You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN
disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan
penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan
langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan
PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan
adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak
Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara
lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pajak.

Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain:

1. Adanya pajak berganda.


2. Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif) sehingga menimbulkan kesulitan
pelaksanaannya.
3. Tidak mendorong ekspor.
4. Belum dapat mengatasi penyelundupan.

Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:

1. Menghilangkan pajak berganda.


2. Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.
3. Netral dalam persaingan dalam negeri.
4. Netral dalam perdagangan internasional.
5. Netral dalam pola konsumsi.
6. Dapat mendorong ekspor.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan:

1. Pajak tidak langsung.


2. Pajak atas konsumsi dalam negeri.

Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial.
Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait
didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk
mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena
digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan,
menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun
jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada
penggolongan dengan tarif yang berbeda.

1
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di
Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai terhutangnya,
menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan
Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
Namun pada kenyataanya masyarakat kita, khusunya yang berada di desa-desa dan masyrakat
awam, tidak cukup mengenal atau bahkan tidak tahu sama sekali mengenai PPn dan PPn BM,
mulai dari apa itu PPn dan PPn BM, apa dasar hukumnya, apa saja objeknya, bagaimana cara
penghitungannya, mekanismenya, karaketristiknya, dan lain sebagainya..
Maka dari itu berangkat dari permasalahan di atas, mengenai ketidaktahuan sebagian msyarakat
Indonesia tentang PPn dan PPn BM, kami terinspirasi untuk menyajikan secara menyeluruh, detail,
dan serinci mungkin, mengenai permasalahan PPn dan PPn Bm di Indonesia dalam bentuk suatu
Makalah. Adapun Makalahnya Kami beri judul “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG
DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah, dari makalah yang kami sajikan adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana dasar hukum PPN dan PPn BM, perkembangan dasar hukumnya, karakteristik,
tipe, dan pencatatan/ pembukuan pada PPN?
2. Apa saja yang menjadi objek pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPn BM)?
3. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak?
4. Bagaimana tarif dari PPn dan PPn Bm?
5. Bagaimana mekanisme pengenaan PPn?
6. Bagaimana cara menghitung PPn dan cara menghitung PPn BM?
7. Apa yang dimaksud dengan saat terutang pajak?
8. Bagaimana mekanisme kredit pajak?
9. Apa yang dimaksud dengan penyerahan kepada pemungut ppn?
10. Apa yang dimaksud dengan PPn atas kegiatan membangun sendiri dan surat pemberitahuan
masa (SPT Masa) PPN?

2
C. Tujuan

Di dalam suatu hal pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu, begitu pun dengan makalah yang
kami sajikan memiliki tujuan. Dari rumusan di atas maka adapun tujuannya adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan dasar hukum PPN dan PPn BM, perkembangan dasar hukumnya,
karakteristik, tipe, dan pencatatan/ pembukuan pada PPN.
2. Memaparkan objek pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn
BM).
3. Untuk menjelaskan apa saja yang menjadi dasar pengenaan pajak.
4. Memaparkan tarif dari PPn dan PPn Bm.
5. Mendeskripsikan mekanisme pengenaan PPn.
6. Menjelaskan bagaimana cara menghitung PPn dan cara menghitung PPn BM.
7. Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan saat terutang pajak.
8. Untuk mendeskripsikan mekanisme kredit pajak.
9. Untuk memaparkan apa yang dimaksud dengan penyerahan kepada pemungut ppn.
10. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan PPn atas kegiatan membangun sendiri dan
surat pemberitahuan masa (SPT Masa) PPN.

D. Metode Penulisan

Pada makalah yang kami sajikan metode penulisan yang digunakan adalah dengan libray
method atau yang lebih dikenal dengan metode kepustakaan, artinya isi dari makalah ini sebagaian
besar adalah hasil kutipan dan referensi dari berbagai sumber buku.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum PPN Dan PPn BM, Perkembangan Dasar Hukumnya, Karakteristik, Tipe,
Dan Pencatatan/ Pembukuan Pada PPN

Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undag ini
disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

