You are on page 1of 18

REFEKSI KASUS

ASA II PADA DM TIPE 2

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Anaestesi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh :

Taufik Andaru
20120310185

Diajukan Kepada :

dr. Deddy Hartono, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN ILMU ANAESTESI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

ASA II PADA DM TIPE 2

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anaestesi
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh :

Taufik Andaru
20120310185
Bantul, 11 Februari 2018

Dokter Penguji :

dr. Deddy Hartono, Sp.An


REFLEKSI KASUS

1. Rangkuman kasus
Seorang pasien, Ny. S, usia 64 tahun datang ke Poliklinik Orthopedi RSUD
Panembahan Senopati Bantul dengan keluhan nyeri pada paha atas sebelah kiri. Pasien
mengatakan 2 tahun yang lalu telah dilakukan operasi PHR (Partial Hip Replacement). Oleh
dokter Spesialis Orthopedi pasien di diagnosis dengan post arthroplasty hip dan di rencanakan
untuk operasi THR (Total Hip Replacement) keesokan harinya.
Pada saat reanamnesis sewaktu visite pre operasi diketahui pasien memiliki riwayat
DM sejak 3 bulan yang lalu dan pasien tidak meminum obat rutin sedangkan riwayat
hipertensi, asma dan alergi tidak ditemukan pada pasien. Pada pemeriksaan fisik , penilaian
airway menunjukan jalan napas clear, mallampati I, tidak ada sumbatan dan TMD ≥ 6,5 cm,
breathing diperoleh pernapasan spontan, gerakan dada simetris, tipe pernafasan normal,
respirasi rate 20 kali per menit dan vesikuler pada kedua lapang paru, circulation diperoleh
tekanan darah 130/90mmHg dan nadi 84 kali per menit serta diperoleh status kesadaran
pasien Compos Mentis dengan Glasgow Coma Scale E4M6V5. Pupil isokor, kaku kuduk (-),
kelainan nervus kranialis (-). Pasien memiliki berat badan 60 kg dan tinggi badan 155 cm.

2. Laboratorium
Hb : 12,2 g/dl
Hmt : 32,6 vol%
PPT : 13,6 detik
APTT : 29,5 detik
Ureum : 24 mg/dl
Creatinin : 0,82 mg/dl
Gula Darah Sewaktu : 208 mg/dl
Na : 143,4 mmol/l
K : 4,07 mmol/l
Cl : 108,5 mmol/l
HbsAg : Negatip (0,00)
Diagnosis : Status pasien ASA II dengan Diabetes Mellitus tipe II
Instruksi :konsul UPD, cek GDS pk 06.00, target GDS <200

3. Perasaan Terhadap Pengalaman


Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien yang akan menjalani
operasi PHR ini termasuk dalam ASA II. ASA merupakan singkatan dari American Society of
Anesthesiologist yang berguna untuk mengelompokan pasien berdasarkan kondisi pasien
sebelum menjalani operasi. ASA II berarti pasien tersebut memiliki penyakit sistemik ringan,
dalam kasus ini DM. DM didefinisikan sebagai gula darah sewaktu >200 mg/dl.
Bagaimanakah anestesi pada penderita DM?

4. Analisis
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar
glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap diatas batas ini.
ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl)
sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa
diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200
mg/dl (darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis
bila kadar glukosa plasma puasa >7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa oral memberikan hasil pada batas diabetes.4
KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama
 Tipe I (kerusakan sel beta pancreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan istilah Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM). Tipe I jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda.
Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah disebabkan oleh adanya
destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini
selalu memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami
ketoasidosis jika insulin dihentikan pemberiannya.
 Tipe II, kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin relative, munsul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami
ketoasidosis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup
dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali
memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar
di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Besarnya
pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun
atas tiga jenis sel: sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel
d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan
kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan
glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain
dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal
(gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin.
Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi
karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan
insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak
bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang
hati untuk mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I
dihubungkan dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada
mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus
yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias,
mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada
hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini
kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.
Dianggap bahwa kegemukan akan:
 Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target
 Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor
- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler
 Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung-jawab terhadap defek seluler, berupa:
- Bertambahnya penimbunan lemak
- Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
- Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
- Inaktivasi lemak
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan
iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial
dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada
pasien non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan
defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi
insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya
sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-
reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan
kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan melalui 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat
dikerjakan dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi.
 Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
 Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
glukosa oral >= 200 mg/dl.
 Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis
rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan.
Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis
banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan
hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan
hipertrigliseridemia.
EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah
karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena
resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah
tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi
peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan
sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula
darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya
oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk
growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.
Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan
cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg)
sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC
halotan).1
FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul
adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11
% pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah
4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian
menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai
10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomic
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri coroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar.1,4
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah
pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia
dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati
autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap
penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 %
untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke
mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya
disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada
hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa
pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini
terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun
belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko
tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada
klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi
fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular
filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba,
harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme
yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia
sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan
peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal
tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan
kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan
oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada
sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan
tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk
mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan
tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap
diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi
sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat
kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes.
Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang
disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi
non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff
joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal,
dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien.
Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa,
elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner,
gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai
insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai
insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan
pra bedah.1,5
PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status
diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat
induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat
steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim
pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap
pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien
diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika
digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan
stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam
diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu
melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan
melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon
hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada
pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk transport glukosa
menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis
sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada
pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan
hormon;pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro
halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak
sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran
tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan
penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal ini tidak
relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya
sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol
untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan
mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak
berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,
teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi.
Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan
perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
TEKNIK ANESTESI PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin
residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang
dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia
umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat
kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan
dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum
memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal
mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih
besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi
dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan
retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal
dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural
dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal
dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik
dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7
KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah:
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolism katabolic dan
ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya
membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin
perlu diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti
diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.
Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula
darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2
sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol
metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk
penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan.
Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal
secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua
pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl
setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan
sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar
glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk
mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein,
dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling
sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1


NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) ml/kg/jam)
(NPH=neutral protamine Hagedorn) Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :
150

Intraoperattf Regular insulin (berdasarkan sliding Sama dengan


scale) preoperatif

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan


preoperatif
Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena
dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada
orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat
bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan
katabolik (sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat
dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat
ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1
unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam
250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi
fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus
Roizen):
glukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
Pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi.
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang
seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena.
Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus
lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9% NaCl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti
dibawah ini:
Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin
darah

4,4 ( 80 )
Matikan pompa, beri glukosa IV
4,4 - 6,6 ( 80 - 120 )
Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5
m/jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting
yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah
menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan
terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal
dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah
satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5%
ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc
larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian
cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di
bawah ini:
Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

PERAWATAN PASCA BEDAH


Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan
pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian
subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus
diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu
tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan
sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca
bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau
kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien
DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard
postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan
status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan, atau disrimia, maka perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya infark miokard.2,15
PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT
Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu
pembedahan yang harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis.
Dalam keadaan seperti ini bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam.
Waktu yang sangat terbatas ini digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan
cairan, asam basa dan etektrofit yang merupakan keadaan yang mengancam jiwasebelum
pembedahan diJakukan. Bila waktu penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi
ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit cairan dan ketidakseimbangan dektrolit
bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam. Penderita harus segera di evaluasi secara
lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah, aseton, elektrolit dan
analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan Nacl 0,9% dengan kecepatan
250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl cairan diganti dengan yang
mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian dilanjutkan dengan infus 50 unit
dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80 cc/jam, sebagai patokan
mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir dibagi 150 atau 100 bila
penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan pengukuran kadar gula
darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah dan elektrolit.
Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250 mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial.
Meskipun pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis
dengan bikarbonat dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang
terlalu cepat tidak dianjurkan.1,2,3

5. Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.Diabetes mellitus diklasifikasikan
menjadi 2 tipe utama yaitu, tipe I (kerusakan sel p pancreas) dan tipe II (gangguan sekresi
insulin, dan biasanya retensi insulin). Pasien dengan diabetes mempunyai mortalitas dan
morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul
adalah sepsis, neuropati autonomic,ketoasidosis dan komplikasi dari arteriosklerosis (penyakit
arteri coroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer). Mengingat tingginya angka kejadian
dan komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit diabetes ini, maka perlu adanya
pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif. Manajemen
perioperatif dimulai sejak evaluasi pra operasi, selama operasi dan dilanjutkan sampai
periode pasca operasi.
Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi keadaan penderita sangat penting dilakukan
untuk meminimalkan terjadinya komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun
yang terjadi pada pasca pembedahan. Hal tersebut harus diantisipasi dengan perlunya
pemahaman tentang teknik anestesia yang benar, manajemen cairan perioperatif, pemberian
insulin dan pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik obat-obatan diabetes
maupun obat-obatan anestesia serta penanganan nyeri akut yang adekuat. Dengan manajemen
perioperatif yang benar terhadap penderita-penderita diabetes yang akan menjalani
pembedahan, diharapkan bisa menurunkan atau meminimalkan angka morbiditas maupun
mortalitas.
6. Daftar Pustaka
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in A
Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap
Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common
Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia,
4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative
Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset,
Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders,
1994: 185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia, JB
Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes,
IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen,
Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes
Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-
50.

You might also like