You are on page 1of 16

SINDROM SJOGREN

Zuhrial Zubir, Julahir Hodmatua Siregar

PENDAHULUAN

Sindrom Sjögren (SS) atau autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun kronis
yang ditandai dengan infiltrasi limfositik dari ludah dan kelenjar lacrymal menyebabkan
xerostomia dan keratokonjungtivitis sicca (KCS). Penyakit ini juga dapat mempengaruhi kelenjar
lain , seperti di perut, pankreas, dan usus, dan dapat menyebabkan kekeringan di tempat-tempat
lain yang membutuhkan kelembaban, seperti hidung, tenggorokan, saluran pernafasan, dan
kulit.1.2
Sindrom Sjogren diklasifikasikan sebagai Sindrom Sjogren Primer bila tidak berkaitan
dengan penyakit autoimun sistemik dan Sindrom Sjogren Sekunder bila berkaitan dengan
penyakit autoimun sistemik lain dan yang paling sering adalah Artritis Reumatoid, SLE dan
Sklerosis Sistemik. Sindrom Sjogren Primer paling banyak ditemukan sedangkan Sindrom
Sjogren Sekunder hanya 30 % kejadiannya.1
Sindrom Sjogren pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1880,
kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa Sindrom Sjogren terkait dengan
poliartritis dan penyakit sistemik lainnya. Pada tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi
anti–Ro(SS-A) dan anti-La(SS-B). Sinonim antara lain Mickuliczs Disease, Gougerots
Syndrome, Sicca Syndrome dan autoimmune exocrinopathy 1.2.3
Gejala kliniknya tidak terbatas hanya pada gangguan sekresi kelenjer tetapi disertai pula
dengan gejala sistemik atau ektraglandular. Gejala awal biasanya ditandai dengan mulut dan
mata kering dan kadang-kadang disertai pembesaran kelenjer parotis. Secara histopatologi
kelenjer eksokrin penuh dengan infiltrasi limfosit yang mengantikan epitel yang berfungsi untuk
sekresi kelenjer (exocrinopathy). 1.2
Diagnosis Sindrom Sjogren sebenarnya relatif mudah, tetapi untuk Sindrom Sjogren
Primer biasanya lebih sulit karena pasien menunjukkan 3 gejala utama yaitu mata kering, mulut
kering dan keluhan muskuloskletal.Penatalaksanaan Sindrom Sjogren meliputi pengelolaan
disfungsi sekresi kelenjer air mata dan saliva, pencegahan dan pengelolaan sekuele serta
pengelolaan manifestasi ektraglandular. Sampai saat ini masih belum ada satu pengobatan yang

Universitas Sumatera Utara


ditujukan untuk semua manifestasi Sindrom Sjogren.Walaupun Sindrom Sjogren bukan
merupakan penyakit yang ganas tapi keluhan mata dan mulut kering yang persisten dapat
mengurangi kualitas hidup dan dalam perkembangannya dapat menjadi limfoma yang dapat
menyebabkan kematian. 1.3

EPIDEMIOLOGI

Sindrom jögren adalah salah satu dari tiga penyakit autoimun yang paling umum.
Sindrom Sjogren dapat terjadi pada semua kelompok usia, dan lebih banyak ditemukan pada
kelompok perempuan, terutama pada decade keempat dan kelima . Perbandingan perempuan dan
laki-laki dari 9: 1. Prevalensi pada populasi umum sampai saat ini belum diketahui. Sebanyak 1
sampai 2 juta orang di negara-negara Amerika menderita SS, dimana prevalensi yang dilaporkan
adalah antara 0,05 dan 4,8 persen dari Penduduk.1.4 Sekitar 60% dari pasien SS memiliki
penyakit sekunder untuk gangguan autoimun yang menyertainya seperti rheumatoid arthritis
(RA), lupus eritematosus sistemik (SLE), atau sklerosis sistemik. Meskipun perkiraan bervariasi,
informasi dari klinik reumatologi menunjukkan bahwa sekitar 25% pasien dengan RA atau SLE
memiliki bukti histologis SS.5