1. Perkembangan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Indonesia

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan Nilai
1984 merupakan salah satu produk referensi system perpajakan nasional (tax reform) 1983. Sebagai
pengganti UU nomot 19 Tahun 1951 Drt.jo UU Nomor 35 Tahun 1953 entang pajak penjualan,
UU PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.
Dalam kurun waktu 15 tahun sejak muali berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali
perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 194 yang
muali berlaku pada tanggal 1 januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan
Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 yang muali berlaku pada tanggal 1 januari 1995, sedangkan
perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai
berlaku sejak tanggal 1 januari 2001.
Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofi UU Nomor 18
Tahun 2000 adalah:
a) Lebih meningkatkan kepastian hokum dan keadilan
b) Menciptakan siste perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan
pengamanan penerimaan Negara.

Latarbelakang perubahan justru dijumai dalam memori penjelasan bagian umum yang menegaskan
bahwa dalam era reformasi saat ini, perkembangan social ekonomi dan politik berlangsung sangat
cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung
perkembangan dunia usaha karena masih dijumpai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang
perpajakan, yaitu:
a) Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
b) Kurang memberikan hak-hak wajib pajak
c) Kurang memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya,
d) Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.

Meskipun UU no 8 Tahun 1983 telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18
Tahun 2000, nama Undang-Undang ini tidak mengalami perubahan, Karena:
1) Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang berbunyi: “ Undang-undang ini dapat disebut
dengan nama Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984”tidak diubah, dan pasal 2 ayat
(2) dan pasal 14 ayat (1) UU Nomor6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU Nomor 16 Tahu 2000, menyebut UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah ini
“undang-undang Pajaka Pertambahan Nilai”
2) Sesuai dengan bunyi konsiderans UU nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 11 Tahun
1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000 bhwa pengundangan undang-undang ini di maksudkan
untuk mengubah UU Nomor 8 Tahun 1983, jadi bukan untuk menggantikan kedudukannya.

4
3) Pasal III UU Nomor 18 Tahun 2000 menentukan: “ Undang-undang ini dapat disebut
Undang-Undang perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”. UU ini
menyebut UU PPN dengan nama UU PPN 1984.

Berdasar 3 argumentasi yuridis dan filosofis tersebut, maka sejak 1 April 1985 sampai dengan saat
ini dan seterusnya, yaitu setelah perubahan yang pertama dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan
perubahan yang kedua dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, sebagai dasar hukum Pajak
Pertambahan Nilai sejak 1 januari 2001 dapat dikemukakan sebagai berikut ;
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b. Peraturan pmerintah Nomor 144 Tahun 2000 jo peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2002 tentang pelaksanaa UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak pertambahan Nilai Barang
dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang 18 Tahun 2000.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang jenis Barang dan Jasa yang tidak
dikenakan pajak.
d. Peraturan pemrintah Nomor 145 Tahun 2000 jis Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2002 serta Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2003 tentang Kelompok Barang Kena pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenaan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
e. Peraturan pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun
2003 tentang Impor dan atau penyerahan Barang kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan
Jasa Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 jis Peraturan pemerintah Nomor 43 tahun
2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
g. Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 tentang Perlakuan PPN dan PPnBM dikawasan
Berikat Daerah Industri Pulau Batam, sebagimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.

2. Karakteristik pajak pertambahan nilai

a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung

Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak
(destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara berada
pada pihak yang berbeda.Pemikul pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli
barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kas Negara adalah pengusaha kena pajak yang bertindak selaku penjual
barang kena pajak atau pengusaha jasa kena pajak

b. Pajak objektif

Yang dimaksud pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbunya kewajiban pajak
ditentukan oleh factor objektif yaitu adanya taatbestand .adapun yang dimaksud taat bestand
adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hokum yang dapat dikenakan pajak yang juga
disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk
membayar pajak pertambahan nilai ditentukan oleh adanya objek pajak.

5
3. Tipe Pajak Pertambahan Nilai

a. consumption Type VAT

dalam consumtion type value added tax semua pembelian yang digunaka untuk produksi
termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.

