You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Umumnya obat diberikan dalam beberapa bentuk sediaan misalnya tablet, kapsul, suspensi,
eliksir, suppositoria dan lain-lain. Sediaan obat ini dibuat dengan mempertimbangkan organ
tubuh yang akan dilewatinya. Misalnya; suppositoria dibuat untuk dipakai sebagai sediaan obat
yang melalui rectum, ataupun tablet yang dibuat sebagai sediaan obat yang di pakai secara oral.
Suatu bentuk sediaan obat terdiri dari bahan obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun
dalam formula dan diikuti dengan petunjuk cara proses pembuatan.

Kita tentunya mengharapkan agar sediaan obat yang beredar di pasaran dapat memberikan
efek terapi yang kita inginkan dengan memberikan bahaya minimal. Perlu diketahui untuk
mendapat efek terapi yang di inginkan obat harus melewati berbagai proses biofarmasetika baik
proses absorbsi, distribusi dan metabolisme/ biotransformasi. Dalam proses biofarmasetika
dapat dibagi menjadi dua ada sediaan yang dapat melalui pelepasan pertama pada hati (first
pass effect) dan ada pula yang tidak.

Dalam proses biofarmasetika ini yang perlu diperhatikan yakni bagaimana obat tersebut
melalui beberapa organ tubuh kemudian akan membentuk zat terlarut hingga akhirnya dapat di
absorbsi dan memberikan efek yang kita inginkan. Biofarmasetika sediaan obat melalui kulit,
mata parenteral dan paru-paru harus memperhatikan tingkat penyerapan obat tersebut yang
didasarkan pada basis obat dan harus memperhatikan lepas lambat(artinya apabila sediaan obat
tersebut diinginkan diserap di usus tapi akhirnya baru mencapai lambung obat tersebut sudah
larut).

Paru-paru merupakan organ vital yang sangan penting bagi kehidupan manusia. Paru-paru
mempunyai permukaan absorpsi potensial 70m2, permukaan yang lebih besar dari usus halus
atau jalur nasal. Karena itu pemberian obat melalui paru-paru sangat efektif. Namun, pemberian
obat melalui paru-paru harus memperhatikan beberapa faktor, misalnya ukuran partikel sediaan
agar sediaan obat dapat memberikan efek yang diinginkan. Oleh karena itu pada makalah ini
membahas tentang biofarmasi obat yang diberikan melalui paru-paru.

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berarti disamping atau lain
dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau

1
lebih lapisan kulit atau membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang
sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan yang
sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi
itu antara lain harus steril.

Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil sedangkan
apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang biasa diberikan secara
intravena. Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung
partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan
pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan
pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap
pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.

1.2 Rumusan Masalah

 Bagaimana anatomi dan fisiologi paru-paru dan jaringan untuk pemberian parenteral ?
 Pembuluh darah apa saja yang melewati paru-paru dan jaringan parenteral ?
 Bagaimana evaluasi biofarmasetik sediaan obat yang diberikan melalui paru-paru dan
parenteral ?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi paru-paru dan jaringan untuk
pemberian parenteral ?
 Untuk mengetahui pembuluh darah apa saja yang melewati paru-paru dan jaringan
parenteral ?
 Untuk mengetahui evaluasi biofarmasetik sediaan obat yang diberikan melalui paru-
paru dan parenteral?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan fisiologi paru-paru dan jaringan untuk pemberian parenteral

A. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru


1. Anatomi Paru-paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat
respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya
pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada
alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler.
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada
di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi
dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan
paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain
yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya
terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian
di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut
sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni
fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus
inferior paru kiri terdapat fissura obliqua. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan
jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian menjadi sekitar sepuluh
unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri
dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001)
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton, 2007).
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan kelanjutan dari trakea. Bronkus
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampak paru–paru. Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6–8 cincin, mempunyai 3
3
cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9–
12 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang–cabang, cabang yang lebih kecil
disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli (Syaifuddin, 2006).
Parenkim paru–paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru–paru.
Parenkim itu mengandung berjuta–juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara
yang berukuran sangat kecil, dan merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius
sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli (zona
respirasi) terdiri atas bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs
(kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di
antara kapiler pulmoner dan alveoli.

Gambar 1 Anatomi paru – paru

2. Fisiologi Paru-paru
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah
sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus tetap
dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West, 2004).

Udara bergerak masuk dan keluar paru - paru karena ada selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah
diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa
otot yaitu sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price,1994).

4
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit
(bronkhi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trakhea).
Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan
kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat
dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia
bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan
kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
(McArdle, 2006).

Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi pengeluaran
pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup dalam, penarikan nafas
melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak
hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas bernafas
merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk sewaktu bernafas dalam dan volume
udara bertambah (Syaifuddin, 2001).

