Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam
terhadap Perkembangan Kebudayaan di Indonesia
Interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dengan Islam akhirnya menghasilkan
sesuatu yang budaya yang khas. Melalui proses akulturasi yang evolusioner (berjalan
lambat-laun), masyarakat Indonesia semakin kaya akan keberagaman budaya, dari
mulai bidang seni arsitekturnya, sastra, seni rupa, seni tarian dan musik, konsep
kekuasaan, dan bidang-bidang yang lainnya.

1. Dalam Seni Arsitektur dan Bangunan


Corak arsitektur bangunan bercorak Islam yang ada di Indonesia banyak dipengaruhi
warna Gujarat, India. Masyarakat Gujarat ini pada awalnya beragama Hindu, namun
sejak Islam masuk ke India sebagian dari mereka memeluk Islam. Gaya arsitektur
bangunan di Gujarat merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam, sehingga bentuknya
berbeda dengan bangunan yang berada di Arab. Dengan demikian, masuknya Islam
melalui Gujarat tidak memengaruhi bentuk bangunan Indonesia yang masih melekat
dengan budaya Hindu-Buddhanya.

Seperti candi dan biara, arsitektur bangunan mesjid dibuat secara khusus agar terlihat
beda dengan bangunan-bangunan lainnya. Sebagai tempat beribadah tetntunya
bangunan bersangkutan harus terlihat lebih spesial dibandingkan bangunan-bangunan
lainnya dan tahan lama. Biasanya atap masjid dibuat berundak-undak (bertingkat),
sedangkan masjidnya berdenah persegi panjang, memiliki serambi depan atau samping,
dikelilingi benteng, dan gerbang masjid tersebut berbentuk gapura yang berornamen
Hindu-Buddha. Contoh masjid-masjid yang berarsitektur seperti ini dapat dijumpai pada
Mesjid Marunda di Jakarta, Mesjid Agung Demak, Mesjid Agung Banten, dan Mesjid
Agung Cirebon. Adapula beberapa masjid arsitekturnya sangat kental akan nuansa
Cina, masjid ini biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim yang ada di
Indonesia, dan tak jarang masjid tersebut berubah fungsi menjadi kelenteng karena
ditinggalkan penduduk aslinya.

Gambar: Gerbang Masjid Jamik di Sumenep, Madura. Perhatikan atap masjid yang
dipengaruhi arsitektur Cina
Biasanya, di sekitar masjid pada zaman dahulu selalu terdapat makam orang-orang
penting di zamannya. Makam yang terdapat di belakang atau di samping masjid
tersebut, biasanya merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja beserta keluarga
dan kerabatnya atau para wali. Makam-makam tersebut dibuat lebih tinggi dari tanah
sebagai penanda bahwa kedudukan almarhum/almarhumah berbeda dengan rakyat
biasa. Makam raja dan keturunannya dikumpulkan dalam satu wilayah seperti halnya
keluarga (ayah, ibu, dan anak). Batu nisan pada makam dibuat dari batu dan ditulisi
nama orang, tempat dan tanggal lahir dan meninggal orang bersangkutan dengan huruf
Arab dan bertarikh hijriah.

a. Keraton

Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk arsitektur pada
keraton sebagai tempat raja. Keraton yang berada di Jawa dan Sumatera kebanyakan
merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu dan Buddha. Keraton-
keraton yang terdapat di Jawa, lazimnya dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan khas
Islam yang dipadukan dengan ornamen Jawa yang Hindu-Buddha. Pada gerbang
tempat masuk kerajaan dihiasi oleh gapura dan makara model Majapahit atau Singasari.
Ruangan-ruangan di dalam keraton tersebut dihiasi ukiran-ukiran yang memadukan
unsur Islam dengan Hindu-Buddha.

b. Masjid

Bagi umat Islam, masjid merupakan pusat kekuasaan politik yang handal, selain sebagai
lambang persatuan umat. Pada masa Raden Patah menjadi raja, Masjid Demak
merupakan tempat para wali dan pihak kerajaan membahas masalah-masalah politik.
Sebagai pemimpin umat, seorang raja dituntut untuk membangun masjid dengan
semegah mungkin. Besar dan kecilnya bangunan masjid merupakan cerminan dari
kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja.