Pajak pertambahan nilai tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:

 Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pembelian Barang
Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi segera dapat dikreditkan.
 Menunjang ikli investasi sehat
 Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi alat produksi barang modal
tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali.
 Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersift non kumulasi).

b. Net Income Type VAT

Dalam Net Income Type Value Added Tax, pengurangan pembelian barang modal dari
dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh
dikurangkan sebesar presentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung hasi l
bersih dalam rangka penghiungan pajak penghasilan. Oleh karena itu dasar pengenaan pajak
pertambahan nilai akan sama dengan dasar pengenaan pajak penghasilan.

c. Gross Product Type VAT

dalam Gross Product Tyoe Value Added tax, pembelian barang modal sama sekali tidak
boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal
dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan yang kedua dilakukan
melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.

4. Pencatatan Dan Pebukuan Dalam Pajak Pertambahan Nilai

Dasar hukum
Ketentuan mengenai pembukuan yang sebelum 1 januari 2001diatur dalam pasal 6 UU PPN 1984,
dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dihapus sehingga mengenai kewajiban pembukuan dibidang
PPn semata-mata mengacu pada pasal 28 UU KUP. Ide yang melatarbelakangi penghapusan pasal
6 UU PN 1984 dapat dipahami yaitu mengenai kewajiban menyelenggrankan pembukuan dan
pencatatan sudah diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Kewajiban ini merupakan bagian dari ketentuan formal.UU no 8 tahun 1984 merupakan ketentuan
materil sehingga tidak dapat apabila mengatur juga kewajiban formal.Selai itu untuk menghindari
pengaturan ganda terhadap satu masalah.
Pencatatan yang Wajib Diselenggarakan Oleh PKP
1) Kuantum Barang Kena Pajak Yang diserahkan
2) Harga Perolehan Barang/Jasa Kena Pajak dan Pajak Masukan
3) Harga Jual/Penggantian dan Pajak keluaran yang dikenakan
4) Penyerahan yang terutang PPN 10%
5) Penyerahan yang terutang PPN 0%
6) Penyerahan yag tidak terutang PPN
7) Penyerahan yang terutang PPnBM
Karena berdasarkan pasal 16B UU PPN 1984, terhadap penyerahan BKP/JKP tertentu diberikan
fasilitas maka bagi PKP yang melakukan penyerahan terkait dengan fasilitas dimaksud, pencatatan
itu harus ditambah dengan dua materi lagi yaitu :

6
8) Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak
9) Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut.

Barang Kena Pajak (BKP)


Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
Undang.
Barang kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:

1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya.
2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau
ilmiah.
3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.
4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/
perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada
huruf c, berupa:
5) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyaraka tmelalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang seupa;
6) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik,
atau teknologi yang serupa;
7) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
8) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
9) Pelepasan seluruhnya atau sebagaian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis
barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas
kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
seperti:

 Minyak mentah (crude oil);


 gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung
masyarakat;
 panas bumi;
 asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu bpermata, bentonit,
dolomit, felspar (feldsfar), garam batu (halite), grafit, granit/ andesit, gips,
kalsit,kaolin,leusit,magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir
kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat,
tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan traktit;
 batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
 bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:

 Beras;
 Gabah;
 Jagung;
 Sagu;
7
 Kedelai;
 Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
 Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur,
diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/ direbus;
 Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, disinkan, atau
dikemasi.
 Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/ atau dikemas atau tidak
dikemas;dan
 Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/ atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).

Jasa Kena Pajak (JKP)


Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk
jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesanan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.

Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPn.
Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas
kelompok-kelompok jasa sebagai berikut.
1) Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:

 Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;


 Jasa dokter hewan;
 Jasa ahlikesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
 Jasa kebidanan dan dukun bayi;
 Jasa paramedis dan perawat;
 Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
 Jasa psikolog dan psikiater;
 Jasapengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

2) Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:

 Jasa pelayanan Panti asuhan dan Panti Jompo;


 Jasa pemadam kebakaran;
 Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
 Jasa lembaga rehabilitasi;
 Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;
 Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.

3) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.

4) Jasa keuangan, meliputi:

 Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan, dan/ atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;

8
 jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau
sarana lainnya;
 jasa-jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: sewa guna
usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit dan/ atau pembiayaan konsumen;
 jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia;
 jasa penjaminan.

5) Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan
reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak
termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan
konsultan asuransi.

6) Jasa di bidang keagamaan, meliputi:

 Jasa pelayanan rumah ibadah;


 Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
 Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan;
 Jasa lain di bidang keagamaan.

