You are on page 1of 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam


ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.
Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan
60 tahun, 65 tahun, dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65
tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata
dan seseorang telah disebut lanjut usia. Dari 19 juta jiwa penduduk Indonesia 8,5%
yang mengalami stroke yaitu lansia.

Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi
secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Insiden
stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia dan 1,25 kali lebih
besar pada pria dibanding wanita. Kecenderungan pola penyakit neurologi terutama
gangguan susunan saraf pusat tampaknya mengalami peningkatan penyakit akibat
gangguan pembuluh darah otak, akibat kecelakaan serta karena proses degenerative
system saraf tampaknya sedang merambah naik di Indonesia. Walaupun belum
didapat data secara konkrit mengenai hal ini.

Selain itu, usia harapan hidup di Indonesia kian meningkat sehingga


semakin banyak terdapat lansia. Dengan bertambahnya usia maka permasalahan
kesehatan yang terjadi akan semakin kompleks. Salah satu penyakit yang sering
dialami oleh lansia adalah stroke. Usia merupakan factor resiko yang paling penting
bagi semua jenis stroke. Maka dari itu dengan adanya permasalahan diatas, penulis
mengambil judul Askep Lansia dengan stroke.

1
1.2 Tujuan

1. Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu memahami dan membuat Asuhan Keperawatan Lansia


dengan Stroke.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi stroke

b. Mahasiswa mampu mengetahui Etiologi dari stroke

c. Mahasiswa mampu mengetahui Patofisiologi stroke

d. Mahasiswa mampu mengetahui Penatalaksanaan stroke

e. Mahasiswa mampu mengetahui dan membuat Askep Lansia dengan Stroke

1.3 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Stroke?

b. Apa penyebab dari penyakit Stroke?

c. Bagaimana patofisiologi penyakit Stroke?

d. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan penyakit Stroke?

e. Bagaimana cara membuat asuhan keperawatan Lansia dengan Stroke?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Teori

2.1 Lansia
1. Definisi
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya
daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang
dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara
ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa
tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai
beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara
negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa
tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan
keberhasilannya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan
lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,
lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan
usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

2. Perubahan pada Lansia

3
Banyak kondisi dan penyakit yang berkaitan dengan sistem
kardiovaskular yang umum di kalangan lansia. Stroke merupakan salah
satu penyakit kardiovaskular pada lansia selain infark miokard, hipertensi,
angina pektoris, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan
penyakit pada pembuluh darah perifer.
3. Ciri-ciri perubahan lansia
Adapun perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:
Menurut Hurlock (Hurlock, 2004) terdapat beberapa ciri-ciri
orang lanjut usia, yaitu :

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada
lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika
memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.

1. Integumen
Warna Kulit Pigmentasi berbintik/bernoda di area yang terpajan sinar
matahari, pucat walaupun tidak ada anemia

Kelembaban Kering, kondisi bersisik

Suhu Ekstremitas lebih dingin, penurunan perspirasi

Tekstur Penurunan elastisitas, kerutan, kondisi berlipat dan kendur

Distribusi lemak Penurunan jumlah lemak pada ekstremitas, peningkatan


jumlahnya pada abdomen

4
2. Rambut
Penipisan dan beruban pada kulit kepala, penurunan jumlah rambut aksila dan
pubis serta rambut pada ekstremitas, penurunan rambut wajah pada pria,
kenungkinan rambut dagu dan di atas bibir pada wanita

3. Kuku
Penurunan laju pertumbuhan

4. Kepala
Tulang nasal dan wajah menajam dan angular, hilangnya rambut alis mata pada
wanita, alis mata tebal pada pria

5. Mata
Penurunan ketajaman penglihatan, penurunan akomodasi, penurunan adaptasi
dalam gelap, sensitivitas terhadap cahaya yang menyilaukan

6. Telinga
Penurunan membedakan nada, berkurangnya refleks ringan, berkurangnya
ketajamna pendengaran

7. Hidung dan sinus


Peningkatan rambut nasal, penurunan indra pengecapan, atropi papila ujung
lateral lidah

8. Mulut dan faring


Penggunaan jembatan atau gigi palsu, penurunan indra pengecap, atrofi papila
tepi lateral lidah

9. Leher

5
Kelenjar tiroid nodular, deviasi trakea ringan akibat atofi otot

10. Toraks dan paru-paru


Peningkatan diameter antero-posterior, peningkatan rigiditas dada, peningkata
frekuensi pernafasan dengan penurunan ekspansi paru, peningkatan resistansi
jalan nafas

11. Sistem jantung dan vaskular


Peningkatan signifikan pada tekanan sistolik dengan peningkatan ringan pada
tekanan diastolik, biasanya terjadi perubahan yang tidak signifikan pada denyut
jantung saat istirahat, murmur diastolik umum, nadi perifer mudah dipalpasi, nadi
kaki lebih lemah dan ekstremitas bawah lebih dingin, terutama pada malam hari

12. Payudara
Berkurangnya jaringan payudara, kondisi menggantung dan kendur

13. Sistem gastrointestinal


Penurunan sekresi saliva yang dapat menyebabkan kesulitan menelan, penurunan
peristaltik, penurunan produksi enzim digestif, termasuk asam hipoklorit, pepsin
dan enzim pankreatik, konstipasi, penurunan motilitas

14. Sistem reproduksi


Wanita : penurunan estrogen, penurunan ukuran uterus, penurunan sekresi, atrofi
linea, epitel vagina

Pria : penurunan kadar testosteron, penurunan jumlah sperma, penurunan ukuran


testis

15. Sistem perkemihan

6
Penurunan filtrasi renal dan efisiensi renal, hilangnya protein terus-menerus dari
ginjal, nokturia, penurunan kapasitas kandung kemih, peningkatan inkontinensia

Wanita : inkontinensia urgensi dan stres akibat penurunan tonus otot perineal

Pria : sering berkemih dan retensi urin akibat pembesaran prostat

16. Sistem muskuloskeletal


Penurunan massa dan kekuatan otot, demineralisai tulang (lebih jelas pada
wanita), pemendekan fosa akibat penyempitan rongga interavertebral, penurunan
mobilitas sendi, penurunan rentang gerak sendi, tonjolan tulang lebih meninggi
(terlihat)

17. Sistem neurologis


Penurunan laju refleks atau otomatik volunter, penurunan kemampuan berespons
terhadap stimulasi ganda, insomnia, periode tidur lebih singkat

b. Lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial
yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-
pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti :
lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.

7
c. Perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala
hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas
dasar tekanan dari lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia


Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena
perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

4. Cara Menjaga Hidup Sehat Pada Lansia


Cara hidup sehat adalah cara-cara yang dilakukan untuk dapat menjaga, mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan seseorang. Adapun cara-cara tersebut adalah:
a. Makan makanan yang bergizi dan seimbang
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa diet adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kesehatan seseorang. Dengan tambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh
cenderung turun, oleh karena itu, kebutuhan gizi bagi para lanjut usia, perlu dipenuhi secara
adekuat. Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya
kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal, dan
sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya.
Petunjuk menu bagi lansia adalah sebagai berikut (Depkes, 2002):

1) Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai macam bahan
makanan yang terdiri dari zat tenaga, pembangun dan pengatur.
2) Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia 50% adalah hidrat arang yang
bersumber dari hidrat arang komplex (sayur – sayuranan, kacang- kacangan, biji –
bijian).
3) Sebaiknya jumlah lemak dalam makanan dibatasi, terutama lemak hewani.

8
4) Makanan sebaiknya mengandung serat dalam jumlah yang besar yang bersumber pada
buah, sayur dan beraneka pati, yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap.
5) Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non fat, yoghurt, ikan.
6) Makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah besar, seperti kacang –
kacangan, hati, bayam, atau sayuran hijau.
7) Membatasi penggunaan garam, hindari makanan yang mengandung alkohol.
8) Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah.
9) Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan – bahan yang
segar dan mudah dicerna.
10) Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng – gorengan. 11)
Makan disesuaikan dengan kebutuhan

b. Minum air putih 1.5 – 2 liter


Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah
melakukan aktivitasnya, dan minimal kita minum air putih 1,5 – 2 liter per hari. Air
sangat besar artinya bagi tubuh kita, karena air membantu menjalankan fungsi
tubuh, mencegah timbulnya berbagai penyakit di saluran kemih seperti kencing
batu, batu ginjal dan lain-lain. Air juga sebagai pelumas bagi fungsi tulang dan
engselnya, jadi bila tubuh kekurangan cairan, maka fungsi, daya tahan dan
kelenturan tulang juga berkurang, terutama tulang kaki, tangan dan lengan. Padahal
tulang adalah penopang utama bagi tubuh untuk melakukan aktivitas. Manfaat lain
dari minum air putih adalah mencegah sembelit. Untuk mengolah makanan di
dalam tubuh usus sangat membutuhkan air. Tentu saja tanpa air yang cukup kerja
usus tidak dapat maksimal, dan muncullah sembelit.

Dan air mineral atau air putih lebih baik daripada kopi, teh kental, soft drink,
minuman beralkohol, es maupun sirup. Bahkan minuman-minuman tersebut tidak
baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para lansia yang
mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti DM, darah tinggi,

9
obesitas dan sebagainya.

c. Olah raga teratur dan sesuai


Usia bertambah, tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan
kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat lansia
kemampuan akan turun antara 30 – 50%. Oleh karena itu, bila usia lanjut ingin
berolahraga harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya, dengan
kemungkinan adanya penyakit. Olah raga usia lanjut perlu diberikan dengan
berbagai patokan, antara lain beban ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat
aerobik dan atau kalistenik, tidak kompetitif atau bertanding.

Olahraga yang sesuai dengan batasan diatas yaitu, jalan kaki, dengan segala
bentuk permainan yang ada unsur jalan kaki misalnya golf, lintas alam, mendaki
bukit, senam dengan faktor kesulitan kecil dan olah raga yang bersifat rekreatif
dapat diberikan. Dengan latihan otot manusia lanjut dapat menghambat laju
perubahan degeneratif.

d. Istirahat, tidur yang cukup


Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Diyakini
bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan
penyakit, karna tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas
tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit juga pada saat tidur tubuh
mereparasi bagian-bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa
segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting
untuk kesehatan.