Di Indonesia, sebelum seni arsitektur Islam dikenal betul, bangunan mesjid mengikuti
seni arsitektur yang berkembang sebelumnya, seperti Mesjid Agung Cirebon, Agung
Banten, Demak, Kudus, Jepara dan mesjid-mesjid lainnya. Mesjid-mesjid tersebut
memiliki ciri atap yang bertumpuk-tumpuk yang banyak pengaruh dari budaya lokal dan
Hindu-Buddha.

c. Makam

Sejarah senantiasa memperlihatkan kepada generasi mendatang tentang begitu banyak


raja yang sangat cintai karena ketenaran dan kekayannya. Dan walaupun, raja tersebut
sesungguhaya tak disukai rakyatnya, tetap saja makamnya dibangun begitu megah.
Ketika raja tersebut meninggal dunia, sebuah makam atau kuburan pun dibuatkan
dengan megah dan besar serta bercitra rasa arsitektural yang tinggi. Di India, misalnya,
kita melihatnya pada Taj Mahal, makam permaisuri Sultan Syah Jehan dari Dinasti
Mughal yang bernama Arjuman Banu Begum yang dikenal juga dengan Muntaz Mahal
yang meninggal pada 1631.

Di Indonesia, sejumlah peninggalan makam raja-raja yang pernah berkuasa cukup


terpelihara dengan baik. Tidak seperti jenazah raja-raja Hindu-Buddha yang diabukan
dan disimpan dalam candi, jenazah raja-raja Islam biasanya dikubur dalam tanah.
Setelah dikubur jenazahnya maka makam raja bersangkutan akan dipelihara dan
disanjung-sanjung. Para raja dan kerabat raja Mataram-Islam memiliki komplek
pemakaman khusus yang berada di Bukit Imogiri, Yogyakarta. Komplek Imogiri ini
dibangun atas perintah Sultan Agung Mataram sebagai tempat kuburannya dan sanak-
saudaranya kelak bila meninggal dunia.

Pembangunan komplek pemakaman di bukit tersebut memiliki motivasi yang bersifat


kosmis yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan konsep dewa-dewi
Hindu. Menurut kepercayaan tradisional, bukit atau dataran tinggi merupakan tempat
yang layak bagi "tempat peristirahatan terakhir" seorang raja atau penguasa yang
berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Bandingkanlah komplek Imogiri ini dengan
komplek Candi Dieng peninggalan Mataram Kuno yang juga berada di dataran tinggi.

Selain makam raja, makam-makam kerabat istana dan para pemuka agama yang
terpandang juga senantiasa dirawat dan pada momen-momen tertentu sering diziarahi
orang untuk berbagai macam kepentingan. Makam para Wali Sanga, misalnya, hingga
sekarang masih sering dikunjungi, terutama pada hari-hari raya besar Islam. Selain
mendoakan arwah yang diziarahinya, para pendatang juga selalu berdoa meminta
kepada makam atau arwah bersangkutan agar keinginannya terpenuhi. Tak jarang
keinginan para peziarah tersebut berbau mistis atau duniawi, seperti minta awet-muda,
jabatan, kekayaan, perjodohan, dan hal-hal keduniawian lainnya.

2. Pengaruh dalam Kesusastraan dan Kesenian

Karya sastra merupakan cerminan budaya di mana sastra tersebut lahir dan
berkembang. Sejak masa prasejarah, sastra telah berkembang dari generasi ke
generasi secara tuturan (folklore). Dengan masuknya tradisi Hindu-Buddha, seni sastra
di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatera) mengalami perkembangan yang
progresif, sastra lisan pun beralih menjadi sastra tulis yang menandakan zaman sejarah
dimulai. Para pujangga atau sekretarsi (juru tulis) istana menulis kitab-kitab dengan
tema-tema beragam, tidak lagi terbatas kepada legenda dan mitologi semata, melainkan
tema yang lebih rasional, yang bernilai sejarah. Karya-karya sastra India sangat kental
pengaruhnya terhadap penulisan sastra yang berkembang pada masa kerajaan Hindu-
Buddha di Indonesia.
Pada mulanya para pujangga istana menerjemahkan kitab-kitab India seperti
Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa ibu/daerah masing-masing, misalnya
bahasa Melayu atau Jawa Kuno. Setelah kehidupan politik, sosial, ekonomi stabil,
mereka kemudian menggubah atau memparafrasakan (menulis kembali berdasarkan
kalimat-kalimat ciptaan sendiri bukan sekadar mengalihbahaskan semata) sastra-sastra
India tersebut. Yang mempelopori penggubahan dari sastra India ke sastra Jawa Kuno
(Kawi) adalah Dharmawangsa Teguh, yakni epik Mahabharata. Penggubahan ini makin
pesat pada masa berikutnya. Lahirlah karya sastra dalam bentuk kakawin seperti:
Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh,
Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, Kresnayana karya Mpu Triguna. Di daratan
Sumatera dan Melayu lahir pula karya-karya saduran dari India seperti Hikayat Sri Rama
(saduran dari Ramayana), Hikayat Pandawa, Hikayat Pandawa Panca Kelima, Hikayat
Pandawa Jawa (semuanya saduran dari epos Mahabharata), serta Hikayat Sang Boma
meski ada kemungkinan baru ditulis setelah pengaruh Islam datang.

