You are on page 1of 3

Aksiologi Ilmu Pengetahuan

A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi Ilmu Pengetahuan – Untuk memahami apa yang dimaksud dengan aksiologi,
menurut di bawah ini diuraikan beberapa definisi atau pengertian tentang aksiologi,
diantaranya
Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang
nilai.Aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. [1]
Salah satu yang mendapat perhatian adalah masalah etika/kesusilaan dan Dalam etika, obyek
materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek
formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari
suatu perbuatan atau perilaku manusia.[2]
Sedangkan pengertian aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri yang
berjudul Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer mengatakan bahwa aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari berbagai pengetahuan-
pengetahuan yang diperoleh atau didapat oleh manusia .[3]
Dari segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata “axios” dalam bahasa Yunani, dan “value”
dalam bahasa Inggris. Dalam buku Enciclopedy of Philosophy, istilah “nilai” atau value dibagi
menjadi tiga bentuk, yaitu:[4]
Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik, dan bagus. Yang
dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk kewajiban, kebenaran dan
kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda denganfakta. [5]
Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita berkata sebuah
“nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang
bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa? atau sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan
dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau tidak bernilai.
Kata “nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti ungkapan atau ekspresi menilai, memberi
nilai dan dinilai. Pada bentuk ini, nilai sinonim dengan kata “evaluasi” pada saat hal tersebut
secara aktif digunakan untuk menilai.
Keterangan di atas, menarikarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “nilai”
pada hakikatnya adalah Aksiologi Ilmu Pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Kattsoff mengemukakan tiga
cara pendekatan terhadap nilai :[6]
1. Pendekatan subyektivisme, di mana nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia
sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya.
2. Pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui
melalui akal.
3. Pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang
menyusun kenyataan.

B. Teori Nilai dalam Filsafat


Sebuah Kajian Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Aksiologi Ilmu Pengetahuan – Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang
kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah
teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si
ilmuwannya, Seseorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas
nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.[7]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Secara teori, aksiologi dibagi kepada tiga
bagian, yaitu: (1) Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus
yaitu “ilmu etika” atau nilai etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini
melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political Live (Kehidupan
Sosial Politik), bidang ini melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik. [8]
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk
menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian
manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya.
Demikian juga terhadap ilmu.[9]
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika
seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai
moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika
dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara
moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang
membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus.Karena moral umum diukur dari sikap
manusia pelakunya,timbul pula perbedaan penafsiran .[10]
Masalah etika atau susila mengakibatkan pula berbagai pendapat tentang etika tergantung
citra dan tujuannya. Ada etika individual dan sosial, ada etika situasi dan esensial. Dua
pertentangan dalam etika modern, yaitu etika yang memperhatikan faktor psikologi secara
nilai kebahagiaan, dan etika situasi atau historisme yang berpendapat bahwa ukuran baik dan
jahat ditentukan oleh situasi atau keadaan zaman.[11]
Adapun dari sisi estetika, maka titik tekannya adalah pada penilaian subjek terhadap objek,
atau berusaha memilah dan membedakan suatu sikap atau perbuatan objek. Penilaian ini,
kadang objektif dan kadang subjektif tergantung hasil pandangan yang muncul dari pikiran
dan perasaan manusia. Penilaian menjadi subjektif apabila nilai sangat berperan dalam
segala hal. Mulai dari kesadaran manusia yang melakukan penilaian sampai pada
eksistensinya dalam lingkungan. Untuk itu, makna dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek pada objek yang dinilai tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
Artinya, penilaian subjektif akan selalu memperhatikan akal budi manusia, seperti perasaan
dan intelektualitas. Makanya, hasil dari penilaian ini selalu mengarah pada suka atau tidak
sukanya subjek, atau senang dan tidak senang. Seperti, keindahan sebuah karya seni tidak
dikurangi dengan selera (perasaan) rendah orang yang menilai.[12]
C. Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu pada Aksiologi Ilmu
Pengetahuan
Aksiologi Ilmu Pengetahuan – Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.
Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan
pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[13]
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang
ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat
idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitian. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan
tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif[14]
D. Nilai
a. Karakteristik Nilai
1) Bersifat abstrak; merupakan kualitas
2) Inheren pada objek
3) Bipolaritas yaitu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
4) Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.[15]
Menurut Ensyclopedia of Philosophy : aksiologi disamakan dengan value and valuation yang
terdiri 3 bentuk:[16]
1) Nilai (baik, menarik dan bagus) lebih luas (kewajiban, kebenaran dan kesucian)
2) Nilai sebagai kata benda konkret
3) Nilai sebagai kata kerja (menilai, memberi nilai, dinilai)
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
1) Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
2) Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
3) Nilai berasal dari kepentingan.
4) Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
5) Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
b. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.[17]
1) Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan
oleh individu atau masyarakat.
2) Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
3) Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.

You might also like