ETIOLOGI

Etiologi Sindrom Sjogren sampai saat ini masih belum diketahui. Terdapat peranan faktor
genetik dan non genetik pada patogenesis Sindrom Sjogren. Beberapa factor yang berhubungan
dengan etiologi dan pathogenesis sindrom Sjogren yaitu:
1. Factor genetik2
a. hiperreaktivitas dari sel B yang melibatkan terjadinya peningkatan jumlah
immunoglobulin yaitu IgG,IgM,IgA serta bermacam antibody antinuclear, yang termasuk
didalamnya adalah anti SS-A/Ro dan anti SS-B/La.
b. Peningkatan HLA (Human Leukocyte Antigen) kelas II . Terpaparnya molekul-molekul
tersebut pada permukaan sel-sel epitel kelenjar saliva yang mungkin dapat bertindak
sebagai autoantigen dan eksogen antigen agar saliva sel-sel T CD4 menginfiltrasi
kedalam sel kelenjar. Pada penelitian menunjukkan kecenderungan genetic yaitu

Universitas Sumatera Utara


keterlibatan HLA-DR3 pada sindrom sjogren primer, sedangkan yang sekunder berkaitan
dengan Rheumatoid arthritis (RA) dihubungkan dengan sub group HLA-II yaitu HLA-
DR4.
c. Autoantibodi Muscarinic M3 reseptor. Suatu hipotesis yang menjelaskan bahwa pada
penderita sindrom sjogren autoantibody muscarinic memblok dan mengikat reseptor
muscarinic M3 yang menyebabkan sel-sel dari kelenjar saliva tidak berkontraksi
sehingga tidak menghasilkan saliva.
2. Factor lingkungan
Diperkirakan terdapat peranan infeksi virus (Epstein-Barr, Coxsackle, HIV dan HCV )
pada patogenesis Sindrom Sjogren. Hubungan Sindrom Sjogren dengan Hepatitis Virus C
dulu masih diperdebatkan, baru tahun 1922 Haddad di Spanyol mendapatkan gambaran
histologi Sindrom Sjogren pada 16 pasien dari 28 pasien Hepatitis virus C, sejak saat itu
lebih dari 250 kasus Sindrom Sjogren yang berhubungan dengan Hepatiti virus C
dilaporkan.6

PATOFISIOLOGI

Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya SS adalah stimulasi terus-menerus


pada sistem autoimun, baik sel B maupun sel T, walaupun mekanisme abnormalitas imunitas
humoral maupun selular masih belum diketahui pasti.7 Ada beberapa faktor yang diyakini
bertanggung jawab mencetuskan SS yaitu kerentanan genetik, stres psikologis, hormonal, dan
infeksi dapat memicu aktivasi sel epitel yang ditandai dengan terstimulusnya Toll-like receptor.
Permulaan perjalanan SS adalah kelainan struktur kelenjar seperti perubahan matriks
ekstraselular akibat infiltrasi sitokin, kemokin, dan limfosit. Adanya stimulus pada Toll-like
receptor memicu aktivasi sel T dan sekresi sitokin pro-inflamasi. Teraktivasinya sel epitel tidak
hanya berfungsi sebagai APC yang memicu aktivasi sel B atau sel T, tetapi juga mengaktivasi sel
dendritik melalui regulasi molekul pro-apoptosis yang menyimpan bentukan eksosom sehingga
dapat membantu aktivasi sel B. Selanjutnya terjadi peningkatan aktivitas B-cell activating factor
(BAFF) yang sekresinya memicu disproporsi terhadap jumlah sel B yang diaktivasi sehingga
memicu jumlah limfosit tambahan pada jaringan kelenjar yang selanjutnya memperberat proses
destruksi kelenjar.8