7) Jasa pendidikan, meliputi:

 Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah;


 Jasa penyelenggraan pendidikan luar sekolah.

8) Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan
hiburan.

9) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta ynag tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial.

10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.

11) Jasa tenaga kerja, meliputi:

 Jasa tenaga kerja;


 Jasa Penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha peyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja disebut;
 Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

12) Jasa perhotelan, meliputi:

 Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
 Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, dan hostel.

13) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin
mendirikan Bangunan, pemberian Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,
dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.

9
14) Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh
pemilik tempat parkir dan/ atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut
bayaran.

15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta.

16) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

17) Jasa boga atau katering.

Pengusaha Kena Pajak (PKP)

1) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasadari luar Daerah Pabean.
2) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai paja berdasarkan Undang-Undang
PPN 1984.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk:

1) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.


2) Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
3) Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang.
4) Melaporkan penghitungan pajak.

Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha yang dikecualikan dari nkewajiban sebagai Pengusaha kena Pajak adalah:

1) Pengusaha Kecil.
2) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.

Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang
kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan
brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah
peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jhumlah
peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang
telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku.

10
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak
permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap
diterima.

Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil.


1) Dilarang membuat faktur pajak
2) Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
3) Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
4) Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh bruto
di atas batas yang telah ditentukan.

Penyerahan Barang Kena Pajak


1) Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
2) Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
3) Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing)
4) Penterahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
5) Pemakaian swendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP
6) BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan , yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
7) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang
8) Penyerahan BKP secara konsinyasi
9) Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahanya dianggap langsung dari PKP kepada pihak
yang membutuhkan BKP

Sedangkan penyerakan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP
adalah sebagai berikut.
1) Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang
2) Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebalikanya dan/atau penyerahan BKP atar
cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4) Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan , peleburan, pemekaran , pemecahan dari
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
5) BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih
tersisa pada saat pembuaan perusahaan dan yang pajak Masukan atas perolehanya tidak
dapt di kreditkan.

B. Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)

1. Objek Pajak Pertambahan Nilai


PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya
adalah:

 Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP


 Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
 Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha

11
b. Impor BKP

c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya
adalah sebagai berikut.

 Jasa yang diserahkan merupakan JKP


 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya

d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.

2. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)


Dengan pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara

Maka atas penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang tergolong
mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPn BM).Batasan suatu termasuk BKP yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d. Barang tersebut untuk menunjukan status

PPn BM dikenakan atas:


a. Penyerahan BKPyang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaanya
b. Impor BKP yang tergolong mewah

PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali pada
waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada
waktu impor BKP yang tergolong mewah.

1. Karaktreristik PPnBM
Dari Pasal 5 dan Pasal 10 UU PPN 1984 diketahui karakteristik (PPnBM) sebagai berikut:
a. PPnBM merupakan pungutan tambahan di smping PPN;
b. PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada saat impor, atau penyerahan di dalam Daerah
Pabean BKP yang tergolong Mewah oleh pabrikan yang menghasilkannya;
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPnBM. Namun, Pengusaha Kena Pajak
yang mengekspor BKP Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali PPnBM yang telah
dibayar pada waktu perolehan BKP Yang Tergolong Mewah yang dieskpor tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada mata
rantai jalur distribusi yang disebut dalam Pasal 5 UU PPN 1984.

12
2. Tujuan Pengenaan PPnBM di Samping PPN
Dalam memori penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengenakan PPnBM di
samping PPN adalah:
a. Untuk memperoleh keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. Untuk mengendalikan pola konsumsi BKP Yang Tergolong Mewah;
c. Melindungi produsen kecil atau tradisional;
d. Untuk mengemankan penerimaan negara.

3. Tarif PPnBM
Berdasarkan Pasal 8 UU PPN 1984, tarif PPnBM adalah sebagai berikut:
a. Atas impor atau penyerahan “Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah” oleh Pabrikan
BKP yang terrgolong mewah tersebut, dikenakan PPnBM di samping PPN;
b. Tarif PPnBM yang semula berkisar antara 10% sampai dengan setinggi-tingginya 50%
sejak 1 Januari 2001 diubah menjadi paling rendah 10% dan paling tinggi 75%.
c. Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%.