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan


volume intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg
relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai -
6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam
dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam
paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi
dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan
pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-
paru (Syaifuddin, 2001).
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding
dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan
volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan
intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan
atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai
udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price,
2005).

Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveol ke
dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat
terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor
5
yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan
faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari
paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).

Gambar 2 Fisiologi paru – paru

B. Jaringan untuk pemberian parenteral

2.2 Pembuluh darah apa saja yang melewati paru-paru dan jaringan parenteral

A. Pembuluh Darah yang Melewati Paru-Paru


Arteri pulmonalis membawa darah yang sudah tidak mengandung oksigen dari ventrikel
kanan jantung ke paru-paru, cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial, dan
bercabang lagi sampai menjadi arteriol halus. Arteriol membelah-belah dan membentuk kapiler
selanjutnya kapiler menyentuh dinding alveoli atau gelembung udara.

Kapiler halus hanya dapat memuat sedikit darah, maka praktis dapat dikatakan sel-sel
darah merah membuat baris tunggal. Alirannya bergerak lambat dan dipisahkan dari udara
dalam alveoli hanya oleh dua membran yang sangat tipis, maka pertukaran gas berlangsung
dengan difusi, yang merupakan fungsi pernapasan. Kapiler paru-paru bersatu lagi sampai
menjadi pembuluh darah yang lebih besar dan akhirnya dua vena pulmonaris meninggalkan

6
setiap paru-paru membawa darah berisi oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui aorta.

Pembuluh darah yang disebut sebagai arteria bronkialis membawa darah berisi oksigen
langsung dari aorta toraksika ke paru-paru guna memberi makan dan menghantarkan oksigen
ke dalam jaringan paru-paru sendiri. Cabang akhir arteri-arteri ini membentuk pleksus kapiler
yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk oleh cabang akhir arteri pulmonaris, tetapi
beberapa dari kapiler ini akhirnya bersatu dalam vena pulmonaris dan darahnya kemudian
dibawa masuk ke dalam vena pulmonaris. Sisa darah itu diantarkan dari setiap paru-paru oleh
vena bronkialis dan ada yang dapat mencapai vena kava superior. Maka dengan demikian paru-
paru mempunyai persediaan darah ganda.

B. Pebuluh darah yang melewati jaringan parenteral

2.3 Evaluasi biofarmasetik sediaan obat yang diberikan melalui paru-paru

 Evaluasi biofarmasetik
Sediaan obat yang diberikan melalui paru-paru diantaranya aerosol inhalasi. Menurut
FI.ed.IV, Aerosol farmasetik adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung zat
aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan ini digunakan
untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga pemakaian lokal pada hidung (aerosol nasal),
mulut (aerosol lingual) atau paru-paru (aerosol inhalasi, ukuran partikelnya harus lebih kecil
dari 10 mm, sering disebut "inhaler dosis terukur").
 Perjalanan aerosol dalam tubuh
Dengan alat penyemprot, partikel-partikel aerosol akan menempuh jalur tertentu yang
berbeda dengan jalur perjalanan zat aktif yang diberikan dengan cara lainnya dan jalur tersebut
tergantung pada cara pemberian aerosol (partikel yang dihirup). Zat aktif akan bergerak menuju
tempat aksi (bersama dengan aliran udara yang dihirup), dan ebraksi selama ada kontak (kadang
sangat terbatas) dan dengan dosis yang umumnya sangat kecil.

Oleh sebab itulah penelitian sediaan aerosol terdiri atas 2 jenis yaitu penelitian pertama
berkaitan dengan perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampat tempat fiksasi di dalam
saluran napas (dengan kemungkinan kembali ke lingkungan luar), dan penelitian kedua meneliti
7
transfer zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol sejak dari tempat depo sampai
dikeluarkan dari tubuh.

Keseluruhan proses tersebut dirangkum dalam diagram berikut ini yang dikutip dari
Gormann. Kolom pertama menunjukkan jalur utama yang dilewati partikel setelah
penghirupan. Tetapan K1 sampai K5 menyatakn kecepatan dan jumlah partikel yang melewati
permukaan atau kompartemen paru. Tetapan K7 sampai K9 lebih mencerminkan jalur
perpindahan zat aktif yang terlarut daripada perpindahan partikel itu sendiri. Tetapan K6
menyatakan jumlah partikel tersuspensi yang tidak tinggal dalam alveoli dan dikeluarkan
melalui hembusan udara ekspirasi. Amplitude nilai ini tercermin pada tetapan bolak-balik K5,
K4, K3. Sedangkan jumlah partikel yang tertahan di saluran napas dinyatakan dalam tetapan
depo K5p, K4p, dan K3p.