10
e. Menjaga kebersihan

Yang dimaksud dengan menjaga kebersihan disini bukan hanya kebersihan


tubuh saja, melainkan juga kebersihan lingkungan, ruangan dan juga pakaian
dimana orang tersebut tinggal. Yang termasuk kebersihan tubuh adalah: mandi
minimal 2 kali sehari, mencuci tangan sebelum makan atau sesudah mengerjakan
sesuatu dengan tangan, membersihkan atau keramas minimal 1 kali seminggu, sikat
gigi setiap kali selesai makan, membersihkan kuku dan lubang-lubang ( telinga,
hidung, pusar, anus, vagina, penis ), memakai alas kaki jika keluar rumah dan
pakailah pakaian yang bersih. Kebersihan lingkungan, dihalaman rumah, jauh dari
sampah dan genangan air.

Di dalam ruangan atau rumah, bersihkan dari debu dan kotoran setiap hari,
tutupi makanan di meja makan. Pakain, sprei, gorden, karpet, seisi rumah, termasuk
kamar mandi dan WC harus dibersihkan secara periodik.

f. Minum suplemen gizi yang diperlukan


Pada lansia akan terjadi berbagai macam kemunduran organ tubuh,
sehingga metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan
pemenuhan kebutuhan sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak terpenuhi
secara adekuat. Oleh karena itu jika diperlukan, lansia dianjurkan untuk
mengkonsumsi suplemen gizi. Tapi perlu diingat dan diperhatikan pemberian
suplemen gizi tersebut harus dikonsultasikan dan mendapat izin dari petugas
kesehatan.

11
g. Memeriksa kesehatan secara teratur
Pemeriksaan kesehatan berkala dan konsultasi kesehatan merupakan kunci
keberhasilan dari upaya pemeliharaan kesehatan lansia. Walaupun tidak sedang
sakit lansia perlu memeriksakan kesehatannya secara berkala, karena dengan
pemeriksaan berkala penyakit-penyakit dapat diketahui lebih dini sehingga
pengobatanya lebih mudan dan cepat dan jika ada faktor yang beresiko
menyebabkan penyakit dapat di cegah. Ikutilan petunjuk dan saran dokter ataupun
petugas kesehatan, mudah-mudahan dapat mencapai umur yang panjang dan tetap
sehat.

h. Mental dan batin tenang dan seimbang


Untuk mencapai hidup sehat bukan hanya kesehatan fisik saja yang harus
diperhatikan, tetapi juga

mental dan bathin. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk menjaga agar
mental dan bathin tenang dan seimbang adalah:

1) Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan menyerahkan diri kita
sepenuhnya kepadaNya.
Hal ini akan menyebabkan jiwa dan pikiran menjadi tenang.

2) Hindari stres, hidup yang penuh tekanan akan merusak kesehatan, merusak
tubuh dan wajahpun menjadi nampak semakin tua. Stres juga dapat
menyebabkan atau memicu berbagai penyakit seperti stroke, asma, darah
tinggi, penyakit jantung dan lain-lain.
3) Tersenyum dan tertawa sangat baik, karena akan memperbaiki mental dan
fisik secara alami. Penampilan kita juga akan tampak lebih menarik dan
lebih disukai orang lain. Tertawa membantu memandang hidup dengan
positif dan juga terbukti memiliki kemampuan untuk menyembuhkan.

12
Tertawa juga ampuh untuk mengendalikan emosi kita yang tinggi dan juga
untuk melemaskan otak kita dari kelelahan. Tertawa dan senyum murah
tidak perlu membayar tapi dapat menadikan hidup ceria, bahagia, dan
sehat.
i. Rekreasi
Untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas selama seminggu maka
dilakukan rekreasi. Rekreasi tidak harus mahal, dapat disesuaikan denga kondisi
dan kemampuan. Rekreasi dapat dilakukan di pantai dekat rumah, taman dekat
rumah atau halaman rumah jika mempunyai halaman yang luas bersama keluarga
dan anak cucu, duduk bersantai di alam terbuka. Rekreasi dapat menyegarkan otak,
pikiran dan melemaskan otot yang telah lelah karena aktivitas sehari-hari.

13
2.2 Bladder Training
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi
kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi
optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan
refleks-refleks:

1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dan simpatis T12-L1,2,
yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini
adalah tes air es (ice water test). Test positif menunjukkan tipe UMN
sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.
2. Refleks somatic
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani
eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif
berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase
syok spinal.

Langkah-langkah Bladder Training:

1. Tentukan dahulu tipe kandung kemih neurogeniknya apakah UMN atau


LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi
3. Kateterisasi:
a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether

IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun


penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap
ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk
bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka
yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu
tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan

14
mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya
atrofi serta penurunan tonus otot.

b. Kateterisasi berkala

Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:

 Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi


yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing
dipertahankan seoptimal mungkin.
 Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala
seakan-akan berfungsi normal.
 Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis,
maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis
sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara.
 Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehari-
harinya
4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula
a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina
memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung
kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan
bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya inkomplit
atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan.
Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral
eksternal yang utuh dan demikian dengan lesi suprakonus mungkin
mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan
intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi
vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan
parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami

15
reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat
membuka dengan baik pada waktu miksi.
b. Sindroma Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula
spinalis sentral dapat diperbaiki pada lebih dari 50% pasien.
Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu
pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama
karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula
spinalis.

2.3 Stroke

1. Definisi

Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi


otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak ( Brunner dan
Suddarth, 2002 : hal. 2131 ).

Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak
( Elizabeth J. Corwin, 2001 : hal. 181 ).

Stroke adalah sindrom yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat,


berupa deficit neurologis fokal atau global yang langsung 24 jam atau lebih atau
langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan
peredaran otak non traumatic (Mansjoer 2000: 17)

Stroke adalah gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari
proses patologis pada pembuluh darah serebral, misal: Trombosis, embolis, ruptura
dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar (Prince, 2002 : 964).

16
Stroke adalah gangguan darah di pembuluh arteri yang menuju ke otak (
Mardjono, 2000: 54).

Menurut WHO, stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi


serebral, baik fokal maupun menyeluruh yang berlangsung dengan cepat.
Berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut tanpa ditemukannya
penyebab selain daripada gangguan vaskuler. Persoalan pokok pada stroke adalah
gangguan peredaran darah pada daerah otak tertentu.

2. Epidemiologi

Di seluruh bagian dunia, stroke merupakan penyakit yang terutama

mengenai populasi usia lanjut. Insidensi pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari
populasi 5564 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit kedua setelah infark
miokard akut (AMI) sebagai penyebab kematian utama usia lanjut, sedangkan di
Amerika stroke masih merupakan penyebab kematian usia lanjut ketiga. Dengan
makin meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, dan gangguan lemak, insiden stroke di Negara-negara maju makin
menurun.

3. Jenis stroke

Menurut Lumbantobing (2002 : 5) kelainan yang terjadi akibat gangguan


peredaran darah stroke dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Infark Ischemik (Stroke non Hemoragi). Hal ini terjadi karena adanya
penyumbatan pembuluh darah otak. Infark iskemic terbagi menjadi dua yaitu :
stroke trombotik, yang disebabkan oleh thrombus dan stroke embolik, yang
disebabkan oleh embolus.

17
Harsono (2002 : 30) membagi stroke non haemoragi berdasarkan bentuk
klinisnya antara lain :

1) Serangan Iskemia Sepintas atau Transient Ischemic Attack (TIA).

Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2) Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurologik
Defisit ( RIND ).

Gejala neurologik timbul ± 24 jam, tidak lebih dari seminggu.

3) Stroke Progresif (Progresive Stroke/ Stroke in evolution).

Gejala makin berkembang ke otak lebih berat.

4) Completed Stroke

Kelainan saraf yang sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.

b. Perdarahan (Stroke Hemoragi). Stroke hemoragik disebabkan oleh pembuluh


darah yang bocor atau pecah di dalam atau di sekitar otak sehingga menghentikan
suplai darah ke jaringan otak yang dituju. Selain itu, darah membanjiri dan
memampatkan jaringan otak sekitarnya sehingga mengganggu atau mematikan
fungsinya.

Dua jenis stroke hemoragik:

• Perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral adalah perdarahan di


dalam otak yang disebabkan oleh trauma (cedera otak) atau kelainan
pembuluh darah (aneurisma atau angioma). Jika tidak disebabkan oleh salah

18
satu kondisi tersebut, paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi
kronis. Perdarahan intraserebral menyumbang sekitar 10% dari semua
stroke, tetapi memiliki persentase tertinggi penyebab kematian akibat
stroke.

• Perdarahan subarachnoid. Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan


dalam ruang subarachnoid, ruang di antara lapisan dalam (Pia mater) dan
lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges).
Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri.
Perdarahan subarachnoid adalah kedaruratan medis serius yang dapat
menyebabkan cacat permanen atau kematian. Stroke ini juga satusatunya
jenis stroke yang lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.

4. Etiologi

1. Thrombosis.

Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab


utama thrombosis serebral dan merupakan penyebab yang paling umum terjadi.
Tanda-tanda thrombosis serebral ini bervariasi. Sakit kepala merupakan awitan
yang umum terjadi. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif, atau
kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi
intraserebral atau embolisme serebral. Secara umum thrombosis serebral tidak
terjadi secara tiba-tiba. Kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parastesia
pada setengah tubuh dapat menjadi awitan paralisis berat pada beberapa jam atau
hari. Thrombosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah otak tetapi dapat juga
terjadi di pembuluh darah leher.

2. Embolisme serebral

19
Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti
endocarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi
pulmonal, adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat
arteriserebral tengah, atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral.

3. Iskemia serebral

Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena


konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

4. Hemoragi serebral
Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (ekstradural atau epidural),
dibawah durameter (subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarakhnoid),
atau dalam substansia otak (hemoragi intraserebral). Hemoragi intraserebral
merupakan yang paling umum terjadi pada pasien dengan hipertensi dan
aterosklerosis serebral.

5. Faktor resiko

- Faktor risiko utama

•Hipertensi

Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya


pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran
darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.

•Diabetes Mellitus

20
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak
sampai berukuran besar. Menebalnya pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah yang akan menggangu kelancaran
aliran darah ke otak, pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel- sel otak.

•Penyakit Jantung

Beberapa Penyakit Jantung berpotensi menimbulkan stroke.