Universitas Sumatera Utara


Hiperaktivitas sel B merupakan kejadian peningkatan kadar imunoglobulin dan
autoantibodi di sirkulasi untuk melawan autoantigen ribonukleoprotein. Ro/SS-A dan La/SS-B.
Anti-La bersifat lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk SS dibandingkan anti- Ro sejak
munculnya penyakit autoimun SLE. Antibodi sirkulasi yang terlibat meliputi RF dan Anti-
Fodrin. Cryoglobulin tipe II (monoclonal dengan aktivitas RF) tampak pada 20% pasien.
Hipokomplemenemia terjadi pada pasien SS dengan vaskulitis sistemik, glomerulonefritis, dan
limfoma sel B. Antimitochondrial Antibodies (AMA), sejalan dengan peningkatan transaminase
dan alkalin fosfatase, ditemukan setidaknya pada 7% kasus pasien SS dengan tampilan histologis
sirosis biliaris primer stadium I. Antithyroglobulin (anti-TG) dan Anti thyroid peroxidase (anti-
TPO) muncul pada pasien SS dengan penyakit dasar Tiroiditis Hashimoto yang ditandai
munculnya antibody Anticentromere Antibodies (ACA) yang berkorelasi dengan rendahnya
angka kejadian pembesaran kelenjar parotis dan antibodi anti-La. Antibodi anti-DNA positif
pada pasien SS yang berkaitan dengan SLE, antiphospholipid (a-PL), dan antineutrophil
cytoplasmic (ANCA) merupakan antibody atipikal yang paling sering ditemukan.9.10

Gambar 1. Patofi siologi SS. Pada keadaan predisposisi genetik, infeksi virus, pengaruh hormon dan factor lingkungan
menginisiasi aktivasi sel epitel, yang akan memicu aktivasi sel T dan memperkuat sekresi sitokin pro-infl amasi sehingga memicu
aktivasi sel epitel. Hal ini menghasilkan formasi eksosome, aktivasi sel dendritik dan sekresi Interferon tipe 1 (IFN-1), dan BAFF
memicu stimulasi dan proliferasi sel B sehingga menyebabkan disposisi limfosit. Sel T sitotoksik, apoptosis, dan formasi
autoantibodi dan destruksi jaringan kelenjar lebih lanjut.8

Universitas Sumatera Utara


GAMBARAN KLINIK

Gambaran klinik SS sangat luas berupa suatu eksokrinopati disertai gejala sistemik dan
ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan gambaran eksokrinopati mulut.
Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat
mata kering. Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paru, ginjal, pembuluh darah maupun
otot. Gejala sistemik pada SS sama seperti penyakit autoimun lain dapat berupa kelelahan,
demam, nyeri otot, artritis. Poliartiritis nonerosif merupakan bentuk artiritis yang khas pada SS.
Raynauds phenomena merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan, biasanya tanpa
telangiektasis maupun ulserasi jari. Manifestasi ekstraglandular lain tergantung penyakit sistemik
yang terkait misalnya RA, SLE, dan Sklerosis Sistemik. Meskipun SS tergolong penyakit
autoimun yang jinak, bisa berkembang menjadi malignan, diduga karena transformasi sel B ke
arah ganas.3
Manifestasi Glandular
1. Xerostomia
Lebih dari 90% pasien dengan keluhan gejala SS adalah gangguan fungsional kelenjar
saliva. Pasien sering mengeluhkan rasa tidak enak, sulit memproses makanan kering, dan
membutuhkan minum lebih banyak air. Pada tahap awal SS, mulut tampak pucat dan lembap;
dengan berjalannya penyakit, tidak tampak saliva pada dasar mulut. Seiring progresifi tas
penyakit, terutama pada stadium lanjut, mukosa cavum oris akan menjadi sangat kering.
Permukaan lidah menjadi merah dan berlobulasi disertai depapilasi parsial maupun komplit.
Xerostomia menjadi sangat nyeri disertai sensasi terbakar, disertai pembentukan fi sura lidah,
disfagia, disertai keilitis angularis. Keadaan di atas dapat memicu infeksi Staphylococcus aureus
atau Pneumococcus yang bermanifestasi sebagai sialadenitis akut. Lebih jauh penyakit ini dapat
menyebabkan karies dentis, infeksi periodontal, peningkatan kejadian kandidiasis.2.11.8