4. Kriteria BKP yang Tergolong Mewah


Kriteria BKP yang Tergolong Mewah dalam penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 adalah:
a. Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

5. Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung PPnBM yang Terutang


Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPnBM yang terutang adalah:
a. Untuk penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, Dasar pengenaan
Pajaknya adalah Harga Jual;
b. Untuk impor kendaraan bermotor adalah Nilai Impor.
c. Dalan hal terdapat hubungan istimewa antara Industri Perakitan atau Pabrikan kendaraan
bermottor dengan Distributor atau Dealer atau Agen atau Penyalur dan Harga Jual
dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut sehingga Harga
Jual menjadi lebih rendah daripada harga pasar wajar, maka Dasar Pengenaan Pajaknya
ditetapkan sebesar harga pasar wajar.

6. Dibebaskan dari Pengenaan PPnBM


Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 dibebaskan dari
pengenaan PPnBM:
a. Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan untuk
kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan
tahanan, kendaraan angkutan umum;
b. Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan untuk
tujuan Protokoler Kenegaraan;
c. Impor atau penyerahan di dalam Daerah Pabean kendaraan bermotor untuk pengangkutan
10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk kemudi, yang digunakan
untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
d. Impor atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, yang
digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.

Pembebasan ini diperoleh dengan terlebih dahulu pembeli yang berkepentingan mengajukan Surat
Keterangan Bebas PPnBM ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dalam hal sebelum diperoleh
surat keterangan ini sudah terlanjur membeli kendaraan bermotor yang diperlukan dan memenuhi

13
kriteria yang seharusnya dibebaskan dari PPnBM, maka pihak pembeli dapat mengajukan
permohonan pengembalian (restitusi) PPnBM yang sudah dibayar.

7. Tidak Dikenakan PPnBM


Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 taqnggal 11 Agustus
2003, PPnBM tidak dikenakan atas impor atau penyerahan:
a. Kendaraan dalam bentuk CKD;
b. Kendaraan berupa sasis;
c. Kendaraan pengangkutan barang;
d. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder sampai dengan 250cc.
e. Kendaraan umum untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk
pengemudi.

C. Dasar Pengenaan Pajak


Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya dasar Pengenaan
Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah:
1. Harga jual
2. Penggantian
3. Nilai impor
4. Nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menderi Keuangan

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau sehatusnya diminta
oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN uang dipungut menurut UU PPN 1984
dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

Penggantian adalah berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN tahun 1984 dan potongan harga yang dicantumkan
dalam faktur pajak atau berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa
karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena
pemanfaatan BKP tidak Berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah pabean.

Nilai impor adalah nilai yang berupa uang yang menjadi dasar penghitung bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan kertentuan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPn BM yang dipungut menurut
UU PPN 1984.

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.

Penerapan DPP diatur dalam berbagai peratiran pelaksanaan undang-undang sebgai berikut:
1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah pergantian.
3. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300M² atau lebih, yang
dilakuakan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaanya. DPPnya adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun
(tidak termasuk harga peroleh tanah).
6. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurang laba kotor.

14
7. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP adan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata – rata.
9. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata – rata perjudul film.
10. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.

D. Tarif
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan atas:

a. Ekspor BKP Berwujud


b. Ekspor BKP Tidak Berwujud
c. Ekspor JKP

2. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tariff, yaitu tariff
paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%. Ketentuan mengenai tariff
kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajank Penjualan Atas Barang
Mewah dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai
PPn BM siatur dengan peraturan menteri keuangan.

E. Mekanisme Pengenaan PPn


Undang-Undang PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam
metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena pakjak (PKP). PPN
dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak
berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan menerapkanya mekanisme
pengkreditan pajak masukan (metodw kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak
masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPn dapat digambarkan sebagi berikut:
1. Pada saat mebeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi
pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka
dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi
penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP
penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya
harus disetorkan ke kas negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak
masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa
pajak berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh :
Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut :
 Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
 Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
 Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)

Penghitungan PPN :

Jumlah Pajak Keluaran Rp. 20.000.000,-

15
Jumlah Pajak Masukan Rp. 14.000.000,-

PPN kurang bayar Rp. 6.000.000,-

Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.

F. Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM


1. Cara Menghitung PPn
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Contoh :
 Pengusaha kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan
harga jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang :

10 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000,-

PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut
merupakan pajak masukan.

 Seseorang mengimpor BKP dari luar daerah Pabean dengan nilai impor Rp. 15.000.000,-
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai :

10% x Rp. 15.000.000 = Rp. 1.500.000,-

2. Cara Menghitung PPn BM

PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :


Contoh :

 PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual
Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn
BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :

PPN = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-

PPn BM = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-

G. Saat Terutang Pajak


Pajak terutang pada saat :
1. Penyerahan BKP/JKP
2. Impor BKP
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean didalam daerah Pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
5. Ekspor BKP berwujud
6. Ekspor BKP tidak berwujud
7. Ekspor JKP

16
8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penerahan JKP
atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelu dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud
atau JKP dari luar daerah Pabean.

1. Tempat Terutang Pajak


a. Untuk penyerahan BKP/JKP :
1) Tempat tinggal
2) Tempat kedudukan
3) Tempat kegiatan usaha
4) Tempat lain

Apabila Penguasa Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha, Pengusaha
Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih
sebagai tempat terutangnya pajak.
b. Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi ditempat barang kena pajak dimasukkan dan
dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
c. Orang pribadi atau badan yang mrmanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar
Daerah Pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.
d. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, ditempat bangunan tersebut didirikan.

2. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur pajak dibuat pada :
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, atau
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan
JKP yang paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP
b. Nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga
d. PPN yang dipungut
e. PPn BM yang dipungut
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada :


a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
d. Untuk Faktur Pajak gabungan harus dimuat paling lama pada akhir bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
e. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

H. Mekanisme Kredit Pajak

17
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai
dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena
pajak pengimpor barang kena pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan yang dapat
dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke kas negara paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan masa
PPN disampaikan. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluarannya, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.

Contoh 1 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
 Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 100.000.000,-
 Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp. 60.000.000,-

Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :


10 % x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :


10 % x Rp. 60.000.000 = Rp. 6.000.000,-

PPN yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan :


Rp. 10.000.000 – Rp. 6.000.000 = Rp. 4.000.000,-

Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta kembali
(restitusi).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka selisihnya
merupakan pajak yang harus disetor ke kas negara oleh PKP.

Contoh 2 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
 Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 150.000.000,-
 Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp. 200.000.000,-

Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :


10 % x Rp. 150.000.000 = Rp. 15.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :


10% x Rp. 200.000.000 = Rp. 20.000.000,-

PPN yang masih harus disetor ke kas negara :

18
Rp. 20.000.000 – Rp. 15.000.000 = Rp. 5.000.000,-

1. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan


Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua
Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan bagi pengeluaran untuk :
a. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
b. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan.
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
e. Perolehan BKP/JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 atau ayat 9 UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan nama,
alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
f. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 6
UU PPN 1984.
g. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
h. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang
ditemukan pada waktu pemeriksaan.
i. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP produksi.
j. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

I. Penyerahan Kepada Pemungut Ppn


Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP
dan/atau JKP kepada pemunguut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan PPnBM.
PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas
Negara oleh pemungut PPN.

Pengertian pemungut PPN menurut Undang- undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP dan atau
penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai pemungut PPN adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran
yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari bendaharawan Pemerintah Pusat dan
Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)

Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan NKP dan atau JKP oleh
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPn dan
PPnBM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran
oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan PPnBM
tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah – pecah.
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari
pengenaan PPN.

19
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (Persero) Pertamina.
5. Pembayaran atas rekening telepon.
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.

Catatan:
PPN dan PPnBM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak
jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPnBM.

Tata Cara Pemungutan


1. Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagaimana
tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).

2. Jumlah atau PPnBM yang dipungut


a. Dalah hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang dipungut adalah
10/110 bagian dari jumlah pembayaran.