Dikemudian hari seperti penyakit jantung reumatik, penyakit jantung koroner
dengan infark obat jantung dan gangguan irana denyut jantung. Factor resiko
ini pada umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah
ke otak karena jantung melepaskan sel- sel / jaringan- jaringan yang telah
mati ke aliran darah.
- Faktor resiko tambahan

1) Kadar lemak darah yang tinggi termasuk Kolesterol dan Trigliserida.

Meningginya kadar kolesterol merupakan factor penting untuk


terjadinya asterosklerosis atau menebalnya dinding pembuluh darah yang
diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah.

2) Kegemukan atau obesitas

3) Merokok

Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang akan


mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan
peningkatan kekentalan darah.

4) Riwayat keluarga dengan stroke

21
5) Lanjut usia

6. Manefestasi klinis

Stroke ini menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi


lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori)

Walaupun manifestasi klinik sering tidak dapat diidenrifikasi secara jelas


terutama pada tahap awal, tetapi tanda-tanda yang dapat muncul bila pembuluh
darah mengalami stenosis pembuluh darah utama adalah adanya paralisis yang berat
pada beberapa jam atau hari, termasuk hemiplegia, kehilangan/gangguan bicara,
paresthesia pada bagian tubuh tertentu. Kondisi yang terjadi di atas yang bersifat
sementara disebut Transient Ischemic Attacks (TIA), atau manifestasi klinik yang
terjadi secara gradual disebut Stroke in Evolution.

Faktor-faktor yang dapat diidentifikasi yang merupakan petunjuk terjadinya


perdarahan serebral :

1. Nyeri kepala bagian osipital (bagian belakang kepala).


2. Vertigo (pusing) atau sinkop.
3. Gangguan motorik dan sensorik (kesemutan, paresthesia, paralisis).
4. Epistaxis.
5. Perdarahan retina.
Hal yang lain yang dapat diidentifikasi yang terkait dengan stroke yaitu : Nyeri
kepala, muntah, kejang, coma, kaku leher, demam, hipertensi, EKG abnormal (ST
segment memanjang), sclerosis perifer dan pembuluh darah retina, konfusio,
disorinetasi, hambatan memori, dan perubahan status mental lainnya.

22
Manifestasi klinik bergantung pada lokasi terjadinya perdarahan, gangguan
persarafan, kelemahan atau paralisis, kehilangan refleks sensorik, gangguan bicara,
dan perobahan refleks.

Hemiplegia : akibat kerusakan pada area motorik pada bagian konteks atau
pada traktus piramidal. Perdarahan atau bekuan darah pada otak kanan akan
meyebabkan tubuh pada sisi kiri akan mengalami hemiplegia. Hal ini disebabkan
oleh karena serabut saraf bersilang pada traktus piramidal dari otak menuju ke
sumsum tulang belakang, demikian juga pada area kortikal yang lain yang dapat
menyebabkan menianesthesia, apraxia, agnosia, aphasia.

Otot-otot thoraks dan abdomen biasanya tidak mengalami paralisis sebab


dihubungkan kedua hemisper otak. Apabila otot voluntary mengalami gangguan
maka tidak terjadi keseimbangan antara otot rangka fleksi dan ekstensi sehingga
menyebabkan terjadinya deformitas yang serius. Aphasia ; kerusakan dalam
mempergunakan atau menginterpretasikan simbol-simbol dasn bahasa. Hal ini
disebabkan oleh adanya gangguan pada korteks serebral. Gangguan pada semua
aspek berbahasa seperti bercakap, membaca, menulis dan memahami bahasa
yangdiucapkan. Dikenal dua macam aphasia , yaitu aphasia sensorik yang
berhubungan dengan pemahaman bahasa, dan aphasia motorik yang berhubungan
dengan produk bercakap-cakap. Aphasia sensorik termasuk kehilangan
kemampuan pemahaman menulis, menciptakan atau mengucapkan kata-kata,
misalnya klien tidak dapat memahami apa yang dibicarakan. Mendengar bunyi,
tetapi tidak mengetahui komunikasi simbolik yang berhubungan dengan suara.

Aphasia motorik, dimana klien dapat memahami kata-kata, tetapi tidak dapat
menguraikan dengan kata-kata.Aphasia disebabkan oleh adanya lesi patologis yang
berhubungan dengan lokasi tertentu pada korteks. Penyebab utamanya adalah
gangguan suplai darah ke otak terutama yang berhubungan dengan pembuluh darah
Middle cerebral artery.

23
Apraxia : Kondisi dimana klien dapat bergerak pada bagian tubuh yang mengalami
gangguan tetapi tidak berfungsi dengan baik, misalnya berjalan, berbicara,
berpakaian, dimana bagian yang mengalami paralisis tidak dapat dikoordinasikan.

Visual Change : Adanya lesi pada lobus parietal dan temporal sebagai akibat
perdarahan

intraserebral karena terjadinya ruptur dari arterisclerosis atau hipertsnsi pembuluh darah. Lesi
pada bagian otak akan meyebabkan kerusakan bagian yang berlawanan pada penglihatan.
Penurunan kemampuan penglihatan sering berhubungan dengan hemiplegia.
Agnosia : Gangguan menginterpretasikan objek, misalnya penglihatan, taktil, atau informasi
sensorik lainnya. Klien tidak dapat mengenal objek. Agnosia bisa visual, pendengaran, atau
taktil tetapi tidak sama dengan kebutaan, tuli atau kehilangan rasa. Kehilangan sensasi
misalnya tidak sadar pada posisi lengan, tidak merasakan adanya bagian tubu tertentu. Klien
dengan agnosia penglihatan, dia melihat objek tetapi tidak mengenal atau atau tidak dapat
memberi arti pada objek.
Dysarthria : Artikulasi yang tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan berbicara. Klien
mengenal bahasa tetapi kesulitan mengucapkan kata-kata. Tidak ada gangguan dalam tata
bahasa atau ungkapan atau konstruksi kata. Klien dapat berkomunikasi secara verbal
walaupun mengalami angguan, membaca atau menulis. Kondisi ini disebabkan akibat
disfungsi saraf kranial menyebabkan kelemahan atau paralisis otot sekitar bibir, lidah dan
larynx.

Kinesthesia : gangguan sensasi yang terjadi pada satu sisi tubuh, berupa :

1. Hemianesthesia : Kehilangan sensasi.


2. Paresthesia.
3. Kehilangan sensasi pada oto sendi.
Inkontinen : Inkontinen urin dan defekasi dapat terjadi, sebagai akibat :

24
1.kurangnya perhatian
2.kehilangan memori
3.factor emosional

Secara umum manifestasi klinik dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Gangguan fungsi neuromotorik :


Penurunan fungsi motorik sangat sering dijumpai pada pasien stroke. Masalah
yang berhubungan dengan fungsi neruromotorik yaitu mobilitas, fungsi pernafasan,
fungsi menelan dan bicara, refleks muntah dan kemampuan rawat diri.

Terjadinya hal tersebut sebagai akibat adanya kerusakan saraf motorik pada
jalur pramidal ( serabut saraf dari otak dan melalui sumsum tulang belakang menuju
ke sel motorik). Karakteristik penurunan motorik termasuk kehilangan kemampuan
gerakan voluntary (akinesia), hambatan integrasi gerakan, gangguan tonus otot, dan
gangguan refleks.

Oleh karena jalur paramidal bersilang pada tingkat medulla, sehingga bioa lesi
terjadi pada salah satu sisi pada otak akan mempengaruhi fungsi motorik pada sisi
berlawanan (contralateral). Lengan dan tungkai akan mengalami kelemahan.
Apabila gangguan pada middle cerebral artery, maka kelemahan pada ekstremitas
atas lebih keras daripada ekstremitas bawah.

2. Gangguan komunikasi :
Hemisfer kiri lebih dominan untuk keterampilan berbahasa. Gangguan
berbahasa termasuk kemampuan mengekspresikan dan pemahaman tulisan dan
mengucapkan kata-kata. Pasien dapat mengalami aphasia (kehilangan secara total
kemampuan pemahaman dan penggunaan berbahasa). Dysphasia diartikanadanya

25
disfungsi sehubungan dengan kemampuan pemahaman dan penggunaan bahasa.
Dysphasia dapat diklasifikasikan berupa Nonfluent ( berkurangnya aktifitas

berbicara dengan bicara yang lambat) atau fluent (bisa berbicara, tetapi hanya
mengadung sedikit makna komunikasi). Pada stroke yang hebat akan menyebabkan
terjadinya global aphasia, dimana semua fungsi komunikasi dan penerimaan
menjadi hilang.

Stroke pada area Wernicke pada otak akan menunjukkan gejala aphasia
receptive dimana tidak terdengar suara atau sukar dimengerti. Kerusakan area
wernicke akan menyebabkan hambatan pemahaman baik dalam berbicara maupun
bahasa tulisan. Stroke yang berhubungan dengan area Broca pada otak akan
menyebabkan expressive phasia (kesulitan dalam berbicara dan menulis). Banyak
juga stroke menyebabkan dyssarthria yaitu gangguan/hambatan pada otot bicara.
Pasien mengalami hambatan dalam mengucapan, artikulasi, dan bunyi suara.
Kadang-kadang ada pasien mengalami keduanya yaitu aphasia dan dysarthria.

3. Emosi/perasaan :
Pasien yang mengalami stroke mungkin tidak dapat mengontrol perasaannya.
Hal ini mungkin terjadi sebagai akibat adanya perubahan dalam citra tubuh dan
kehilangan fungsi motorik. Pasien akan mengalami depresi dan frustrasi
sehubungan dengan masalah mobilitas dan dan komunikasi. Misalnya pada saat
waktu makan pasien menangis karena mengalami kesulitan memasukkan makanan
kedalam mulutnya, kehilangan kemampuan mengunyah dan menelan.

26
4. Gangguan fungsi intelektual :
Daya ingat dan kemampuan pengambilan keputusan dapat mengalami
gangguan sebagai akibat stroke. Stroke pada otak kiri menyebabkan masalah
gangguan ingatan sehubungan dengan berbahasa. Pasien dengan stroke pada otak
kanan sangat sulit dalam daya ingat dan kemampuan pengambilan keputusan.,
milsanya pada saat pasien berdiri dari kursi roda tanpa mengunci kursi rodanya
sehingga dapat berbahaya bagi dirinya.

• Kehilangan motorik : hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sesi otak yang berlawanan, hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh.

• Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis

• Disfungsi kandung kemih

Gejala – gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang
disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul
bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain
bersifat:

• Sementara

Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam


dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut
Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam
wujud sama, memperberat atau malah menetap.

• Sementara,namun lebih dari 24 jam

27
Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic
neurologic defisit (RIND).

• Gejala makin lama makin berat (progresif)

Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat
yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution.

• Sudah menetap/permanent (Harsono,1996, hal 67)

Deficit neurologis Manifestasi


1. Deficit Homonimus - Tidak menyadari orang atau objek tempat
lapang hemianopsia kehilangan penglihatan
penglihatan - Mengabaikan salah satu sisi tubuh
- Kesulitan menilai jarak

Kehilangan - Kesulitan melihat pada malam hari


penglihatan - Tidak menyadari objek atau batas objek
perifer - Penglihatan ganda
diplopia Penglihatan ganda
2. Deficit hemiparises Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang
motorik sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
hemiplegia Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang
sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
Ataksia - Berjalan tidak tegak

28
- Tidak mampu menyatukan kaki, perlu pijakan
yang luas untuk berdiri
disartria Kesulitan dalam membentuk kata
disfagia Kesulitan dalam menelan
3. Deficit Parestesia - Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
sensori - Kesulitan dalam propriosepsi
4. Deficit Afasia ekspresif Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami ;
verbal mungkin mampu berbicara dalam respon kata tunggal
Afasia represtif Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan
Afasia global Kombinasi dari afasia reseptif dan afasia ekspresif
5. Deficit - Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
kognitif - Penurunan lapang panjang perhatian
- Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
- Perubahan penilaian
6. Deficit - Kehilangan kontrol diri
emosional - Labilitas emosional
- Penurunan toleransi pada situasi yang
menimbulkan stress
- Depresi
- Menarik diri
- Rasa takut, bermusuhan dan marah
- Perasaan isolasi
Selain defisit neurologis yang sudah dijelaskan diatas, pasien stroke juga
mengalami disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami
inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan
urinal/bedpan, karena kerusakan control motoric dan postural.
Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan
sensasi dalam pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control spinkter urinarius
eksternal hilang atau berkurang.

29
Perbandingan stroke hemisfer kiri dan kanan
Hemisfer kiri Hemisfer kanan
 Paralisis pada tubuh kanan  Paralisis pada sebelah kiri tubuh
 Defek lapang pandang kanan  Defek lapang penglihatan kiri
 Afasia  Deficit persepsi
 Perubahan kemampuan  Peningkatan distrakbilitas
intelektual  Perilaku impulsive dan
 Perilaku lambat dan penilaian buruk
kewaspadaan  Kurang kesadaran

Tanda bahaya stroke:


 Tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki,
terutama pada satu sisi tubuh
 Kebingungan tiba-tiba, kesulitan berbicara atau pemahaman
 Mendadak kesulitan untuk melihat pada satu atau kedua mata
 Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan
keseimbangan atau koordinasi
 Mendadak sakit kepala parah dan tidak diketahui penyebabnya

7. Patofisiologi

a. Stroke Hemoragic

Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama


kasus gangguan pembuluh darah otak. Perdarahan serebral dapat terjadi di luar
duramater (hemoragi ekstradural atau epidural), dibawah duramater, (hemoragi
subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarachnoid) atau di dalam substansi
otak (hemoragi intraserebral).

30
1. Hemoragi ekstradural (epidural) adalah kedaruratan bedah neuro yang
memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur tengkorak
dengan robekan arteri dengan arteri meningea lain.

2. Hemoragi subdural (termasuk hemoragi subdural akut) pada dasarnya sama


dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematoma subdural biasanya
jembatan vena robek. Karenanya, periode pembentukan hematoma lebih
lama ( intervensi jelas lebih lama) dan menyebabkan tekanan pada otak.
Beberapa pasien mungkin mengalami hemoragi subdural kronik tanpa
menunjukkan tanda dan gejala.

3. Hemoragi subarachnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi,


tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisma pada area
sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena kongenital pada otak. Arteri di
dalam otak dapat menjadi tempat aneurisma.

4. Hemoragi intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi dan


aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah. Pada orang yang lebih muda dari 40
tahun, hemoragi intraserebral biasanya disebabkan oleh malformasi
arterivena, hemangioblastoma dan trauma, juga disebabkan oleh tipe
patologi arteri tertentu, adanya tumor otak dan penggunaan medikasi
(antikoagulan oral, amfetamin dan berbagai obat aditif).
Perdarahan biasanya arterial dan terjadi terutama sekitar basal ganglia.
Biasanya awitan tiba-tiba dengan sakit kepala berat. Bila hemoragi membesar,
makin jelas defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan
abnormalitas pada tanda vital. Pasien dengan perdarahan luas dan hemoragi
mengalami penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.

31
b. Stroke Non Hemoragic

Terbagi atas 2 yaitu :

1. Pada stroke trombotik, oklusi disebabkan karena adanya penyumbatan


lumen pembuluh darah otak karena thrombus yang makin lama makin
menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran arah
ini menyebabakan iskemi yang akan berlanjut menjadi infark. Dalam waktu
72 jam daerah tersebut akan mengalami edema dan lama kelamaan akan
terjadi nekrosis. Lokasi yang tersering pada stroke trombosis adalah di
percabangan arteri carotis besar dan arteri vertebra yang berhubungan
dengan arteri basiler. Onset stroke trombotik biasanya berjalan lambat.

2. Sedangkan stroke emboli terjadi karena adanya emboli yang lepas dari
bagian tubuh lain sampai ke arteri carotis, emboli tersebut terjebak di
pembuluh darah otak yang lebih kecil dan biasanya pada daerah
percabangan lumen yang menyempit, yaitu arteri carotis di bagian tengah
atau Middle Carotid Artery ( MCA ). Dengan adanya sumbatan oleh emboli
akan menyebabkan iskemi.

8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa


stroke antara lain adalah:
a. Angiografi

Arteriografi dilakukan untuk memperlihatkan penyebab dan letak


gangguan. Suatu kateter dimasukkan dengan tuntunan fluoroskopi dari arteria
femoralis di daerah inguinal menuju arterial yang sesuai kemudian zat warna
disuntikkan.

32
b. CT-Scan

CT-scan dapat menunjukkan adanya hematoma, infark dan perdarahan.

c. EEG (Elektro Encephalogram)

Dapat menunjukkan lokasi perdarahan, gelombang delta lebih


lambat di daerah yang mengalami gangguan.

d. Pungsi Lumbal

a) Menunjukan adanya tekanan normal

b) Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan


adanya perdarahan

e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.

g. Diagnosis CVS yang cepat sangat penting untuk meminimalkan kerusakan.


CT scan adalah metode pilihan untuk penkajian tanda akut CVS. CT sangat
sensitive terhadap hemoragik, suatu pertimbangan penting karena ada
perbedaan vital pada terapi stroke iskemik versus stroke hemoragik. CT
scan berfungsi untuk melihat jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi,
menyingkirkan lesi non vaskuler.
h. MRI lebih sensitif dalam mengidentifikasi kerusakan otak dari pada CT
scan, tetapi MRI lebih lambat dari pada CT scan. Jadi dalam keadaan darurat
lebih di pilih memakai CT scan. Akan tetapi, setelah penggunaan awal
memakai CT scan, MRI direkomendasikan untuk menentukan lokasi
kerusakaan yang tepat dan memantau lesi.

33
i. Hitung darah tepi lengkap: diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia
atau trombositosis atau infeksi sebagai faktor risiko stroke.
j. Waktu protrombin, waktu protrombin parsial: ditujukan kepada penderita
dengan antibodi antifosfolipid (waktu protrombin parsial memanjang).
k. Analisa urin: hematuria terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE)
dengan stroke iskemik oleh karena emboli.
l. Kecepatan sedimentasi (LED): peningkatan LED menunjukkan
kemungkinan adanya vaskulitis, hiperviskositas atau (SBE) sebagai
penyebab stroke.
m. Kimia darah: peningkatan kadar glukosa, kolesterol atau trigliserida dalam
darah.

( Doenges E, Marilynn, 2000 hal 292).

9. Therapy kusus

Ditujukan untuk stroke pada therapeutic window dengan obat anti agregasi dan
neuroprotektan. Obat anti agregasi: golongan pentoxifilin, tielopidin, low
heparin, tPA.
1. Pentoxifilin
Mempunyai 3 cara kerja:
a. Sebagai anti agregasi → menghancurkan thrombus
b. Meningkatkan deformalitas eritrosit
c. Memperbaiki sirkulasi intraselebral
2. Neuroprotektan
a. Piracetam: menstabilkan membrane sel neuron, ex: neotropi
Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
b. Nimodipin: gol. Ca blocker yang merintangi masuknya Ca2+ ke dalam sel,
ex.nimotup
Cara kerja dengan merintangi masuknya Ca2+ ke dalam sel dan memperbaiki
perfusi jaringan otak c. Citicholin: mencegah kerusakan sel otak, ex. Nicholin

34
Cara kerja dengan menurunkan free faty acid, menurunkan generasi radikal
bebas dan biosintesa lesitin
d. Ekstrax gingkobiloba, ex ginkan

Pengobatan konservatif
Pada percobaan vasodilator mampu meningkatkan aliran darah otak (ADO),
tetapi belum terbukti demikian pada tubuh manusia. Dilator yang efektif untuk
pembuluh di tempat lain ternyata sedikit sekali efeknya bahkan tidak ada efek
sama sekali pada pembuluh darah serebral, terutama bila diberikan secara oral
(asam nikotinat, tolazolin, papaverin dan sebagainya), berdasarkan uji klinis
ternyata pengobatan berikut ini masih berguna : histamin, aminofilin,
asetazolamid, papaverin intraarteri.
Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darah otak.
Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa
penyulit seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas.
Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan dan
kontrol ventilasi yang baik

10. Pencegahan
Pencegahan utama untuk menghindari risiko adalah pendidikan kesehatan lansia.
Mempertahankan berat badan dan kolesterol dalam batas normal, dan menghindari
merokok atau tidak menggunakan oral kontrasepsi. Pengobatan/mengontrol
diabetes, hipertensi dan penyakit jantung. Memberikan informasi kepada klien
sehubungan dengan penyakit yang diderita dengan stroke.