Selain menggubah dan menyadur, para pujangga makin memperlihatkan


kematangannya sebagai budayawan. Mereka mulai mengarang kisah-kisah sendiri
meski temanya tidak jauh dengan karya-karya pada zaman sebelumnya. Masa ini di
Jawa disebut masa Jawa-Hindu-Buddha bukan lagi masa Hindu-Buddha-Jawa, yang
artinya bahwa para sastrawan telah menemukan "jati diri" mereka sebagai orang Jawa
dalam bekarya; begitu pula di Ranah Melayu dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Berikut ini adalah sejumlah karya "asli" para pujangga Jawa: Negarakretagama karya
Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu Tantular, kitab Pararaton, Kidung Sunda,
Ranggalawe, Sorandaka, Usana Jawa, Sutasoma karya Mpu Tantular, Smaradhana
karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan Wrtasancaya karya Mpu Tanakung.

Setelah masyarakat Indonesia mengenal agama dan kebudayaan Islam, perkembangan


dunia sastra makin pesat. Banyak karya sastra yang bersifat historiografi tradisional
yang di dalamnya memuat elemen-elemen kesejarahan namun tetap mengandung
unsur-unsur pra-Islam. Kitab-kitab seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh,
Hikayat Hasanuddin dapat dijadikan sumber dalam melacak sejarah kedatangan Islam
ke Indonesia. Di Jawa muncullah kitab-kitab dalam bentuk suluk, hikayat, serat, dan
perimbon. Perimbon ini berisi ramalan dan penentuan hari yang baik untuk berdagang,
mencari ilmu, menikah, acara syukuran, dan sebagainya.

Pada masa Mataram-Islam, pengaruh seni musik, sastra, dan bahasa Jawa menyebar
ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebagai pihak yang paling berkuasa secara politik,
otomatis Mataram pun menghendaki bahwa seni-budaya khas Mataram dikenal dan
dipelajari oleh kerajaan-kerajaan lain sebagai bawahannya. Oleh karena itu, misalnya, di
daerah Priangan (Jawa Barat) dikenal sejumlah kosa kata dan tembang yang berasal
dari budaya Jawa.

Karya-karya sastra di Jawa hasil akulturasi Islam-tasawuf dengan konsep Jawa-Hindu-


Buddha antara lain:
 Suluk Minang Sumirang, menggambarkan jiwa manusia menyatu dengan Tuhan.
 Suluk Sukarsa, menceritakan Ki Sukarsa mencari ilmu untuk mendapatkan
kesempurnaan. Cerita ini mirip cerita Dewa Ruci dalam cerita pewayangan Jawa
yang mengisahkan pencarian Bima (Pandawa nomor dua) akan hakikat dan
makna kehidupan.
 Suluk Wijil, berisi wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wijil, seorang
mantan abdi istana di Majapahit yang bertubuh cebol.

Karya-karya sastra Melayu (dan kemudian Jawa) banyak terpengaruhi oleh kebudayaan
Arab dan Persia. Cerita-cerita terkenal dari Timur Tengah ikut menyemarakkan sastra
yang beredar di Indonesia. Cerita seperti Kisah 1001 Malam gubahan sastrawan yang
hidup pada masa Dinasti Umayyah, yakni Abu Nawas dari Irak, atau cerita Aladin yang
banyak memperngaruhi sastra Melayu di bagian barat Indonesia. Sastra karya Hamzah
Fansuri merupakan contoh hasil akulturasi kebudayaan Islam-Timur-Tengah dengan
ajaran Buddha.