Kolom kedua menggambarkan berbagai kemungkinan jalur perjalanan yang ditempuh


oleh partikel aerosol. Tetapan K2p sampai K6p menyatakan jumlah zat aktif yang mengendap
di permukaan kompartemen tertentu. Kolom ketiga menyatakan keadaan zat aktif yang
terkandung dalam partikel dan ini dinyatakan oleh tetapan KD.

Gambar 3 Proses perjalan partikel aerosol dalam tubuh

Perjalanan aerosol yang panjang tersebut dapat disingkat menjadi :


8
1. Transit atau penghirupan
2. Penangkapan atau depo
3. Penahanan atau pembersihan
4. Penyerapan

1. Evaluasi ketersediaan hayati


Pada aerosol dengan efek sistemik, dimungkinkan untuk memperkirakan aktivitas
farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan membandingkannya
dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena atau jika mungkin dengan cara
pemberian lainnya.

Pada aerosol dengan efek setempat, sangat diperlukan untuk melaksanakan studi ketersediaan
hayati relatif dengan membandingkan berbegai formulasi yang berbeda untuk memilih formula
yang lebih setempat, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran
partikel yang harus sehomogen mungkin. Sebelum melakukan penilaian yang tepat tentang
ketersediaan hayati sediaan aerosol, perlu diketahui dengan pasti beberapa parameter zat aktif,
yaitu :

a) Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapeutik dari partikel aerosol yang halus.
b) Daerah depo dan perannya untuk menghasilkan efek terapeutik yang sesuai dan terukur.
c) Laju penyerapan, metabolisme dan atau pembersihan untuk menghindari efek sekunder.
d) Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.

Proses selanjutnya yang lebih penting adalah menyatakan efektivitas pengobatan aerosol.
Adapun tahap – tahap evaluasi biofarmasetik yaitu :

a) Tahap pertama
Yaitu pemilihan bagian saluran napas yang akan dicapai oleh zat aktif untuk
memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan efek
sistemik.
Pemilihan ini tergantung pada :
1. Sifat pengobatan dari zat aktif
2. Diameter partikel aerosol
b) Tahap kedua
Yaitu pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol sedemikian hingga diperoleh
diameter partikel yang diinginkan. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan resiko
hidratasi partikel yang higroskopis dan depo prematur. Pemilihan alat harus dilengkapi

9
dengan cara pemberian (tujuan bukal, nasal, masker wajah) karena harus dihindari
terjadinya depo yang tidak dikehendaki dalam saluran napas.
c) Tahap ketiga
Yaitu penelitian in vivo pada hewan (anjing misalnya) untuk meramalkan toksisitas
dan reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberian zat aktif dalam aerosol.
Percobaan ini menggunakan pipa khusus ke berbagai tempat disaluran napas untuk
mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk reaksi sistemik atau setempat dan
meneliti toksisitas dan penyerapan gas pendorong pada permukaan saluran misalnya
dengan mengevaluasi kadar dalam darah.
d) Tahap keempat
Yaitu evaluasi pada subyek manusia. Dalam hal ini keadaan pemberian dan
penghirupan partikel harus tepat, serta penentuan ritme pernapasan. Ritme pernapasan
harus ditentukan sebagai fungsi dari aksi yang diharapkan. Jumlah obat yang diberikan
harus selalu dievaluasi dengan seksama terutama bila zat aktif beraksi sangat kuat pada
dosis kecil. Akhirnya, pengaruh formulasi dapat diperkirakan dengan membandingkan
sediaan terhadap suatu larutan air dengan catatan zat aktif dapat larut dalam air.
e) Tahap kelima (tahap akhir)
Yaitu studi ketercampuran-obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk terpilih
(larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan dan lain-lain).

 Faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik obat pada pemberian melalui


paru-paru
Paru-paru merupakan daerah absorpsi yang baik pada penggunaan sediaan gas
atau kabut dari aerosol dengan pertikel yang sangat halus dari cairan atau padatan. Gas
yang digunakan terutama adalah oksigen dan obat-obat enestetika umum yang biasa
diberikan kepada pasien yang akan di operasi karena adanya daerah kapiler dan alveoli
paru-paru yang luas dapat mengabsorpsi obat dan member efek secara cepat. Ukuran
partikel dapat menentukan kemampuaan penetrasinya ke dalam alveoli paru-paru.
Makin kecil ukuran partikel makin tinggi ukuran penetrasinya.
Penghantaran obat inhalasi juga dapat digunakan untuk efek obat lokal atau
sistemik. Paru-paru mempunyai permukaan absorpsi potensial 70m2, permukaan yang
lebih besar dari usus halus atau jalur nasal. Bila suatu bahan dihirup, bahan terpapar
dengan membran mulut atau hidung, faring, trachea, bronkhi, bronkhioli, kantong
alveolar dan alveoli. Paru-paru dan saluran udara terkait dirancang untuk
menghilangkan bahan asing dari permukaan paru peripheral yang besar absorbsinya
10
melalui pembersihan mokosilier. Akan tetapi, jika senyawa seperti obat yang dibuat
aerosol dapat mencapai daerah perifer paru-paru, absorpsi dapat sangat efisien (Shargel,
dkk., 2012).
Ukuran partikel (tetesan) dan kecepatan pemakaian mengendalikan jumlah
senyawa yang terhirup menembus ruang jalur udara. Ukuran optimum untuk
penembusan jalur udara yang lebih dalam dari partikel obat adalah 3 sampai 5µm.
partikel-partikel besar cenderung terkumpul pada jalur udara atas, sedangkan partikel
molekul sangat kecil (<3 µm) keluar bersama hembusan napas sebelum terjadi absorpsi
(Shargel, dkk., 2012).