Contoh:
Jumlah Pembayaran Rp 11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x 11.000.000,00 Rp 1.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
( Rp 11.000.000,00 – Rp 1.000.000,00) Rp 10.000.000,00

b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan
BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping terutang PPN juga terutang PPnBM, maka
jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut adalah sebagai berikut:

Dalam hal terutang PPnBM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130 bagian
dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPnBM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari
jumlah pembayaran.
Contoh:
PPnBM dengan tariff 20%
Jumlah Pembayaran Rp 13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x 13.000.000,00) Rp 1.000.000,00
Jumlah PPnBM yang dipungut:
(20/130) x 13.000.000,00) Rp 2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp 10.000.000,00

c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
tidak merupakan jumlah yang terpecah – pecah, maka PPN dan PPnBM tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp
1.000.000,00

20
Contoh 1:
Harga Jual Rp 900.000,00
PPN: 10% x Rp 900.000,00 Rp 90.000,00
PPnBM (Misal terutang dengan tarif 20%) Rp 180.000,00
Harga jual termasuk PPN dan PPnBM Rp 1. 170.000,00

Meskipun harga jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPn dan PPnBM
berjumlah Rp 1.170.000,00 (diatas 1.000.000,00). Maka PPN dan PPnBM yang terutang harus
dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah atau KPPN.

3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran


a. PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan
kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun seluruh
pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas
PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan
Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah
mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3:
 Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
 Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
 Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau
KPPN.

e. Dalam hal Pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada
huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPnBM disetor Bank Persepsi atau
Kantor Pos, lembar – lembar SSP tersebut diperuntukan sebagai berikut:
 Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
 Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
 Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah di lampirkan pada saat SPT Masa PPN.
 Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
 Lembar ke-5 untuk pertinggala Bendaharawan Pemerintah.

f. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a di buat dalam
rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
 Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
 Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak KPPN.
 Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pad SPT Masa PPN.
 Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.

g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan
Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan
ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
h. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana
dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan
tanggal advis SPM.
i. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap
“TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM.

21
J. PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri Dan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
PPN
1. PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan
kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan berupa satu atau lebih
konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau
perairan dengan criteria:
a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja.
b. Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan
c. Luas keseluruhan paling sedikit 300m2 (tiga ratus meter persegi)

1) Tarif dan Dasar Pengenaan pajak


Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10 % (sepuluh
persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan
membangun sendiri adalah 40 % dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan
untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang setiap bulan dihitung dengan cara:

PPN = (40 % x Jumlah Biaya yang Dikeluarkan) x 10


%

Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas 400m2 yang akan
dibangun sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2010
(dikeluarkan pembeli tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan adalah:
PPN = (Rp 50.000.000,00 x 40 % ) x 10 %
= Rp 20.000.000,00 x 10 %
= Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.

2) Saat dan Tempat Terutang PPN


Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pada saat mulai dibangunya bangunan.
Sedangkan tempat pajak terutang adalah tempat bangunan tersebut didirikan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan PPN
yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya
meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

22
2. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
Surat pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha
Kena Pajak, mengenai penrhitungan:
1. Pajak masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
2. Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/ JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi.

Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:


1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor
Pelayanan Pajak)
2. Dilakuakn paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
3. Menggunakan formulir SPT Masa.
4. Keterangan dan dokumen yamng dicantumkan jika tidak atau tidak sepenuhnya
melaksanakan ketentuan UU PPN. 1984.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Undang – Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang –
Undag ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

2. Objek Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:


a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.

3. Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya dasar
Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah:
a. Harga jual
b. Penggantian
c. Nilai impor
d. Nilai ekspor
e. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menderi Keuangan

4. Tarif Pajak Pertambahan Nilai


Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan atas:
a. Ekspor BKP Berwujud
b. Ekspor BKP Tidak Berwujud
c. Ekspor JKP

5. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tariff, yaitu tarif
paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%.

Cara Menghitung PPn


Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :

PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

6. mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP
kepada pemunguut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan PPnBM. PPN dan
PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas Negara oleh
pemungut PPN.

24
7. pemungut PPN menurut Undang- undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP dan atau
penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.

B. Saran
Adapun saran dari penyaji adalah, semoga untuk kedepannya tulisan ini bermanfaat khusunya bagi
kami, umumnya bagai pembaca semua. Dan semoga penulisan makalah mengenai PPn dan PPn Bm
untuk kedepannya akan jauh lebih baik lagi. Amiin.

25

You might also like