Hamzah Fansuri adalah contoh begitu terpengaruhnya para sastrawan Sumatera oleh
karya sastra Timur Tengah. Dua karya sastra Hamzah Fansuri yang terkenal adalah
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai. Syair Perahu menggambarkan manusia yang
didibaratkan perahu yang mengarungi lautan dengan menghadapi segala rintangan.
Segala rintangan tersebut dalam pandangan tulisan tersebut harus dihadapi oleh tauhid
dan makrifat kepada Tuhan (Allah SWT). Sedangkan Syair si Burung Pingai
menggambarkan manusia sebagai seekor burung yang dianggap sebagai dzat Tuhan.

Selain karya-karya di atas, akulturasi sastra Islam dengan budaya lokal bisa dilihat dari
karya-karya sastra lainnya, seperti Syair Panji Sumirang, Cerita Wayang Kinundang,
Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Panni Wilakusuma,
Syair Ken Tumbunan, Lelakon Mesda Kuminir. Karya-karya yang kaya dengan budaya
Islam dan lokal ini banyak dihasilkan pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam,
terutama yang ada di Sumatera dan Semenanjung Melayu.

Gambar: Naskah Salinan Hikayat Hang Tuah yang ditulis tahun 1882 di Malaka
Budaya dan sastra Jawa, berbeda dengan budaya Sumatera, pengaruh kebudayaan
Hindu-Buddhanya sangat kental dan sarat akan unsur-unsur "kebatinan". Pada saat
kebudayan ini berrtemu dengan tasawwuf dalam Islam, akhirnya menjadi sangat pas
untuk dikembangkan. Karya-karya sastra Jawa, seperti suluk yang berisi tentang
ramalan, masalah gaib dan arti dari simbol-simbol tertentu. Suluk merupakan bagian
dari ajaran tasawuf yang isinya tantang proses menuju makrifat.

Karya sastra
Peninggalan karya sastra yang dihasilkan para pujangga Nusantara sampai
abad ke-15 antara lain sebagai berikut :

 Arjuna Wiwaha, karya Empu Kanita


 Sutasoma, karya Empu Tantular
 Negarakertagama, karya Empu Prapanca
 Hariwangsa dan Gatotkacasraya, karya Empu Panuluh
 Smaradhana, karya Empu Dharmaja
 Lubdaka dan Wertasancaya, karya Empu Tanakung
 Kresnayana, karya Empu Triguna
 Sumanasantaka karya Empu Monaguna

3. Pengaruh dalam Tradisi

– Interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia menjadikan kebudayaan di
Indonesia menjadi beraneka ragam dan mempunyai ciri khas tersendiri atau identitas sendiri.
Berbicara tentang kebudayaan, hal ini sangat erat kaitannya dengan tingkah laku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari. Di Indonesia khususnya di pulau Jawa ini, tradisi lokal pribumi Jawa
sendiri sejak dulu telah mewarnai kebudayaan di pulau Jawa. Di tambah lagi dengan adanya
kedatangan orang-orang dari luar pulau Jawa yang membawa tradisi Hindu-Buddha yang di
terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa pada jaman dulu dan setelah itu
berlangsung cukup lama, datang lah tradisi Islam yang di bawa oleh para pedagang gujarat yang
kebanyakan dari daerah timur tengah. Hal itulah yang menyebabkan tradisi kebudayaan di
Indonesia menjadi penuh warna atau beraneka ragam yang menjadikan sebuah ciri khas atau
identitas sendiri bagi negara Indonesia ini. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia
pada jaman dulu telah terbuka pikirannya dan mampu menerima dengan ramah sesuatu yang
datang dari orang asing, yang akhirnya menimbulkan akulturasi kebudayaan yang menjadi ciri
khas dari bangsa Indonesia.