Gambar Xerostomia
5

Universitas Sumatera Utara


2. Keratoconjungtivitis Sicca (KCS)
Mata kering pada SS disebut KCS yang lebih sering tampak dibanding xerostomia.
Anamnesis yang cermat dibutuhkan untuk mendeteksi gejala mata kering. Keluhan utama KCS
adalah rasa mengganjal bias disertai rasa tebal, fotosensitif, dan sensasi terbakar. Mata kering
disebabkan infiltrasi limfosit pada kelenjar lakrimal sehingga mengganggu produksi dan
komposisi air mata menyebabkan gangguan epitel kornea dan konjungtiva yang diketahui
merupakan penanda KCS. Pada kasus berat, dapat terjadi gangguan visus. Komplikasi ulkus
kornea dapat memicu perforasi dan iridosiklitis.11

Gambar Keratokonjungtivitis Sicca


3. Pembesaran Kelenjar Paratiroid
Sekitar 20-30% pasien SS Primer mengalami pembesaran kelenjar parotis atau
submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjar ini bisa berubah menjadi limfoma. Suatu
penelitian mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien SS (4%) berkembang menjadi limfoma,
sementara Ioannidis mendapatkan 38 dari 4384 pasien SS berkembang menjadi limfoma.2.12.13

Gambar Pembesaran Kel.Parotis

Manifestasi Ekstraglandular
Banyak manifestasi ekstraglandular pada SS yaitu artralgia (25-85%), fenomena Raynoud
(13-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (10- 24%), renal tubular asidosis (5-33%), sirosis bilier

Universitas Sumatera Utara


primer dan hepatitis autoimun (2-4%), penyakit paru (7-35%), vaskulitis (9-32%). Risiko
limfoma meningkat pada pasien SS.
1. Manifestasi Kulit
Merupakan gejala ekstraglandular yang paling sering dijumpai, dengan gambaran klinis
yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai.
Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis
pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada pembuluh
darah kecil berupa purpura. Vaskulitis di kulit dikatakan merupakan petanda prognosis buruk.3
2. Manifestasi Paru
Manifestasi penyakit paru yang sering dijumpai adalah Penyakit Paru Interstisial atau
fibrosis berat. Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler sering menyerupai limfoma
(pseudolimfoma). Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder berbeda, manifestasi SS
sekunder disebabkan oleh penyakit primer yang mendasari.3
3. Manifestasi Pembuluh Darah
Vaskulitis ditemukan sekitar 5%, dapat mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil
dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria berulang, ulkus kulit, dan mononeuritis
multipel. Vaskulitis pada organ internal jarang ditemukan. Fenomena Raynaud dijumpai pada
35% kasus dan biasanya muncul setelah bertahun-tahun, tanpa disertai telangiektasis dan
ulserasi.3
4. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal hanya sekitar 10%. Manifestasi tersering berupa kelainan tubulus
dengan gejala subklinis. Gambaran kilnis dapat berupa hipofosfaturia, hipokalemia,
hiperkalemia, asidosis tubular renal tipe distal. Manifestasi sering tidak jelas, dapat menimbulkan
komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia sering dijumpai dengan
klinis kelemahan otot. Pada biopsy ginjal didapatkan infi ltrasi limfosit pada jaringan
interstisial.3
5. Manifestasi Neuromuskular
Manifestasi neurologi akibat vaskulitis system saraf dengan manifestasi klinik neuropati
perifer. Neuropati kranial juga dapat dijumpai pada SS, biasanya tunggal, misalnya neuropati
trigeminal, neuropati optik. Neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang sering
dijumpai. Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas normal.3

Universitas Sumatera Utara


6. Manifestasi Gastrointestinal
Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia karena kekeringan daerah mulut dan
esophagus, disamping itu dismotilitas esophagus akan menambah kesulitan proses menelan.
Mual dan nyeri perut daerah epigastrium juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung
menunjukkan gastritis kronik atrofi yang secara histopatologi didapatkan infi ltrasi limfosit.3
7. Artritis
Lima puluh persen gejala artritis pada SS mungkin muncul lebih awal sebelum gejala
sindrom sicca muncul. Artritis pada SS tidak erosif. Artralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis
kronis merupakan gejala lain yang mungkin dijumpai.3