Apabila sudah terserang stroke, dalam situasi ini tujuan adalah mensegah terjadinya
komplikasi sehubungan dengan stroke dan infark yang lebih luas pada masa yang
akan datang. Apabila terjadi immobilitas akan meningkatkan risiko injury
sehubungan dengan paralisis dan aspirasi pada jalan nafas. Pencegahan lebih lanjut
yaitu memonitoring faktor risiko yang dapat diidentifikasi.

35
11. Komplikasi

Komplikasi utama pada stroke menurut Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal


2131 yaitu :

a. Hipoksia Serebral

b. Penurunan darah serebral

c. Luasnya area cedera

d. Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian yang mengontrol respon
pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian. Destruksi area
ekspresif atau represif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan kesulitan
komunikasi. Hipoksia pada area motoric otak dapat paresis. Perubahan
emosional dapat terjadi pada kerusakan korteks yang mencakup system limbic.
e. Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau strok
hemoragik yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan intracranial
meningkat.

Komplikasi stroke menurut


Satyanegara (1998):

a. Komplikasi Dini (0-48 jam


pertama)

1. Edema serebri: defisit neurologis cenderung memperberat, dapat mengakibatkan


peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya menimbulkan kematian.
2. Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.

36
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1. Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2. Infark miokard
3. Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada saat
penderita mulai mobilisasi.
4. Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.

c. Komplikasi Jangka panjang

Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit


vaskular perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien
stroke yaitu:
1. Hipoksia serebral

Diminimalakan dengan memberikan oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak


tergantung pada ketersediaan O2 yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian O2 suplemen
dan mempertahankan hemoglobin dan hematokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan hemoglobin dan hematrokit pada tingkat dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan adekuat.
2. Aliran darah serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan intregitas pembuluh darah
serebral. Hidrasi adekuat ( cairan intravena) harus menjamin penurunan vikosis darah
dan memperbaiki aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Embolisme serebral

Dapat terjadi setelah infark miokard / fibrilasi atrium / dapat berasal dari katup
jantung protestik.

Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan


aliran darah

37
serebral. Disritmia dapat mengakibtakan curah jantung tidak konsisten dan
penghentian trombul lokal. Selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus
serebral dan harus diperbaiki.

12 . Penatalaksanaan

a. Perawatan umum stroke

Mengenai penatalaksanaan umum stroke, konsensus nasional pengelolaan


stroke di Indonesia, mengemukakan hal-hal berikut:

• Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu berikan
oksigen 0-2 L/menit sampai ada hasil gas darah.

• Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi


intermiten.

• Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus.

Tekanan darah dapat berkurang bila penderita dipindahkan ke tempat


yang tenang, kandung kemih dikosongkan, rasa nyeri dihilangkan, dan bila
penderita dibiarkan beristirahat.

• Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi.

Keadaan hiperglikemia dapat dijumpai pada fase akut stroke,


disebabkan oleh stres dan peningkatan kadar katekholamin di dalam serum.
Dari percobaan pada hewan dan pengalaman klinik diketahui bahwa kadar
glukosa darah yang meningkat memperbesar ukuran infark. Oleh karena itu,

38
kadar glukosa yang melebihi 200 mg/ dl harus diturunkan dengan pemberian
suntikan subkutan insulin.
Konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia mengemukakan
bahwa hiperglikemia ( >250 mg% ) harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu sekitar 150 mg% dengan insulin intravena secara drips kontinyu
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia harus diatasi segera dengan
memberikan dekstrose 40% intravena sampai normal dan diobati
penyebabnya.

• Suhu tubuh harus dipertahankan normal.

Suhu yang meningkat harus dicegah, misalnya dengan obat antipiretik


atau kompres. Pada penderita iskemik otak, penurunan suhu sedikit saja,
misalnya 2-3 derajat celsius, sampai tingkat 33ºC atau 34 °C memberi
perlindungan pada otak. Selain itu, pembentukan oxygen free radicals dapat
meningkat pada keadaan hipertermia. Hipotermia ringan sampai sedang
mempunyai efek baik, selama kurun waktu 2-3 jam sejak stroke terjadi,
dengan memperlebar jendela kesempatan untuk pemberian obat terapeutik.

• Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik,
bila terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurun,
dianjurkan melalui pipa nasogastrik.

• Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan. Pemberian cairan


intravena berupa cairan kristaloid atau koloid, hindari yang mengandung
glukosa murni atau hipotonik.

• Bila ada dugaan trombosis vena dalam, diberikan heparin dosis rendah
subkutan, bila tidak ada kontra indikasi.

39
Terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien stroke :

1) Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragic, diberikan


sdalam 24 jam sejak serangan gejala-gejala dan diberikan secara intravena.

2) Obat antipletelet, obat ini untuk mengurangi pelekatan platelet. Obat ini
kontraindikasi pada stroke haemorhagic.
3) Bloker kalsium untuk mengobati vasospasme serebral, obat ini merilekskan
otot polos pembuluh darah.

4) Trental dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah kapiler


mikrosirkulasi, sehingga meningkatkan perfusi dan oksigenasi ke jaringan
otak yang mengalami iskemik.

b. Perawatan pasca stroke

Sekali terkena serangan stroke tidak membuat pasien terbebas dari stroke.
Selain menimbulkan kecacatan, masih ada kemungkinan dapat terserangkembali di
kemudian hari. Pasca stroke biasanya penderita memerlukan rehabilitasi serta terapi
psikis seperti terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, dan penyediaan alat bantu
di unit orthotik prostetik. Juga penanganan psikologis pasien, seperti berbagi rasa,
terapi wisata, dan sebagainya. Selain itu, juga dilakukan community based
rehabilitation (rehabilitasi bersumberdaya masyarakat) dengan melakukan
penyuluhan dan pelatihan masyarakat di lingkungan pasien agar mampu menolong,
setidaknya bersikap tepat terhadap penderita. Hal ini akan meningkatkan pemulihan
dan integrasi dengan masyarakat. Bahaya yang menghantui penderita stroke adalah
serangan stroke berulang yang dapat fatal atau kualitas hidup yang lebih burukdari
serangan pertama. Bahkan ada pasien yang mengalami serangan stroke sebanyak 6-
7 kali. Hal ini disebabkan pasien tersebut tidak mengendalikan faktor risiko stroke.

40
Bagi mereka yang sudah pernah terkena serangan stroke, Gaya hidup sehat haruslah
menjadi pilihan agar tidak kembali diserang stroke, seperti: berhentimerokok, diet
rendah lemak atau kolesterol dan tinggi serat, berolahragateratur 3 X seminggu (30-
45 menit), makan secukupnya, dengan memenuhi kebutuhangizi seimbang,
menjaga berat badan jangan sampai kelebihan berat badan,berhenti minum alkohol
dan atasi stres.

1) Rehabilitasi Stroke
Rehabilitasi stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia.
Pencegahan komplikasi dan keterbatasan sekunder adalah hasil utama yang
diharapkan. Peningkatan kualitas dan arti dalam hidup dengan keterbatasan dan
deficit klien lansia juga merupakan hal yang penting bagi keberhasilan program
rehabilitasi stroke.

• Aktivitas kehidupan sehari-hari

Selain memposisikan klien dan latihan rentang gerak , suatu program


rehabilitasi stroke memfokuskan pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari
termasuk makan, berdandan, hygiene, mandi, dan yang sejenisnya. Dengan
melibatkan ahli terapi fisik dan okupasi dapat meningkatkan kemampuan
perawat untuk merencanakan perawatan.

Evaluasi tingkat sensorik motorik , pengukuran rentang gerak sendi , dan


kekuatan otot adalah tujuan spesifik bagi ahli terapi dan perawat. Pemeriksaan
genggaman , kekuatan trisep, dan keseimbangan memberikan data yang berharga
untuk perencanaan strategi kompensasi untuk menyelesaikan tugas tugas
perawatan diri. Propriosepsi, sensasi,dan tonus otot dievaluasi. Suatu pengkajian
yang seksama juga termasuk tingkat deficit neurologis yang mungkin telah di
alami oleh klien akibat stroke. Data tersebut termasuk kemampuan klien untuk
mandi, berpakaian, makan, ke toilet, dan berpindah. Selain itu, status fungsi usus
dan kandung kemih klien adalah informasi yang sangat penting untuk
perencanaan perawatan. Fungsi penglihatan dan pendengaran dikaji dan setiap
penyimpangan dimasukkan dalam pendekatan tim.

41
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemandirian klien dengan
terus memberikan peluang untuk melakukan tugas yang mampu ia lakukan.
Perawat adalah kunci pemberi perawatan dalam proses rehabilitasi,
mengkoordinasikan asuhan perawatan dan terapi rehabilitative. Dengan
memperhatikan tujuan ini, perawat dapat memaksimalkan potensi klien tersebut.

2) Kognisi dan komunikasi

Konfusi, disorientasi, dan maslah komunikasi adalah akibat yang sering dari
stroke. Maslah komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia dan disartria, perawat
perlu menyertakan teknik komunikasi yang memfasilitasi kemampuan klien
untuk memahami kata-kata. Teknik komunikasi tersebut meliputi berbicara
secara perlan-lahan, memberikan petunjuk sederhana(satu pada satu waktu),
membatasi distraksi, dan mendengar secara aktif.Selain itu, menghubungkan
katakata dengan objek,menggunakan pengulangan dan kata-kata yang banyak,
dan mendorong keluarga untuk membawa objek kecil yang dikenal oleh klien
dan untuk menyebutkan nama objek-objek tersebut dapat meningkatkan pola
komunikasi.Dapat juga digunakan papan abjad,mesin tik,dan program computer
untuk membantu pemahaman klien tentang lingkungannya. Mengevaluasi
penglihatan dan pendengaran dapat juga membantu mengatasi masalah
yang,sekali dapat diperbaiki, secara drastic akan meningkatkan komunikasi.

3) Dukungan psikologis

Klien lanjut usia mengalami berbagai kehilangan berdasar dengan


terjadinya stroke, mencakup perubahan citra tubuh, fungsi tubuh, dan perubahan
peran. Dukungan psikologis diarahkan agar dalam menghadapi kehilangan ini
dapat mendorong keberhasilan adaptasi dan penyesuaian. Tujuan yang realistis
dapat ditetapkan hanya setelah perawat mengkaji gaya hidup klien sebelumnya,
tipe kepribadian, perilaku koping, dan aktivitas pekerjaan. Dengan menyediakan
situasi untuk penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan, perawat
member klien suatu kesempatan untuk memperoleh kendali atas lingkungannya.
Keadaan seperti itu dapat sederhana seperti membiarkan klien untuk memilih di
antara dua aktivitas, untuk memutuskan waktu terapi, untuk memilih pakaian,

42
dan untuk membuat pilihan makanan. Memfokuskan pada kekuatan dan
kemampuan klien daripada terhadap deficit dapat mendorong harapan klien
tersebut.