– Beberapa contoh tradisi daerah yang merupakan perpaduan dari unsur Lokal, Hindu-Buddha
dan Islam di Indonesia sebagai berikut :
 Upacara selamatan => yaitu upacara pemberian nama yang bertujuan untuk memberi
keselamatan bagi pemakai nama tersebut.
 Upacara sedekah => yaitu upacara yang dilaksanakan setelah 7 hari dari hari raya Idul Fitri
di daerah Demak, sebagai tanda syukur
 Upacara sukuran hasil panen => merupakan upacara yang dilakukan setelah panen dan
bertujuan sebagai ungkapan rasa sukur terhadap Sang Pencipta dan pada Alam yang telah
memberikan sumber kehidupan yang berlimpah.
 Upacara Tabuik => yaitu upacara yang dilakukan di pantai barat Sumatra sebagai peringatan
atas Hasan & Husein, cucu Nabi Muhammad SAW yang dipengaruhi golongan Syiah.

–Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia sebagai berikut :

 Bidang Budaya

Sebelum pengaruh budaya Hindu-Buddha masuk, bangsa Indonesia talah menggunakan bahasa
melayu kuno dan Jawa kuno. Setelah masuknya Hindu-Buddha masyarakat menggunakan
bahasa sansekerta dan bahasa podi. Sedangkan masuknya agama Islam ke Indonesia, Islam
menggunakan bahasa Arab. Hal itu membuat perbendaharaan kata di Indonesia ini semakin
banyak. Buktinya terdapat banyak bahasa yang di adopsi dari bahasa sansakerta dan bahasa
arab, di samping itu juga terdapat suatu kampung atau desa yang di dalamnya terdapat suatu
ras tertentu seperti ras Arab dan Cina.

 Bidang Sosial

Sistem masyarakat yang dulunya dibedakan berdasarkan profesi, setelah agama Hindu-Buddha
masuk, sistem kemasyarakatan dibedakan berdasarkan kasta. Tetapi dengan masuknya agama
Islam sistem kasta mulai menghilang, meskipun sekarang masih bisa kita jumpai pada
masyarakat tertentu. Sebagai bukti tradisi Hindu-Buddha telah mempengaruhi Tradisi lokal bisa
kita jumpai di Pulau Bali yang masih menggunakan sistem kasta.
 Bidang System Pemerintahan

Dulu sistem pemerintahan dipimpin oleh seorang kepala suku yang menggunakan sistem Primus
Interpares ( orang nomor satu diantara sesamanya ). Sedangkan dalam Hindu-Buddha sistem
pemerintahannya berupa kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja. Tetapi di dalam Islam nama
Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sebagai buktinya di daerah Banten tepatnya di daerah
Baduy, dalam penduduknya di pimpin oleh seorang Kepala Suku dan pada jaman dulu banyak
kerajaan-kerajan yang berdiri di Nusantara ini yang menggunakan sistem pemerintahan yang di
pimpin oleh seorang Raja, setelah Islam masuk dan menyebar sangat luas Raja digantikan
dengan sebutan Sultan seperti halnya Sultan Hassanudin di Banten.

 Bidang Seni Sastra

Sastra di Indonesia baru mengenal sastra lisan, misalnya sastra ritual ( doa atau rapal ) dan non
ritual ( nyanyian rakyat dan peribahasa ). Setelah datangnya Hindu-Buddha, Indonesia mengenal
sastra tembang dan irama kidung. Pada saat Islam masuk cerita tersebut hanya diubah dan
bahasanya ditambah kosakata Arab. Sebagai buktinya dalam cerita-cerita wayang yang di
adopsi dari kitab-kitab Hindu telah diubah oleh para Wali pada jamannya untuk media sarana
penyebaran keagamaan.

 Pernikahan

Akulturasi antara budaya Lokal dan Hindu-Buddha terlihat dalam pengadaan sesajen ketika
Upacara Pernikahan berlangsung. Setelah Islam masuk upacaranya di awali dengan membaca
akad nikah antara kedua mempelai.

 Pemakaman

Prosesi pemakaman yang sesuai dengan ajaran Islam hanya diwajiban untuk mensucikan
janazah, mengkafani dan menguburkannya. Tetapi karena adanya akulturasi, misalnya setelah
hari kematian adanya hari-hari pringatan selamatan atau acara tahlilan yang berisi pembacaan
Zikir dan Tahlil. Juga pemberian nisan yang merupakan warisan kebudayaan prasejarah.

You might also like