PEMERIKSAAN
Laboratorium
Pada SS sering didapatkan peningkatan imunoglobulin serum poliklonal dan sejumlah
auto antibodi yang sesuai dengan aktivitas kronis sel B. Laju endap darah meningkat sesuai
peningkatan globulin gama. Suatu penelitian multisenter atas 400 pasien SS berdasarkan kriteria
The European Community Preeliminary Criteria tahun 1993 mendapatkan Anti Ro 40% dan anti
La 26%, ANA 74%, RF 38% pasien SS. Kelainan hematologi yang bisa didapatkan pada SS
adalah anemia 20%, leukopenia 16%, dan trombositopenia 13%, hipergamaglobulinemia
ditemukan hampir pada 80% kasus.2.3.12 Penelitian di London mengevaluasi 34 pasien keluhan
mata dan mulut kering tapi tidak termasuk SS yang dikenal dengan Dry Eyes and Mouth
Syndrome (DEMS); pada pemeriksaan anti Ro dan anti La semuanya negatif walaupun ANA
positif (19%).14
1. Tes Schirmer
Berfungsi memeriksa fungsi kelenjar lakrimal. Terdapat 2 jenis tes yaitu Schirmer I dan
II, Schirmer I adalah pemeriksaan yang masuk dalam kriteria diagnosis SS, yaitu meletakkan
kertas kering di kelopak mata bawah selama 5 menit, normalnya adalah ≥15 mm kertas akan
basah, jika <5 mm maka hal ini mengkonfirmasi diagnosa mata kering.15

Universitas Sumatera Utara


Gambar. Test Schirmer
2. Rose Bengal
Pemeriksaan ini menggunakan bahan aniline yang dapat mewarnai epitel kornea dan
konjungtiva yang tidak fungsional. Penilaiannya: 0-4, bila 3-4 berarti pewarnaan epitel lebih
banyak yang menandakan hiposekresi lakrimal. Evaluasi dengan criteria Van Bijsterveld
membagi permukaan mata menjadi 3 yaitu: konjungtiva bulbar bagian nasal, kornea, konjungtiva
bulbar bagian temporal, yang diberi nilai 0-3 (0: tidak ada pewarnaan; 3: pewarnaan jelas). Skor
≥4 sudah bernilai positif. Skor ini merupakan metode paling spesifik untuk mengevaluasi
keluhan mata pada SS.16

Gambar . Rose Bengal Test.

3. Histopatologi
Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran sangat spesifik yaitu infiltrasi
limfosit dominan. Biopsi saliva minor merupakan standar baku diagnosis SS.3.17

Universitas Sumatera Utara


Gambar Ilfiltrasi Limfosit
4. Sialometri
Merupakan pengukuran kecepatan produksi kelenjar saliva (parotis, submandibula,
sublingual, atau total) tanpa adanya rangsangan. Pada SS aliran saliva akan diukur pada kelenjar
submandibular/sublingual kemudian dibandingkan dengan kontrol; pengukuran pada kelenjar
parotis tidak spesifi k karena akan menunjukkan penurunan aliran saliva baik pada pasien SS dan
non-SS.3.16
5. Sialografi
Bertujuan untuk mengetahui perubahan anatomi kelenjar saliva dan duktusnya.
Pemeriksaan ini menggunakan kontras larut air yang dimasukkan dengan sistem kanulasi ke
kelenjar saliva kemudian mengevaluasi kelainan yang terjadi.16
6. Scintigrafi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan injeksi 99mTcsodium intravena kemudian
mengevaluasi ambilan 99mTc-sodium setelah 60 menit.3

DIAGNOSA
Lebih dari 10 kriteria diagnosis dan klasifikasi untuk Sindrom Sjogren telah dibuat.
Kriteria paling baru adalah dari American-European Consensus Group Classification Criteria.2
Tabel 1. Kriteria American-European Consesus Group classification Criteria.2.12.18

I. Ocular symptoms : a positif response to at least one of the following questions:


1. Have you had daily, persistent, troublesome dry eyes for more than 3 months
2. Do you have a recurrent sensation of sand or gravel in the eyes.
3. Do you use tear substitutes more than 3 times a day.