Depresi sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan


perubahan peran dan citra tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat
kesehatan mental untuk membantu mengatasi masalah ini. Klienn lansia
mungkin mengalami suatu perasaan isolasi dan pengasingan. Keluarga mungkin
memerlukan dukungan emosional dan psikologis ketika berusaha untuk
memahami apa arti kehilangan bagi klien. Jika kebutuhan untuk mendapatkan
dukungan keluarga ini tidak diperhatikan, klien mungkin mempertimbangkan
untuk bunuh diri.Ajarkan anggota keluarga tentang depresi dan peringatkan
mereka terhadap tanda dan gejala yang penting dalam memberikan dukungan
psikososial.

Kelabilan emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah stroke.

anggota keluarga yang telah diajarkan tentang strategi komunikasi dan


bagaimana cara bermain peran dalam situasi yang potensial akan menjadi lebih
percaya diri.dalam merawat klien. merujuk keluarga dan klien pada pelayanan
pendukung seperti pelayanan kesehatan di rumah, Kelompok pendukung, dan
respite care dapat mengurangi beban ketergantungan yang mungkin mengikuti
stroke melibatkan manajemen factor-faktor yang pada akhirnya dapat membuat
perbedaan dalam memelihara kemandirian maksimum dan menurunkan
komplikasi sekunder yang dapat berkembang dari penyakit kronis yang
melumpuhkan. (Mickey Stanley, Buku Ajar Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)

Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi merupakan


masalah umum yang dijumpai pada penderita pasca stroke. Korban stroke dapat
memperlihatkan masalah-masalah emosional dan perilakunya mungkin berbeda
dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosinya dapat labil, misalnya pasien
mungkin akan menangis namun pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang

43
jelas. Untuk itu, peran perawat adalah untuk memberikan pemahaman kepada
keluarga tentang perubahan tersebut.

Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi perilaku


pasien seperti seperti mengendalikan simulasi di lingkungan, memberikan waktu
istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah pasien dari kelelahan yang
berlebihan, memberikan umpan balik positif untuk perilaku yang dapat diterima
atau perilaku yang positif, serta memberikan pengulangan ketika pasien sedang
berusaha untuk belajar kembali satu ketrampilan.

2.4 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Aktivitas dan istirahat

1) Data Subyektif :

• Kesulitan dalam beraktivitas : kelemahan, kehilangan


sensasi atau paralysis.

• Mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )

2) Data obyektif :

• Perubahan tingkat kesadaran

• Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis (


hemiplegia ) , kelemahan umum.

• Gangguan penglihatan

44
b. Sirkulasi

1) Data Subyektif :

Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal


jantung , endokarditis bacterial ), polisitemia.

2) Data obyektif :

• Hipertensi arterial

• Disritmia, perubahan EKG

• Pulsasi : kemungkinan bervariasi

• Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta


abdominal
c. Integritas ego

1) Data Subyektif :

Perasaan tidak berdaya, hilang harapan

2) Data obyektif:

• Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan ,


kegembiraan

• kesulitan berekspresi diri

d. Eliminasi

1) Data Subyektif :

45
• Inkontinensia, anuria

• distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak


adanya suara usus( ileus paralitik )

e. Makan/ minum

1) Data Subyektif:

• Nafsu makan hilang

• Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK

• Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia

• Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah

2) Data obyektif:

• Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum


dan faring )

• Obesitas ( factor resiko )


f. Sensori neural

1) Data Subyektif:

• Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )

• nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub


arachnoid.

• Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti


lumpuh/mati

46
• Penglihatan berkurang

• Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas


dan pada muka ipsilateral ( sisi yang sama )

• Gangguan rasa pengecapan dan penciuman

2) Data obyektif:

• Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan ,


gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan
gangguan fungsi kognitif

• Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis


stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon
dalam ( kontralateral )

• Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )

• Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan


ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata
komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.

• Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran,


stimuli taktil

• Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik

• Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada
sisi ipsi lateral
g. Nyeri / kenyamanan

1) Data Subyektif :

Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya

47
2) Data obyektif:

Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial h.


h. Respirasi

1) Data Subyektif:

• Perokok ( factor resiko )

• Tanda:

1.1 Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas

1.2 Timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur

1.3 Suara nafas terdengar ronchi /aspirasi

i. Keamanan

1) Data obyektif:

• Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan

• Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek,


hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit

• Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah
dikenali
• Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi
suhu tubuh

• Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap


keamanan, berkurang kesadaran diri

48
j. Interaksi social

1) Data obyektif:

Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi

k. Pengajaran / pembelajaran

1) Data Subjektif :

• Riwayat hipertensi keluarga, stroke

• Penggunaan kontrasepsi oral

l. Pertimbangan rencana pulang

• Menentukan regimen medikasi / penanganan terapi

• Bantuan untuk transportasi, shoping , menyiapkan makanan ,


perawatan diri dan pekerjaan rumah

2. Pengkajian Fisik
Menurut Mensjoer (2000:532), pengkajian fisik yang ditemukan pada pasien GGK adalah,
1. Umum : malaise
2. Kulit : pucat, mudah lecet dan rapuh
3. Kepala dan leher : lidah kering dan berselaput, vector uremik
4. Mata : fundus hipertensif, mata merah
5. Kardiovaskuler : hipertensi, berlebihan cairan, gagal jantung

49
6. Pernafasan : edema paru, efusi pleura
7. Gastrointestinal : anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum
8. Perkemihan : nokturia, poliuria, haus, proteinuria
9. Reproduksi : penurunan libido, impotensi amenore
10. Saraf : letargi, malaise, tremor, kejang, koma
11. Sendi : gout, klasifikasi ekstra tulang
12. Tulang : hiperparati roidisme, defisiensi vitamin D
13. Hematologi : anemia, defisiensi imun, mudah perdarah

Pengkajian khusus :

1.Perubahan pada tingkat kesadaran atau responivitas yang dibuktikan dengan


gerakan, menolak terhadap perubahan posisi dan respon terhadap stimulasi,
berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang

2. Ada atau tidaknya gerakan volunteer atau involunter ekstremitas, tonus otot,
postur tubuh, dan posisi kepala.
3. Kekakuan atau flaksiditas leher.
4. Pembukaan mata, ukuran pupil komparatif, dan reaksi pupil terhadap cahaya dan

posisi okular.
5. Warna wajah dan ekstremitas, suhu dan kelembaban kulit.
6. Kualitas dan frekuensi nadi, pernapasan, gas darah arteri sesuai indikasi, suhu
tubuh dan tekanan arteri.
7. Kemampuan untuk bicara
Volume cairan yang diminum dan volume urin yang dikeluarkan setiap 24 jam

(Doenges E, Marilynn, 2000 hal 292).

50
3. Diagnosa Keperawatan

Dx 1

Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit


oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral.

Dibuktikan oleh :

1) Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori

2) Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan

3) Defisit sensori , bahasa, intelektual dan emosional

4) Perubahan tanda-tanda vital

Tujuan Pasien / kriteria evaluasi :

1) Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori


/ motorik

2) Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK

3) Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan


Intervensi :

1) Monitor dan catat status neurologis secara teratur

R/ melihat penurunan dan peningkatkan saraf

2) Monitor tanda-tanda vital

R/ menentukan keadaan klien

51
3) Evaluasi pupil 9 ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya 0

R/ melihat reaksi dan fungsi


4) Bantu untuk mengubah pandangan , misalnya pandangan kabur, perubahan
lapang pandang / persepsi lapang pandang

R/ mengurangi penurunan penglihatan

5) Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami


gangguan fungsi

R/ mengurangi penurunan fungsi

6) Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral.

R/ agar tidak kaku

7) Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan


sesuai indikasi

R/ Untuk kenyamanan

Kolaborasi

1) Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi


2) Berikan medikasi sesuai indikasi

3) Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar )

4) Antihipertensi

52
5) Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine.

6) Manitol

Dx : 2

Ketidakmampuan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskular,


ketidakmampuan dalam persespi kognitif.
Dibuktikan oleh :

Ketidakmampuan dalam bergerak pada lingkungan fisik : kelemahan,


koordinasi, keterbatasan rentang gerak sendi, penurunan kekuatan otot.

Tujuan Pasien / kriteria evaluasi ; Tidak ada kontraktur, foot drop.

1) Adanya peningkatan kemampuan fungsi perasaan atau kompensasi dari


bagian tubuh

2) Menampakan kemampuan perilaku / teknik aktivitas sebagaimana


permulaannya

3) Terpeliharanya integritas kulit

Intervensi :

1) Ubah posisi tiap dua jam ( prone, supine, miring )

R/ mencegah terjadinya dekubitus

2) Mulai latihan aktif / pasif rentang gerak sendi pada semua ekstremitas

R/ agar tidak terjadinya kekakuan

53
3) Topang ekstremitas pada posis fungsional , gunakan foot board pada saat
selama periode paralysis flaksid. Pertahankan kepala dalam keadaan netral

R/ kenyamanan klien

4) Evaluasi penggunaan alat bantu pengatur posisi

R/ untuk kenyamanan

5) Bantu meningkatkan keseimbangan duduk

R/ untuk kenyamanan
Kolaborasi

1) Konsul ke bagian fisioterapi

2) Bantu dalam meberikan stimulasi elektrik

3) Gunakan bed air atau bed khusus sesuai indikasi

Dx 3 :

Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan sirkulasi serebral, gangguan


neuromuskuler, kehilangan tonus otot fasial / mulut, kelemahan umum / letih.

Ditandai :

1) Gangguan artikulasi
2) Tidak mampu berbicara / disartria

3) ketidakmampuan moduasi wicara , mengenal kata , mengidentifikasi


objek

54
4) Ketidakmampuan berbicara atau menulis secara komprehensif.