Adapun faktor yang mempengaruhi perpindahan partikel ke saluran nafas yaitu


: Ukuran partikel, pernapasan dan laju pengaliran udara, jenis aliran, kelembapan, suhu
dan tekanan.

Faktor yang mempengaruhi proses penahanan partikel dalam saluran nafas,


yaitu :

1) Faktor anatomi fisiologis saluran nafas.


Ditinjau dari sudut anatomi, penahanan partikel tersebut berkaitan dengan
ukuran saluran napas yang secara bertahap semakin mengecil, frekuensi pembagian,
jumlah dan besarnya sudut percabangan yang dapat mempengaruhi depo. Keadaan
anatomi sangat penting dalam pemahaman tentang depo partikel.
Ditinjau dari sudut fisiologi, perubahan irama pernapasan, kapasitas vital,
volume aliran, atau adanya halangan bronkus merupakan parameter yang
berpengaruh pada pembentukan depo. Jika peningkatan volume disertai peningkatan
irama pernapasan maka depo akan mengecil karena waktu dipersingkat.
2) Faktor fisiko kimia partikel
a. Ukuran partikel
Pada aerosol monodispersi, partikel dengan ukuran 1-5 µm dapat
menembus dan mengendap dalam alveoli (dengan ruang maksimum untuk
partikel kurang dari 3 µm) partikel yang lebih kecil dari 1 µm tidak akan
mengendap dan keluar saat ekspirasi.

b. Muatan partikel
Partikel bermuatan dengan mobilitas yang tinggi dan menimbulkan
muatan yang lemah pada partikel–partikel kecil (0,1 µm atau lebih kecil) atau
muatan yang besar pada pada partikel yang besar (1 µm atau lebih). Partikel–
11
partikel yang kecil yang tidak bermuatan jarang mengendap di permukaan
hidung dan pharynx, namun bila partikel tersebut bermuatan, akan menyebabkan
terjadinya depo pada lubang hidung.

c. Bobot jenis partikel


Stabilitas sediaan aerosol berkaitan erat dengan pengaruh bobot jenis
terhadap laju pengendapan. Suatu partikel dengan diameter 0,5µm dan bobot
jenis 10 gcm-3, memiliki laju pengendapan yang sama dengan laju
pengendapan partikel berdiameter 2 µm dan bobot jenis 1g/cm. Aerosol untuk
pengobatan umumnya memiliki bobot jenis 2–3 gcm-3. Senyawa dengan bobot
jenis antara 1 dan 10 gcm-3 memiliki kurva depo yang sama jika ukuran
partikelnya dinyatakan dalam unit kesetaraan bobot jenis

d. Bobot jenis gas pendorong


Sediaan farmasi yang berbentuk semprot pada gas pendorongnya
mempunyai bobot jenis yang tinggi. Semakin tinggi bobot jenisnya maka
semakin nyata pengaruh pembawa gas terhadap partikel yang tersuspensi, dan
hal ini dapat mengakibatkan penetrasi yang jauh ke dalam saluran. Partikel–
partikel ini kemudian menjadi pusat kondensasi kelembapan sehingga
memperbesar kemungkinan terjadinya depo.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas
tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu,
paru kanan dan paru kiri. Paru-paru mempunyai permukaan absorpsi potensial 70m2,
permukaan yang lebih besar dari usus halus atau jalur nasal. Pembuluh darah yang melewati
paru-paru diantaranya arteri pulmonalis, vena pulmonalis, arteri bronkialis dan vena bronkialis.
Faktor utama yang mempengaruhi proses biofarmasetik sediaan yang diberikan melalui paru-
paru yaitu ukuran partikel. Makin kecil ukuran partikel maka makin tinggi ukuran penetrasinya
ke dalam alveoli paru-paru. Absorpsi melalui paru-paru cocok untuk sediaan terutama zat dalam
bentuk gas yaitu aerosol.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Guyton A. C., Hall J. E. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 10. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedic. Jakarta : PT Gramedia

Price, S.A., dan Wilson, L.M. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi
Keempat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Shargel, Leon, et al,. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kelima.
Surabaya : Airlangga University Press.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

14

You might also like