10

Universitas Sumatera Utara


II. Oral Symptoms : a positif response to at least one of the following questions :
1. Have you had a daily feeling of dry mouth for more than 3 months
2. Have you had recurrently or persistently swollen salivary glands as an adult.
3. Do you frequently drink liquids to aid in swallowing dry food.

III. Ocular signs : a positif result for at least one of the following two test :
1. Schirmer I test, performed without anesthesia < 5 mm in 5 minutes
2. Rose Bengal score or other ocular dye score (>4 on the van Bijsterveled scale )

IV. Histopathology : In minor salivary glands (obtained through normal-appearing mucosa )


focal lymphocytic sialadenitis, evaluated by an expert histopathologist, with a focus
score > 1, defined as a number of lymphocitic foci (which are adjacent to normalappearing
mucous acini and contain more than 50 lymphocites ) per 4 mm of
glandular tissue.

V. Salivary glang involvement : a positif result for at least one of the following
1. Unstimulated whole salivary flow <1,5 ml in 15 minutes
2. Parotid sialography showing the presence of diffuse sialectasis (punctuate,
cavitary,or destructive pattern) without evidence of major duct obstruction
3. Salivary scintigraphy showing delayed uptake, reduced concentration, and or
delayed excretion of tracer.

VI. Autoantibodies : presence in the serum of the following : Antibodies to Ro (SS-A) or La


(SS-B) antigen, or both.

Rules for Classification


For primary SS: In patient without any potentially associated disease
1. Presence of any 4 of the 6 items indicates pSS as long as either item
IV(histopathology) or VI (serology) is positive.

11

Universitas Sumatera Utara


2. Presence of any 3 of the 4 objective criteria items (item III,IV,V,VI)
3. The classification tree procedure (best used in clinical epidemiological surveys)
For secondary SS: patient with a potentially associated disease (another well-defined
connective tissue disease), the presence of item I or item II plus any 2 from among items
III, IV and V
Exclusion criteria: Past head and neck radiation treatment; hepatitis C infection;acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS); preexisting lymphoma;sarcoidosis, graft-vs-host
disease, use of anticholinergic drugs (since a time shorter than fourfold the half-life of the
drug)

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi kelenjer


dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah simtomatis mengantikan
fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.2
MATA
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet untuk siang
hari dan salep mata untuk malam hari.3.12 Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan
membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering. Untuk mengurangi efek samping
sumbatan drainase air mata pengganti bisa diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat
besar. Tetes mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat muskarinik
reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu golongan pilokarpin dan
cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12 minggu sedangkan cevimelin 3 x 30
mg diberikan 3 kali sehari.3

MULUT
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan
pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut. Pengobatan
xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada

12

Universitas Sumatera Utara


umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjer liur,
memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan digunakan sugar-free lozenges, cevimeline atau
pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat
digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi
saliva digunakan anti jamur topical.3.12

EKTRAGLANDULAR
OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin digunakan untuk
atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1 mg/kgBB/hari dan
imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk mengontrol gejala ekstraglandular
misalnya difus intersisial lung disease, glomerulonefritis, vaskulitis.2.12
Tabel .OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI SINDROM SJOGREN.13

OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI SINDROM SJOGREN


1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin) digunakan untuk terapi sicca symptoms karena
merangsang reseptor M1 dan M3 pada kelenjer ludah sehingga meningkatkan fungsi sekresi.8.