Tujuan pasien / kriteria evaluasi

1) Pasien mampu memahami problem komunikasi

2) Menentukan metode komunikasi untuk berekspresi

3) Menggunakan sumber bantuan dengan tepat

Intervensi :

1) Bantu menentukan derajat disfungsi R/ agar tidak terjadinya disfungsi

2) Sediakan bel khusus jika diperlukan

R/ mencegah kegawatdaruratan
3) Sediakan metode komunikasi alternative

R/ kenyamanan

4) Antisipasi dan sediakan kebutuhan pasien

R/ untuk kenyamanan

5) Bicara langsung kepada pasien dengan perlahan dan jelas

R/ terciptanya saling kepercayaan

6) Bicara dengan nada normal

55
R/ mencegah terjadinya prasanka buruk dan mengurangi keadaan

Kolaborasi : Konsul dengan ahli terapi wicara

Dx 4 :

Perubahan persepsi sensori b.d penerimaan perubahan sensori transmisi,


perpaduan ( trauma / penurunan neurologi), tekanan psikologis (
penyempitan lapangan persepsi disebabkan oleh kecemasan).

Ditandai ;

1) Disorientasi waktu, tempat , orang

2) Perubahan pola tingkah aku

3) Konsentrasi jelek, perubahan proses piker

4) Ketidakmampuan untuk mengatakan letak organ tubuh

5) Perubahan pola komunikasi

6) Ketidakmampuan mengkoordinasi kemampuan motorik.


Tujuan / kriteria hasil :

1) Dapat mempertahakan level kesadaran dan fungsi persepsi pada level


biasanya.

2) Perubahan pengetahuan dan mampu terlibat

3) Mendemonstrasikan perilaku untuk kompensasi

Intervensi :

56
1) Kaji patologi kondisi individual

R/ mencegah penurunan kesadaran

2) Evaluasi penurunan visual

R/ mencegah penurunan kesadaran

3) Lakukan pendekatan dari sisi yang utuh

R/ agar pasien tidak tersinggung

4) Sederhanakan lingkungan

R/ untuk kenyamanan dan memepercepat kesembuhan

5) Bantu pemahaman sensori

R/ mengurangi ketidak reaksi saraf

6) Beri stimulasi terhadap sisa-sisa rasa sentuhan

R/ mengurangi kematian sel-sel saraf

7) Lindungi psien dari temperatur yang ekstrim

R/ menjaga kenyamanan
8) Pertahankan kontak mata saat berhubungan

R/ meningkatkan kepercayaan

57
9) Validasi persepsi pasien

R/ menentukan keluhan

Dx 5 :

Kurang perawatan diri b.d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan


dan ketahanan, kehilangan kontrol /koordinasi otot.

Ditandai dengan :

Kerusakan kemampuan melakukan AKS misalnya ketidakmampuan makan


,mandi, memasang/melepas baju, kesulitan tugas toileting.

Kriteria hasil:

1) Melakukan aktivitas perwatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri 2)


Mengidentifikasi sumber pribadi /komunitas dalam memberikan bantuan
sesuai kebutuhan

3) Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kenutuhan


perawatan diri

Intervensi:

1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 1-4)


untuk melakukan kebutuhan sehari-hari

2) Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien


sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan

58
3) Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya untuk
menghindari dan atau kemampuan untuk menggunakan urinal,bedpan.

4) Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikan pada kebiasaan


pola normal tersebut. Kadar makanan yang berserat, Anjurkan untuk minum
banyak dan tingkatkan aktivitas.

5) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya.

Kolaborasi :

1) Berikan supositoria dan pelunak feses

2) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/okupasi

Dx 6 :

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk,


ketidakmampuan mengatasi lender.

Kriteria hasil :

1) Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas

2) Ekspansi dada simetris

3) Bunyi napas bersih saaatauskultasi

4) Tidak terdapat tanda distress pernapasan

5) GDA dan tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

59
1) Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi

2) Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan
memmberikan pengeluaran sekresi yang optimal

3) Penghisapan sekresi

4) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam

5) Berikan oksigenasi sesuai advis


6) Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi

Dx 7 :

Gangguan pemenuhan nutrisi b.d reflek menelan turun,hilang rasa ujung


lidah.

Ditandai dengan:

1) Keluhan masukan makan tidak adekuat

2) Kehilangan sensasi pengecapan

3) Rongga mulut terinflamasi

Kriteria evaluasi :

1) Pasien dapat berpartisipasi dalam intervensi spesifik untuk merangsang


nafsu makan

2) BB stabil

3) Pasien mengungkapkan pemasukan adekuat

Intervensi :

1) Pantau masukan makanan setiap hari

60
R/ untuk menentukan intake dan output

2) Ukur BB setiap hari sesuai indikasi

R/ melihat penuruna BB

3) Dorong pasien untuk makan diit tinggi kalori kaya nutrien sesuai program

R/ menjaga keseimbangan BB

4) Kontrol faktor lingkungan (bau, bising), hindari makanan terlalu


manis,berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
R/ untuk kenyamanan

5) Identifikasi pasien yang mengalami mual muntah

R/ melihat output
Kolaborasi:

1) Pemberian anti emetic dengan jadwal regular

2) Vitamin A,D,E dan B6

3) Rujuk ahli diit

4) Pasang /pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral

61
BAB III

ISI JURNAL

A. Jurnal
Judul : Bladder management and the functional outcome of
elderly ischemic stroke patients
Pengarang : E.H. Mizrahi , A.Waitzman , M.Arad , T.Blumstein ,
A.Adunksy
Tahun terbit : 2010

B. Kasus
Tn. M (62 tahun) didiagnosis stroke non hemoragik sejak 3 bulan
yang lalu. Tn. M mengalami hemiparese dextra, sehingga harus bedrest di
rumah, dan juga afasia. Sepuluh hari yang lalu Tn. M mengalami serangan
stroke kembali dan dibawa ke rumah sakit, namun saat ini Tn. M sudah
kembali ke rumahnya. Tn. M hanya tinggal berdua dengan istrinya Ny. P
(58 th), anaknya hanya sesekali datang menengoknya. Sudah 3 hari terakhir
ini Tn. M sering ngompol, sehingga Ny. P kelelahan untuk membersihkan
dan mengganti sprei. Ny. P bingung harus bagaimana lagi dan menanyakan
masalah ini ke Ns. A yang bekerja sebagai perawat home care yang bertugas
di rumah Tn. M, kemudian Ns. A mencari solusi yang tepat untuk masalah
Tn. M.

PICO :
P : Pasien lansia stroke dengan inkontinensia urin
I : Bladder Manajemen
C:-
O : Peningkatan pasien dalam menahan BAK

62
Pertanyaan klinis :
Adakah terapi untuk mengatasi masalah inkontinensia urin pada pasien
stroke ?

C. Isi Jurnal
Latar Belakang Jurnal

Dahulu para ilmuan telah membuat teori tentang penuaan seperti


Aristoteles dan Hipocrates yang berisi tentang suatu penurunan suhu tubuh
dan cairan secara umum. Sekarang dengan seiring jaman banyak orang yang
melakukan penelitian dan penemuan dengan tujuan supaya ilmu itu dapat
semakin jelas, komplek dan variatif. Ahli teori telah mendeskripsikan proses
biopsikososial penuaan yang kompleks. Tidak ada teori yang menjelaskan
teori penuaan secara utuh. Semua teori masih dalam berbagai tahap
perkembangan dan mepunyai keterbatasan. Namum perawat dapat
menggunakannnya untuk memahami fenomena yang mempengaruhi
kesehatan dan kesejahteraan klien lansia. Proses menjadi tua itu pasti akan
dialami oleh setiap orang dan menjadi dewasa itu pilihan.penuaan bukan
progresi yang sederhana, jadi tidak ada teori universal yang diterima yang
dapat memprediksi dan menjelaskan kompleksitas lansia.
Stroke merupakan penyebab utama ketidakmampuan secara
meyeluruh pada tubuh seseorang (Murray dan Lopez, 1997) dan penyebab
kedua pemicu kematian. Masalah inkontinensia urin dan bladder
management merupakan masalah yang terjadi setelah stoke dan 60 % dari
pasien membutuhkan rehabilitasi lingkungan. (Borrie et al). Secara umum,
prediksi pada pasien yang mengalami pemburukan fungsi tubuh setelah
terjadinya stroke akut antara lain dapat diidentifikasi pada usianya,

63
inkontinensia urin, kelemahan kognitif, delirium dan tingkat dukungan
sosial (Wilkinson et al 1997). Contoh pada komunitas pasien lansia yang
terkena stroke dan dengan kondisi kelemahan kognitif dan inkontinensia
urin mereka lebih menderita kemunduran fungsi tubuh.

Pasca-Stroke yang mengalami masalah pada kandung kemih


merupakan resiko tinggi ketidakmampuan, kematian, dan memerlukan
perawatan institusional secara menyeluruh. Dalam studi pencarian sumber
dengan menggunakan kriteria kolaborasi Cohrane, manajemen masalah
kandung kemih hasil dari inkontinensia urin yang terjadi selama kurun
waktu 6-12 bulan setelah onset stroke. Beberapa penyebab dari kelemahan
kandung kemih tidak hanya terjadi setelah stroke, pada otot dekstruktor
yang bergerak hiperaktif, namun kondisi tersebut mengalami kesalahan
sehingga menyebabkan ketidakmampuan neuron motorik atas, tetapi juga
gabungan dari kondisi hypoactive detrusor atau kondisi ketidaknormalan
urodinamik. Dalam kondisi ini, otot yang lain seperti kemampuan bahasa
dan beberapa dampak dari stroke secara spesifik seperti kelemahan kognitif
memyebabkan kemampuan pemenuhan basal melemah, hasil berbeda pada
tingkatan kelemahan bladder. Dari sini kondisi klinis inkontinensia urin
dapat teridentifikasi, hal kecil yang dapat kita tahu tentang hubungan yang
mungkin terjadi antara level bladder manajement dan hasil dari fungsi tubuh
dalam FIM score. Inkontinensia urin mungkin tidak relevan terhadap
ketidakmampuan pasien mengatur kondisi tersebut. Tujuan dari penelitian
dalam jurnal ini adalah mengevaluasi kondisi, dan mengetahui apakah
tingkatan perawatan manajemen kandung kemih berhubungan terhadap
fungsi tubuh secara umum pada pasien lansia yang terkena stroke. Pada
penelitian ini juga mengkaji pada evaluasi rehabilitasi yang potensial dan
mungkin dilakukan secara tidak realistik oleh staf medik dan caregiver.

64
Setting

Pusat rehabilitasi geriatri terdiri dari 36 unit tempat tidur.