13

Universitas Sumatera Utara


Suatu penelitian pasien Sindrom Sjogren yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12
minggu terdapat perbaikan keluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan Cevimelin
dengan dosis 3 x 15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan.19
2. Agen Biologik
Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang diterapi dengan infus
Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu2, minggu6 terdapat perbaikan keluhan 8 Penggunaan
Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien sindrom sjogren primer
selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering.17
3.Terapi lain
Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon secara siknifikan
menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang digunakan untuk terapi malaria
juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren
primer dapat meningkatkan produksi kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan. Sedangkan
penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis 400 mg /hari selama 12 bulan
pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat perbaikan keluhan.20

PROGNOSIS

Prognosis pada pasien Sindrom Sjogren tidak banyak yang meneliti, walaupun Sindrom Sjogren
bukan merupakan penyakit yang ganas namun perkembangannya dapat terjadi vaskulitis dan
limfoma dan kedua hal tersebut dapat menyebabkan kematian pada pasien Sindrom Sjogren.2.1

14

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka
1. Kruszka P., O’Brian R.J.Diagnosis and Management of Sjögren Syndrome. Am Fam
Physician. 2009;79(6):465-470
2. Sumariyono.Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren. Kumpulan makalah temu ilmiah
Reumatologi.2008:134-136.
3. Yuliasih. Sindrom Sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid III edisi VI. Pusat
Penerbitan IPD FKUI.2014:3160-3166
4. Pillemer SR, Matteson EL, Jacobsson LT, et al. Incidence of physician-diagnosed
primary Sjögren syndrome in residents of Olmsted County, Minnesota. Mayo Clin Proc.
2001;76(6):593-599.
5. Kassan S.S,Moutsopoulos H.M. Clinical Manifestations and Early Diagnosis of Sjo¨gren
Syndrome Arch Intern Med. 2004;164:1275-1284
6. Casals MR.Font J. Primary Sjogren Syndrome: Current and emergent aetiopathogenic
concepts.Rheumatology.2005;44:1354-1367
7. Delaleu N, Jonsson MV, Appel S. New concepts in the pathogenesis of Sjogren’s
syndrome. Rheum. Dis. Clin. North America, 2008.34(4);833-45.
8. Kassan SS, Thomas TL, Moutsopoulos HM, Hoover R, Kimberly RP, Budman DR, et al.
Increased risk of lymphoma in sicca syndrome. Ann. Intern. Med. 2004;89(6):888-92.
9. Soliotis FC, Moutsopoluos HM. Sjogren’s syndrome. Autoimmunity. 2004;37:305-7.
10. Ramos-Casals M, Brito-Zeron P, Font J. The overlap of Sjogren’s syndrome with other
systemic autoimmune diseases. Semin Arthritis Rheum 2007;36:246-55.
11. Fox RI. Sjogren’s syndrome. Lancet. 2005;366(9482):321-31.
12. Troy Daniels. Sjogrens Syndrome: Primer on Rheumatic Diseases. 2008;13:389-97.
13. Casals MR. Tzioufas AG. Front J. Primary sjorgen syndrome; new clinic and therapeutic
concepts. Ann. Rheum. Dis. 2005:64;347-54
14. Rosas J. Casals MR. Ena J.Usefulness of basal and Pilocarpin stimulated salivary fl ow in
primary Sjorgen syndrome correlation with clinical immunological and histological
features.Rheumatology. 2004:41:670-5.
15. De Monchy, I., Jonsson M.V., Appel, S., Jonsson R. New concepts in the pathogenesis of
Sjogren’s syndrome. Rheum. Dis. Clin. North America. 2011:21(5),656-60.

15

Universitas Sumatera Utara


16. Kalk, W.W., Mansour, K., Vissink, A., Spijkervet F.K., Bootsma, H., Kallenberg, C.G.<
et al. Oral and ocular manifestation in Sjogren’s syndrome. J. Rheumatology.
2002;29(5),924-30.
17. Price EJ, Venables PJ. The etiopathogenesis of Sjogren’s syndrome. Semin Arthritis
Rheum. Oct 1995;25(2):117-33.
18. Theander E.Lennart.Jacobsson TH. Relationship of Sjogren Syndrome to otherconnective
tissue and autoimmune disorders. Rheum. Dis Clin N Am. 2008;34:935-947.
19. Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and dryeye
symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern Med.2000;159:174-181.
20. Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated with
hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:81-89.

16

Universitas Sumatera Utara

You might also like