Departemen ini terdiri dari berbagai macam tim interdisiplin yaitu ahli
geriatri, fisioterapi, perawat, terapis rehabilitasi (fisik, okupasi dan bicara),
pelayanan sosial, dan psikolog yang bertemu 2 kali seminggu untuk
megevaluasi status masing-masing pasien. Selama pertemuan ini
ditetapkan rencana pengobatan dan integrasi staf serta promosi rehabilitasi
yang efektif. Tipe pasien yaitu yang menjalani terapi fisik dan okupasi lebih
dari 6 jam per minggu.

Management Bladder

FIM bladder score terdiri dari 5 point atau kurang mengidentifikasi


management level bladder yang tergantung (butuh bantuan : 1- bantuan
total, 2- bantuan maksimal, 3- bantuan moderate, 4- kontak minimal, 5-
perlu pengawasan) sedangkan score yang lebih tinggi (6- modified
independence, 7- complete independence) yang mengindikasikan level
manajemen bladder pasien secara mandiri/tidak memerlukan bantuan.

Analisis Data

Membandingkan antara 2 group pasien (Low Bladder Management


Score dan High-BMS) yang didefinisikan berdasarkan data demografi dan
karakteristik klinis, yang dianalisis menggunakan t-tests, chi-square test,
dan regresi untuk mengidentifikasi adanya bias. Analisis yang terpisah
menunjukkan adanya penghitungan total dan motor FIM score, yang sama
kecocokannya. Yang pada akhirnya didapatkan score management bladder
dan kedua variabel yang berhubungan signifikan dengan score FIM.
Statistik ini menggunakan p < 0.05. SPSS dan Windows versi 11.0
digunakan untuk menganalisis.

65
Hasil

Total pasien sejumlah 1187 dengan stroke akut. 268 pasien masuk
dalam criteria eksklusi karena usia <60 tahun, stroke jenis hemorhagic, data
yang hilang, rehabilitasi yang lebih pendek dari 7 hari dan meniggal di RS.
Jumlah total pasien untuk analisis data sebanyak 919 orang dengan stroke
iskemik selama 7 tahun. Tingkat manajemen kandung kemih ditentukan
oleh Fungtional Independent Measurement (FIM) sub-skala core relevan
dengan control kandung kemih. Skor (FIM) kurang dari 5 poin ditentukan
sebagai rendahnya manajemen kandung kemih (Low-BMS) sementara skor
FIM lebih besar dari 5 ditentukan sebagai nilai manajemen kandung kemih
tinggi (High-BMS).

Terdapat 594 pasien kandung kemih dengan skor manajemen


bladder rendah (Low-BMS) dan 325 pasien dengan skor manajemen
bladder tinggi (High-BMS), saat masuk. Dibandingkan dengan High-BMS,
pasien Low-BMS sedikit lebih tua (p = 0,002), rata-rata usia pasien dengan
Low BMS adalah 76,32 tahun sedangkan pada pasien dengan High BMS
adalah 74,59 tahun. Selain itu pasien dengan Low BMS menunjukkan
rehabilitasi yang lebih lama (p <0,001) dan skor Mini Mental State
Examination (MMSE) yang rendah (p <0,001). Total skor FIM saat masuk
dan keluar pada Low-BMS lebih rendah, namun jumlah total skor FIM pada
saat keluar lebih tinggi, dibandingkan dengan High-BMS (19,5 ±16,46 vs
12,55 ±17.59, p= 0,07). Analisis regresi multiple linear menunjukkan
bahwa total FIM pada saat keluar berbanding terbalik dikaitkan dengan
Low-BMS saat masuk (beta =- 0,407; p <0,001) dan umur (beta = -0,127; p
<0,001). Skor tinggi MMSE (beta = 0,334; p <0,001) muncul sebagai
prediksi total skor FIM yang lebih tinggi pada saat keluar. Low BMS
secarain dependen prediktif untuk total skor FIM pada saat keluar (beta =
0,166; p <0,001). Temuan menunjukkan bahwa pasien dengan Low-BMS

66
dapat mempengaruhi hasil rehabilitasi pada pasien stroke usia tua. Namun,
pasien Low-BMS memperoleh keuntungan yang signifikan yaitu
peningkatan skor FIM.

Pembahasan

Penelitian ini lebih menekankan pada tingkat manajemen bladder


daripada inkontonensia post stroke. Disini ditunjukkan cara yang berbeda
untuk mengamati fungsi blader yang menunjukkan kompleksivitas dalam
mengevaluasinya yang banyak kesulitan dalam praktik sehari-hari yang
dialami oleh pasien dan caregiver, selain itu juga kondisi lain yang
menyertai terkait distress, frustasi dan rasa malu. Kondisi ini menunjukkan
perbedaan perilaku pasien yang didiagnosis inkontinensia post stroke yang
terkaji melalui klinik atau melalui tes urodinamik.
Hal ini menjadi penting semenjak manajemen sindrom klinik tidak
menujukan isu praktik yang baik, dihubungkan dengan kesulitan bladder
manajemen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukan pencapaian
fungsional dari pasien stroke lebih baik ketika dilakukan penilaian dengan
scoring bladder manajemen kepada mereka. Ada hubungan positif dari
perbedaan level manajemen bladder dengan skor FIM, dengan skor bladder
yang rendah memprediksikan penurunan pengeluaran total FIM dan total
peningkatan FIM. Hubungan tersebut tidak tergantung pada faktor
prognosis, tetapi tergantung pada pusat kognitif serta usia. Yang dikenal
memerankan prognosis mayor pada rehabilitasi stroke.
Secara umum penelitian ini menunjukkan secara signifikan outcome
fungsional pasien yang merugikan ketika menunjukan skor bladder yang
rendah. Efek merugikan ini juga dipengaruhi oleh indicator kunci lainnya
dari kesuksesan rehabilitasi yang berhubungan dengan meningkatnya
fasilitas reabilitasi pasca rumah sakit.
Akhirnya penelitian ini kemungkingan dikritisi terkait tidak
digunakannya analisis Rasch ; analisis linear ataupun interval FIM masih

67
populer digunakan serta penggunaan penelitian outcome FIM untuk
memonitor perubahan selama rehabilitasi pasien, mudahnya karena
kebanyakan data FIM terlihat tertutup pada model konvensional. Disamping
keterbatasan ini, penelitian selanjutnya akan lebih menguntungkan jika
menggunakan sampel pasien lebih banyak. Program rehabilitasi semacam
ini dirancang untuk menangani pasien lansia yang mengalami strok, hal
tersebut dapat menurunkan derajat seleksi bias serta meningkatkan validitas
dari penelitian.
Kesimpulan dari outcome fungsional pada pasien lansia yang
mengalami stroke iskemi lebih menguntungkan dibandingkan dengan
scoring tinggi manajemen bladder. Namun demikian, skor bladder yang
rendah tidak seharusnya memegang efek samping dari kurangnya
keberhasilan peningkatan fungsional selama rehabilitasi. Percobaan klinis
dibutuhkan untuk menilai kemungkinan efek dari perbedaan intervensi dari
manajemen bladder atau outcome fungsional.

Penerapan di Indonesia
Intervensi Bladder Management untuk pasien pasca stroke dapat
diterapkan di Indonesia.

Implikasi Keperawatan

1. Perawat sebagai pendidik


Perawat dapat berperan memberikan pendidikan dan pengetahuan
mengenai stroke pada lansia, bagaimana asuhan keperawatannya, dan
mampu menghubungkannya dengan EBN terkait, khususnya intervensi
atau penanganannya.

2. Perawat sebagai klinisi

68
- Sebagai klinisi, perawat mampu menerapkan asuhan keperawatan
yang tepat dan mampu memilih intervensi yang lebih efektif dan
terbukti secara ilmiah kepada klien dengan gangguan inkontinensia
urin pasca stroke.
- Menerapkan management bladder training kepada pasien stroke
sesuai dengan EBN.

3. Perawat sebagai advocator


Perawat berperan sebagai melindungi hak-hak pasien untuk
mendapatkan pengobatan yang tepat pada pasien.

4. Perawat sebagai peneliti


Perawat mampu mengembangkan penelitian terkait masalah stroke
maupun gejala sisa pasca stroke

69
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi
secara tiba-tiba dan cepat, disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Stroke
juga menjadi salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama.
Stroke dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: Infark Ischemik (Stroke non Hemoragi)

Hal ini terjadi karena adanya penyumbatan pembuluh darah otak, dan Perdarahan (
Stroke Hemoragi) Terjadi pecahnya pembuluh darah otak.

Faktor-faktor risiko yang dapat ditemui pada klien dengan stroke yaitu
faktor risiko utama seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit Jantung,
Transient Ischemic Attack (TIA) dan faktor resiko tambahan seperti Kadar lemak
darah yang tinggi termasuk kolesterol dan trigliserida, Kegemukan atau obesitas,
Merokok, Riwayat keluarga dengan stroke, Lanjut Usia, Penyakit darah tertentu
seperti polisitemia dan leukemia, Kadar asam urat darah tinggi, Penyakit paruparu
menahun.

B. Saran

Dari uraian diatas dapat kami sarankan sebaiknya para pembaca khususnya
perawat dengan kasus stroke mengetahui tentang: Faktor-faktor resiko yang dapat
ditemui pada lansia dengan stroke, laboratorium yang perlu dilakukan dan asuhan
keperawatan pada lansia dengan sroke.

70
DAFTAR PUSTAKA

Ancowitz, A. 1993. The Stroke Book. New York : William Morrow and
Company, inc.

Hudak Gallo. 2002. Keperawatan Kritis. Edisi VI Volume II. Jakarta :

EGC.

Lumbantobing. 2001. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Marilynn E, Doengoes, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.


Jakarta : EGC.

Pahria, Tuti, dkk. 2002. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : EGC.

http://www.suyotohospital.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=80:rehabilitasi-pasca-stroke-
memberikualitas-hidup-lebih-baik&catid=3:artikel&Itemid=2

http://www.ekahospital.com/id/rehabilitation-as-the-important-stroke-

treatment/

http://www.g-excess.com/5017/pengertian-dan-macam-macam-serta-

penyebab-terjadinya-stroke/

71
http://medicastore.com/brown_seaweed/obat_rawat_stroke.htm

http://www.klikdokter.com/tanyadokter/read/2008/11/02/2035/rehabilitasi-

stroke

72

You might also like